KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Politik Media dan Media Politik

Wednesday, January 28, 2009

oleh: Jerry Indrawan*

Tahun 1976, perebutan kursi presiden di negeri Uncle Sam Amerika Serikat sebelum dilaksanakan pemilu tampaknya akan dimenangkan oleh Gerald Ford. Salah satu uji publik yang ada di Amerika untuk para calon presiden adalah melalui mekanisme debat publik yang selalu ditayangkan secara nasional. Sebelum The Great Debates antara Ford dan lawannya Jimmy Carter, Ford masih memimpin 11 persen dalam polling antar capres tersebut. Tetapi setelah debat, keadaannya jauh berbalik. Carter unggul jauh 45 persen dibanding Ford.

Enam belas tahun sebelumnya, untuk pertama kali di Amerika Serikat ditayangkan acara The Great Debates, yang kala itu antara John F. Kennedy dan Richard Nixon. Di sini kita akan melihat secara lebih konkret bagaimana peran media dalam mempengaruhi sikap politik publik AS. Dengan penampilan yang begitu tenang dan berwibawa, serta mampu mengartikulasikan programnya secara tepat, membuatnya unggul dalam persaingan dan akhirnya terpilih sebagai presiden.

Contoh lain yang tidak usah terlalu jauh adalah saat pemilu presiden secara langsung di Indonesia tahun 2004 kemarin. Dalam polling yang diadakan hampir di seluruh media elektronik di nusantara ini, pasangan calon dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla mendominasi setiap polling yang hampir setiap saat ditayangkan dalam running text di setiap stasiun televisi di Indonesia. Entah apa pengaruhnya bagi sikap politik rakyat Indonesia, yang menonton televisi tentunya, akhirnya toh pasangan SBY-JK yang akhirnya memenangi pemilu. Apakah rakyat Indonesia, yang beberapa memang belum tercerdaskan secara politik, memang mencari seorang figur baru yang dianggap lebih demokratis daripada figur-figur sebelumnya atau ada sebuah rekayasa politik dalam display polling-polling tersebut dalam media televisi untuk mentendensikan opini masyarakat kepada pasangan calon yang terus memimpin tadi.

Gambaran di atas menunjukkan betapa powerful-nya kekuatan media massa, khususnya televisi, sangat berpengaruh terhadap pembentukkan opini publik dan juga prilaku politik masyarakat kita. Pengaruh itu juga dapat merubah pola pikir dan keputusan yang akan diambil, serta opini publik. Saya pernah mengikuti sebuah pelatihan yang mana pembicaranya berbicara masalah social politics engineering, dalam konteks peranan media. Ia mengatakan bahwa pemberitaan suatu media bukan lagi pemberitaan yang didasarkan atas realita melainkan konstruksi atas realita. Apa maksudnya? Pemberitaan oleh media-media zaman sekarang ini sudah tidak lagi didasarkan oleh sebuah fakta akan sebuah peristiwa tapi didasarkan pada kepentingan atau interest dari oknum tertentu yang ingin mengarahkan si subjek ke arah apapun yang ingin ia bawa.

Media telah memainkan peran sebagai second hand reality, realitas kedua yang biasanya memang bersifat sangat tendensius. Media juga telah menjadi guru dan menuntun kita untuk untuk mendefinisikan situasi sesuai dengan sajiannya. Dan anehnya pun kita berlaku seperti murid yang baik, dalam mengambil keputusan kita tidak lagi mendasarkan pada realitas sesungguhnya, tapi pada makna yang diberikan oleh media tersebut. Di sini terlihat jelas bahwa media sesungguhnya adalah sebuah konstruksi atas realita.

Media televisi di Indonesia walaupun masih relatif muda, telah ikut memainkan peran yang cukup berarti dalam percaturan politik di negeri kita ini. Dulu sebelum reformasi, televisi dijadikan tunggangan pemerintah untuk melakukan indoktrinasi, ancaman dan pembelokan fakta. Alhasil televisi hanya menjadi corong pemerintah untuk menyampaikan pesan yang sesuai dengan keinginan pemerintah. Walau demikian, sama saja maknanya, televisi memiliki kekuatan untuk merubah perilaku masyarakat. Pada masa reformasi hiruk pikuk gerakan mahasiswa menuntut reformasi, televisi kembali memainkan peran strategis dalam mempercepat proses dan menggalang dukungan masyarakat. Hingga akhirnya gerakan reformasi tidak hanya terjadi di Ibukota saja, tetapi masuk ke seluruh pelosok tanah air. Di masa mendatang saya melihat bahwa media akan lebih capable dalam memainkan peranannya, terutama di bidang politik. Media akan lebih dapat leluasa menggiring dan membentuk opini masyarakat. Hal ini sah-sah saja karena salah satu peran media adalah sarana mempengaruhi opini masyarakat. Sekarang di mana peran kita sebagai mahasiswa? Adalah di mana kita tetap berpikir kritis, dan melandaskan segala informasi yang kita terima atas dasar moral dan intelektual kita sebagai generasi-generasi penerus bangsa.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini.

Baca selengkapnya...

Konflik Kepulauan Spratly

Thursday, January 15, 2009

oleh: Jerry Indrawan*


Pendahuluan

Sebelum masuk pada inti masalah, ada baiknya kita mengetahui sedikit dahulu tentang apa itu konflik. Berdasarkan beberapa literatur yang saya temukan, setidaknya ada beberapa pengertian umum tentang apa yang disebut sebagai konflik. Menurut Alo Liliweri, konflik adalah bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok, karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan. Selain itu, konflik juga bisa diartikan sebagai suatu proses mendapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan dengan menyingkirkan atau melemahkan para pesaing. Liliweri pun membuat tipe-tipe konflik, yaitu konflik sederhana, konflik dalam organisasi, konflik berdasarkan sifat, konflik berdasarkan jenis, peristiwa, dan proses, konflik berdasarkan faktor pendorong, konflik berdasarkan jenis ancaman, konflik berdasarkan apa, kapan, dan dimana akan terjadi, konflik berdasarkan cara memandang peristiwa atau isu, dan konflik berdasarkan level pemerintahan.

Simon Fisher melihat konflik secara umum dapat diartikan sebagai hubungan yang muncul antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Fenomena konflik biasanya dimulai dari adanya perbedaan kepentingan yang tidak dapat disinergiskan yang kemudian membawa pada fenomena pertikaian secara terus-menerus. Konflik akan berkembang ke dalam bentuk kekerasan apabila perbedaan kepentingan maupun sasaran tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai aksi atau sikap terstruktur yang menyebabkan terjadinya kerusakan secara fisik, mental, sosial, maupun lingkungan.

Akar dari konflik adalah problem-problem, baik yang bersifat sosial, kultural, teologis, politis, dll. Problem-problem yang terjadi di Asia Tenggara merupakan warisan sejarah dan warisan struktural. Bila tidak mendapat penanganan serius, hal ini akan menjadi ancaman bagi keamanan nasional yang pada gilirannya akan mengancam juga stabilitas regional. Problem sosial sendiri diartikan sebagai masalah dan potensi masalah yang telah, sedang, dan akan dihadapi masyarakat, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar komunitas masyarakat bersangkutan. Problem sosial menunjukkan adanya kesenjangan antar harapan (das-sollen) nilai-nilai dan kondisi-kondisi yang seharusnya eksis dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dengan realitas (das-sein) yang tengah berlangsung.

Beberapa problem utama di kawasan Asia Tenggara adalah kemiskinan, kriminalitas, kesehatan, dan keamanan yang di era abad ke-21 ini sudah menjadi isu dunia. Problem-problem utama tersebut bentuknya seperti masalah klaim wilayah dan konflik perbatasan, money laundry, trafficking, narkoba, illegal logging, illigal fishing, perompakan, terorisme, penyelundupan senjata, kejahatan ekonomi, kejahatan dunia maya, separatisme, flu burung, bencana alam, dll. Problem-problem sosial ini dalam perkembangannya akan muncul menjadi konflik, baik vertikal atau horisontal, bahkan bisa sampai bersifat laten atau manifest, seperti yang saya kemukakan sebelumnya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang sengketa kepulauan Spratly yang mencerminkan adanya konflik dalam konteks klaim wilayah antar negara di Asia Tenggara, bahkan dengan negara kawasan lain. Pada bagian penutup juga akan diklasifikasikan konflik ini masuk dalam konflik jenis apa.

Latar Belakang

Pada bulan April tahun 1988 terjadi ketegangan di kepulauan Spratly antara Vietnam dengan RRC. Dua puluh kapal perang RRC yang sedang berlayar di Laut Cina Selatan mencegat Angkatan Laut Vietnam sehingga terjadi bentrokan. Bentrokan antara RRC dan Vietnam ini merupakan bagian dari rentetan bentrokan bersenjata sebulan sebelumnya yang mengakibatkan hilangnya 74 tentara Vietnam. Peristiwa ini dikenal sejak itu sebagai peristiwa 14 Maret 1988.

Pertikaian di kepulauan tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama dan aktor yang berperan di dalamnya tidak hanya Vietnam dan RRC, tetapi juga melibatkan dua negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia dan Filipina, serta Taiwan. Sebab dasarnya dapat dilacak kembali ke klaim historik yang beranekaragam, konsiderasi ekonomi, serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang terlibat. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan saling tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah penentuan batas. Pemilikan sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan memperbesar permasalahan ini sehingga menimbulkan ketegangan tentang hak atas laut teritorial atau Landas Kontinen.

Dilihat dari peta biasa kemungkinan orang tidak akan menemukan nama kepulauan Spratly. Spratly adalah sebuah gugusan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau karang kira-kira jumlahnya sebanyak 600-an dan 100-an diantaranya kerap tertutup permukaan air laut jika sedang pasang. Jika diamati, peta yang dikeluarkan masing-masing negara yang terlibat, namanya akan disebut berbeda-beda. Filipina menyebutnya Kalayaan (tanah kebebasan), Vietnam menamainya Dao Truong Sa, sedangkan Cina menyebutnya Nansha Qundao. Perbedaan nama dimaksudkan agar kepulauan tersebut terisyaratkan sebagai milik negara yang memberikan nama. Persoalannya hampir mirip dengan kasus nama Malvinas dan Falkland yang melahirkan konflik Argentina dan Inggris. Nama internasional yang lazim diberikan kepada gugusan pulau itu ialah Spratly. Letaknya di sebelah Utara Sabah agak condong ke arah Barat Laut dan di sebelah Barat daya Filipina.

Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas wilayah-wilayah yang diklaim itu. Persoalannya menjadi lebih berat karena klaim-klaim tersebut saling tumpang tindih karena masing-masing negara mendasarkan klaimnya pada “kebenaran” versinya sendiri, baik historis maupun legal formal. Yang kemudian menarik untuk disoroti adalah proses penguasaan dandasar argumentasi yang dikemukakan masing-masing negara itu untuk menguasai gugusan pulau yang terdapat di Spratly.

Tuntutan RRC terhadap Spratly didasarkan pada sejumlah catatan sejarah dan dokumen-dokumen kuno. Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut RRC menyatakan bahwa kepulauan Spratly secara historis merupakan wilayah keuasaan Cina sejak masa kekaisaran Dinasti Han, kira-kira 200 tahun SM sampai ke masa Dinasti Ming dan Dinasti Ching yang berkuasa pada tahun 1400-an M. Vietnam menentang pendapat RRC dengan menyebutkan bahwa Kaisar Gia Long dari Vietnam pada tahun 1802 telah mencantumkan Spratly sebagai wilayah kekuasaannya. Nelayan Vietnam pun telah lama sebelumnya melakukan pelayaran ke dan di wilayah kepulauan Spratly itu.

Filipina mengajukan tuntutan berdasarkan prinsip res nullius, yaitu prinsip kewilayahan tak bertuan, yang tidak dimiliki oleh setiap negara manapun. Untuk menambah argumentasinya, Filipina mengemukakan bahwa Jepang telah menguasai kepulauan tersebut selama PD II dan meninggalkannya setelah kekalahannya tanpa menyebutkan kepada siapa kepulauan tersebut akan diserahkan.

Malaysia mengatakan bahwa sebagian dari kepulauan Spratly merupakan wilayah negara bagian Sabah. Karena itu seringkali dijumpai perbedaan garis peta antara yang dibuat oleh Malaysia dengan Filipina. Akhirnya, Taiwan mengklaim kepulauan Spratly sebagai bagian dari warisan kekaisaran Cina dengan dalih yang sama dengan dalih klaim yang diajukan RRC.

Arti Penting Spratly dalam Bidang Ekonomi dan Strategi

Kawasan Spratly hanya tergambar sebagai sekumpulan bintik saja di peta bumi, dan bahkan sebagian daripadanya tak terlihat sama sekali. Banyaknya aktor yang terlibat dalam perebutan kawasan tersebut lalu menjadi sebuah pertanyaan yang menarik melihat apa kepentingan mereka. Secara ekonomi kepulauan Spratly diperkirakan mengandung bahan-bahan tambang yang sangat kaya, seperti minyak dan alumunium. Penguasaan Jepang atas kepulauan Spratly pada masa PD II sebenarnya didorong oleh kebutuhan akan bahan tambang seperti fosphat. Tidak hanya bahan tambang, perairan di sekitar kepulauan Spratly juga kaya akan ikan. Nelayan-nelayan Filipina telah lama berlayar menangkap ikan di perairan tersebut.

Kekayaan sumber alam yang besar, itulah yang menyebabkan wilayah ini menjadi rebutan banyak pihak. Ikut masuknya RRC ke wilayah yang diklaim Filipina tersebut dapat pula lebih mengukuhkan dalih tersebut. Nillai potensi ekonomis wilayah kepulauan Spratly diperkirakan sangat tinggi sehingga pantas dikhawatirkan akan menjadi sumber konflik jika tidak diselesaikan sejak sekarang. Diakuinya Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil dan makin majunya teknologi untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber-sumber laut kian memperbesar kekhawatiran itu. Landas Kontinen Laut Cina Selatan diperkirakan mempunyai kekayaan minyak. Di samping itu, perikanan Laut Cina Selatan mencapai lima juta ton setiap tahun pada tahun 1978 dan tentunya masih dapat ditingkatkan. Diperkirakan pula terdapat gunung-gunung di bawah permukaan laut kepulauan Spratly. Muara sungai Mekong dan sungai-sungai lain memasok banyak ke daerah itu. Berdasarkan penelitian, wilayah Spratly menyimpan simpanan sendimen minyak. RRC yang aktif melakukan penelitian di wilayah ini menyatakan bahwa kawasan Spratly juga kaya akan sumber-sumber energi, pangan, dan mineral.

Selain memiliki nilai ekonomi, Laut Cina Selatan juga bernilai sebagai jalur pelayaran yang sangat strategis. Laut ini menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik melalui Selat Malaka dan menghubungkan Asia Timur dengan benua Eropa dan Afrika. Oleh karena itu, jalur pelayaran ini banyak digunakan oleh armada-armada niaga maupun tanker-tanker negara-negara Jepang, Amerika Serikat, Uni Soviet, dll.

Jepang menggunakan wilayah perairan Laut Cina Selatan sebagai lalu lintas tanker-tanker minyaknya ke dan dari Timur Tengah. Jalur ini merupakan jalur terdekat antara teluk Parsi dan Jepang. Sekitar 50.000 tanker minyak lewat di perairan Asia Tenggara setiap tahunnya dengan mengangkut kurang lebih dari 1890 juta barel minyak mentah ke Jepang. Bagi Amerika Serikat jalur Laut Cina Selatan merupakan salah satu dari empar jalur pelayaran alternatif bagi pelayaran tanker dan armada niaganya untuk pantai barat Amerika Serikat dari teluk Parsi. Jalur ini merupakan jalur terdekat antara teluk Parsi dan California.

Secara geografis, kepulauan Spratly juga sangat strategis untuk menjaga keamanan wilayah beberapa negara. Bagi RRC, kawasan Laut Cina Selatan selalu dianggap sebagai kawasan yang sangat penting untuk menjaga keamanan wilayahnya, tak kalah penting dengan perbatasannya dengan Uni Soviet. Perhatian terhadap wilayah di Laut Cina Selatan semakin meningkat mengingat kehadiran pangkalan-pangkalan militer Uni Soviet di Cam Rahn dan Da Nang, Vietnam. Ketakutan terhadap pengepungan Soviet yang beraliansi dengan Vietnam telah menjadi salah satu pendorong yang cukup kuat bagi RRC untuk menguasai kepulauan Spratly. Tidak mengherankan bahwa konflik RRC dan Vietnam kemudian berkembang sebagai bagian dari usaha untuk mengimbangi kekuatan Uni Soviet di Laut Cina Selatan.

Setelah Uni Soviet mengalami kemunduran dalam negeri sehingga akhirnya bubar dan Amerika terpaksa menarik pangkalan militernya dari Filipina, intensi negara-negara middle power atau regional power diperkirakan akan meningkat. Terutama bila upaya pembangunan ekonomi mereka terganggu sehingga mereka mencari arena baru untuk memperkuat politik luar negerinya.

Vietnam di lain pihak juga memandang kepulauan Spratly sebagai wilayah strategis untuk wilayahnya. Ketakutan terhadap RRC merupakan sikap ketakutan tradisional yang telah berlangsung lama. Vietnam khawatir bahwa kepulauan Spratly akan digunakan oleh RRC untuk memperluas hegemoni regionalnya. Kekhawatiran ini dikaitkan pula oleh penguasaan RRC terhadap kepulauan Parcel di sebelah utara Vietnam pada tahun 1974. Karena itu, persepsi yang ada mengisyaratkan bahwa Spratly hanya merupakan batu loncatan RRC setelah mengusai Parcel untuk selanjutnya menguasai Vietnam. Bagi Filipina, masuknya Jepang ke Filipina melalui kepulauan Spratly menjadi bukti yang kuat bahwa kepulauan tersebut sangat penting bagi Filipina dan menjadi dasar klaim mereka bahwa kepulauan Spratly adalah resmi masuk dalam wilayah Filipina.

Penutup

Konflik dengan nuansa kekerasan biasanya akan berkembang menjadi konflik terbuka pada saat terjadi benturan secara fisik antara pihak-pihak yang bertikai. Apabila benturan tersebut kemudian menggunakan kapabilitas militer secara formal, maka konflik tersebut telah dapat dikategorikan sebagai konflik terbuka atau perang. Konflik terbuka atau perang dapat dibedakan menjadi tiga jenis konflik. Pertama, adalah perang hegemoni atau global yang medan pertempurannya lebih dari satu wilayah dan pengerahan kekuatan militer bersifat total serta hasil akhir mengarah pada perubahan status quo di tingkat sistem. Kedua, perang antar negara yang lebih difokuskan pada pertikaian kepentingan antar negara maupun dampak dari penaklukan atau intervensi militer terhadap sebuah wilayah. Dan yang ketiga adalah perang internal yang eskalasi konflik, medan pertempuran maupun pihak-pihak yang berkonflik dibatasi dalam teritorial negara.

Konflik Kepulauan Spratly bisa kita klasifikasikan pada jenis kedua, yaitu perang antar negara yang didasarkan pada kepentingan pemilikan sebuah wilayah. Walaupun konflik ini eskalasinya tidak sampai pada pertempuran bersenjata atau konfrontasi militer antar negara-negara yang bersengketa, namun kepentingannya yang strategis bagi negara-negara yang bersengketa membuat konflik Spratly berpotensi menjadi permasalahan yang mengancam stabilitas dan situasi keamanan kawasan. Berlarut-larutnya penyelesaian konflik ini juga bisa menjadi parameter bagi kita melihat ketidakefektifan lembaga ASEAN dalam menyelesaikan konflik antar anggotanya, serta hubungannya dengan negara di kawasan-kawasan tetangga.

Dalam menyikapi permasalahan kepulauan Spratly ini memang kita harus berpikir dengan kepala dingin agar tidak terjadi konflik. Hal ini karena negara-negara yang mengklaim kepulauan Spratly menggunakan dalih-dalih secara historis. Pada prakteknya, kerapkali tuntutan-tuntutan yang berbau legitimasi historis sebenarnya artifisial, terutama dalam konteks internasional. Argumentasi historis biasanya hanya signifikan jika digunakan dalam meja perundingan dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat legal formal. Karena di tingkat internasional tidak terdapat otoritas yang lebih tinggi dari negara, maka sesungguhnya argumentasi historis secara maksimal hanya bermanfaat untuk menarik simpati dunia internasional saja.

Proses penyelesaian konflik secara umum dapat dilakukan melalui beberapa langkah. Langkah yang paling minimal dalam penyelesaian konflik adalah memaksa pihak-pihak yang bertikai untuk menghentikan tindakan kekerasan bersenjata melalui proses gencatan senjata. Proses ini yang disebut sebagai conflict settlement. Untuk menjamin kelanggengan kondisi settlement maka perlu diupayakan langkah yang lebih advance, yaitu mempertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk membahas sumber konflik serta mecarai solusi melalui kesepakatan damai yang sering disebut conflict resolution.

Setelah kesepakatan damai melalui perjanjian formal resmi ditandatangani pihak-pihak yang bertikai termasuk pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator, maka mulai diupayakan langkah-langkah pembangunan kondisi damai pasca konflik (post-conflict peace building). Keterlibatan pihak ketiga dalam proses penyelesaian konflik mulai dari tahap settlement sampai dengan post-conflict peace building merupakan hal yang penting. Pihak ketiga dalam diklasifikasikan dalam tiga ketegori, yaitu perwakilan pemerintah formal suatu badan internasional atau negara, perwakilan kelompok akademisi atau NGO, dan perwakilan tokoh masyarakat. Peran yang dijalankan pihak ketiga tersebut adalah mulai dari melakukan pendekatan terhadap pihak-pihak yang bertikai, mulai dari tahap negoisasi, mediasi, sampai intervensi apabila memang dibutuhkan.

Kemudian dalam tahap resolusi konflik, pihak ketiga akan berperan sebagai mediator maupun fasilitator. Sedangkan dalam tahap post-conflict peace building, pihak ketiga biasanya melakukan kerjasama secara sinergis mulai dari langkah-langkah state building, pemulihan peran institusi politik dan pemerintah, dan menghadirkan lembaga maupun negara donor untuk proses pembangunan ekonomi. Selanjutnya peran NGO adalah melakukan penguatan peran dari masyarakat sipil dan mempromosikan good governance kepada pihak penguasa serta rekonsiliasi hubungan pihak-pihak yang bertikai.

Persoalan utama dari masalah ini adalah persoalan sengketa wilayah. Ini adalah suatu masalah atau isu yang sangat krusial dan peka dalam kehidupan negara-negara bangsa modern yang bersifat sekular dan teritorial. Untuk itu solusi dari masalah internasional yang melibatkan cukup banyak negara yang bertikai seperti ini adalah melalui perundingan-perundingan yang difasilitasi pihak ketiga dan semua negara yang bertikai patuh pada hukum atau konsesi-konsesi internasional yang berlaku. Memang butuh waktu, tetapi dengan kesabaran dan sikap saling menghargai saya pikir masalah ini pasti akan dapat diselesaikan dengan baik dan pihak-pihak yang bertikai nantinya akan mampu menghormati pihak yang akhirnya memenangkan klaim atas kepulauan Spratly.

untuk download file KLIK DISINI

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

Baca selengkapnya...