KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Komunikasi Politik Presiden SBY

Monday, March 23, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Pendahuluan

Secara umum komunikasi adalah sebuah proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui simbol-simbol. Sedangkan politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Menurut Michael Schudson, komunikasi politik adalah: “any transmission of messages that has, or is intended to have an effect on the distribution or use of power in society or an attitude toward the use of power.” Sedangkan Astrid S. Susanto berpendapat bahwa komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi “yang ditentukan bersama” oleh lembaga-lembaga politik. Dengan demikian, melalui kegiatan komunikasi politik terjadilah realisasi pengkaitan masyarakat sosial dengan lingkup negara komunikasi politik juga merupakan sarana untuk pendidikan politik atau kesadaran warga dalam hubungan kenegaraan.

Ilmuwan politik beranggapan bahwa komunikasi politik termasuk objek studi ilmu politik karena pesan-pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi itu mempunyai ciri-ciri politik yang berkaitan dengan kekuasaan politik, negara, pemerintahan, dan komunikator, serta komunikan yang terlibat di dalamnya bertindak sebagai pelaku kegiatan politik.

Sistem komunikasi politik kita secara vertikal terdiri dari elite politik, media massa dan masyarakat. Masing-masing merupakan subsistem yang berfungsi selaku sumber (komunikator), saluran, khalayak, penerima (komunikan), dan suatu proses yang dikenal sebagai umpan balik (feedback). Pada negara-negara demokratis proses komunikasi berlangsung secara vertikal dan horizontal. Pembicaraan-pembicaraan politik berlangsung secara timbal balik dan peranan setiap unsur sistem komunikasi politik senantiasa berubah berubah sesuai situasi. Misalnya, elite politik pada satu situasi merupakan komunikator pesan, tetapi pada situasi lain dapat berubah menjadi saluran atau media dan pada situasi tertentu juga dapat berubah sebagai khalayak penerima. Demikian juga dengan unsur-unsur yang lain seperti media dan masyarakat yang secara berkesinambungan berganti peran sesuai dengan kondisi.

Bicara lebih mengerucut, komunikasi politik seperti di sistem-sistem lain, juga dipraktekkan dalam kehidupan politik di Indonesia. Setiap hari tokoh-tokoh pemerintahan atau tokoh politik menyampaikan pernyataan-pernyataan (resmi atau tidak resmi), pendapat-pendapat dalam berbagai forum, dan komentar-komentar tentang masalah-masalah yang terjadi secara general. Ini adalah salah satu bentuk konkret dari kegiatan politik dimana elite politik bertindak selaku komunikator. Saluran komunikasi yang digunakan bisa berbentuk media massa, tapi juga bisa melalui tatap muka (face to face communication).

Pada tahun 1948, ilmuwan politik Harold Lasswell mengemukakan bahwa cara yang mudah untuk melukiskan suatu tindakan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
Siapa?
Mengatakan apa?
Dengan saluran apa?
Kepada siapa?
Dengan akibat apa?

Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini mengidentifikasi unsur-unsur yang biasa terdapat pada semua komunikasi, yaitu adanya sumber dan penerima, pesan, media komunikasi, dan tanggapan. Kelima dasar Lasswell ini menyajikan cara yang berguna untuk menganalisis komunikasi politik Kepresidenan.

Komunikator Politik Kepresidenan

Dalam pembahasan ini kita akan membahas pertanyaan, “Siapa komunikator politik kita?” Orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintahan harus berkomunikasi tentang politik. Kita menamakan calon atau pemegang jabatan ini politikus, tak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Dalam pembahasan kita kali ini sumber komunikator politik kepresidenan adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang dipilih secara langsung oleh rakyat pada pemilu 2004 lalu.

Pekerjaan mereka adalah aspek utama dari kegiatan ini, meskipun politikus melayani beraneka tujuan dengan berkomunikasi, ada dua yang menonjol. Daniel Katz menunjukkan bahwa pemimpin politik mengerahkan pengaruhnya ke dua arah: “mempengaruhi alokasi ganjaran dan mengubah struktur sosial yang ada atau mencegah perubahan demikian.” Dalam kewenangannya yang pertama politikus itu berkomunikasi sebagai wakil suatu kelompok atau langganan. Pesan-pesan politikus itu mengajukan dan atau melindungi tujuan kepentingan politik, artinya komunikator politik mewakili kepentingan kelompok. Komunikasi politik kepresidenan jelas mewakili kepentingan kelompok, yaitu pemerintahan itu sendiri.

Sebaliknya, politikus yang bertindak sebagai ideolog tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesak tuntutan seorang langganan. Ia lebih menyibukkan dirinya untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas, mengusahakan reformasi, dan bahkan mendukung perubahan revolusioner. Ideolog itu terutama berkomunikasi untuk membelokkan mereka kepada suatu tujuan, bukan mewakili kepentingan mereka dalam gelanggang tawar-menawar politik dan mencari kompromi. Sayangnya menurut saya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum mampu menjadi seorang komunikator politik yang bersifat ideolog karena masih dipengaruhi oleh pihak-pihak lain (intra maupun ekstra pemerintahan) yang mampu mempengaruhi kebijakan yang dibuatnya. Terlihat dari bagaimana reshuffle jilid I tahun 2005 dan jilid II tahun 2007 lalu, dimana demi menjaga dukungan politisnya di parlemen, Presiden melakukan komunikasi politik dengan partai-partai kuat di parlemen, seperti Golkar dan PKB, untuk memasukkan kader mereka di kabinet Indonesia Bersatu.

Hal ini dilakukan Presiden dengan tujuan memperkuat posisi politiknya di parlemen dengan cara melakukan deal-deal politik dengan partai pendukung di parlemen. Hasil dari komunikasi politik ini dilihat dari sudut pandang Presiden memang positif karena mampu membungkam (setidaknya sampai saat ini) beberapa fraksi di parlemen yang secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi meminta “jatah” di kabinet. Contohnya adalah pada reshuffle jilid I, Presiden memasukkan nama Erman Suparno dari PKB untuk menduduki posisi Menteri Tenaga Kerja menggantikan Fahmi Idris yang digeser ke posisi Menteri Perindustrian. Posisi Menteri Perindustrian yang semula ditempati Andung Nitimihardja ditempati Fahmi karena “janji” politik Presiden kepada PKB untuk menambah wakil mereka di kabinet. Pada partai Golkar pun Presiden melakukan hal yang sama. Masuknya Paskah Suzzetta menjadi Kepala Bappenas menggantikan Sri Mulyani yang digeser menjadi Menteri Keuangan membuat jatah Golkar di kabinet makin kuat.

Pada reshuffle jilid I ini gejolak politik di pemerintah belum terlalu besar karena figur menteri yang diganti pun tidak ada yang dari kalangan partai sehingga tidak membuat konstelasi politik negara kita goyah. Kalaupun ada figur dari partai hanya Alwi Shihab dari PKB, tetapi Alwi sendiri bermasalah dengan kepengurusan PKB karena membuat PKB tandingan yang tidak sejalan dengan Gus Dur. Apalagi menteri-menteri yang diganti pun mendapat posisi baru, seperti Jusuf Anwar, mantan Menkeu, yang menjadi Dubes RI untuk Jepang dan Alwi Shihab yang menjadi Utusan Khusus Pemerintah untuk Negara-Negara Timur Tengah.

Reshuffle jilid II lalu, posisi politik Presiden agak digoyang sedikit oleh Partai Bintang Bulan yang dua kadernya dicopot oleh Presiden. Dua kader PBB itu adalah Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Posisi mereka berdua digantikan kembali oleh wakil dari partai-partai yang memiliki dukungan kuat di parlemen, yaitu Golkar dan PKB. Masuknya Andi Mattalata dari Golkar dan Lukman Edi dari PKB memang kembali memperkuat posisi Presiden di parlemen. Pengamat memperkirakan Presiden sudah memulai start awal kampanye Presiden untuk 2009 dengan mulai mencari simpati partai-partai yang diharapkan mau berkoalisi untuk pemilu yang akan datang. Tetapi konsesi ini pun beresiko, seperti sudah dijelaskan bahwa PBB bermasalah dengan kejadian pencopotan dua kadernya ini. Mereka merasa “dizholimi” oleh SBY karena PBB adalah salah satu basis utama dan pertama, selain partai Demokrat, sebagai pendukung setia Presiden sejak kampanye pilpres sampai sekarang. Saya menilai Presiden tidak melakukan komunikasi politik yang baik dengan PBB sebelum memutuskan mencopot Yusril dan Arman.

Katz membedakan wakil partisan dan ideolog, tapi bila dipandang sebagai komunikator politik, perbedaan itu hanya dalam derajatnya, bukan dalam jenisnya. Kedua tipe politikus itu mempengaruhi orang lain, yakni mereka berindak dengan tujuan mempengaruhi opini orang lain. Wakil partisan mengejar perubahan atau mencegah perubahan opini dengan tawar-menawar agar keadaannya menguntungkan bagi semua pihak seperti kasus klasik politik dagang sapi.

Menurut saya hal inilah yang dilakukan Presiden dalam mempertahankan kekuasaannya. Melakukan deal-deal politik dengan partai-partai kuat di parlemen seperti Golkar dan PKB seperti yang saya jelaskan di atas dengan keinginan mempertahankan kekuasaan di pihak Presiden dan keinginan menambah jumlah wakil di kabinet adalah salah satu bentuk politik dagang sapi. Hal ini dilakukan semata-mata karena konsesi politik temporal demi kekuasaan, dan tidak dilakukan untuk kepentingan perbaikan fungsi aparatur pemerintahan seperti pada konferensi pers resmi yang dilakukan Presiden sesaat setelah mengumumkan reshuffle dimana Presiden mengemukakan alasan utama reshuffle adalah perbaikan kinerja menteri. Yang menarik dianalisa menyangkut komunikasi politik kepresidenan adalah bagaimana Presiden sendiri yang berbicara di depan media dengan seluruh rakyat Indonesia mendengarkan. Menilik perkataan juru bicara presiden Andi Mallarangeng yang mengatakan bahwa saat mengadakan konferensi pers atau sejenisnya, apabila materi yang akan disampaikan menyangkut hal-hal yang dasar atau fundamental dan hal-hal yang langsung berhubungan dengan rakyat, akan dilakukan oleh Presiden sendiri. Ini berarti Presiden menganggap persoalan reshuffle ini memang berhubungan langsung dengan konstituennya yaitu rakyat Indonesia, sehingga beliau sendiri yang menyampaikannya. Langkah Presiden dalam melakukan komunikasi politik dengan rakyatnya ini patut ditiru dalam rangka melakukan kampanye persuasif kebijakannya kepada rakyat dan mencegah opini publik negatif atau misintepretasi di kalangan masyarakat.

Sebagai komunikator politik, Presiden memang dibantu oleh dua orang juru bicara kepresidenan yaitu: Andi Alfian Mallarangeng sebagai jubir khusus masalah-masalah dalam negeri dan Dino Patti Djalal sebagai jubir khusus masalah-masalah luar negeri. Dalam melakukan komunikasinya dengan masyarakat Presiden memang sangat dibantu oleh kehadiran juru bicaranya, tetapi ini hanya dalam lingkup kepresidenan. Apabila menyangkut tataran dibawahnya, seperti Kementerian, setiap Departemen atau Lembaga Negara mempunyai juru bicaranya sendiri-sendiri. Menyangkut tugasnya dalam melakukan komunikasi tentang permasalahan-permasalahan negara dengan khalayak, juga tidak dilakukan oleh jubir semua sehingga ada pembagian tugas antara Presiden, jubir, dan pejabat-pejabat lain yang terkait.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Presiden secara pribadi bisa melakukan komunikasi langsung tanpa perantara apabila masalah-masalah yang akan diutarakan menyangkut hal-hal dasar atau fundamental dan masalah-masalah yang langsung terkait dengan rakyat. Sedangkan menyangkut masalah teknis, itu menyangkut kewenangan menteri untuk menjelaskannya. Kewenangan jubir menurut Andi Mallarangeng adalah untuk menjelaskan hal yang ditengah-tengah dari permasalahan-permasalahan tadi. Andi juga menambahkan, juru bicara harus menjadi seorang generalis, yaitu harus mengerti segala hal yang berhubungan dengan peran negara untuk mengaturnya.

Pembicaraan Politik: Pesan Politik Kepresidenan

Bagi seorang komunikator politik dalam pembicaraan tentang komunikasi politik pastilah berisi pembicaraan politik. Presiden pastilah mempunyai pesan-pesan atau hal-hal yang akan disampaikan kepada khalayak menyangkut kebijakan atau hal-hal yang berhubungan dengan peran negara secara umum dan perannya sebagai Presiden secara khusus. Di sini kita akan coba analisa pesan-pesan politik Presiden tersebut.

Dalam politik kita pasti menyinggung banyak pembicaraan, begitu banyak seolah-olah pembicaraan adalah politik. Menurut ilmuwan politik David V.J. Bell terdapat tiga jenis pembicaraan politik, yaitu pembicaraan kekuasaan, pembicaraan pengaruh, dan pembicaraan autoritas. Perhatikan misalnya, betapa pentingnya pembicaraan dalam kehidupan para politikus, baik pejabat maupun yang berusaha jadi pejabat. Kebanyakan di antara kita mengenal Presiden SBY karena pembicaraannya dalam konferensi pers, pidato, pernyataan tertulis, dll atau melalui apa yang dikatakan orang lain tentang beliau. Para jurnalis televisi, surat kabar, dan majalah menelaah setiap kata yang dikeluarkannya untuk mencari nuansa, sindiran, atau petunjuk tentang apa yang akan terjadi. Seorang Presiden yang pendiam dibicarakan karena tidak berbicara (misalnya mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang jarang berbicara di depan umum sehingga memiliki kesan “pendiam”) yang hampir sama banyaknya dengan yang dikatakannya andaikata ia berbicara.

Jadi, pembicaraan itu penting bagi politik, dan jika dipandang secara luas, politik adalah pembicaraan. Pembicaraan yang berkembang tentang kekuasaan, pengaruh, dan autoritas. Dengan menganggap politik sebagai pembicaraan, kita tidak berargumentasi bahwa segala pembicaraan adalah pembicaraan politik. Namun, pembicaraan politik adalah pembicaraan untuk memelihara dan membantu pembicaraan mengenai masalah lain. Secara khas, ia adalah pembicaraan yang melibatkan kekuasaan, pengaruh, dan autoritas dengan pembendaharaan kata yang terus-menerus berkembang.

Di Indonesia secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan politik masih didominasi elite politik. Mereka menggunakan sarana media massa yang sejak reformasi seperti “bebas sebebas-bebasnya” dalam membangun sebuah proses pencitraan (pastinya citra positif) tentang elite itu sendiri atau afiliasi politik yang diusungnya, termasuk pemerintahan. Contohnya dalam pemerintahan adalah banyaknya Departemen-departemen atau Kementerian-kementerian di pemerintahan yang memasang iklan-iklan, baik di media cetak maupun elektronik, tentang keberhasilan jajarannya menyangkut tugas yang diembannya. Satu sisi memang baik untuk mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang apa-apa saja yang sudah berhasil dicapai sebuah instansi pemerintahan dengan tujuan perbaikan kinerja di masa datang, tetapi jangan sampai media ini digunakan hanya untuk membangun image sedemikian rupa tentang instansi (bahkan pemerintahan) tersebut di mata masyarakat. Lebih parah lagi apabila persaingan antar instansi dalam hal “bikin iklan” di media massa menjadi sarana politis untuk mencegah menteri-menteri terkait diganti dan instansinya dikurangi anggarannya oleh Presiden.

Jadi, peran elite sebagai komunikator politik (dalam hal ini Presiden) sangat dominan terutama menyangkut propaganda politiknya. Pesan-pesan politik dibuat atau direkayasa sedemikian rupa untuk membentuk opini publik. Beberapa bentuk rekayasa opini publik yang dapat dijadikan contoh adalah masalah pemilu, demokrasi, rekrutmen politik, retorika politik, propaganda politik, dll. Dalam kasus dana nonbujeter Dinas Kelautan dan Perikanan masa dipimpin Rokhmin Dahuri, Presiden SBY yang disebut-sebut bersama tim suksesnya oleh mantan capres Amien Rais juga mendapat kucuran dana, seharusnya bertindak proporsional. Presiden seharusnya tidak “ikut-ikutan” Amien Rais membuat konferensi pers untuk menjelaskan kasus dana nonbujeter ini. Biarlah proses ini diselesaikan di ranah hukum, bukan politis, sehingga tidak membuat citra politik Presiden turun. Walaupun akhirnya Presiden menemui Amien Rais untuk membahas masalah ini dan melakukan komunikasi politik face to face yang seimbang dua arah, barulah masalah ini dapat clear. Yang mau kita garis bawahi di sini adalah tindakan Presiden dalam membuat “konferensi pers tandingan” setelah Amien juga melakukan hal yang sama sebelumnya, dengan tujuan menjelaskan kepada masyarakat (secara implisit) bahwa Presiden tidak pernah menerima dana tersebut. Tetapi yang terjadi adalah penggiringan opini publik yang biasanya dilakukan oleh media bahwa kasus ini melebar menjadi sebuah perseteruan dan rivalitas politis dengan Amien Rais. Di sini terlihat bahwa dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya, Presiden harus dapat melakukannya dengan elegan, menggunakan bahasa yang baik, tidak bermakna ganda, dan pastinya dengan media (channel) yang baik pula agar tidak terjadi multi-interpretation di masyarakat maupun kalangan media.

Masyarakat memang biasanya kurang paham atau kurang sadar akan permasalahan yang seperti ini (lack of awareness), bahwasanya informasi dan pesan-pesan politik yang diterimanya merupakan hasil rekayasa. Rekayasa ini biasa disebut rekayasa sosial politik (social politics engineering) yang dilakukan melalui medium media massa yang juga “berpartisipasi” membuat opini publik yang subjektif (second hand reality).

Media Politik Kepresidenan

Mengapa Presiden berbicara kepada pers? Salah satu alasannya adalah untuk mempromosikan tuntutan politik mereka sebelum bekerja sama dan bersaing dalam kepentingan. Presiden menggunakan pers untuk menyebarkan pesan di dalam pemerintahan dan juga di luar pemerintahan agar mempengaruhi hasil kebijakan dan membangkitkan atau meredakan kekhawatiran publik. Maka daripada itu, Presiden selalu berusaha menggunakan pers dalam memajukan kepentingan-kepentingan politik pemerintahannya.

Banyak pers yang ketika bertindak sebagai saluran berita juga berperan sebagai pembuat berita. Pemberitaan suatu media bukan lagi pemberitaan yang didasarkan atas realita melainkan konstruksi atas realita. Apa maksudnya? Pemberitaan oleh media-media jaman sekarang ini sudah tidak lagi didasarkan oleh sebuah fakta akan sebuah peristiwa tapi didasarkan pada kepentingan atau interest dari oknum tertentu yang ingin mengarahkan si subjek ke arah apapun yang ingin ia bawa. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, media telah memainkan peran sebagai second hand reality, realitas kedua yang biasanya memang bersifat sangat tendensius. Media juga telah menjadi guru dan menuntun kita untuk untuk mendefinisikan situasi sesuai dengan sajiannya.

Sebagian jurnalis terang-terangan membela gagasan, kebijakan, dan program tertentu karena mereka dibayar untuk mengambil sikap seperti itu. Mereka tidak berusaha untuk melaporkan atau menulis semua sisi cerita (penulisan berimbang atau netral) karena mereka biasanya percaya bahwa keseimbangan itu mustahil. Mereka harus menceritakan satu sisi saja, karena orang lain akan menceritakan sisi yang lain, dan mereka pun tahu bahwa semua kebenaran dan keseimbangan itu tidak relevan.

Sebuah hasil studi mengemukakan bahwa jurnalis lebih menyukai peran yang terletak kira-kira di antara netralis yang paling terbatas dan titik pandang membela dengan aktif. Para jurnalis merasa bahwa mereka harusnya menjadi reporter yang investigatif, bahkan kritikus dan lawan pemerintah. Namun, mayoritas sepakat bahwa wartawan harus menghindari berita yang isi faktualnya tidak dapat diuji. Dengan demikian, para jurnalis mendukung, menginterpretasi, menerangkan, merekam, menyelidiki, atau mengevaluasi bergantung pada keadaan.

Kita telah membahas bahwa Presiden dan pejabat pemerintahannya menggunakan pers untuk tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan politisnya sendiri. Selain itu, Presiden membaca, mendengarkan, dan menonton berita lokal maupun nasional dari media massa umum untuk memperoleh informasi tentang kejadian-kejadian yang tidak mengalir melalui saluran pemerintahan yang resmi, seperti contohnya situs resmi Kepresidenan www.presidensby.info yang menurut keterangan jubir presiden Andi Mallarangeng diakses oleh 50 ribu sampai 150 ribu surfer setiap harinya.

Salah satu kepentingan Presiden dalam memperhatikan media massa umum adalah untuk menaksir opini publik dari polling dan editorial yang diterbitkan. Berguna juga mendapatkan gambaran makro tentang reaksi publik tentang kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Karena Presiden menaruh perhatian pada pers, maka berita mempunyai dampak pada mereka. Presiden mendapat suatu ukuran tentang sebaik apa masyarakat menanggapi kebijakan yang dihasilkan melalui media massa yang diperhatikannya. Hal ini seharusnya dapat dijadikan sebagai sebuah pertimbangan bagi Presiden dalam membuat kebijakan-kebijakan yang lebih pro rakyat karena mengetahui persoalan-persoalan yang terjadi di negara ini.

Tetapi saya lihat hal itu belum terjadi. Masih ingat kasus kenaikan BBM yang terjadi dua kali di era Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan Maret dan Oktober 2005 lalu? Sebuah langkah visioner SBY yang keputusannya dipayungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang penyesuaian harga BBM (kenaikan kedua). Harga BBM ini relatif naik tinggi sekali, antara 80 sampai 185 persen, dibanding kenaikan BBM bulan Maret 2007 lalu. Dampak kenaikan ini sangat terasa, terutama pada tiga jenis BBM yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, yaitu: minyak tanah menjadi Rp 2.000; solar menjadi Rp 4.300; dan bensin premium menjadi Rp 4.500.

Ketika itu terjadi gelombang protes besar-besaran oleh semua kalangan, yang terjadi hampir di seluruh Indonesia. Presiden yang selalu memantau media massa seharusnya mengerti bahwa apabila harga BBM tetap dinaikkan di tengah situasi sosial seperti ini akan mengakibatkan berkuranya daya beli masyarakat dan biaya hidup rakyat miskin meningkat. Ketika itu pemerintah berpendapat bahwa menurut perhitungan ekonomi, kenaikan harga BBM tidak dapat dihindari lagi saat ini. Tidak dapat disangkal bahwa beban subsidi BBM tidak mungkin lagi ditanggung negara, terlebih dengan terus melonjaknya harga minyak dunia. Naiknya harga minyak dunia dipicu sejak wafatnya Raja Fahd dari Arab Saudi yang mempengaruhi situasi politik di negara-negara jazirah Arab dan juga sejak Amerika Serikat kehilangan banyak kilang minyaknya karena badai Katrina yang menyerang New Orleans dan beberapa negara bagian sekitarnya, sehingga pasokan minyak dunia relatif berkurang.

Untungnya ketika itu Presiden dan tim ekonominya sempat tampil secara khusus, sebelum kenaikan, di televisi-televisi nasional untuk menjelaskan rencana kenaikan ini secara detail sehingga harapannya rakyat bisa mengerti dan mendukung. Langkah-langkah komunikasi politik lainnya, seperti sosialisasi kebijakan, dialog, dan imbauan resmi oleh instansi pemerintah terkait (Pertamina, Departemen ESDM, Departemen-Departemen Ekonomi, dll) juga sudah dilakukan. Walaupun sepertinya rakyat tetap tidak bisa mengerti dan melakukan demonstrasi, tetapi setidaknya ditinjau dari sudut pandang komunikasi politik, hal ini sudah sepatutnya dilakukan seorang Presiden.

Bicara akses Presiden kepada pers itu sendiri, kita akan melakukan sebuah komparasi dengan melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat mempunyai akses yang sangat bebas, mudah, dan langsung kepada pers di negaranya. Hal ini memungkinkan Presiden Amerika Serikat tampil serempak pada radio dan televisi di jam-jam utama (prime time) dimana khalayak umum banyak yang mendengarkan dan menonton ketika itu. Penampilan Presiden ini memungkinkannya berbicara langsung kepada khalayak dan membuat media-media cetak membuat headline tentang tampilnya Presiden tersebut di halaman depan media mereka. Di Amerika, pidato kepresidenan pada radio atau televisi juga digunakan untuk memberi informasi kepada anggota pemerintahannya tentang sikap dan kebijakan yang dibuat sehingga mereka harus mematuhi dan mengikutinya dalam memberikan pernyataan-pernyataan kepada masyarakat atau media massa.

Untuk Presiden SBY, menurut jubirnya Andi Mallarangeng, juga melakukan hal yang serupa dalam melakukan proses komunikasi dengan rakyatnya. Biasanya Presiden juga mengetahui waktu-waktu mana yang sesuai untuknya berbicara dengan juga mengenal segmentasi masyarakatnya. Contohnya, ketika ingin mengkampanyekan masalah flu burung atau demam berdarah, sebaiknya dilakukan pada pagi hingga siang hari kepada ibu-ibu rumah tangga yang menonton televisi atau mendengar radio pada jam-jam tersebut. Sebaliknya apabila ingin mengkomunikasikan pesan yang berbau politis, maka sebaiknya dilakukan malam hari sekitar jam-jam 22.00 ke atas. Andi juga menambahkan bahwa malam hari adalah waktu-waktu potensial para pecandu politik (political junkies) menonton atau mendengarkan acara-acara politik.

Contoh lain menyangkut kebijakan Presiden SBY menyangkut masalah media adalah ketika terbitnya peraturan No11/P/M.Kominfo/7/2005 tentang pengurangan waktu siaran lembaga penyiaran di seluruh Indonesia oleh Depkominfo, yang ketika itu masih dipimpin oleh Sofyan Djalil. Pengurangan waktu siaran itu dilakukan dengan menutup siaran setiap hari mulai pukul 01.00 sampai 06.00 waktu setempat. Sedangkan selama bulan Ramadhan 2005 penutupan siaran dilakukan setiap hari mulai pukul 01.00 sampai 03.00 waktu setempat.

Yang disesalkan adalah mengapa Menkominfo mengeluarkan peraturan yang saya nilai membatasi akses publik untuk mendapatkan informasi melalui siaran televisi maupun radio. Bahkan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai peraturan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang merupakan bagian dari terciptanya sebuah masyarakat yang sejahtera demi mewujudkan taraf hidup manusia Indonesia yang lebih cerdas dan berakhlak serta bermoral tinggi. Menurut saya ini adalah salah bentuk komunikasi politik yang buruk oleh Presiden karena terbitnya Peraturan Menteri ini adalah dalam rangka Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi. Masalah kelangkaan BBM ketika itu memang membuat Presiden melakukan penghematan di segala sektor yang didasarkan pada implementasi Inpres tersebut.

Opini Publik

Opini publik dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan, dan usul yang diungkapkan oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas dicapainya ketertiban sosial dalam situasi yang mengandung konflik, perbantahan, dan perselisihan pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.

Pokok dasar pikiran kita tentang komunikasi politik ialah bahwa orang bertindak terhadap objek berdasarkan makna objek itu bagi dirinya. Akan tetapi makna sebuah objek, apakah objek itu manusia, tempat, peristiwa, gagasan atau kata, tidak tetap dan tidak statis. Orang terus menerus menyusun makna berbagai objek dengan menangani objek-objek itu. Singkatnya, orang berprilaku terhadap objek dengan memberikan makna kepadanya, makna yang pada gilirannya diturunkan dari perilakunya sebagai individu. Melalui kegiatan komunikasi memberi dan menerima di antara makna dan tindakan ini orang memperoleh kecenderungan tertentu.

Opini pribadi terdiri atas kegiatan verbal dan nonverbal yang menyajikan citra dan interpretasi individual tentang objek tertentu di dalam setting, biasanya dalam bentuk isu. Agar opini publik dapat tersusun, opini pribadi harus dimiliki bersama secara luas melalui kegiatan kolektif dengan lebih banyak orang ketimbang yang menjadi pihak pencetus perselihan atau masalah yang menyebabkan munculnya isu.

Tahap pertama pempublikasian konflik pribadi ialah munculnya pertikaian yang memiliki potensi menjadi isu. Kedua ialah munculnya kepemimpinan untuk melakukan publikasi. Kepemimpinan seperti itu bisa dilaksanakan oleh suatu pihak dari pertikaian yang semula, seseorang yang berkomunikasi melampaui orang-orang yang dikenalnya secara pribadi. Yang khas, kepemimpinan demikian berasal dari tipe komunikator yang secara tetap memanfaatkan makna mempublikasikan isu, baik untuk keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan yang lebih umum: politikus, komunikator profesional, dan aktivis. Jika kepemimpinan telah merangsang komunikasi tentang suatu isu melalui saluran massa, interpersonal, dan organisasi maka terbukalah jalan bagi tahap ketiga dari pembentukan opini, yakni munculnya interpretasi personal. Ringkasnya, interpretasi personal memberikan gambaran tentang opini yang ada, apa yang mungkin dilakukan oleh orang lain, dan apa yang dapat diterima oleh individu. Ini menuju tahap akhir pembentukan opini, tahap yang menyesuaikan opini pribadi setiap orang kepada persepsinya tentang opininya yang lebih luas, yakni opini publik. Noelle-Neumann membuat hipotesis bahwa kesediaan orang untuk menyingkapkan pandangan mereka di depan umum bergantung pada taksiran masing-masing tentang iklim dan kecenderungan opini di lingkungan masing-masing.

Jadi jika seseorang mempersepsikan bahwa pandangannya sejalan dengan iklim dan atau kecenderungan opini, orang itu cenderung bertindak dengan suatu cara di depan umum untuk mengungkapkan opini pribadinya. Ini membantu penyusunan opini publik secara kolektif. Singkatnya, orang yang mengikuti arus opini yang dipersepsi dapat mengungkapkan pandangannya dengan perasaan aman bahwa ia tidak memulai perjalanan yang membangkitkan kecemasan. Sebaliknya, melalui melalui pengungkapan opini itu ia menurunkan jenis jaminan, presisi yang menurut teori Sullivan adalah kebutuhan esensial manusia.

Inti dari pembentukan opini adalah proses empat tahap yang melibatkan kesalinglingkupan aspek personal, sosial, dan politik melalui munculnya: pertikaian yang mempunyai potensi menjadi isu, kepemimpinan politik, interpretasi personal dan pertimbangan sosial, dan kesediaan mengungkapkan opini pribadi depan umum.

Kita telah mempelajari karakteristik utama opini pribadi; opini mempunyai isi (opini adalah tentang sesuatu), arah (percaya-tidak percaya, dll), dan intensitas (kuat, sedang, atau lemah). Opini publik juga meiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, terdapat juga isi, arah, dan intensitas mengenai opini publik. Kedua, kontroversi menandai opini publik, yaitu sesuatu yang tidak disepakati seluruh rakyat. Ketiga, opini publik mempunyai volume berdasarkan kenyataan bahwa kontroversi itu menyentuh semua orang yang merasakan konsekuensi langsung dan tidak langsung daripadanya. Keempat, opini publik itu relatif tetap.

Kita pun mengenal tiga wajah opini publik. Pertama, ialah wajah opini massa, berasal dari perseorangan yang mencapai pilihan personal dan konsidensi pilihan ini melalui proses selektivitas konvergen, suatu alat untuk mencapai ketertiban sosial. Wajah kedua terdiri atas semua pengungkapan tentang persetujuan berbagai kelompok, yaitu wajah opini kelompok. Wajah ketiga dari opini publik ialah opini rakyat, yaitu penjumlahan opini perseorangan seperti yang diukur oleh survei politik, pemberian suara pada pemilu, dll.

Penting untuk mengingat dua hal yang menyangkut ciri pluralis opini publik. Pertama, opini publik tidak identik dengan yang mana pun dari ketiga wajah ini. Opini publik adalah pengungkapan kolektif dari kepercayaan, nilai, dan pengharapan personal yang tampil melalui saling pengaruh dari ketiga manifestasi. Kedua, ialah bahwa ketiga wajah opini publik itu bisa tidak konsisten terhadap satu sama lain. Artinya, opini massa yang oleh para pemimpin dilambangkan sebagai publik, posisi kelompok terorganisasi, dan opini rakyat yang diukur bisa saling berkontradiksi.

Ada beberapa implikasi sosial yang inheren dalam pandangan opini publik yang dibahas di sini. Satu diantaranya menunjuk pada peran yang dimainkan oleh media masa dalam proses opini. Salah satu artinya, ialah bahwa media membantu menciptakan opini publik yang tidak semata-mata dengan mengatakan kepada rakyat apa yang harus dipikirkan, fungsi agenda setting. Akan tetapi juga ada arti lain, yaitu bahwa media memang mengatakan apa yang harus dipikirkan. Sejauh orang masih mengandalkan media yang mana pun, bagi sampling personal mereka tentang apa yang dipikirkan oleh orang lain, media menyajikan gambaran tentang konsensus sosial.

Sifat timbal balik proses opini ini terus membentuk ciri kedua dari segi politiknya, yaitu sifat problematik dari hubungan antara opini publik dan kebijakan publik. Jika rakyat memainkan memainkan peran inisiatif-nasihat, maka pejabat kebijakan berkonsultasi untuk meminta nasehat mereka. Warga negara bahkan memprakarsai kebijakan yang akan dirumuskan. Fungsi veto-dukungan lebih khas ketimbang fungsi yang pertama. Di sini peran opini publik menerima kebijakan tanpa membantah. Penolakan yang disuarakan secara meluas, terutama dari kepentingan khusus yang berpengaruh, merupakan veto publik terhadap kebijakan itu.

Pemberi peluang lain bagi munculnya hubungan problematik di antara opini dan politik ialah sifat komunikasi politik di antara pejabat pemerintah dan warga negara secara pribadi. Dengan menumbuhkan ilusi bahwa kebijakan itu sesuai dengan mitos kehendak atau kepentingan publik, pejabat memobilisasi dukungan tertentu dan difusi yang meluas. Dibandingkan dengan apa yang dapat dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk menjual kebijakan, arus balik dari publik kepada pembuat kebijakan itu hanya merupakan tetesan kecil, yang hampir tidak menyajikan gambaran yang utuh tentang keanekaragaman pandangan yang benar-benar disuarakan. Alat untuk mengukur opini publik itu relatif kasar jika dibandingkan dengan kecanggihan teknik modern untuk pengelolaan opini. Hasilnya ialah banyak yang merefleksikan opini rakyat; kebanyakan menggambarkan memberi dan menerima dari opini kelompok.

Dalam kasus interpelasi Iran, kita melihat bahwa media membantu menciptakan opini publik bahwa Presiden harus hadir saat sidang interpelasi di DPR. Jubir Presiden Andi Mallarangeng mengatakan bahwa Presiden tidak perlu hadir memenuhi panggilan DPR dalam kasus interpelasi Iran. Dasar hukumya adalah Pasal 174 Butir d Tata Tertib DPR yang menyatakan bahwa Presiden dimungkinkan menugaskan menteri terkait mewakilinya menjawab pertanyaan DPR langsung. Menurut Andi, selama ini secara tradisional memang diwakilkan. Pada saat kasus busung lapar, tidak ada persoalan. Di era kepemimpinan Presiden Megawati juga begitu. Bahkan Megawati juga pernah mengutus Menko Polkam, yang ketika itu dijabat Susilo Bambang Yudhoyono, menghadiri sidang interpelasi di DPR.

Presiden sebagai komunikator politik memang harus mampu mengkomunikasikan pesan-pesan politik sedemikian rupa kepada masyarakat Indonesia yang sangat beragam agar opini publik yang terbentuk tidak malahan mendeskriditkan Presiden seperti contoh yang telah saya sebutkan pada pembahasan sebelumnya. Untuk itu, juru bicara presiden Andi Mallarangeng menyebutkan bahwa komunikasi politik yang dilakukan Presiden maupun jubir dan menterinya haruslah mampu menjangkau (reach out) semua segmentasi masyarakat.

Berbagai upaya harus ditempuh agar komunikasi politik Presiden punya nilai berita. Upaya-upaya tersebut antara lain adalah melalui gaya bahasa yang disesuaikan dengan khalayak penerimanya, marketing berita yang menarik, saluran-saluran (channel) media yang mudah diakses, dan yang paling penting adalah dengan tetap menyisihkan waktu untuk bertemu langsung dengan rakyatnya (face to face communication). Dan apabila ada salah berita atau mispersepsi berita, maka Presiden punya hak untuk mengadakan konferensi pers dan menggunakan hak jawab penuh atau bantahan tentang apapun yang dianggap mencemarkan dirinya atau pemerintahannya selama itu masih dalam proses demokrasi yang murni dan konsekuen. Intinya komunikasi dengan masyarakat harus dijaga oleh para pembuat keputusan politik. Sistem demokrasi menuntut adanya pengaruh yang besar dari masyarakat terhadap penguasa politik dalam proses pembuatan peraturan atau keputusan. Gabriel Almond menunjukkan dalam tulisannya bahwa sistem non demokratis pun masih mungkin memperhatikan suara rakyat. Namun, tentu saja dengan cara-cara atau struktur yang berbeda dari sistem politik demokratis.

Karena komunikasi adalah proses dua arah, maka Presiden pun seharusnya mendengarkan suara rakyatnya. Proses penyampaian aspirasi rakyat, baik berupa tuntutan maupun dukungan, kepada sistem politik (pemerintah) haruslah dipertimbangkan dalam proses pembuatan kebijakan nantinya. Pada era reformasi seperti sekarang ini dimana kekuasaan ada pada masyarakat dan pers pun bebas, civil society juga punya kapabilitas politik dan publik luas punya opini yang disebut opini publik. Saya rasa mereka perlu didengar dan diberi penjelasan. Mereka perlu dikondisikan agar setiap kebijakan pemerintah dapat dimengerti dan didukung. Jika publik mendukung, segala upaya politisasi oleh lawan politik (atau pemberitaan media yang sering tidak netral) akan mudah diantisipasi. Publik sendiri tidak akan termakan provokasi oposisi politik jika mereka merasa memahami dan diajak bicara.

Umpan Balik (Feedback)

Salah satu unsur dalam rangka proses komunikasi adalah umpan balik (feedback). Unsur ini sangat besar peranannya dalam setiap proses komunikasi karena memberikan komunikator suatu informasi tentang bagaimana komunikan mengintepretasikan pesan yang diterimanya. Arus umpan balik ini diharapkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan komunikasi. Dalam ilmu komunikasi, feedback yang diharapkan adalah yang menyenangkan. Artinya penyampaian pesan dari komunikator mendapat tanggapan yang menyenangkan dari komunikan, sehingga seterusnya menjalin hubungan yang favourable dalam berkomunikasi.

Dalam melakukan komunikasi politiknya, Presiden mendapatkan feedback yang tidak hanya positif tetapi juga negatif. Itu adalah resiko sebuah jabatan politis. David Easton juga menyebutkan dalam analisis sistem politiknya bahwa dalam proses pemberian input (masukan) kepada pemerintah oleh rakyat sebagai infrastruktur politik kepada lembaga konversi sebagai suprastruktur politik juga mengharapkan adanya feedback berupa kebijakan-kebijakan yang pro rakyat.

Menurut David Berlo feedback ada yang disebut external feedback, yaitu umpan balik yang datang dari komunikan kepada komunikator. Feedback seperti itu disebut umpan balik segera (immediate feedback). Sehubungan dengan adanya immediate feedback, maka dikemukakan juga adanya umpan balik tidak langsung (indirect atau delayed feedback). Indirect feedback ini adalah umpan balik yang tertunda, biasanya menyangkut pada medium massa, misalnya surat pembaca kepada redaksi surat kabar. Respon dari masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah juga dikategorikan indirect feedback karena prosesnya tidak langsung. Dalam ilmu politik salah satu cara masyarakat melakukan proses feedback kepada pemerintah adalah melakukan proses partisipasi politik.

Jenis-jenis feedback menurut Ralph Webb Jr. terbagi dalam beberapa jenis: yang pertama adalah zero feedback, yaitu feedback yang diterima komunikator dari komunikan, oleh komunikator tidak dapar dimengerti tentang apa yang dimaksud komunikan. Kedua adalah positive feedback yaitu, pesan yang dikembalikan komunikan kepada komunikator dapat dimengerti dan mencapai persetujuan, komunikan bersedia berpartisipasi memenuhi ajakan seperti yang termuat dalam pesan yang diterimanya. Ketiga adalah neutral feedback, yaitu feedback yang tidak memihak, artinya pesan yang dikembalikan komunikan kepada komunikator tidak relevan dengan masalah yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Dan yang terakhir adalah negative feedback, yaitu pesan yang dikembalikan oleh komunikan kepada komunikator tidak mendukung atau menentang sehingga terjadi kemarahan atau kritik.

Dalam proses komunikasi politik kepresidenan, banyak yang terjadi adalah negative feedback dimana kritik banyak sekali yang dialamatkan kepada pemerintah. Walaupun saya merasa memang kinerja pemerintah masih belum maksimal, terkadang kritikan-kritikan ini terjadi tidak pada tempatnya dan kurang solutif adanya. Secara pribadi saya salut kepada Presiden yang menyediakan media komunikasi bagi rakyatnya kepada dirinya melalui P.O. BOX, SMS, dan situs sehingga suara rakyat, mendukung atau menuntut, dapat ditampung dan dicari solusinya.

Penutup

Menurut pemikiran John Corner dan Dick Pels, era komunikasi politik sekarang memasuki era 3C. Pertama konsumerisme (consumerism), kedua selebriti (celebrity), dan ketiga sinisme (cynicism). Kandidat yang ingin menang pemilu atau pilkada harus dengan cara konsumerisme. “Menjual” kandidat hampir sama dengan menjual shampoo. Iklannya harus ada di mana-mana. Ini yang disebut politik pencitraan (political image).

Lalu selebriti. Mereka yang ingin maju, bahkan ketika sudah memerintah pun, harus tetap memelihara citranya. Dan ketiga, sinisme. Baik media maupun masyarakat akan sinis terhadap tokoh politik dan partai politik. Sinisme itu cocok jalannya dengan parodi. Parodi itu seperti ayunan. Kalau pemerintahannya kacau, parodinya naik. Kalau pemerintahannya bagus, parodi tenggelam. Celakanya, orang yang terlibat dengan parodi itu juga jadi selebritis. Dia lahir dalam konteks sinisme untuk memperbaiki pemerintahan, tetapi dia juga harus ikut dalam konsumerisme dan selebritisasi tadi.

Menutup makalah ini, kembali ke persoalan komunikasi politik kepresidenan, menurut saya sekarang sudah saatnya Presiden memiliki sebuah tim komunikasi politik. Sejauh pengamatan saya memang SBY belum memiliki tim komunikasi politik sendiri. Presiden hanya mempunyai dua orang jubir untuk mengkomunikasikan pesan-pesan politiknya.

Mengikuti lembaga kepresidenan di Amerika Serikat, tim komunikasi politik terebut dapat diletakkan di bawah kantor kepresidenan atau setneg. Tim itu bertugas untuk mencari tahu apa yang akan menjadi reaksi publik jika sebuah kebijakan diambil. Tim itu juga dapat mengusulkan untuk memodifikasi sebuah kebijakan untuk mengurangi resistensi publik.

Di negara-negara maju, tim komunikasi politik tersebut memiliki pollster dan marketing. Pollster bertugas melakukan jajak pendapat untuk mendapatkan gambaran makro reaksi publik. Sementara marketing bertugas mencari cara sosialisasi seefektif mungkin agar sebuah kebijakan mendapat dukungan seluas mungkin. Diharapkan dengan adanya tim ini, maka komunikasi politik yang dilakukan Presiden beserta segenap jajarannya dapat dimaksimalkan untuk kepentingan bersama.

Daftar Pustaka

Buku
• Almond, Gabriel A. and James Coleman. 1960. The Politics of the Developing Areas. New Jersey: Princeton University Press.
• Alfian. 1991. Komunikasi Politik dalam Sistem Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
• Apter, David E. 1985. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia.
• Budiarjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
• J.A., Denny. 2006. Jalan Panjang Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
• Meinanda, Teguh. 1981. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: CV. Armico.
• Meinanda, Teguh. 1981. Pengantar Ilmu Komunikasi dan Jurnalistik. Bandung: CV. Armico.
• Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik. Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
• Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik. Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
• Susanto, Astrid S. 1985. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung: Binacipta.
• Rauf, Maswardi dan Mappi Nasrun. 1993. Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Referensi Lainnya
• Kompas
• Media Indonesia
• Monitor Depok
• Republika
www.google.co.id
www.presidensby.info


* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Kebudayaan dalam Industri

Thursday, March 19, 2009

Oleh: Ari Wibowo*

Industri kebudayaan (culture industry) mereduksi subjek pelaku (human agency) dan produk-produk kebudayaan sebagai komoditas pasar semata. Semakin suatu produk kebudayaan (kata benda) dinilai mendatangkan daya tarik kerumunan yang juga berarti sumber keuntungan maka kebudayaan itu akan tetap lestari dengan sistem kapitalisme yang menopang proses produksi dan distribusi produk entertainment. Para pelaku seni sendiri menyerahkan dirinya pada kepentingan bisnis dan kehilangan idealisme dalam berkesenian. Di lain pihak, produk kebudayaan yang dianggap tidak mengalirkan profit akan lapuk dimakan zaman, beserta anak-cucu yang tenggelam dalam hegemoni dan hingar-bingar kebudayaan asing yang berekspansi sesuai tuntutan zaman.

Jikalau demikian determinisme ekonomi yang merongrong sendi-sendi kebudayaan ini bertolak pada pengertian “budaya massa”. Artinya, produk kebudayaan terus menerus direproduksi dan dikonsumsi secara massal, sehingga industri budaya ini hanya mengutamakan keuntungan besar. Sementara itu, periklanan dan media massa turut membentuk nilai tukar komoditas yang dipertontonkan atau diperdagangkan untuk membangkitkan selera — yang terkadang palsu — atas apa yang sedang marak diminati masyarakat. Apa yang disamarkan di sini adalah “otentisitas” dan “orisinalitas” kebudayaan itu sendiri sebagai ruang bagi kebebasan berekspresi dan perealisasian diri. Dengan kata lain, para pekerja kebudayaan mau tidak mau menyimpang dari disiplin kesenian yang diampunya dan nilai-nilai di dalamnya, demi alasan profit.

Sebagai contoh, Malaysia boleh saja mengklaim kesenian reog sebagai miliknya. Dengan asumsi bahwa reog bisa menjadi primadona pariwisata dalam kampanyenya, “Visit Malaysia”. Di sinilah letak permasalahannya. Jika sekelompok orang memperagakan barongsai, otomatis orang-orang mengidentikkannya dengan kebudayaan Cina. Di situ, identitas yang melekat pada tarian barongsai mengakar kuat. Akan tetapi, jika kita mencermati reog Ponorogo, seolah dianaktirikan oleh pemerintah, atau bahkan oleh subjek pelaku kebudayaan itu sendiri, sehingga potensi dan daya pemikat di dalamnya redup di tengah maraknya trend kebudayaan lain. Lebih jauh lagi, apabila reog Ponorogo benar-benar difasilitasi dan dibiayai oleh pemerintah atau pemilik modal sehingga reog bisa dinikmati kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja, maka “aura mistis” dan “asal-usul” yang diproyeksikan melalui gerak, semangat, dan jiwa kesenian pada dirinya dihilangkan. Dapat disimpulkan bahwa industri kebudayaan dan esensi kebudayaan itu pada akhirnya menyimpan paradoks.

Ketika kebudayaan dipahami sebagai komoditas pasar, maka citra kebudayaan tidak lebih seperti petarung-petarung kapitalis yang berebut keuntungan dengan dalih-dalih pelestarian kebudayaan. Kebudayaan itu, kesenian-kesenian daerah pada khususnya, berebut simpati orang banyak, yang dianggap menentukan “hidup-mati” kesenian rakyat tersebut. Hal ini mungkin konsekuensi yang tak terhindarkan dalam proses produksi berkesenian. Namun, jika ditelusuri kebudayaan memuat intensi dasar dan unsur edukasi, kritik sosial, spiritual, adat istiadat atau — secara umum — jati diri dan kepribadian bangsa, bukan melulu perhitungan laba. Apa jadinya jika identitas bangsa itu terombang-ambing tak tentu arah mengikuti apa yang sedang trend di pasar?

Dihadapkan pada situasi terhimpit demikian, beberapa pekerja seni meretas kemungkinan adjustment kesenian tradisional dengan publik hari ini karena kebudayaan (kata kerja) itu juga bisa berarti bagaimana seseorang memaknai hidupnya ketika berhadapan dengan realitas di sekitarnya saat ini. Jadi, ada proses di dalamnya, yang membuat kebudayaan itu terus berkarya dalam semangat keterbukaan apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini sehingga bisa dimengerti, dikomunikasikan, dan menggugah kesadaran banyak orang. Suatu bentuk seni kontemporer yang mengadopsi nilai-nilai yang beragam tanpa meninggalkan tradisi-tradisi tradisional bisa menjadi alternatif menyelamatkan identitas bangsanya. Dengan demikian, suatu kontruksi kebudayaan juga harus memperhatikan akar-akar kebudayaan yang diwariskan pendahulu kita. Ignas Kleden menyebut kebudayaan sebagai warisan tanpa surat wasiat. Jika kebudayaan itu tercerabut sampai akar-akarnya, maka kebudayaan itu pada akhirnya akan mati dan kehilangan arah, seiring dengan tuntasnya pagelaran dalam sebuah panggung kapitalisme.

Di samping itu, suatu bentuk kebudayaan yang bukan diberlangsungkan demi tujuan industri pun, membutuhkan sense dan kesadaran kritis para pelaku kebudayaan itu sendiri. Buktinya, ketika ramai-ramai orang mencicipi gemerlap dan bisingnya kebudayaan asing, masih ada bule-bule yang datang ke Indonesia untuk mempelajari kesenian yang dianggap “uzur” oleh generasi penerusnya. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari pemerintah? Ada dua hal yang menurut saya perlu dicermati. Pertama, pemberdayaan dan pembiayaan demi langgengnya kebudayaan daerah yang menjadi tonggak kebudayaan nasional. Ironis memang ketika kebudayaan dengan maksud pendidikan kadang harus dengan merogoh kocek pelaku kebudayaan itu sendiri. Kedua, jaminan kebebasan berekspresi dan berkesenian karena aktivitas kebudayaan mencerminkan realitas yang terjadi dalam masyarakat dengan semangat keterbukaan.

* Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Korupsi Itu Halal

Saturday, March 14, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Lihatlah, setiap sholat Jumat para menteri, pejabat negara, pimpinan proyek berdatangan lebih awal, duduk paling depan, dan ketika sholat, sholatnya sangat khusyuk, tetapi korupsinya paling besar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi di Indonesia sudah sampai ke sumsum tulang belakang. Anggapan ini telah melibatkan banyak orang yang tersangkut kejahatan korupsi. Tetapi, yang terjadi adalah sangat sedikitnya kejahatan korupsi tersebut dapat diproses secara hukum. Dengan mudah pula bisa ditelusuri bahwa komitmen kerja pemerintah dan aparat penegak hukum telah gagal memberantas korupsi. Keroposnya komitmen ini pantas diberi “angka merah” dalam rapor kerja pemerintah dan aparat penegak hukum.

Di lingkungan birokrat maupun pengusaha, korupsi sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu buktinya adalah masyarakat harus membayar mahal atas pelayanan publik yang sangat buruk. Apabila ingin mendapat pelayanan yang baik, masyarakat harus menyediakan uang pelicin. Kondisi itu diperparah dengan adanya kecenderungan pegawai negeri sipil harus pandai mengumpulkan uang untuk kenaikan pangkat. Begitu pula tingkat pejabat tinggi, memperluas kroni guna mempertebal saku agar dapat mempertahankan loyalitas bawahan dan jabatannya.

Irama kerja birokrasi yang lamban, bertele-tele, dan tak becus semakin mengikis fungsinya untuk memberikan pelayanan bagi warga negara. Sebaliknya, watak birokrasi ini telah berkembang menjadi birokrasi yang justru harus dilayani. Pengadilan pun bukan lagi tempat orang untuk dilayani dalam meraih keadilan, melainkan telah diubah menjadi “sarang mafia peradilan”. Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung ditengarai sebagai pasar jual beli perkara.

Pemerintahan SBY-JK juga tidak lepas dari cacat “politik”. Penyelesaian kasus lumpur Sidoarjo yang tidak kelar-kelar menunjukkan bagaimana lambannya pemerintah merespons seruan rakyat yang menderita. Diperparah dengan sikap pemerintah yang terkesan melindungi PT. Lapindo Brantas sebagai “aktor utama” tragedi lumpur ini, karena faktor Bakrie yang dekat dengan kekuasaan. Bahkan, SBY-JK menempatkan Aburizal Bakrie sebagai Menko Kesra dalam Kabinet Indonesia Bersatu. SBY-JK dalam hal ini berpihak kepada orang-orang berduit dan melupakan rakyat yang untuk makan sehari-hari pun susah. SBY-JK terbukti lebih melindungi kejahatan korporasi yang dilakukan Lapindo daripada menyelesaikan kasus ini secara hukum.

Untuk memerangi korupsi di kalangan birokrat, memerlukan kampanye massal supaya rakyat sadar pada haknya untuk memperoleh pelayanan publik yang baik. Kemudian, warga yang selalu menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan publik harus mendapat ruang dalam sistem hukum, perlindungan hukum, dan menuntut koruptor ke pengadilan pidana atau perdata.

Pemerintah dengan dana pembangunan dan APBN di tangan, seyogianya dituangkan secara ketat dan terukur dalam program pemulihan ekonomi. Selain itu melalui sasaran yang tepat, dilakukan program peningkatan kesejahteraan rakyat yang terencana. Tetapi memang dengan perilaku DPR dan DPRD, maupun partai-partai politik, pengawasan atas jalannya program pemerintah acap kali gagal dikontrolnya. Korupsi, kebocoran-kebocoran dana pembangunan dan APBN, serta pungutan yang merajalela, telah menjadi penghalang bagi penciptaan iklim investasi yang kondusif. Harapan untuk meningkatkan daya saing ekspor perusahaan-perusahaan nasional, telah dihadang korupsi.

Celakanya, saat ini ada kecenderungan bahwa masyarakat semakin “menuhankan” materi. Mereka memberi tempat istimewa kepada pejabat negara yang korup, status sosial kaya raya, dan gaya hidup mewah. Padahal itu semua mustahil atau tidak mungkin bisa diperoleh dari pendapatan resmi. Pejabat yang royal berderma dianggap sebagai seseorang yang tinggi akhlaknya dan senantiasa didoakan masyarakat, tanpa pernah dipertanyakan dari mana sumber dananya.

Dengan kondisi tersebut, tidaklah mengherankan bila semua orang bermimpi jadi koruptor. Bahkan, jika seorang pejabat itu miskin, akan dianggap tolol dan bodoh. Kalaupun ada kebencian, paling hanya kecemburuan sosial. Pasalnya kalau mereka ada kesempatan, dapat dipastikan akan menirunya, bukan membasminya. Logika berpikir masyarakat pun berubah. Korupsi yang seharusnya diberantas dan dibasmi, malahan dilestarikan. Maka dari itu, tepatlah judul di atas bahwa korupsi itu memang halal!

Memberantas korupsi memang sangat sulit bila dilakukan setengah hati. Presiden Cina Hu Jintao dengan tegas mengatakan, “Sediakan 100 peti mati, 99 peti untuk koruptor, 1 peti untuk saya.” Saat ini belasan ribu orang telah digantung karena korupsi, dan Cina telah menjadi bangsa yang besar dan disegani secara ekonomi dan politik. Indonesia? Masih jauh di awang-awang. Untuk itu, sampai kapankah bangsa ini akan menangis? Hanya Tuhan yang tahu dengan hadiah kiriman bencana-bencana kepada sang Presiden.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Fenomena Fundamentalisme Agama

Wednesday, March 11, 2009

Oleh: Pradono Budi Saputro*

Masih segar di ingatan kita kejadian setahun yang lalu di mana segerombolan massa berpakaian putih-putih yang membawa atribut suatu agama tertentu menyerang orang-orang yang hadir dalam Peringatan Hari Kelahiran Pancasila di Monas, Jakarta. Segerombolan massa itu bahkan tak segan-segan menyerang dan melukai siapapun yang hadir pada acara tersebut, termasuk wanita dan anak-anak. Mereka beralasan bahwa mereka harus melakukan penyerangan demi menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka menganggap acara yang diselenggarakan tersebut ditunggangi oleh suatu kelompok aliran sesat yang memang sudah wajib hukumnya untuk ditumpas. Mereka menganggap tindakan yang mereka lakukan benar, merasa diri sebagai yang paling benar dan kelompok yang berseberangan paham dengan mereka itu tidak benar.

Kembali ke beberapa tahun sebelumnya. Peristiwa serupa di mana sekelompok orang dengan label agama tertentu melakukan tindakan yang merugikan orang banyak, bahkan mengakibatkan korban jiwa terjadi, yaitu peristiwa World Trade Center pada tanggal 11 September 2001 di Amerika Serikat, Bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Bom Bali, Bom Bali II, dan seterusnya. Motifnya serupa, menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya dengan dilandasi fanatisme agama yang berlebihan. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbuatan mereka sudah menjurus ke radikalisme. Tindakan seperti ini mungkin tidak akan berhenti sampai ini saja. Suatu saat, boleh jadi tindakan yang lebih keji dan brutal akan mereka lakukan.

Lalu mengapa hal-hal demikian dapat terjadi? Di Indonesia, era reformasi seolah-olah menjadi “keran kebebasan” yang siap mengalirkan “air perubahan”. Sudah bukan hal yang aneh lagi bahwa sejak era reformasi, berbagai paham dan ideologi banyak bermunculan, bahkan paham-paham ataupun ideologi-ideologi yang dilarang pada era Orde Baru (Orba). Munculnya gerakan garis keras berbasis agama itu pun tidak bisa dilepaskan dari jatuhnya rezim Orba yang cenderung represif terhadap gerakan agama (baca: Islam) pada masa itu. “Angin segar” bernama reformasi memberikan kebebasan bagi seluruh masyarakat untuk berserikat dan berasosiasi sesuai asas yang mereka anut masing-masing. Hal ini pun dimanfaatkan oleh kelompok agama garis keras tersebut untuk mengekspresikan keyakinannya di ruang publik. Sesuatu yang selama rezim Orba ditekan sedemikian rupa. Kemudian, mengapa mereka dapat mengekspresikan keyakinannya sedemikian keras tentunya tak lepas dari kekecewaan masyarakat dengan kegagalan pemerintah dalam mengatasi berbagai problem di negeri ini.

Fenomena yang disebut sebagai fundamentalisme agama tersebut memang tak dapat dilepaskan dari situasi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat kita. Kegagalan pemerintah mengatasi kemiskinan dan masalah-masalah ekonomi selalu membuat masyarakat tergoda untuk melakukan kekerasan dalam menyalurkan aspirasinya. Di samping itu, ketidaktegasan aparat juga turut memberi andil bagi kelangsungan hidup organisasi yang identik dengan kekerasan dalam mengemukakan pendapatnya, termasuk gerakan garis keras berbasis agama tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa selama tidak ada perubahan dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat dan selama aparat tidak tegas dalam menindak kejadian-kejadian seperti itu, hal-hal itu tetap akan terus berlangsung.

* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Kenaikan BBM Sudah Tepat Sasaran…. Mari Kita Dukung!!!!

Saturday, March 07, 2009

Oleh: Ikhsan Edwinsyah*

Coba dicerna dulu sebelum protes…!!

Ada yang punya analisa: harga BBM naek, jumlah rakyat miskin turun..?! Kayak yang dibilang LPEM bahkan sampe 14% lebih kalo. Analisanya sebagai berikut:

>- Harga BBM naek - tadinya rakyat miskin yang naek bis, sekarang jadi jalan kaki.. trus di jalan ketabrak metromini yang ngebut karena nguber setoran (soalnye BBMnya naek) trus mati..

–> RAKYAT MISKIN BERKURANG

>- Tadinya rakyat miskin makan sehari sekali.. trus jadi makan sekali buat 3 hari (karena daya belinya turun).. lama2 mati..

–> RAKYAT MISKIN BERKURANG

>- Tadinya rakyat miskin yang pada sakit masih bisa beli obat generik.. trus gak bisa beli lagi.. ato tadinya ke puskesmas bisa naik angkot sekarang jalan kaki jadi malah mati di jalan..

–> RAKYAT MISKIN BERKURANG

>- Ada rakyat miskin yang jadi stress… mikirin BBM yang naek, saking mikirnya… ampe lupa makan dan minum… akhirnya mati juga.

–> RAKYAT MISKIN BERKURANG

>- Ada rakyat miskin yang kreatif dan berinisiatif… buat menuhin kebutuhan dia nyolong ayam tetangga… ketangkep, digebukin massa… ampe mati juga

–> RAKYAT MISKIN BERKURANG

>- Rakyat miskin di RT 004 berebut kartu BLT yang masih lagi diprint, antem-anteman sampe mati

–> RAKYAT MISKIN BERKURANG

>- Rakyat miskin di RT 004 gak puas dengan kepemimpinan Pak RT yang gak adil, lalu Pak RT diantemi sampe mati

–> RAKYAT MISKIN BERKURANG

>- Rakyat miskin dari RT 004 antri mencairkan dana BLT di kantor pos. Nunggu berdesak-desakan berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu akhirnya mati di kantor pos

–> RAKYAT MISKIN BERKURANG

Kenapa bisa dapet angka 14%.. karena dari 100 orang miskin itu.. yang mengalami kejadian diatas ada 14+5 orang maka dapet angka 8+4+2+5 dibagi 100 kali 100% = 14% + 5%

Demikian analisa ini dibuat secara sederhana, mudah dicerna, anti njlimet..

Jadi kesimpulannya:

Langkah pemerintah naekin BBM sudah cukup tepat… hanya saja naeknya kurang tinggi. Coba kalo dinaekin tinggi-tinggi… pasti makin cepat lagi pengurangan rakyat miskin di negeri ini.

Semoga pemerintah kita membaca analisa ini… dan segera saja naekin lagi BBM setinggi-tingginya biar tambah banyak orang jadi maling ayam, kalo digebukinnya gak sampe mati kan lumayan tuh bisa makan gratis di penjara ketimbang di rumah mau beli makanan yang semakin naik harganya karena makanan diangkut pake transportasi, lha wong BBM naek kok tarif makanan gak boleh naek.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Alasan Mengapa Superhero Tidak Mau Membantu Indonesia

Dengan meningkatnya tingkat kriminalitas di ibukota dewasa ini, pemerintah Indonesia telah mengirimkan proposal penawaran kerja kepada sejumlah superhero dari negara Paman Sam.

Proposal ini menawarkan suatu bentuk kerja sama di mana para superhero diminta kesediaannya untuk bekerja di Indonesia dalam kerja sama dengan Mabes Polri untuk memerangi kriminalitas yang marak terjadi di kota-kota besar Indonesia, khususnya Jakarta.

Tetapi tidak diduga sejumlah besar superhero MENOLAK ajakan kerja sama ini.

Berikut ini adalah alasan penolakan tersebut:

1. BATMAN (Bruce Wayne)

Bruce Wayne menolak ajakan kerja sama ini dengan alasan yang terlalu dibuat-buat. Alasan beliau adalah DIA KEBERATAN MENANGGUNG PAJAK IMPOR BATMOBILE KE INDONESIA. BAYANGKAN SAJA PAJAK IMPOR MOBIL MEWAH YANG SELANGIT, APALAGI UNTUK BATMOBILE YANG SECANGGIH ITU.

2. SPIDERMAN (Peter Parker)

Parker juga menolak ajakan kerja sama ini dengan alasan DI INDONESIA HANYA ADA SEDIKIT SEKALI GEDUNG TINGGI, YANG MENYULITKAN DIA UNTUK BERGELANTUNGAN DARI GEDUNG KE GEDUNG. KALAUPUN ADA GEDUNG TINGGI, JARAKNYA TERLALU BERJAUHAN, SEHINGGA SANGAT MENYULITKAN. BELUM LAGI SAAT BERGELANTUNGAN, DIA TAKUT TERCANTOL KABEL LISTRIK DAN TELEPON YANG BANYAK BERSERAKAN DI LANGIT-LANGIT KOTA BESAR INDONESIA.

3. INVISIBLE GIRL (Susan Storm)

Menolak dengan alasan MINDER. Kemampuan menghilang yang dimilikinya masih jauh kalah dengan kemampuan menghilang orang-orang Indonesia. Berikut wawancara yang dilakukan dengan CNN: SAYA SIH HANYA BISA MENGHILANGKAN DIRI SAYA SENDIRI. BANYAK ORANG DI INDONESIA YANG BUKAN HANYA BISA MENGHILANGKAN DIRI SENDIRI, MALAHAN HUTANG, ASET-ASET NEGARA YANG PERNAH DIKUASAI, SAMPAI HUTANG-HUTANG KORUPSI PUN BISA DIHILANGKAN JUGA. JADI SAYA MINDER NIH…

4. THE THING

Menolak dengan alasan DI INDONESIA SUDAH BANYAK ORANG DENGAN KULIT YANG LEBIH TEBAL DARI SAYA. BUKAN HANYA KEBAL PELURU, MALAHAN SUDAH KEBAL MALU SEGALA.

5. HUMAN TORCH (Johnny Storm)

Menolak juga, sama dengan anggota-anggota Fantastic Four yang lain, karena BELUM JUGA MULAI BEKERJA, DIA SUDAH MENDAPAT PANGGILAN DARI KEJAKSAAN AGUNG KARENA DICURIGAI MENJADI DALANG TERBAKARNYA BEBERAPA PASAR DI INDONESIA.

6. THE FLASH (Barry Allen)

Sebenarnya Allen sudah mempertimbangkan untuk menerima proposal ini, tetapi setelah melakukan survei ke berbagai lembaga pemerintahan dia akhirnya menolak. BAYANGKAN SAJA, UNTUK MENDAPATKAN TANDA TANGAN KTP SAJA ORANG HARUS MENUNGGU BERHARI-HARI. ITU SAJA MASIH HARUS SABAR. JADI KESIMPULAN SAYA, ORANG INDONESIA TIDAK MEMERLUKAN SEORANG SUPERHERO YANG MEMILIKI KEKUATAN BERUPA KECEPATAN. KECEPATAN TIDAK ADA ARTINYA UNTUK BANGSA YANG ALON-ALON ASAL KELAKON.

7. SUPERMAN (Clark Kent )

Sang manusia baja ini menolak dengan sopan, karena SAYA TAKUT DISANGKUTKAN DENGAN TUNTUTAN MELAKUKAN AKSI PORNOGRAFI/PORNOAKSI KARENA CELANA DALAM SAYA DI DEPAN.

8. AQUAMAN

Merasa tidak kuat setelah mencoba pekerjaan baru di Indonesia, karena LAUTNYA SUDAH TERCEMAR LUMPUR LAPINDO

9. WONDER WOMAN

Pada mulanya, sang peace ambassador dari Atlanta ini merasa yakin bisa membantu pemerintah Indonesia. Tetapi setelah pengamatan lebih lanjut, dia akhirnya menolak juga dengan alasan KALAU SAYA MATI DI AMERIKA SERIKAT DALAM MENUNAIKAN TUGAS KAN MASIH BERGENGSI, DIBUNUH MONSTER/VILLAIN. DI INDONESIA BISA-BISA SAYA MATI DIGREBEK FPI GARA-GARA KOSTUM SAYA YANG SUPER SEKSI INI.

10. CAT WOMAN

Menolak setelah ketakutan mendengar lagu KUCING GARONG.

11. HULK (Bruce Banner)

Banner menolak karena JALAN-JALAN DI INDONESIA TERLALU SEMPIT UNTUK UKURAN TUBUHNYA. BELUM LAGI KALAU MENGEJAR VILLAIN SAMPAI KE GANG-GANG PERUMAHAN, NANTI TERKENA PORTAL, SUDAH ITU MASIH DIMINTAI UANG CEPE-AN. MAU AMBIL DARI MANA??? SAYA KAN TIDAK PAKAI BAJU. BELUM LAGI KALAU MENYEBRANG JALAN, DISORAKI DISANGKA SI KOMO.

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Karl Marx: Perjuangan Kelas, Materialisme Sejarah, Negara, dan Agama

Oleh: Ikhsan Edwinsyah*

Karl Marx dan Fridrich Engels bukanlah ilmuan politik pertama yang melakukan kajian intensif tentang konsep kelas-kelas sosial. Bertahun-tahun sebelum mereka sejarahwan borjuasi telah melakukan kajian tentang konsep itu. Mereka mempelajarinya dalam konteks anatomi perjuangan kelasdan tahap-tahap perkembangan kapitalisme dalam masyarakat industri di Eropa, diantara yang terkemuka adalah Robert Owen. Owen mendalami konsep kelas-kelas sosial dan perjuangan kelas dan menjadikannya sebagai tema sentral berbagai penelitian sosialnya. Itu diakui oleh Marx sendiri. Marx mengatakan bahwa ia tidak memiliki kelebihan apapun dengan keberhasilannya menemukan konsep-konsep tentang kelas sosial dan pertarungan antarkelas dalam masyarakat modern.

Di Barat, pemikiran Marx berkembang menjadi suatu aliran baru yang dinamakan ’New Left’ (kiri baru). Para penganutnya adalah kaum intelektual yang bergerak aktif di kampus-kampus terkemuka Eropa dan Amerika. Dalam tulisan ini saya mencoba menguraikan beberapa segi penting teori perjuangan kelas Marx seperti yang ditulis mereka dalam beberapa karyanya, di antaranya, the manifesto of communist party dan the eighteen Brumaire of Bonaparte.

MANIFESTO OF COMMUNIST PARTY

Konsep perjuangan kelas Marx dapat dengan mudah ditelusuri dalam karyanya, ditulis bersama Engels, manifesto partai komunis. Untuk waktu yang cukup lama tulisan Marx dan Engels ini memperoleh popularitas luar biasa sejak pertama kali diterbitkan. Bagi kaum Marxis fanatik, tulisan ini telah manjadi kitab suci disamping karya Marx yang lain, The Capital.

Pemikiran perjuangan kelas Marx dan Engels pada halaman pertama buku itu. Rumusannya sederhana:

”sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini merupakan cerita dari perjuangan kelas. Kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, kepala sesrikat kerja dan para tukang, dengan kata lain, penekan dan yang ditekan, berada pada selalu posisi yang bertentangan satu asm lainnya, dan berlangsung tanpa terputus.”

Dari kalimat itu tersirat beberapa pemikiran penting Marx dan Engels. Pertama, bahwa gagasan sentral dan yang ada dibalik pernyataan itu adlah fakta bahwa sejarah umat manusia diwarnai oleh perjuangan atau pertarungan diantara kelompok-kelompok manusia. Dan dalam bentuknya yang transparan, perjuangan itu bebentuk perjuangan kelas. Menurut Marx bersifat permanen dan merupakan bagian inheren dalam kehidupan sosial.

Kedua, pernyataan ini juga mengandung preposisi bahwa dalam sejarah perkembangan masyarakat selalu terdapat polarisasi. Suatu kelas selalu berada dalam posisi bertentangan dengan kelas-kelas lainnya. Dan kelas yang saling bertentangan ialah kaum penindas dan kaum yang tertindas. Marx berpendapat bahwa dalam proses perkembangannya, masyarakat akan mengalami perpecahan dan kemudian akan terbentuk dua blok kelas yang saling bertarung, kelas borjuasi kapitalis dan kelas proletariat.

Hubungan eksploitatif antara kedua kelas itu menurut Marx akan menciptakan antagonisme kelas yang pada akhirnya akan melahirkan krisis revolusioner. Bila situasi sudah demikian, maka kelas pekerja melalui proses sosial tertentu akan menjadi kelas yang revolusioner. Mereka menjadi kelas yang menghendaki perubahan struktural, mengambil alih kekuasaan dengan paksa dan melakukan perubahan struktur sosial secara revolusioner.

Marx berharap kelas pekerja menjadi kelas penguasa bila berhasil merebut kekuasaan dari kaum borjuasi kapitalis dan memusatkan semua alat-alat produksi di tangan kelas pekerja. Akhir kaum pekerja menentang kelas kapitalis adalh terciptanya masyarakat tanpa kelas. Masyarakat tanpa kelas, menurut Marx, ditandai oleh lenyapnya perbedaan-perbedaan kelas dan produksi dikuasai oleh bangsa serta kekuasaan negara akan kehilangan karakter politiknya. Maksudnya, sistem kekuasaan itu tidak lagi bersifat opresif dan menindas masyarakat.

THE EIGHTEEN BRUMAIRE OF LOUIS BONAPARTE

Marx menulis The Eighteen Brumaire Of Louis Bonaparte sendiri tanpa Engels. Meskipun diakuinya secara tidak langsung sangat mempengaruhi gagasan-gagasan yang terdapat dalam buku itu. Berbeda dengan Manifesto dimana Marx tidak melakukan pengujian atas teori perjuangan kelas, dalam The Eighteen Brumaire Of Louis Bonaparte Marx justru melakukan pengujian teoritis secara sungguh-sungguh. Ia mencoba menilai sejauh mana teorinya mengenai perjuangan kelas dan revolusi proletariat cocok dengan realitas historis spesifik, yaitu kasus kudeta Nspoleon III.

MENGAPA REVOLUSI ITU GAGAL?

Suatu revolusi sudah pasti memliki aktor-aktornya. Dalam revolusi 1848-1851 yang menjadi pelaku utama adalah kaum borjuasi. Mereka terdiri dari kaum aristrokasi pemilik modal, borjuasi industrial, kelas menengah, angkatan bersenjata, lumpen proletariat, kaum cendekiawan, kaum agama, dan penduduk pedesaan. Mereka berhadapan dengan kaum proletariat terdiri dari para petani, para pekerja kota Paris, dan sejumlah pemimpin sosialis. Inilah kelas-kelas sosial yang menurut Marx merupakan aktor utama revolusi Bonaparte.

Revolusi itu digambarkan melalui tiga fase berikut. Pertama, fase yang berlangsung dari 24 Februari-4 Mei 1848 ketika pemerintahan provinsial Louis Philip maupun monarkinya ditumbangkan melalui gerakan pemberontakan. Fase ini merupakan prolog revolusi Bonaparte III. Fase kedua, dari Mei 1848 sampai Mei 1849 ketika terjadinya pertemuan kaum konservatif, reaksioner, dan monarkis dalam suatu sidang konstituante, letupan sosial dalam bentuk pertemuan terjadi Juni 1848 ketika dewan itu bertarung melawan pemerintahan provinsial sosialis dan terjadinya pemberontakan kaum proletar dengan para anggota dewan. Fase ketiga, dimulai ketika Lois Bonaparte terpilih sebagai penguasa Prancis Desember 1848 yang kemudian diikuti oleh berakhirnya Dewan konstituante.

Dalam revolusi berdarah itu kaum proletar dikalahkan. Pemberontakan mereka terhadap kekuasaan rezim despotik lama di bulan Juni 1848 mengakibatkan tiga ribu rakyat dibantai secara kejam dan setelah revolusi tidak kurang dari lima belas ribu lainya dibuang tanpa melalui proses pengadilan. Menurut Marx dengan kekalahan ini suatu tahap revolusioner perjuangan proletar surut kebelakang. Kegagalan kelas proletariat menurut Marx disebabkan orang-orang Prancis tidak bisa melepaskan dirinya dari belenggu mimpi buruk yang menakutkan warisan revolusi Perancis 1789.

Kegagalan itu juga karena para pemimpin gerakan proletariat tidak mengetahui bagaimana cara mengeksploitasi situasi-situasi genting sejak Februari sampai Mei 1848 untuk kepentingan gerakan revolusioner. Mereka juga tidak paham apa sebenarnya keinginan dan aspirasi mereka sendiri, apakah yang dicita-citakan itu sebuah revolusi sosial ataukah bentuk pemerintahan yang yang konstitusional. Ketidakjelasan cita-cita dan ketidakmengertian mereka itu membuat arah perjuangan mereka tak terarah. Faktor kepemimpinan gerakan juga merupakan penyebab kegagalan lain revolusi proletar itu. Pada saat-saat genting ternyata tidak terdapat pemimpin yang memimpin gerakan melawan kaum borjuasi. Keadaaan ini diperparah oleh ketidakpahaman massa akan prinsip-prinsip dinamika revolusi dan aksi-aksi revolusioner serta terbatasnya jumlah massa rakyat yang terlibat dalam gerakan revolusi. Dengan kata lain, revolusi proletar itu bukanlah meminjam istilah revolusi massa.

MATERIALISME SEJARAH

Menurut Marx sejarah umat manusia sejak zaman primitif dibentuk oleh faktor-faktor kebendaaan. Awal sejarah manusia dimulai dengan adanya pemilikan pribadi yang kemudian menimbulkan pertarungan memperebutkan materi atau kekayaan ekonomi. Materi atau bendalah yang menjadi faktor konstitutif proses sosial politik historis kemanusiaan. Marx menyangkal argumen Hegel maupun Weber yang melihat faktor non-bendawi, roh, dan gagasan berpengaruh dan menentukan sejarah. Inilah paham materialisme sejarah Marx.

Untuk memahami materialisme sejarah, kita juga perlu memahami bagaimana paham materialisme Marx. Materialisme adalah faham serba benda. Bertitik tolak dari asumsi itu, Marx meyakini bahwa tahap-tahap perkembangan sejarah ditentukan oleh keberadaan material. Bentuk dan kekuatan produksi meterial tidak saja menentukan proses perkembangan dan hubungan-hubungan sosial manusia, serta formasi politik, tetapi juga pembagian kelas-kelas sosial. Marx berpendapat bahwa hubungan-hubungan sosial sangat erat kaitannya dengan kekuatan-kekuatan produksi baru manusia akan mengubah bentuk-bentuk atau cara produksi mereka.

Jadi, materi baik dalam bentuk modal kekuatan-kekuatan maupun alat-alat produksi merupakan basis sedangkan kehidupan sosial, politik, filsafat, agama, seni, dan negara merupakan suprastruktur.

NEGARA, ALAT PENINDASAN?

Mengapa Marx begitu skeptis terhadap negara? Ada beberapa alasan Marx menilai terjadinya eksploitasi kelas borjuis kapitalis terhadap kelas proletar antara lain karena eksistensi negara. Negara ternyata dijadikan alat penindasan itu. Bagi kelas borjuis, negara digunakan semata-mata untuk memperkuat status-quo dan hegemoni ekonomi dan politik mereka. Kelas proletar, karena tidak menguasai alat dan mode produksi, yang merupakan sumber kekuasaan itu, tidak memiliki akses sedikit pun terhadap negara. Mereka tidak merasa memiliki negara dan terealisasi dari lembaga politik itu. Negara, dengan demikian, bagi Marx ibarat ’monster’ menakutkan.

AGAMA: CANDU RAKYAT DAN ALAT PENINDASAN?

’Agama adalah candu untuk rakyat’ ini merupakan kata-kata Marx ketika ia mengemukakan pandanganya tentang agama. Kata-kata itu merupakan kritiknya terhadap agama. Istilah ’candu’ menunjukan sinisme dan antipati Marx yang akut terhadap agama. Candu mengalihkan perhatian rakyat dari kenyataan sejarah dan melarikan diri dari padanya. Tuhan yang diajarkan agama menjadi tempat pelarian manusia, padahal semua persoalan kehidupan manusia harus bertitik tolak dari manusia dan kembali kepada manusia sendiri. Jadi, Tuhan bukan manusia yang menjadi pusat kehidupan. Menurut Marx agama tidak menjadikan manusia menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi sesuatu yang berada di luar dirinya. Inilah yang menyebabkan manusia dengan agama itu menjadi mahluk yang terasing dari dirinya sendiri. Agama adalah sumber keterasingan manusia.

*Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Rahasia Kecerdasan Orang Yahudi

Artikel Dr Stephen Carr Leon patut menjadi renungan bersama. Stephen menulis dari pengamatan langsung. Setelah berada 3 tahun di Israel karena menjalani housemanship di beberapa rumah sakit di sana. Dirinya melihat ada beberapa hal yang menarik yang dapat ditarik sebagai bahan tesisnya, yaitu "Mengapa Yahudi Pintar?"

Ketika tahun kedua, akhir bulan Desember 1980, Stephen sedang menghitung hari untuk pulang ke California, terlintas di benaknya, apa sebabnya Yahudi begitu pintar? Kenapa Tuhan memberi kelebihan kepada mereka? Apakah ini suatu kebetulan? Atau hasil usaha sendiri?

Maka Stephen tergerak membuat tesis untuk PhD-nya. Sekadar untuk Anda ketahui, tesis ini memakan waktu hampir delapan tahun. Karena harus mengumpulkan data-data yang setepat mungkin.

Marilah kita mulai dengan persiapan awal melahirkan. Di Israel, setelah mengetahui sang ibu sedang mengandung, sang ibu akan sering menyanyi dan bermain piano. Si ibu dan bapak akan membeli buku matematika dan menyelesaikan soal bersama suami.

Stephen sungguh heran karena temannya yang mengandung sering membawa buku matematika dan bertanya beberapa soal yang tak dapat diselesaikan. Kebetulan Stephen suka matematika.

Stephen bertanya, “Apakah ini untuk anak kamu?”

Dia menjawab, "Iya, ini untuk anak saya yang masih di kandungan, saya sedang melatih otaknya, semoga ia menjadi jenius."

Hal ini membuat Stephen tertarik untuk mengikut terus perkembangannya.

Kembali ke matematika tadi, tanpa merasa jenuh si calon ibu mengerjakan latihan matematika sampai genap melahirkan.

Hal lain yang Stephen perhatikan adalah cara makan. Sejak awal mengandung dia suka sekali memakan kacang badam dan korma bersama susu. Tengah hari makanan utamanya roti dan ikan tanpa kepala bersama salad yang dicampur dengan badam dan berbagai jenis kacang-kacangan.

Menurut wanita Yahudi itu, daging ikan sungguh baik untuk perkembangan otak dan kepala ikan mengandung kimia yang tidak baik yang dapat merusak perkembangan dan penumbuhan otak anak di dalam kandungan. Ini adalah adat orang orang Yahudi ketika mengandung. menjadi semacam kewajiban untuk ibu yang sedang mengandung mengonsumsi pil minyak ikan.

Ketika diundang untuk makan malam bersama orang orang Yahudi. Begitu Stephen menceritakan, “Perhatian utama saya adalah menu mereka. Pada setiap undangan yang sama saya perhatikan, mereka gemar sekali memakan ikan (hanya isi atau fillet),” ungkapnya.

Biasanya kalau sudah ada ikan, tidak ada daging. Ikan dan daging tidak ada bersama di satu meja. Menurut keluarga Yahudi, campuran daging dan ikan tak bagus dimakan bersama. Salad dan kacang, harus, terutama kacang badam.

Uniknya, mereka akan makan buah-buahan dahulu sebelum hidangan utama. Jangan terperanjat jika Anda diundang ke rumah Yahudi Anda akan dihidangkan buah-buahan dahulu. Menurut mereka, dengan memakan hidangan kabohidrat (nasi atau roti) dahulu kemudian buah-buahan, ini akan menyebabkan kita merasa ngantuk. Akibatnya lemah dan payah untuk memahami pelajaran di sekolah.

Di Israel, merokok adalah tabu, apabila Anda diundang makan di rumah Yahudi, jangan sekali-kali merokok. Tanpa sungkan mereka akan menyuruh Anda keluar dari rumah mereka. Menyuruh Anda merokok di luar rumah mereka.

Menurut ilmuwan di Universitas Israel, penelitian menunjukkan nikotin dapat merusakkan sel utama pada otak manusia dan akan melekat pada gen. Artinya, keturunan perokok bakal membawa generasi yang cacat otak (bodoh). Suatu penemuan yang dari saintis gen dan DNA Israel.

Perhatian Stephen selanjutnya adalah mengunjungi anak-anak Yahudi. Mereka sangat memperhatikan makanan, makanan awal adalah buah-buahan bersama kacang badam, diikuti dengan menelan pil minyak ikan (cod lever oil).

Dalam pengamatan Stephen, anak-anak Yahudi sungguh cerdas. Rata rata mereka memahami tiga bahasa, Yahudi, Arab, dan Inggris. Sejak kecil mereka telah dilatih bermain piano dan biola. Ini adalah suatu kewajiban. Menurut mereka bermain musik dan memahami not dapat meningkatkan IQ. Sudah tentu bakal menjadikan anak pintar.

Ini menurut saintis Yahudi, hentakan musik dapat merangsang otak.

Tak heran banyak pakar musik dari kaum Yahudi.

Seterusnya di kelas 1 hingga 6, anak anak Yahudi akan diajar matematika berbasis perniagaan. Pelajaran IPA sangat diutamakan. Di dalam pengamatan Stephen, “Perbandingan dengan anak-anak di California, dalam tingkat IQ-nya bisa saya katakan 6 tahun ke belakang!!!” katanya.

Segala pelajaran akan dengan mudah ditangkap oleh anak Yahudi. Selain dari pelajaran tadi olahraga juga menjadi kewajiban bagi mereka. Olahraga yang diutamakan adalah memanah, menembak, dan berlari. Menurut teman Yahudi-nya Stephen, memanah dan menembak dapat melatih otak fokus. Di samping itu menembak bagian dari persiapan untuk membela negara.

Selanjutnya perhatian Stephen ke sekolah tinggi (menengah). Di sini murid-murid digojlok dengan pelajaran sains. Mereka didorong untuk menciptakan produk. Meski proyek mereka kadangkala kelihatannya lucu dan memboroskan, tetap diteliti dengan serius. Apa lagi kalau yang diteliti itu berupa senjata, medis, dan teknik. Ide itu akan dibawa ke jenjang lebih tinggi.

Satu lagi yg di beri keutamaan ialah fakultas ekonomi. Saya sungguh terperanjat melihat mereka begitu agresif dan seriusnya mereka belajar ekonomi. Di akhir tahun di universitas, mahasiswa diharuskan mengerjakan proyek. Mereka harus mempraktekkanya. Anda hanya akan lulus jika tim Anda (10 pelajar setiap kumpulan) dapat keuntungan sebanyak $US 1 juta!

Anda terperanjat?

Itulah kenyataannya.

Kesimpulan, pada teori Stephen adalah, melahirkan anak dan keturunan yang cerdas adalah keharusan. Tentunya bukan perkara yang bisa diselesaikan semalaman. Perlu proses, melewati beberapa generasi mungkin?

Ambil contoh tetangga kita yang terdekat adalah Singapura. Contoh yang penulis ambil sederhana saja, Rokok. Singapura selain menerapkan aturan yang ketat tentang rokok, juga harganya sangat mahal.

Benarkah merokok dapat melahirkan generasi “******!” kata ****** bukan dari penulis, tapi kata itu sendiri dari Stephen Carr Leon sendiri. Dia sudah menemui beberapa bukti menyokong teori ini. “Lihat saja Indonesia,” katanya seperti dalam tulisan itu.

Jika Anda ke Jakarta, di mana saja Anda berada, dari restoran, teater, kebun bunga, hingga ke museum, hidung Anda akan segera mencium bau asak rokok! Berapa harga rokok? Cuma US$ .70cts !!!

“Hasilnya? Dengan penduduknya berjumlah jutaan orang berapa banyak universitas? Hasil apakah yang dapat dibanggakan? Teknologi? Jauh sekali. Adakah mereka dapat berbahasa selain dari bahasa mereka sendiri? Mengapa mereka begitu sukar sekali menguasai bahasa Inggris? Ditangga berapakah kedudukan mereka di pertandingan matematika sedunia? Apakah ini bukan akibat merokok? Anda fikirlah sendiri?”

Sumber:
http://sabili.co.id/
http://main.man3malang.com/index.php...ticle&sid=1818

KLIK DI SINI untuk mendownload artikel ini

Baca selengkapnya...

Afiliasi Partai Politik dengan Kelompok Bisnis

Friday, March 06, 2009

Oleh: Muhammad Iqbal*

Elit partai politik dewasa ini didominasi oleh kalangan pengusaha atau pebisnis. Bisa kita lihat para ketua dan petinggi partai sebagai tokoh pebisnis, bahkan partai-partai baru juga berisikan para kelompok bisnis. Memang untuk mensukseskan strategi partai untuk kemenangan dalam pemilu membutuhkan modal yang relatif besar. Untuk mendapatkan modal yang demikian besarnya partai politik membutuhkan pengusaha dalam urusan modal. Seperti contoh pada partai Golkar yang memiliki salah satu ketua DPP Aburizal Bakrie yang berkecimpung dalam dunia bisnis juga politik dan pemerintahan. Ical, sapaan akrab Aburizal Bakrie yang dipercaya menjadi menteri kordinator kesejahteraan rakyat (MENKOKESRA) periode 2004-2009, memiliki total kekayaan sebesar $5,4 miliar bedasarkan majalah Forbes Asia edisi Desember 2007. Aburizal Bakrie juga menjadi bos Bakrie Group dan perusahaannya juga menjadi rekanan kelompok usaha Cendana.

Tidak ada kejelasan mandat atau kader yang masuk ke tubuh partai dengan kontrol dari basis pendukungnya dan pengorganisasian politik yang tidak matang sehingga partai-partai alternatif yang dibangun belum memadai untuk berkompetisi dengan partai-partai dominan. Kelemahan upaya melembagakan demokrasi langsung adalah kecendrungan untuk menerima relasi yang sudah ada, proses deliberatif yang dilakukan belum memberikan bentuk demokratis yang jelas di dalam forum itu, dan perlunya memperjelas beberapa prinsip dasar mulai dari kejelasan orang yang dilibatkan, hak dan kewajiban anggota, mekanisme pertanggungjawaban wadah yang dibuat dan isu-isu kesetaraan yang diperjuangkan. Keadaan demikian membuat terjadinya kader-kader partai instan yang tidak mempunyai jiwa dan spirit yang kokoh, mentalitas kader lembek adalah hasil dari kaderisasi instan. Tersendatnya proses kaderisasi adalah buah hasil dari kerjasama elit partai dan kelompok pebisnis. Bisa kita lihat pendaftaran caleg pada Pemilu 2009 banyak juga dari kalangan pebisnis, ini menandakan romantisme politik dan bisnis. Yang menjadi persoalan adalah pebisnis menjadi politikus bukanlah faktor mencari uang (modal), melainkan untuk melancarkan usaha perusahaannya dengan menjadi bagian dari pada kekuasaan.

Prinsip atau filosofi para pebisnis adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dan rugi sekecil-kecilnya, hasil dari prinsip ini yang dibawa ke wilayah negara mengakibatkan jumlah penduduk miskin di indonesia meningkat dengan drastis jika dihitung dengan menggunakan kesepakatan MDGs. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (dengan pendapatan sebesar Rp.18,000 per hari) adalah sebanyak 110 juta orang atau hampir separuh dari rakyat indonesia berada di bawah garis kemiskinan.

Warisan Jaringan Kekuasaan (Patronase)
Untuk dapat memasuki top level politik Indonesia dibutuhkan jaringan sampai ke tingkat penguasa, begitu juga dalam kaitannya dengan bisnis dibutuhkan juga rekanan yang demikian. Pada era Soeharto munculnya para konglomerat besar di bawah patronase pemerintah Soeharto. Hal ini mengindikasikan bahwa kelompok bisnis untuk dapat mengamankan serta melebarkan usahanya haruslah mendapatkan ijin dari rezim penguasa, perbuatan seperti ini sangat mencolok terjadi pada era Presiden Soeharto karena pada saat itu Pemerintaha Soeharto memfokuskan pada sektor ekonomi dengan program Repelita. Soeharto juga sangat dekat dengan para pengusaha etnis Tionghoa, seperti Liem Sioe Liong (Sudono Salim) mengawali perjalanan bisnisnya dengan tertatih-tatih. Akhir era 30-an Liem memilih ke selatan untuk menghindari Perang Dunia II dan akhirnya sampai ke Indonesia. Pada saat Soeharto merengkuh kekuasaan, Liem dipercaya Soeharto untuk menjalankan bisnis kelompok Cendana. Kaum Tionghoa menjadi pengusaha besar Indonesia karena mempunyai prinsip “benalu” yang bisa hidup pada zamannya.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Hantu Sosial dan Imajinasi

Oleh: Ari Wibowo*

Fundamentalisme Agama itu ibarat “hantu sosial”. “Fundamentalisme agama,” demikian St. Sunardi, “tidak jauh berbeda dengan ‘hantu’ pada malam hari bagi anak-anak kecil.” Saya takut dan kita semua dibuat resah olehnya. Kita menjadi saksi atas gelaran sweeping yang berujung pada kekerasan, ketika sekelompok orang mengacungkan senjata, berkopiah, dan dengan seruan takbirnya menyerang secara membabibuta orang-orang yang dianggap “di luar lingkaran keselamatan”. Di situ korban-korban seperti sekawanan hamba-hamba berdosa yang menanti hukuman. Hukuman yang berasal dari manusia yang membenarkan dirinya atas dasar-dasar agama.

Menebar ketakutan dengan praktek kekerasan yang dilakukan oleh para anggotanya merupakan strategi kaum fundamentalis. Tubuh dapat meniru mesin. Sadar atau tidak, para anggota kelompok tersebut bekerja menurut komando-komando di luar dirinya. Pelaku bom bunuh diri merupakan contoh ekstrem mesin organik rancangan sang pemimpin. Sistem mekanis ini merupakan akar segala kekerasan massa ketika tubuh meniru mesin yang digerakkan oleh naluri-naluri hewani, dan kehilangan hati nuraninya. Mesin natural ini dapat berkembang menjadi mesin raksasa yang menggilas manusia-manusia yang dianggap sebagai musuh atas dasar komando sang pemimpin. Individu-individu seperti kita ini tinggal menunggu, apakah memilih patuh atau membangkang seiring mesin raksasa mulai terbentuk. Kepatuhan menentukan survivalnya, sementara membangkang sama dengan mati.

Sebenarnya apa itu fundamentalisme dan siapa saja yang bisa disebut fundamentalisme masih problematis karena tidak ada satu pun kelompok yang menyebut dirinya fundamentalis. Kita pun bisa menelan watak fundamentalis apabila enggan menerima kritik, dan tidak mau membuka diri terhadap ide-ide dan nilai-nilai baru. Bisa jadi ungkapan fundamentalisme Islam merupakan propaganda Barat dan orang-orang Muslim yang dekat dengan Barat sebagai isu hangat yang membanjiri arena intelektual. Kita hanya tahu bahwa mereka berusaha setia pada dasar-dasar (fundamen) alkitabiah, entah itu fundamentalisme Islam atau fundamentalisme Kristen. Istilah fundamentalisme disematkan pada kelompok yang bereaksi terhadap ide-ide modernitas yang berkembang di masyarakat. Pada satu sisi, fundamentalisme dianggap “mengganggu”—seperti hantu—kemapanan masyarakat dengan sendi-sendi kebudayaan modern yang bersumber pada Barat. Di sisi lain, kelompok fundamentalis menganggap Barat dan “antek-antek Barat” yang menggagas pembaharuan atas tujuan modernisasi, sebagai sumber kebobrokan moral dan struktur sosial yang memarjinalisasikan mereka.

Ada catatan menarik lainnya: fundamentalisme agama merupakan reaksi atas ketidakberdayaan kelompok tertentu atas proses transformasi sosial dan budaya. Bukan kebetulan maraknya gerakan-gerakan fundamentalis di Aljazair, Mesir, dan Yordania merupakan reaksi atas situasi sosial politik yang tidak adil. Maka, perbaikan sosial, ekonomi, dan politik yang didengungkan Barat dengan mengadopsi gagasan-gagasan Barat, dianggap dapat mengantisipasi gerakan serupa. Bukan perkara mudah tentu saja. Di sana fundamentalisme Muslim berperan sebagai kritik sosial sebagai upaya menanggapi masalah-masalah kemanusiaan di sekitarnya yang disebabkan oleh pola pembangunan yang terlalu berorientasi pada Barat. Para pemikir Muslim di kalangan fundamentalis pun memungkinkan jembatan komunikasi antara ideologi Barat dan Islam.

Mari kita berkaca di negeri sendiri. Dewasa ini di Indonesia khususnya, praktek kekerasan yang dilakukan para anggota kelompoknya merupakan salah satu karakter fundamentalisme agama. Identitas agama menjadi sarana memperoleh dukungan masyarakat. Mengidentifikasi musuh menjadi kedok meraih simpati kawan. Selain itu, fundamentalisme agama cenderung memutlakkan ajaran agama versi mereka, sampai-sampai tidak mau mendengar, bekerjasama dan memahami pihak lain. Dengan kata lain, kelompok ini bersikap tertutup, dan cenderung mengekslusikan diri di tengah dinamika sosial dan kebhinnekaan.

Gejolak-gejolak sosial-keagamaan yang dikatakan sebagai fundamentalisme Islam, berangkat dari imajinasi sosial bahwa kita bisa membangun negeri yang lebih baik. Bukan dengan mengunci pintu rapat-rapat, melainkan dengan membuka diri dalam keberagaman. Pintu terus diketuk, dan orang-orang dari kalangan bangsamu ini, yang sama-sama peduli terhadap nasib bangsa, masih menunggu untuk diberi kesempatan bicara.***

* Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Partai Komunis Jepang

Sunday, March 01, 2009

oleh: Pradono Budi Saputro*


Pendahuluan

Partai Komunis Jepang (Japanese Communist Party/Nihon Kyôsan-tô) — selanjutnya kita sebut JCP — adalah salah satu partai politik yang terdapat di Jepang. Penulis tertarik untuk mengangkat suatu pembahasan mengenai partai ini karena di negeri yang memiliki tradisi religi yang cukup kuat, yang sudah sangat mengakar dalam berbagai bentuk kesenian dan kebudayaan nasionalnya walaupun bukan negara agamis, ternyata terdapat sebuah partai yang mengusung paham komunis. Partai tersebut, walaupun telah lama berdiri, masih tetap eksis sampai sekarang ini. Hal ini patut kita cermati juga. Mengapa bisa demikian?

JCP merupakan partai politik yang didirikan guna mendukung penghapusan kapitalisme dan pendirian masyarakat berbasis sosialisme, demokrasi, dan perdamaian. JCP juga dibangun sebagai oposisi terhadap militerisme di Jepang. JCP bekerja secara aktif dalam rangka mencapai tujuannya, selagi berjuang melawan apa yang digambarkan sebagai “imperialisme dan sekutu subordinatnya”, yaitu modal monopoli. Walaupun merupakan sebuah partai Leninis, JCP tidak mendukung revolusi sosialis. JCP menyatakan tetap setia pada gagasan “revolusi demokratis” untuk mencapai perubahan demokratis dalam bidang politik dan ekonomi, serta perubahan menyeluruh dari kedaulatan nasional Jepang, yang mana dilihat sebagai suatu pelanggaran oleh Aliansi Keamanan Jepang-Amerika Serikat.

JCP adalah partai komunis tak berkuasa terbesar kedua di dunia dengan jumlah anggota yang mencapai sekitar 400.000 orang. Anggotanya terbagi ke dalam lebih kurang 25.000 cabang. Tidak seperti partai komunis di Eropa atau di belahan dunia lainnya, JCP tidak pernah mengalami krisis internal sebagai akibat dari runtuhnya Uni Soviet, ataupun dibubarkan atau mengubah nama maupun sasaran utamanya, seperti yang umumnya dilakukan oleh partai komunis di negara lain. Walaupun kekuatan elektoralnya saat ini terus merosot. Menurut hasil polling, pada pemilihan umum tahun 2000 JCP mendapatkan 11,3 persen suara, pada tahun 2003 8,2 persen suara, dan 7,3 persen pada pemilihan umum yang dilangsungkan pada bulan September 2005. Hal tersebut menunjukkan bahwa, bagaimanapun juga, JCP masih mampu memperoleh hampir 5 juta suara.


Sejarah Berdirinya JCP

JCP didirikan pada tanggal 15 Juli 1922, sebagai sebuah gerakan politik bawah tanah yang ilegal. Dengan adanya Peace Preservation Law (Hukum Pemeliharaan Perdamaian), para anggota JCP mengalami berbagai penindasan dan penyiksaan oleh militer dan polisi Kekaisaran Jepang. JCP merupakan satu-satunya partai politik di Jepang yang menentang keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II. Partai ini baru dinyatakan legal ketika Amerika Serikat (AS) menduduki Jepang pada tahun 1945. Sejak itu, JCP menjadi partai politik yang secara resmi dapat ikut serta pada pemilihan umum di Jepang. Pada saat munculnya perbedaan ideologi antara dua negara komunis besar, yaitu Cina dan Uni Soviet, pada sekitar dekade 1960-an, partai ini menyatakan netralitasnya dan tidak memihak satupun. JCP mencapai puncak kekuatan elektoralnya pada sekitar tahun 1970-an.

JCP sukses mempertahankan sebagian posisinya ketika salah satu partai oposisi utama di Jepang, Japan Socialist Party (Partai Sosialis Jepang), berkurang suaranya menjadi 5,5 persen pada tahun 2005. Partai oposisi besar yang baru, Democratic Party of Japan (Partai Demokratik Jepang), hanya memiliki sedikit perbedaan dalam hal kebijakan yang dibuat dengan partai yang telah lama berkuasa, Liberal Democratic Party (LDP), sehingga tidak ada pilihan lagi bagi para pemilih sayap kiri selain memberikan suaranya ke JCP. JCP juga turut terbantu dengan adanya perbaikan sistem elektoral Jepang baru-baru ini. JCP memang tidak mampu merebut single-member dari daerah pemilihan manapun, tetapi berhasil mempertahankan posisinya dengan memenangkan sebagian anggotanya melalui sistem pemilihan proporsional.

Lam Peng Er, dalam Pacific Affairs pada tahun 1996, berpendapat bahwa kelangsungan hidup JCP sangat krusial bagi kesehatan demokrasi di Jepang. Hal ini ia katakan sebab lanjutnya, “JCP merupakan satu-satunya partai yang belum ter-coop oleh partai-partai konservatif. JCP selama ini melaksanakan peran sebagai anjing penjaga yang mengawasi partai-partai yang berkuasa tanpa rasa takut atau belas kasihan. Lebih penting lagi, JCP sering menawarkan satu-satunya calon oposisi dalam pemilihan gubernur daerah prefektur, pemilihan walikota, dan pemilihan lokal lainnya. Di samping ‘ke-pura-pura berbeda-an’ antara partai-partai non-komunis di tingkat nasional, mereka sering mendukung calon bersama untuk pemilihan gubernur ataupun walikota sehingga semua partai dijamin menjadi bagian dari koalisi yang berkuasa. Jika JCP tidak mengajukan calonnya, hampir bisa dipastikan akan ada suatu kemenangan mutlak dan para pemilih Jepang akan disodori suatu ketentuan yang harus mereka terima tanpa adanya suatu jalan elektoral yang memungkinkan para pemilih tadi untuk melakukan protes. Mempromosikan kandidat-kandidat wanita dalam pemilihan untuk memenangkan suara kaum wanita adalah karakteristik lain partai ini. Kaum wanita yang dipilih di bawah label komunis lebih banyak dibandingkan partai-partai politik lainnya di Jepang.”


Kebijakan-kebijakan JCP

Salah satu sasaran utama JCP adalah menghancurkan aliansi militer Jepang-AS dan melucuti semua pangkalan militer AS di Jepang. JCP ingin menjadikan Jepang sebagai negara yang netral dan tidak memihak kekuatan besar manapun. Hal ini sejalan dengan prinsip menentukan nasib sendiri dan kedaulatan nasional. Di Jepang sendiri ada sekitar 130 pangkalan militer AS dan fasilitas-fasilitas lain yang terkait. Okinawa merupakan pangkalan militer AS yang terbesar, tidak hanya di Jepang tetapi juga di Asia.

JCP juga berusaha keras untuk mengubah kebijakan ekonomi Jepang dari yang selama ini dipandang hanya untuk melayani kepentingan bank-bank dan perusahaan-perusahaan besar menjadi untuk mempertahankan kepentingan rakyat, dan membuat peraturan-peraturan yang demokratis untuk mengontrol kegiatan yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan besar dan melindungi kehidupan dan hak mendasar dari seluruh rakyat.

JCP menentang pengembangan senjata nuklir dan blok-blok militer. JCP juga menolak usaha apapun yang dilakukan untuk merevisi Pasal 9 dalam Konstitusi Jepang yang menyatakan ”(Jepang) tidak akan pernah lagi… dikunjungi dengan kengerian-kengerian yang disebabkan oleh perang melalui tindakan pemerintah” dan mengumumkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Sehubungan dengan isu ekonomi internasional, JCP mendukung pendirian suatu tatanan ekonomi internasional demokratis yang baru yang didasari atas rasa saling menghormati terhadap kedaulatan ekonomi masing-masing negara. JCP memandang AS, perusahaan-perusahaan transnasional, dan modal keuangan internasional mendorong globalisasi, yang dengan serius mempengaruhi ekonomi global, mencakup permasalahan keuangan dan moneter, seperti halnya hubungan Utara-Selatan dan permasalahan lingkungan. JCP mendukung adanya peraturan demokratis yang dapat mengatur aktivitas perusahaan-perusahaan transnasional dan modal keuangan internasional pada suatu skala internasional.

JCP menuntut segera dilaksanakannya perubahan dalam politik luar negeri Jepang. Mengenai perdebatan terhadap resolusi, JCP berpendapat bahwa prioritas itu harus diberikan untuk perdamaian melalui jalur negosiasi, bukan melalui jalur militer. JCP menyatakan bahwa Jepang setia pada Piagam PBB. JCP juga tetap teguh dengan gagasan di mana Jepang sebagai negara Asia harus menghentikan fokus pada diplomasi yang berpusat pada hubungan dengan AS dan negara-negara G8 (negara-negara maju), dan meletakkan diplomasi terhadap negara-negara Asia sebagai prioritas dalam hal hubungan luar negeri. JCP mendukung Jepang untuk menetapkan kebijakan luar negeri independen yang sesuai dengan kepentingan rakyat Jepang dan menolak mengikuti kekuatan-kekuatan asing yang “kebal kritik”. JCP juga mendukung Jepang untuk menyatakan penyesalan dan permintaan maafnya atas segala tindakan yang dilakukan selama Perang Dunia II sebagai salah satu syarat untuk mengembangkan hubungan baik dengan negara-negara Asia lainnya, terutama yang pernah dijajah oleh Jepang.

Terhadap terorisme internasional, JCP berpendirian bahwa hanya dengan “melingkari” angkatan perang dari ancaman teror melalui solidaritas internasional yang kuat, dengan PBB sebagai pusatnya, dapat menghapuskan terorisme. JCP berpendapat bahwa dengan ikut serta terjun dalam kancah peperangan sebagai tanggapan terhadap terorisme hanya akan menghasilkan suatu pertentangan yang kemudian malah akan semakin menyuburkan bibit-bibit terorisme.

JCP dengan tegas menentang Kekaisaran, baik pada masa sebelum Perang Dunia maupun pada masa setelah Perang Dunia. Baru-baru ini, JCP menyatakan bahwa mereka tidak menentang Kaisar sebagai kepala negara jika ia tidak mempunyai kekuasaan dan hanya merupakan seorang figur.

JCP selama bertahun-tahun memiliki hubungan yang dekat dengan partai yang berkuasa di Korea Utara, yaitu Workers Party of Korea (Partai Pekerja Korea). Tetapi beberapa tahun belakangan ini, JCP mengutuk penculikan-penculikan yang dilakukan terhadap warga Jepang di Korea Utara dan mengklaim tidak lagi mempunyai hubungan apapun Korea Utara. Sejalan dengan gagasan mengenai penentuan nasib sendiri, bagaimanapun, JCP menentang perubahan rezim yang berkuasa di sana.


Organisasi yang Berafiliasi dengan JCP

Salah satu organisasi yang berafiliasi dengan JCP adalah Democratic Youth League of Japan. Democratic Youth League of Japan merupakan organisasi sayap (onderbouw) resmi JCP yang bergerak di bidang kepemudaan.


Penutup

Walaupun merupakan partai politik yang menganut ideologi komunis, JCP masih tetap eksis hingga saat ini, sekalipun berada di negeri dengan memiliki tradisi religi yang cukup mengakar meskipun bukan merupakan negara agamis. Runtuhnya Uni Soviet, sebagai “induk” komunisme tidak membuat partai ini bubar dengan sendirinya ataupun mengubah asas dan kebijakannya, seperti yang umumnya dilakukan oleh partai-partai komunis lainnya di dunia jika ingin tetap eksis. Kesetiaan para anggota dan konstituennya dan kebijakan-kebijakan yang dibuat partai ini menjadikannya tetap mendapatkan dukungan, walaupun dalam beberapa tahun ini terus mengalami kemerosotan. Walaupun begitu, JCP masih tetap berpeluang untuk terus berkembang menjadi kekuatan utama dalam kancah perpolitikan Jepang di masa-masa mendatang karena masyarakat Jepang sendiri sudah mulai tidak lagi mendukung sepenuhnya pemerintahan yang sedang berkuasa saat ini, yang notabene dipegang oleh LDP yang telah berkuasa selama puluhan tahun, akibat kebijakan-kebijakan kontroversialnya.


* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini.

Baca selengkapnya...