KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Kebijakan Otonomi Daerah Era Reformasi

Tuesday, February 10, 2009

oleh : Ikhsan Edwinsyah*


Dalam era reformasi, pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan tentang otonomi daerah. Pertama adalah UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua adalah UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. UU yang merupakan revisi atas UU yang disebut pertama.

Dalam perkembangannya, kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 tahun 1999 dinilai, baik dari segi kebijakan maupun segi implementasinya, terdapat sejumlah kelemahan Oleh karena itulah kebijakan tersebut mengalami revisi yang akhirnya menghasilkan UU No.32 tahun 2004.

Desentralisasi dan Otonomi daerah

Dari semua definisi yang ada, secara garis besar ada dua definisi tentang desentralisasi, yaitu definisi dari segi perspektif administratif dan defenisi perspektif politik. Disini desentralisasi sesunggguhnya kata lain dari dekosentrasi. Dekosentrasi adalah pengalihan beberapa kewenangan atas tanggung jawabadministrasi dalam suatu kementrian atau jawatan. Disini tidak ada transfer kewenangan yang nyata, bawahan hanya menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggung jawab kepada atasannya. Dalam bahasa UU otonomi daerah, dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Ada beberapa alasan kenapa UU No. 22 tahun 1999 lahir. Hal ini lahir karena daerah menuntut kebebasan di era keterbukaan politik, juga karena pemerintah pusat ingin mengatasi masalah disintegrasi yang melanda Indonesia. Ada beberapa ciri yang menonjol dari UU ini, yaitu: pertama, demokrasi dan demokratisasi. Kedua, mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Ketiga, sistim otonomi luas dan nyata. Keempat, tidak menggunakan sistim otonomi yang bertingkat. Dan kelima, penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah dibiayai oleh anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN).

Apabila dikaji secara seksama, tampak jelas bahwa pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan otonomi masih setengah hati. Pemerintah tidak rela dalam memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Hal ini terlihat jelas dalam pasal 7 (1) UU No. 22 tahun 1999, yang menyatakan bahwa: ”kewenangan daerah mencangkup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanaan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

Kebijakan Otonomi Daearah Menurut UU No. 32 tahun 2004

UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, baik dari segi kebijakan maupun dari aspek implementasi, terdapat sejumlah kelemahan-kelemahan. Dari sisi kebijakan yang sebagaimana diuraikan sebelumya, mengandung sisi-sisi kelemahan sehingga memunculkan dampak negatif dalam implementasi otonomi daerah. Adapun kelemahan-kelemahan itu antara lain, pertama, aspak kelembagaan pemerintah daerah yang menempatkan posisi DPRD yang terlalu dominan. Kedua, akuntabilitas DPRD kepada publik. Ketiga, penyediaan layanan dasar yang belum memadai. Keempat, munculnya raja-raja kecil didaerah. Kelima, terjadi primodialisme dalam pengangkatan kepala daerah maupun jajaran birokrasi. Terjadi konflik dalam perebutan sumber daya daerah.

Karena kelemehan-kelemahan tersebut munculah desakan untuk merevisi UU No. 22 tahun 1999. Materi UU No. 32 tahun 2004 yang bertujuan menggantikan UU No.22 tahun 1999 selain memuat soal pilkada, juga memuat materi tentang pemerintahan daerah, atau orang kerap menyebutnya otonomi daerah. Perbedaan paling mendasar dari kedua UU tersebut terlihat dari kewenangannya. Apabila dalam UU no.22/1999 pemerintah daerah memiliki kewenangan bagi semua urusan pemerintah kecuali yang menjadi urusan pemerintah pusat, kini pada UU No.32/2004 hal itu tidak terdapat lagi.


*Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta


KLIK DI SINI untuk mendowload file asli dari artikel ini.

Baca selengkapnya...

Bersikap Jujur untuk Menatap Masa Depan Indonesia yang Lebih Baik

Wednesday, February 04, 2009

oleh: Jerry Indrawan*


Plato, dalam salah satu bukunya yang berjudul Georgias, menulis perdebatan Socrates, gurunya, dengan Thrasymachus, kaum Sofis. Menurut Thrasymachus hukum ialah apa yang berguna bagi si kuat. Dan adil adalah semua yang dilakukan demi kepentingan kekuasaan yang ada dalam negara. Pendapat itu dibantah oleh Socrates dan dikatakan pemerintah juga bisa berbuat khilaf. Karena kemungkinan berbuat khilaf, apa yang baik untuk kepentingan kekuasaan belum tentu baik untuk rakyat.

Socrates berkata, “Tiap penguasa tidak boleh mengejar kepentingan pribadi saja, tapi juga bertugas menyelenggarakan kepentingan rakyat.” Namun kaum Sofis, orang yang mengukur segala sesuatu hanya dari diri sendiri sehingga pernyataan-pernyataannya kerap memperuncing masalah, menolak pendapat Socrates. Mereka mengatakan, “Ketidakadilan jauh lebih menguntungkan dibandingkan keadilan. Keadilan bekerja hanya untuk kepentingan si kuat, sedang ketidakadilan itu mempertahankan sesuatu yang berguna dan memberi keuntungan bagi diri sendiri.” Ditambahkan, “Kebajikan itu hanya membawa kesukaran dan kesedihan. Seseorang untuk menjadi berbahaya dan ditakuti harus menonjolkan ketidakadilan dengan topeng kejujuran.

Ajaran-ajaran kaum Sofis itu bisa jadi mengandung kebenaran dalam kenyataannya. Sedang pendapat Socrates memiliki kebenaran ideal. Sejarah membuktikan suatu negara yang pemimpinnya berlaku sewenang-wenang, menindas, dan tidak adil justru membawa negara itu dalam keutuhan sosial maupun politik yang baik. Kepatuhan rakyat kepada penguasa bukan karena rasa aman yang diberikan oleh negara, juga bukan karena kesadaran politik rakyat sudah mencukupi, tetapi kepatuhan mereka lebih berdasarkan karena ketakutan. Tidak ada oposisi, tidak ada perlawanan, tidak ada disintegrasi, semua berjalan di rel masing-masing adalah contoh bagaimana terjadinya sebuah proses “harmonisasi” yang sesuai dengan kehendak penguasa.

Jika kepatuhan karena ketakutan yang terjadi, lantas dimana letak kebahagiaan yang notabene adalah tujuan hidup manusia di dunia? Kepatuhan karena ketakutan jelas tidak membuat rakyat bahagia dan bukan wujud rasa terima kasih rakyat pada pemerintah, di sisi lain tidak ada satupun penguasa di dunia yang bisa hidup tenang bila rakyatnya hidup dalam ketakutan. Karena sikap diam dan ketakutan, rakyat menyimpan bara dendam serta berkecenderungan melakukan pemberontakan. Sikap diam rakyat sebenarnya merupakan alunan doa tak terucapkan pada Tuhan agar menghukum penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Sang penguasa tidak akan pernah tenang dan bahagia dalam hidupnya, karena tiap detik dipergunakan hanya untuk memikirkan siapa yang akan memberontak dan bagaimana cara menumpasnya.

Kepatuhan semu oleh pemerintah otoriter disebut persatuan dan kesatuan, ketakutan disebut peran serta rakyat dalam proses pembangunan dan kesadaran rakyat akan hukum. Namun bagi rakyat kepatuhan merupakan upaya menyelamatkan diri, menumpuk kepedihan untuk mencari saat yang tepat untuk meledak. Kekuatan rakyat yang seperti itu jarang disadari oleh rezim otoriter.

Walau sang penguasa mampu membungkus kekejian dengan bahasa ketertiban, penindasan diganti keamanan, ketidakadilan diistilahkan dengan penegakan hukum, toh penderitaan rakyat tidak dapat selamanya ditangguhkan. Dan ketika rakyat menuntut hak, kekuatan mereka tidak akan mampu dibendung. Persatuan dan kesatuan negara menjadi terancam, radikalisme tumbuh subur dan puncaknya adalah pertumpahan darah.

Sejarah modern membuktikan, sebutlah Uni Soviet (sekarang Rusia) pasca komunis jatuh, negeri itu menjadi tercabik-cabik dalam berbagai macam disintegrasi dan ambruknya sektor ekonomi. Masing-masing wilayah, suku, etnis ingin berdiri sendiri untuk meneguhkan identitas kelompok. Demikian juga dengan Yugoslavia (sekarang Serbia dan Montenegro), perang antar etnis berkepanjangan dan terjadinya genocide yang mengerikan. Ketika negara ditinggalkan oleh penguasa atau pemerintah yang otoriter dan sistem yang menindas, disintegrasi terbuka di depan mata siap menelan korban tanpa peduli rasa kemanusiaan.

Semoga kisah-kisah yang mengerikan itu tidak terjadi di Indonesia. Tapi bagaimanapun, kecenderungan-kecenderungan itu mau tidak mau sudah mulai terjadi di Indonesia, walaupun kadarnya masih belum terlau masif. Kemunculan berbagai konflik antar komponen bangsa seperti di Sambas, Ambon, Aceh, Papua dan berbagai daerah di nusantara lainnya perlu menjadi sebuah perenungan bersama. Jangan sampai kasus lepasnya Timor Timur terulang kembali pada daerah lain. Konsep Bhinneka Tunggal Ika harus tetap dijadikan landasan bagi bangsa Indonesia untuk tetap survive dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.

Dan ternyata ketidakadilan yang dibungkus oleh topeng kejujuran hanya menjadi kebohongan yang terorganisir. Sebab antara keadilan dan kejujuran menjadi mata rantai untuk membangun sebuah peradaban kemanusiaan. Kejujuran dan keadilan merupakan kata kunci kebahagiaan. Tak satupun manusia bisa berlaku adil jika ia tidak bisa menerima kejujuran. Dan tidak ada yang bisa jujur jika tidak mengetahui keadilan. Untuk berlaku jujur, kadang kala kita harus mau menerima pil pahit, walaupun itu berat untuk dilakukan.

Untuk menatap masa depan Indonesia yang lebih baik dan juga lebih beradab diperlukan kejujuran. Jujur untuk mengakui segala perbedaan agama, etnis, kemampuan ekonomi. Jujur untuk mengakui bahwa kebenaran bukan monopoli kelompok kita sendiri. Dan jujur untuk mengatakan tidak pada praktek-praktek penyimpangan politik seperti KKN. Terakhir, untuk membangun sifat kejujuran memang harus dimulai dari setiap pribadi kita masing-masing. Setelah itu dapat dilembagakan pada sebuah dialog intensif antar komponen bangsa sehingga sifatnya dapat menjadi masif. Lalu setelah kita berani bersikap jujur, maka barulah kita pantas berteriak MERDEKA!


* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini.

Baca selengkapnya...