KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Masa Depan Neoliberalisme

Wednesday, May 27, 2009

Oleh: Toto Sugiarto*

Semua pasangan capres-cawapres mengklaim beraliran ekonomi kerakyatan. Tak terkecuali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono) yang seringkali dimasukkan ke kategori tokoh beraliran neoliberal.

Ia mengecap diri sebagai prorakyat. Sementara Boediono, yang selama ini dikenal sebagai ekonom neoliberal, menyatakan keheranannya dengan cap tersebut seraya menyebutkan bahwa dirinya selalu berpikir tentang kesejahteraan rakyat.

Benarkah pemerintahan Yudhoyono menganut aliran ekonomi kerakyatan? Ataukah klaim SBY-Boediono hanya sebatas strategi kampanye? Kenapa neoliberal, meskipun diyakini kebenarannya, tidak bisa dijual?

Lima Tahun Pemerintahan

Aliran ekonomi yang dianut suatu pemerintahan selalu bisa dilihat dari kebijakannya dan respons pelaku ekonomi terhadap kebijakan tersebut.

Jika kebijakan pemerintah bersifat protektif untuk mengutamakan kepentingan nasional, misalnya melindungi produksi dalam negeri dengan cara menetapkan bea masuk yang tinggi bagi produk-produk tertentu, pengusaha biasanya akan merespons dengan memaksimalkan penggunaan produk lokal untuk bahan baku barang yang ia produksi.

Sebaliknya, jika pemerintah tidak peduli terhadap terjaminnya kepentingan dalam negeri, ia akan menerapkan pasar bebas tanpa reserve.

Dalam hal perdagangan internasional, ia akan menetapkan bea masuk serendah mungkin, bahkan nol persen. Sebagai respons terhadap sikap pemerintah seperti itu, pengusaha akan melirik ke luar. Mereka akan mencari produk bahan baku semurah mungkin, yaitu dengan cara mengimpor. Akibatnya, produsen dalam negeri merana.

Bagaimana dengan kondisi republik setelah hampir lima tahun pemerintahan Presiden Yudhoyono, dengan Boediono juga termasuk di dalamnya? Apakah industri kita, dari hulu sampai hilir, bergairah dan mengalami kemajuan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat dilakukan secara induktif, yaitu dengan cara mengambil beberapa contoh fakta kontemporer sebagai bahan pertimbangan. Pertama, produsen susu dan mi sekarang ini lebih suka menggunakan bahan mentah impor dibanding menggunakan hasil produksi petani indonesia. Kedua, furnitur China membanjiri pasar dan membunuh furnitur dalam negeri, padahal kayunya banyak berasal dari pembabatan hutan di Indonesia. Ketiga, industri otomotif dan elektronik tak beranjak statusnya hanya sebagai “penjahit” merek-merek Jepang, Korea, China, dan India. Keempat, batik asal China mulai mendominasi pasar dan meminggirkan batik Pekalongan, Solo, Yogyakarta, dan batik Indonesia lainnya.

Semuanya terjadi karena kebijakan pemerintah yang menerapkan bea impor sangat rendah. Pemerintah tampak tidak memiliki kehendak untuk melindungi industri dan pertanian dalam negeri.

Selain itu, terdapat fakta lainnya, yaitu pertama, menjamurnya peritel raksasa sampai ke area perumahan sehingga membuat banyak toko kecil gulung tikar. Kedua, menderitanya rakyat yang tanah dan rumahnya tenggelam oleh semburan lumpur yang diakibatkan oleh kesalahan penambangan. Ketiga, ekspor energi yang terus dilakukan tanpa mempertimbangkan tercukupinya kebutuhan dalam negeri.

Semuanya merupakan akibat dari terlalu berpihaknya pemerintah pada pengusaha besar.

Berdasarkan beberapa fakta di atas, pemerintahan Yudhoyono dapat dikategorikan sebagai pemerintahan beraliran neoliberal. Pemerintah yang sedang berjalan sekarang ini adalah pemerintahan propasar bebas dalam pengertian memberi keleluasaan dan perlindungan penuh bagi pemain besar walaupun keleluasaan tersebut berakibat “kematian” bagi kalangan lain (pedagang dan rakyat kecil).

Adapun pernyataan Boediono bahwa dirinya selalu berpikir tentang kesejahteraan rakyat tidak berarti bahwa ia bukan penganut neoliberalisme. Ia penganut lassez faire, dalam arti percaya bahwa dengan kekuatan, dinamika, dan logika pasar, masyarakat yang menerapkan sistem ekonomi bebas pada akhirnya akan mencapai kesejahteraan.

Bagi penganut faham neoliberalisme, kesejahteraan adalah hasil dari proses mekanisme pasar bebas. Itulah cara pencapaian kesejahteraan yang selalu dipikirkan Boediono.

Hal itu tecermin dari pernyataan Boediono bahwa intervensi negara dibutuhkan, namun hendaknya tidak teralu besar agar kreativitas dunia usaha tidak hilang. Pandangan Boediono ini senada dengan Milton Friedman, Bapak Neoliberalisme, yang menyatakan bahwa jika suatu negara ingin mencapai kemajuan ekonomi, peran negara harus diminimalisasi seraya memberikan kebebasan penuh bagi dunia usaha.

Menguntungkan Elite

Tidak adanya kandidat yang berani mengakui diri beraliran neoliberal, padahal dalam keseharian ketika memerintah menunjukkan hal itu, memberi kesan faham ekonomi tersebut merupakan faham yang buruk. Neoliberalisme bukan hanya tidak akan laku dijual, melainkan juga kontraproduktif bagi proses pemenangan kandidat tersebut.

Apakah neoliberalisme bukan “barang jualan” yang bagus? Neoliberalisme sebenarnya bisa menjadi “barang” yang laris manis, yaitu di negara yang masyarakatnya telah mencapai taraf ekonomi yang tinggi. Masyarakat seperti itu adalah masyarakat yang mampu bertahan dalam persaingan.

Dalam masyarakat yang mayoritas taraf ekonominya rendah seperti Indonesia, neoliberalisme hampir dilihat sebagai musuh. Neoliberalisme dipandang sebagai sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elite.

Karena itu, dalam setiap pemilu di negara yang rakyatnya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, neoliberalisme merupakan kartu mati. Calon yang dalam dirinya tertempel citra neolib sulit untuk mendapat simpati publik.

Meski demikian, karena sistem neoliberal merupakan sistem yang paling menguntungkan dan memudahkan bagi pemerintah, siapa pun yang memenangi pilpres nanti hampir dapat dipastikan akan menerapkan sistem propasar bebas tersebut. Apalagi jika SBY-Boediono (yang berdasarkan analisis di atas telah menerapkan sistem neoliberal saat ini) yang memenangi persaingan, dapat dipastikan neoliberalisme akan semakin terkonsolidasi di negeri ini.

* Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

Diambil dari Koran Jakarta Jumat, 22 Mei 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di website Koran Jakarta

Baca selengkapnya...

Platform Asli dan Asli tapi Palsu

Oleh: Ahmad Erani Yustika*

Tadinya saya termasuk orang yang bergembira dengan komposisi tiga capres/cawapres yang akan bertarung dalam "presidential race" kali ini.

Kegembiraan itu dipicu oleh kemungkinan adanya pertandingan gagasan ekonomi yang menarik karena perbedaan spektrum yang luas antarkandidat. Pertama, incumbent, dengan segala prestasi dan keterbatasannya, mudah dinilai platform ekonominya dengan melihat pekerjaan yang dilakukan sekitar lima tahun terakhir.

Kedua, pasangan Megawati-Prabowo merupakan kombinasi yang kompleks, mengingat perbedaan antara kebijakan ekonomi yang dilakukan Megawati selama menjadi presiden dengan platform Prabowo (Partai Gerindra). Ketiga, pasangan JK-Wiranto mengemukakan platform ekonomi yang tampak tidak terlalu "heroik", tetapi disemangati oleh realitas ekonomi yang ada di lapangan. Ketiga dasar platform itulah yang membuat saya berpikir akan terjadi pertarungan ide yang apik.

"Crouching Tiger"

Bayangan pertarungan ide yang keras dan menarik itu mendadak punah ketika deklarasi SBY-Boediono dilakukan. Orasi Boediono sebagian diarahkan untuk membalik serangan yang menuduhnya sebagai ekonom "neoliberal".

Secara eksplisit Boediono menyatakan tidak percaya dengan mekanisme pasar bebas dan justru menghendaki intervensi negara melalui regulasi yang kuat. Tentu saja ini menjadi antiklimaks karena pertarungan ide "head to head" yang diharapkan itu menjadi pupus. Terhadap pernyataan Boediono tersebut terdapat dua hal yang dapat dikomentari. Pertama, sebetulnya Boediono perlu memberi pelajaran yang bagus kepada publik mengenai jalur neoliberal.

Pembelajaran itu tidak lain adalah memberi argumentasi rasionalitas di balik paham itu, tentu di samping kelemahan yang ada di baliknya. Sebaliknya, saya malah menangkap adanya ketakutan yang berlebihan terhadap tuduhan itu, sehingga mesti disembunyikan dalam desain platform ekonominya. Kedua, pengelakan itu berpotensi menjadi petaka jika dikaitkan dengan kebijakan yang diproduksi pemerintah selama ini, khususnya 4-5 tahun terakhir.

Pada saat publik memberikan stempel neoliberalisme terhadap platform ekonomi pemerintahan sekarang (di mana Boediono menjadi pemandunya), tentu tidak dalam posisi menganggap segalanya begitu bebas dan tanpa perlu adanya intervensi negara.

Neoliberalisme dalam pemaknaan yang akademik dicirikan dengan kepercayaan mekanisme pasar untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi, sektor swasta diberi ruang yang besar dalam kegiatan ekonomi, modal dan investasi menjadi motor pembangunan ekonomi, intensitas perdagangan internasional, dan penanaman modal/utang asing sebagai pendorong pembangunan.

Pertanyaannya, bukankah pilar-pilar seperti itu yang dipraktikkan selama ini? Bukankah di samping ada kelemahan, pendekatan itu juga memproduksi keunggulan (seperti yang diklaim selama ini)? Karena itu, penyangkalan terhadap cap neoliberalisme itu sebenarnya tidak perlu dilakukan. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah pernyataan terbuka tentang rasionalitas ide itu untuk membangun Indonesia.

Pada forum-forum seminar dan diskusi gagasan itu terus dijual dan dipamerkan, tapi mengapa dalam pertandingan politik mereka justru seperti "macan merunduk" (crouching tiger)? Publik mengharapkan Boediono dan tim ekonominya justru berdiri tegak menjelaskan pilihan paham dan kebijakan ekonomi yang diambil selama ini, bukannya kabur/merunduk dengan penjelasan yang amat sumir.

Sebab, sebagai sebuah paham, neoliberalisme juga layak diberi panggung dalam pilihan kebijakan ekonomi di Indonesia. Sayangnya, penganut dan penganjur mazhab ini tidak memiliki kepercayaan yang teguh atas paham yang diyakininya (setidaknya dalam medan politik). Inilah yang nantinya menghadirkan selisih jalan antara platform yang diucapkan dan kebijakan yang diimplementasikan.

Uji Konsep Alternatif

Sementara itu, terdapat peluang yang besar bagi penganjur paham yang lain untuk mencari alternatif yang segar bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Sebab, sekurangnya selama 4 dekade terakhir konsep pembangunan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola perekonomian Indonesia bisa dikatakan satu warna.

Jika istilah neoliberalisme dianggap terlalu keras, setidaknya selama ini pemerintah memberi peran yang sangat besar bagi pasar untuk mengalokasikan kegiatan ekonomi. Selain itu intervensi pemerintah kian dilucuti, semangat yang menggebu untuk mendatangkan penanaman modal asing dan utang luar negeri, serta dukungan terhadap liberalisasi keuangan dan perdagangan.

Hasilnya, di samping prestasi-prestasi ekonomi yang dipublikasikan dan diklaim selama ini, seperti pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makroekonomi; juga menyembulkan luka pembangunan yang tidak kalah banyak, misalnya kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, eksploitasi sumber daya alam, ketergantungan utang, dan porsi pelaku ekonomi asing yang kian membesar. Tawaran pasangan JK-Wiranto yang mengusung tema "kemandirian ekonomi" harus diperkuat dan diuji dengan agenda ekonomi yang lebih detail, sehingga tidak jatuh dalam jargon kosong yang sulit diimplementasikan.

Dalam beberapa hal agenda detail itu sudah diperinci cukup jelas, misalnya mengurangi atau meniadakan campur tangan konsultan dan lembaga asing (multilateral), fokus kepada pembangunan sektor riil ketimbang sektor keuangan/pasar modal, dan pemihakan terhadap pelaku ekonomi kecil dan sumber daya ekonomi lokal. Jika agenda-agenda ini dijelmakan dalam kebijakan ekonomi, maka potensi untuk mengubah tampilan ekonomi Indonesia menjadi cukup besar.

Sekurangnya, dengan fokus kepada sektor riil, maka problem pengangguran akan teratasi karena pembukaan kesempatan kerja lebih banyak di sektor riil, bukan sektor keuangan. Hasilnya, persoalan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan juga terselesaikan dengan sendirinya. Seterusnya, tawaran pasangan Megawati-Prabowo juga tidak kalah menawan. Hanya, publik dalam beberapa hal agak skeptis akibat sejarah pemerintahan Megawati sebelumnya yang tidak kalah masif dalam melakukan liberalisasi, seperti penjualan BUMN.

Sungguhpun begitu, tanpa menengok kisah lampau itu, platform ekonomi yang diusung Prabowo (seperti dipahami, Prabowo akan diberi wewenang mengurus ekonomi jika pasangan ini terpilih) memberikan warna yang kontras. Antusiasmenya yang begitu menyala untuk membangun ekonomi kerakyatan lewat pembelaan terhadap kaum tani, nelayan, buruh, sektor informal, pasar tradisional, dan lainnya perlu diapresiasi karena sekurang-kurangnya dia tidak takut terhadap resistensi dari konstituen lain (misalnya pengusaha besar).

Akhirnya, risalah ini semoga bermanfaat untuk memberi penilaian platform pasangan mana yang berpotensi menghadirkan kesatuan napas antara gagasan dan tindakan (platform asli), serta platform mana yang cuma ditampilkan untuk menjala para pemilih (platform aspal alias asli tapi palsu).

* Direktur Eksekutif Indef, Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya

Diambil dari Harian Seputar Indonesia Selasa, 26 Mei 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Okezone

Baca selengkapnya...

Merapuhnya Politik Humanistis?

Saturday, May 23, 2009

Oleh: Novri Susan*

Hiruk-pikuk kontestasi meraih kekuasaan tampaknya membawa khilaf humanistis para elite politik. Mereka menjadi lupa makna kekuasaan dalam demokrasi adalah amanah warga untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat.

Bukan proses meraih posisi kekuasaan an sich. Reaksi kekecewaan para elite parpol-parpol terhadap jatuhnya pilihan cawapres SBY kepada sosok Boediono yang nonparpol adalah gambaran jelas dari khilaf humanistis itu.

Walaupun reaksi politis tersebut tidak haram dalam sistem demokrasi yang terbuka bagi eskpresi kepentingan. Namun pola perilaku para elite politik tersebut memperlihatkan absennya paham politik humanistis dari kesadaran para elite politik.

Paham Politik

Pertemuan PAN, PPP, dan PKS yang sempat menghasilkan penundaan kontrak politik untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat memperlihatkan kegelisahan dari hasrat berkuasa yang terancam. Parpol-parpol tersebut selama ini cukup yakin akan mendapatkan jatah kekuasaan melalui cawapres yang diajukan sehingga keputusan SBY merupakan berita buruk terhadap hasrat berkuasa mereka.

Walaupun saat ini parpol-parpol tersebut telah kembali masuk dalam barisan koalisi Demokrat, perilaku para elite di atas bersubstansi pada hasrat kekuasaan semata. Paham politik humanistis akan berbeda dalam menanggapi keputusan politik SBY dan partainya.

Tanggapan itu bisa muncul melalui pertanyaan mengenai konsep humanistis, apakah yang dimiliki cawapres pilihan SBY dalam rangka mendampingi presiden menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa ini? Melalui pertanyaan-pertanyaan humanistis sebenarnya para elite parpol bisa mendapatkan legitimasi kritiknya terhadap SBY.

Kritik politik yang tidak hanya memuat hasrat berkuasa, tetapi juga hasrat humanistis. Lebih jauh lagi, kritik politik humanistis bisa menolong rakyat menemukan calon rezim yang bisa menjadi penolong bagi kesusahan mereka. Namun faktanya sampai detik ini, pertanyaan tersebut tidak muncul sebagai wacana dalam ruang kontestasi capres 2009.

Negara Humanistis

Negara yang mampu menciptakan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas sosial rakyatnya selalu berakar pada paham politik humanistis rezim berkuasa (Tilly, 2007). Hal ini merupakan logika politik sederhana dalam negara demokrasi. Karena politik humanistis menciptakan kebijakan-kebijakan yang berupaya menyelamatkan rakyat dari penderitaan.

Bukan kebijakan yang memarginalkan rakyat kecil seperti kebijakan penggusuran wong cilik tanpa pemecahan masalah, penetapan biaya pendidikan yang melangit, dan perundangan yang hanya menguntungkan pemilik modal besar daripada sektor riil yang bermodal kecil. Walaupun demikian, secara real politic demokrasi, menciptakan negara humanistis sebenarnya adalah proses kontestasi dari berbagai hasrat seperti antara hasrat berkuasa dan hasrat humanistis.

Hanya saja yang mengkhawatirkan, kontestasi menjadi rezim di negara ini hanya terjadi antara hasrat berkuasa dan hasrat berkuasa saja. Jika dilihat secara jujur dan kritis, pasangan SBY-Kalla yang menang dalam kontestasi pemilu 2004 pun merupakan hasil dari kontestasi di antara hasrat-hasrat kekuasaan.

Bertemunya SBY dan Kalla yang kader Golkar bukanlah refleksi koalisi politik humanistis, melainkan perselingkuhan Kalla di belakang Partai Golkar yang memiliki capres sendiri. Perselingkuhan memperlihatkan bahwa Kalla dan faksi-faksinya tidak bisa menahan hasrat berkuasanya.

Pada konteks kontestasi kekuasaan 2009 melalui pemilu presiden dan wakilnya, perilaku para elite politik kembali mempertontonkan kontestasi di antara hasrat-hasrat kekuasaan. Kalla merangkul Wiranto yang menjadi rival pada Pemilu 2004 sebagai sebagai cawapresnya di tahun ini.

Sebelum pemilu legislatif, Kalla memberi sindiran politik kepada Wiranto dan partainya sebagai penumpang gelap Partai Golkar. Namun, uniknya, mereka berpasangan sebagai capres dan cawapres pada 2009. Hal ini tampaknya tidak lepas dari keterpojokan JK yang sudah tidak bisa kembali sebagai cawapres SBY yang berarti ancaman terhadap posisi kekuasaan.

Refleksi dari hasrat berkuasa ini juga diperlihatkan Megawati yang menggandeng Prabowo. Megawati sudah tidak punya pilihan cawapres yang cukup populis untuk mendongkrak suara. Memang, keputusan tersebut harus mengorbankan ingatan kolektif PDI Perjuangan sendiri bahwa di antara Megawati dan Prabowo terdapat sejarah kekerasan yang menjadi tragedi.

Pada dasarnya kontestasi dari hasrat-hasrat kekuasaan elite politik mengaburkan konsep negara humanistis. Pada kondisi ini bagaimana mungkin menciptakan negara yang kebijakan-kebijakannya prorakyat?

Natur Demokrasi

Pada Pemilu Presiden 2009 ini rakyat tengah dihadapkan pada pilihan yang sangat sempit. Karena calon-calon rezim negara ini adalah pantulan kesadaran dari hasrat kekuasaan semata. Warga yang memiliki political question kritis (kecerdasan politik) bisa jadi memilih tidak memilih alias golput walaupun sebagian kalangan menilai golput merupakan pilihan yang kurang bijak dan putus asa.

Karena pilihan untuk tidak menjadi golput bukanlah merupakan cacat moral di tengah hasrat-hasrat kekuasaan yang berkontestasi. Namun ada konsekuensi lain dari pilihan menjadi tidak golput berkaitan upaya terbentuknya negara humanistis, yaitu kembali pada natur demokrasi dengan mengembalikan kekuasaan rakyat dalam politik negara. Rakyat perlu menyadari bahwa merekalah yang berkuasa.

Mekanisme penggunaan kekuasaan rakyat melalui mekanisme politik demokrasi modern harus diinternalisasi sesempurna mungkin. Rakyat perlu mengonsolidasi kapasitas negosiasi politik dalam arena yang disediakan mekanisme demokrasi, memperkuat gerakan tuntutan warga, dan membangun kerja sama lintas kelompok rakyat berbasis pada kepentingan kemanusiaan untuk memengaruhi kebijakan negara.

Melalui natur demokrasi, upaya menciptakan negara humanistis menjadi lebih mungkin daripada hanya menggantungkan harapan pada para elite yang rapuh paham politik humanistisnya.

* Dosen FISIP Unair Surabaya dan Direktur Program DCGI

Diambil dari Harian Seputar Indonesia Jumat, 22 Mei 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Okezone

Baca selengkapnya...

Korupsi di Birokrat

Monday, May 18, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Di lingkungan birokrat maupun pengusaha, korupsi sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu buktinya, masyarakat harus membayar mahal pelayanan publik yang buruk. Apabila ingin mendapat pelayanan yang baik, masyarakat harus menyediakan uang pelicin. Kondisi itu diperparah dengan adanya kecenderungan pegawai negeri sipil, harus pandai mengumpulkan uang untuk kenaikan pangkat. Begitu pula tingkat pejabat tinggi, memperluas kroni guna mempertebal saku agar dapat mempertahankan loyalitas bawahan dan jabatannya.

Pada rezim yang memiliki otoritas kuat, pemberantasan korupsi secara konvensional, seperti perbaikan pengawasan melalui institusi negara, terbukti sudah tidak efektif lagi. Pada akhirnya rakyat tetap saja menjadi korban. Apalagi saat ini sudah terbangun mitos di masyarakat korupsi hampir mustahil dibasmi. Korupsi hanya menguntungkan segelintir orang kaya, penguasa, dan kroni, sementara yang memikul akibatnya seluruh rakyat.

Upaya Memerangi Korupsi

Untuk memerangi korupsi di kalangan birokrat, memerlukan kampanye massal supaya rakyat sadar pada haknya, memperoleh pelayanan publik yang baik. Kemudian warga yang selalu menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan publik, harus mendapat ruang dalam sistem hukum, perlindungan hukum, dan menuntut koruptor ke pengadilan pidana atau perdata.

Celakanya, saat ini ada kecenderungan dari masyarakat semakin “menuhankan” materi. Mereka memberi tempat istimewa kepada pejabat negara yang korup, status sosial kaya raya, dan gaya hidup mewah. Padahal itu semua mustahil atau tidak mungkin bisa diperoleh dari pendapatan resmi. Kedudukan pejabat seperti itu malah mendapat tempat cukup tinggi di masyarakat, diidolakan dan dirubung. Pejabat yang royal berderma, dianggap seseorang yang tinggi ahlaknya dan senantiasa didoakan masyarakat, tanpa pernah dipertanyakan dari mana sumber dananya.

Dalam kondisi tersebut, tidaklah mengherankan bila semua orang bermimpi jadi koruptor. Bahkan kalau seorang pejabat itu miskin, dianggap tolol dan bodoh. Kalaupun ada kebencian, paling hanya kecemburuan sosial. Pasalnya kalau mereka ada kesempatan dapat dipastikan akan menirunya, bukan membasmi.

Kondisi sama terjadi pula di tubuh para pengusaha, untuk mengakhiri patronasi politik dalam bisnisnya harus dimulai dari organisasi profesi dan asosiasi. Itu bisa dilakukan dengan meningkatkan standar etika di kalangan mereka. Salah satunya harus ada kesadaran, transaksi bisnis kolutif dan mengabaikan hukum akan merugikan kepentingan jangka panjang bisnis mereka. Akibatnya bisa melahirkan biaya tinggi yang membebani konsumen, menekan upah buruh, menciptakan persaingan tidak sehat, dan merusak sumber daya alam.

Mandul

Perlu juga disoroti kemandulan fungsi kontrol lembaga legislatif, yang tidak bisa dilepaskan dari sosok para anggota dewan sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang terjun ke dunia politik dengan tujuan mendekatkan atau memiliki akses ke sumber ekonomi atau melindungi kepentingan bisnisnya. Buktinya, tidak sedikit pejabat dan anggota DPR menjadi kontraktor pengadaan publik atau proyek pembangunan yang dibiayai pemerintah. Dan parahnya lagi para wakil rakyat kita itu sering bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memuluskan keinginan mereka itu. Itu merupakan suatu bukti bahwa korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga sudah merambah ke tingkat-tingkat daerah. Satu contoh kasus adalah kasus Andi Mustaqim, staf salah satu anggota DPR, yang diduga kuat menjadi perantara proyek-proyek pemerintah di beberapa daerah.

Begitu pula dengan pemilihan calon legislatif, mutlak jadi kewenangan orang kuat dalam parpol pusat maupun daerah. Tidak sedikit mereka yang berhasil duduk di DPR ini dicukongi pengusaha atau bahkan mereka juga adalah pengusaha, sehingga lazim disebut “pejabatusaha”. Terkadang mereka memanfaatkan jabatan mereka sebagai anggota dewan untuk menyertakan perusahaan-perusahaan mereka dalam proyek-proyek pemerintah.

Di bidang yudikatif juga begitu. Mahkamah Agung yang memiliki wewenang yudikasi tertinggi malah sedang terkena kasus jual beli perkara yang melibatkan semua elemen MA, mulai dari tukang parkir sampai ketua MA-nya sendiri, yang sedang diperiksa KPK menyangkut masalah korupsi pengusaha Probosutedjo. Saya menyambut baik dibentuknya Komisi Yudisial, yang diketuai Busyro Muqoddas, untuk memeriksa hakim-hakim yang diduga melakukan penyelewengan-penyelewengan serta membersihkan internal MA dari unprofessional conduct para hakim.

Memberantas korupsi sangat sulit, salah satu cara menekannya yaitu melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat. Hanya saja perlu diingat, gerakan antikorupsi haruslah merupakan gerakan sosial. Tolok ukur paling penting, yaitu seberapa jauh korupsi berkaitan dengan kepentingan umum dan merugikan keuangan negara. Pasalnya tidak mungkin bisa menyelesaikan semua kasus korupsi dan sangat membingungkan karena begitu banyaknya kasus. Semoga saja seluruh elemen pemerintahan, tidak hanya KPK, dapat terus memerangi korupsi sesuai dengan instruksi presiden di awal-awal pemerintahannya.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Masihkah Kita Menghargai Kebudayaan Sendiri?

Tuesday, May 12, 2009

Oleh: Pradono Budi Saputro*

Kebudayaan sejatinya merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang menunjukkan identitas dari suatu bangsa di mana kebudayaan tersebut berkembang. Oleh sebab itu, sudah seharusnya baik pemerintah maupun masyarakat melindungi aset yang sangat berharga tersebut. Namun, apa daya. Pemerintah seolah-olah sudah tak lagi peduli pada bidang budaya. Dalam konstitusi kita pun, kebudayaan hanya dirumuskan sebatas definisi, bukan dengan proses penciptaan dan strategi kebudayaan. Akibatnya, seni atau budaya tidak menjadi kebutuhan dasar masyarakat, bukan bagian dari hak hidup masyarakat, dan ruang untuk berekspresi tidak diwadahi oleh negara. Negara justru melakukan kontrol dalam bentuk sensor atau pencekalan terhadap berbagai bentuk seni yang menunjukkan kritisisme masyarakat. Hal yang justru menghilangkan ruang publik dan kebebasan berekspresi.

Tanggung jawab negara terhadap kebudayaan, kemudian malah diambil alih oleh lembaga-lembaga filantropis. Lembaga-lembaga tersebut melihat pentingnya mengembangkan kebudayaan, walaupun tentunya dilihat dari perspektif bisnis. Oleh karena itu, akhirnya kreativitas atau kesadaran berkesenian dikendalikan oleh regulasi pasar. Regulasi itu yang menentukan tinggi atau rendahnya nilai suatu produk kesenian. Akibatnya, kreativitas atau kesadaran berkesenian yang ada dewasa ini menjadi kreativitas atau kesadaran berkesenian semu untuk melayani lembaga-lembaga donor itu. Seniman-seniman yang selama ini banyak mengekspresikan aspirasi masyarakat, terpaksa mengubah keseniannya demi kebutuhan pasar.

Hal ini tak dapat kita salahkan begitu saja karena bagaimanapun juga seniman adalah manusia biasa. Mereka butuh uang dan butuh makan. Kalau untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit, bagaimana mau menyuarakan kepentingan rakyat. Maka, mau tidak mau sebagian besar seniman saat ini menjalankan proses berkesenian hanya sebatas pesanan. Bukan hanya pesanan lembaga-lembaga donor, melainkan juga pesanan atau kemauan seseorang. Seniman-seniman kecil seperti di Pasar Seni Ancol contohnya, melukis atau membuat patung sesuai pesanan pembeli, tidak lagi dengan idealisme mereka. Jika mereka membuat sesuai idealisme pribadi, siapa yang mau membeli dan dari mana seniman itu mendapat uang?

Lalu bagaimana dengan kesenian yang tahu-tahu direbut oleh bangsa lain? Kalau ada kesenian yang menjadi ciri khas kebudayaan kita tiba-tiba hilang atau diklaim oleh negara lain, ini terjadi akibat kita kurang peduli. Kesenian-kesenian tradisional seperti reog, angklung, seni membatik, dan berbagai lagu daerah kurang mendapat apresiasi publik dan subsidi pemerintah. Ketika kesenian-kesenian tersebut diakui sebagai sebagai produk budaya negeri tetangga, kita baru meributkannya. Kita meributkan seolah-olah kita peduli, padahal kita ribut lebih karena sentimen dibandingkan apresiasi terhadap produk-produk kesenian itu. Kalau memang peduli, seharusnya sudah sejak dahulu pemerintah berupaya membantu mematenkan produk-produk kesenian tersebut.

Oleh sebab itu, berkaca dari kejadian-kejadian tersebut, sudah seharusnya bangsa ini, baik pemerintah maupun masyarakat, ikut berpartisipasi dalam melindungi dan melestarikan kebudayaannya. Sebab jika bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikannya. Kita tentu tidak mau lagi ada produk budaya kita yang diambil oleh negara lain. Kita pastinya juga tak ingin para seniman yang awalnya berinteraksi dekat dengan masyarakat mulai berorientasi pada sesuatu yang jauh dari lingkungan mereka akibat materi semata. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kebudayaannya?

* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Korupsi dan Kemiskinan Rakyat

Wednesday, May 06, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Sudah umum berkembang anggapan bahwa korupsi di Indonesia merajalela. Dengan anggapan ini sebetulnya banyak orang yang bisa dituduh atas kejahatan korupsi. Tapi yang terjadi adalah sangat sedikit yang dapat diproses hukum atas kejahatan korupsi tersebut. Dengan mudah pula bisa ditelusuri bahwa komitmen kerja pemerintah dan aparat penegak hukum telah gagal memberantas korupsi. Keroposnya komitmen ini pantas untuk diberi "angka merah" dalam rapor kerja pemerintah dan aparat penegak hukum. Tentu saja, korupsi yang merajalela itu tak hanya berdampak pada kehidupan usaha, melainkan yang lebih menderita lagi adalah rakyat kecil. Perkembangan ini tercermin dari keputusan menaikkan harga BBM, listrik, dan telepon bahkan tarif tol pun rencananya bakal naik, yang segera memunculkan gelombang protes yang meluas.

Birokrasi pemerintahan sekarang adalah warisan Orde Baru Soeharto baik birokrasi sipil maupun militer. Salah satu faktor penyebab krisis ekonomi yang membangkrutkan keuangan negara adalah penguapan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai Rp 144 triliun sehingga dengan pukulan krisis moneter, kehancuran ekonomi tak dapat dihindarkan. Birokrasi negara memang sangat akrab dengan kebocoran dana pembangunan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagian besar kebocoran ini telah menguap tanpa dapat dipertanggungjawabkan. Semua departemen pemerintah, tak terkecuali Departemen Agama (contoh kasus adalah penyelewengan Dana Abadi Umat yang melibatkan mantan Menteri Agama Said Agil Al-Munawar), telah dilaporkan terjadi berbagai kebocoran.

Irama kerja birokrasi yang lamban, bertele-tele dan tak becus, semakin mengikis fungsinya untuk memberikan pelayanan bagi warga negara. Sebaliknya, watak birokrasi ini telah berkembang menjadi birokrasi yang justru harus dilayani warga negara. Aparat peradilan pun bukan lagi tempat orang untuk dilayani dalam meraih keadilan, melainkan telah diubah menjadi "sarang mafia peradilan". Pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung telah ditengarai sebagai pasar jual-beli perkara. Harapan akan suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak, telah digerogoti oleh praktik suap dan korupsi. Kenyataannya, tangan-tangan kotor pelaku korupsi kelas kakap tak jarang malah dilepaskan dari jerat hukum atau memperoleh hukuman yang ringan, bahkan tidak sedikit menikmati putusan bebas. Institusi kejaksaan dan pengadilan lebih dikenal sebagai "mesin binatu" yang siap bekerja mencuci tangan-tangan kotor itu menjadi bersih kembali.

Ketika pemerintah berganti, birokrasi negara masih tetap seperti sediakala. Pada masa pemerintahan Habibie memang pernah menonaktifkan Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib dan Abdurrahman Wahid mencopot Marzuki Darusman serta beberapa menteri yang diduga terlibat KKN atau dianggap tidak becus, namun korupsi dalam tubuh birokrasi tak juga berkurang. Bahkan bertambah-tambah dengan berjalannya "proyek otonomi daerah" sejak Januari 2001, serta kebutuhan dana partai-partai politik yang menikmati politik pasca-Soeharto.

Sepanjang pemerintahan Megawati, Jaksa Agung MA Rachman yang diketahui publik memiliki rumah yang tidak dilaporkan kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), masih saja menikmati kursi empuknya tanpa tanda-tanda akan dicopot. Begitu juga yang dinikmati Gubernur BI Syahril Sabirin. Kendati penyimpangan BLBI menjadi salah satu penyebab bangkrutnya ekonomi Indonesia, tapi Syahril Sabirin masih terus menduduki jabatannya, bahkan kini menikmati kebebasan dengan vonis bebas dari majelis hakim. Akbar Tandjung pun seperti tanpa halangan untuk terus menduduki jabatan Ketua DPR. Putusan hakim pengadilan yang memutuskannya bersalah atas perkara penyelewengan dana nonbujeter Bulog, tetap saja menikmati keistimewaan dengan kursi Ketua DPR-nya. Bahkan kasus Asramagate dan Wakil Presiden Hamzah Haz dengan PT QSAR. Tapi hingga kini tak ada kejelasan pengusutan mengenai dugaan keterlibatan dalam kasus tersebut. Presiden sekarang Susilo Bambang Yudhoyono mengganti Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar dengan Komisaris Jenderal Sutanto yang sebelumnya menjabat Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional. Pergantian ini disinyalir sebagai upaya Presiden untuk merestrukturalisasi dan merevitalisasi instansi kepolisian di Indonesia mengingat citra Polri di mata masyarakat yang sudah demikian buruk.

Sebelum, di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid sempat terungkap sejumlah yayasan bisnis dan koperasi yang dikelola TNI dan Polri tapi kini kembali menguap tanpa dikutak-katik lagi. Bahkan yang terhangat kasus pengerukan pasir laut yang diekspor ke Singapura juga tak jelas ujung penyelesaian hukumnya. Belum lagi kasus "helikopter" mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh dan pembunuhan aktivis HAM Munir yang tak kunjung dapat terselesaikan.

Sementara itu, partai-partai politik besar yang juga pernah diungkapkan melakukan pelanggaran dalam Pemilihan Umum 2004, bahkan ada beberapa kasus perkara bekas pemilu 1999 lalu, melalui "politik uang" (money politics), namun tak satu pun diproses untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Sebagian besar elite partai-partai itu kini telah menikmati kursi DPR dan DPRD, dan sebagian ada yang menjadi pejabat pemerintah. Tapi mereka telah merasuk dalam lingkungan politik di mana prosesnya lebih condong pada "politik dagang sapi" ketimbang upaya-upaya melembagakan demokrasi. Perilaku mereka tercermin dari tindakan sering bolos sidang sambil tetap menerima uang rapat, menikmati "hadiah" mesin cuci, uang kavling, uang perjalanan ke daerah, bahkan studi banding ke luar negeri. Dampaknya antara lain mereka gagal membentuk Pansus Bulog II serta lemahnya komitmen atas kasus Trisakti-Semanggi, bahkan gagal mengungkap kasus praktek percaloan proyek daerah yang terjadi di lingkungan mereka sendiri. Hal yang sama juga terjadi bagi anggota-anggota DPRD di daerah. Dengan lingkungan politik seperti itu, pemerintah dan DPR maupun partai politik di pusat maupun di daerah, pada umumnya tak dapat menunjukkan komitmen yang kuat atas dua hal yang dibahas.

Pertama, gagal memenuhi komitmen kerja dalam memberantas korupsi demi pemulihan ekonomi untuk kepentingan menciptakan kembali iklim investasi yang kondusif serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Malah perhatian mereka lebih terfokus untuk memburu pengumpulan dana bagi kelanjutan jabatan-jabatan mereka pada pemilihan umum 2004. Kedua, penciptaan proses pelembagaan demokrasi melalui penguatan partisipasi rakyat dalam politik justru telah dipatahkan oleh lingkungan koruptif dan "politik dagang sapi". Demokrasi hanya sekadar politik wacana, bukan bergerak dalam pelaksanaan proses pelembagaannya.

Pemerintah, dengan dana pembangunan dan APBN di tangannya, seyogianya dituangkan secara ketat dan terukur dalam program pemulihan ekonomi. Selain itu, melalui sasaran yang tepat, dilakukan program peningkatan kesejahteraan rakyat yang terencana. Tapi dengan perilaku DPR dan DPRD maupun partai-partai politik, pengawasan atas jalannya program pemerintah acap gagal dikontrolnya. Korupsi, kebocoran-kebocoran dana pembangunan dan APBN, serta pungutan yang merajalela, telah menjadi penghalang bagi penciptaan iklim investasi yang kondusif. Harapan untuk meningkatkan daya saing ekspor perusahaan-perusahaan nasional, telah dihadang korupsi.

Kondisi merajalelanya korupsi itu membuat Indonesia menjadi tak menarik sebagai ajang investasi. Akibatnya ada sebagian yang memilih hengkang ke luar negeri, tapi tak sedikitpun yang terancam gulung tikar. Kepentingan dunia usaha yang telah memberikan sumbangan penting bagi penerimaan pajak, justru tak diperbaiki dengan komitmen dan kinerja pemerintah untuk memberantas korupsi dan pungutan liar. Terganggunya kepentingan dunia usaha ini membuat mereka mengancam untuk memboikot membayar pajak.

Memang tiap tahun pemerintah berupaya mengeruk dana yang besar untuk menutupi defisit APBN sebesar kurang lebih Rp 27 triliun. Pemerintah menganggap penerimaan pajak kurang lebih Rp 180 triliun tiap tahunnya belum mampu menutupi defisit APBN. Namun akibat merajalelanya korupsi dan kebocoran dana, serta ditambah lagi kinerja pemerintah yang buruk dan kebijaksanaan yang tak efektif, telah membuat dunia usaha tak bisa bergairah. Pada gilirannya kegiatan usaha mereka semakin terancam. Selama hampir 10 tahun krisis, rakyat telah berkorban demi langkah efektif pemerintah untuk mengatasinya. Tapi kini rakyat kian kritis dan merasa telah diperlakukan tidak adil.

Dengan situasi yang terus memburuk itu, diperkirakan akan bertambah 2,9 juta orang miskin tiap tahunnya apabila masalah ini tidak dicarikan solusinya. Hasil yang lain dapat diprediksi, banyak buruh yang bekerja tanpa upah yang layak, puluhan ribu pekerja nelayan dan pekerja industri terancam kehilangan pekerjaan, sementara jutaan orang mulai menderita rawan pangan, kurang gizi, busung lapar, jutaan anak putus sekolah, dan berbagai macam jeritan dan tangisan rakyat lainnya. Sampai kapankah Indonesia akan terus menangis? Hanya Tuhan yang tahu.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...