KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Pasang Surut Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Tuesday, June 23, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Pendahuluan

Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Menurut Prof. Koentjoro Poerbapranoto, hak asasi adalah hak yang bersifat asasi. Artinya, hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya sehingga sifatnya suci. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, atau jenis kelamin, dan karena itu bersifat universal. Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.

Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari droits de l’homme (Perancis), human rights (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda). Di Indonesia hak asasi pada umumnya lebih dikenal dengan istilah “hak-hak asasi” sebagai terjemahan dari basic rights (Inggris) dan grondrechten (Belanda), atau bisa juga disebut hak-hak fundamental (civil rights). Istilah hak-hak asasi secara monomental lahir sejak keberhasilan Revolusi Perancis tahun 1789 dalam “Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen” (hak-hak asasi manusia dan warga negara Perancis), dengan semboyan Liberte, Egalite, Fraternite. Namun demikian, sebenarnya masalah hak-hak asasi manusia telah lama diperjuangkan manusia di permukaan bumi.

Latar belakang sejarah hak asasi pada hakekatnya muncul karena keinsyafan manusia terhadap harga diri, harkat, dan martabat kemanusiaannya sebagai akibat tindakan sewenang-wenang dari penguasa, penjajahan, perbudakan, ketidakadilan, dan tirani yang melanda seluruh umat manusia. Dalam proses ini telah lahir beberapa naskah yang secara berangsur-angsur menetapkan bahwa ada beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia dan karena itu bersifat universal. Naskah-naskah itu, beberapa di antaranya adalah Magna Charta (1215), Bill of Rights (1689), Declaration of Independence (1776), Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen (1789), Atlantic Charter (1941), dan Universal Declaration of Human Rights (1948). Bahkan beberapa pemikir Islam melihat bahwa Piagam Madinah dapat dikategorikan sebagai deklarasi hak asasi manusia pertama di dunia. Dalam piagam tersebut, setiap masyarakat Madinah diperbolehkan menganut agama masing-masing dan tidak mengganggu orang untuk beribadah. Karena itu para pemikir Islam banyak yang beranggapan bahwa piagam ini merupakan teks pengakuan hak asasi manusia. Walaupun teks ini dilanggar oleh kelompok non Muslim, namun sumbangsih Islam terhadap cetak biru hak asasi manusia di bumi ini haruslah diakui.

Seperti juga di negara-negara lain, Indonesia juga mencantumkan beberapa hak asasi di dalam UUD 1945. sebelum diamandemen, pasal-pasal yang memuat hal tentang hak asasi manusia ada dalam pasal 27-31. Setelah diamandemen, tepatnya pada perubahan kedua tahun 2000, dalam UUD terdapat pasal sendiri yang memuat tentang Hak Asasi Manusia, yaitu pasal 28A-J.

Masa Awal HAM di Indonesia

Pemikiran tentang hak asasi manusia mendapat landasan yang kuat seusai berakhirnya Perang Dunia II, setelah dunia mengalami salah satu bentuk kekuasaan yang paling mengerikan dalam sejarahnya, yakni fasisme. Pada saat bersamaan, di berbagai belahan tanah jajahan muncul negara-negara baru yang merdeka, termasuk Indonesia. Semangat yang hadir saat itu adalah keadilan, kebebasan, dan penolakan terhadap segala jenis penindasan.

Naskah Pembukaan UUD 1945 mencatat semangat tersebut dengan mengatakan “kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan karena itu penjajahan di muka bumi harus dihapuskan”. Semangat yang sama juga tercermin dalam perumusan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Seperti yang sudah disebutkan, dalam Batang Tubuh UUD 1945 (sebelum diamandemen) juga dapat ditemukan pasal-pasal tentang hak asasi manusia yaitu Pasal 27-31.

Dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia, perlindungan atas hak asasi manusia dirasa masih kurang. Pada Sidang Konstituante tahun 1950 perubahan pun dilakukan dengan mencantumkan 28 pasal khusus tentang hak asasi manusia. Dimasukkannya pasal-pasal baru yang mengatur tentang hak asasi manusia ini berlangsung dalam proses pembentukkan sistem kenegaraan yang lebih terbuka dan pastinya demokratis, serta menciptakan tatanan ekonomi, sosial, dan budaya yang adil.

Proses ini kemudian dipatahkan pada tahun 1965. Perubahan politik menyusul usaha kudeta yang gagal tersebut membuat terjadinya kekerasan yang tidak ada bandingnya dalam sejarah negeri ini. Di hampir seluruh wilayah Indonesia terjadi pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, penangkapan, dan penahanan sewenang-wenang, pengadilan tidak adil terhadap sebagian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta pendukung Soekarno.

Pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia dikesampingkan dengan alasan “menjaga keselamatan bangsa”, dan pembicaraan tentang hak asasi manusia sebagai ketentuan konstitusional pun terkubur. Dekrit Presiden tahun 1959 dipandang sebagai momentum terhentinya pembicaraan tentang hak asasi manusia, dengan dibubarkannya Konstituante dan kembali berlakunya UUD 1945.

Di bawah penguasa yang baru ketika itu, yaitu Jenderal Soeharto, pembicaraan tentang hak asasi manusia menjadi sangat terbatas dan bermuka dua. Di satu sisi ada euforia kemenangan terhadap pemerintahan Soekarno yang sewenang-wenang, tetapi di sisi lain segala kesewenangan “penguasa baru”, tidak banyak dibicarakan, bahkan dibenarkan dengan alasan “menjaga keselamatan bangsa”. Tidak sedikit pemikir dan aktivis yang menilai masa awal Orde Baru sebagai periode paling demokratis dalam sejarah Indonesia, tetapi menutup mata terhadap salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar yang terjadi pada saat yang bersamaan. Sangat ironis memang.

Dalam proses konsolidasi Orde Baru, paling tidak selama dua puluh tahun pertama, pembicaraan tentang hak asasi manusia sangatlah terbatas hanya dalam aspek legal formal, dan berkaitan langsung dengan kebutuhan pembelaan di pengadilan. Pembicaraan tentang hak asasi manusia baru meluas kembali seiring dengan tumbuhnya gerakan demokratisasi di tahun 1980-an, dengan dimasukkannya hak atas tanah, hak mendapat penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, perlindungan atas lingkungan hidup, hak perempuan dari perilaku-perilaku diskriminatif, dan isu-isu lainnya.

Di masa selanjutnya pembicaraan tentang hak asasi manusia ini terus berkembang dan mempertajam berbagai pengertian. Misalnya, hak atas lingkungan hidup berkembang bersama hak masyarakat adat menentukan kehidupan ekonomi dan budayanya sendiri, sementara hak atas tanah berkembang menjadi hak mengelola tanah pertanian secara mandiri. Hal terpenting adalah masyarakat secara langsung terlibat dalam merumuskan dan mendefinisikan pengertian hak asasi manusia tersebut.

Proses ini sempat membuat cemas penguasa Orde Baru yang kemudian menuduh ide penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai pikiran liberal yang bertentangan dengan budaya bangsa. Di tingkat praktis, penguasa kerap mengancam dan menyatakan perang terhadap pihak yang tidak kooperatif terhadap bangsa di forum-forum internasional. Sikap ini melemah ketika dunia internasional justru memberi dukungan terhadap kampanye dan advokasi hak asasi manusia in, dan penguasa pun menggunakan tameng partikularisme untuk melawan paham Barat yang universal. Sebaliknya dengan kebijakan ekonomi, penguasa Orde Baru mengikuti tuntutan liberalisasi yang jelas mewakili kepentingan Barat. Dengan demikian membantu menjadikan kapitalisme sebagai cara produksi yang berlaku universal.

Perkembangan wacana hak asasi manusia yang meluas ini ternyata tidak berjalan seiring dengan tumbuhnya pengertian baru tentang demokrasi. Konsep demokrasi yang terbatas pada pembenahan sistem politik dan aturan main (rule of the game) untuk mempertahankan sistem yang bersih dan berwibawa, tidak mampu menjawab persoalan-persoalan dasar, seperti perlindungan bagi perempuan, kesejahteraan rakyat, atau tindak kekerasan yang dilakukan aparat. Masalah-masalah seperti itu kerap dianggap berada di luar konteks pembicaraan politik dan hanya merupakan urusan ahli ekonomi atau sosial saja.

Potret HAM Pasca Orde Baru

Membaca hak asasi manusia di Indonesia pasca Orde Baru atau era Reformasi, memang begitu melelahkan. Sebab sebagaimana terlihat pada era ini, yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia adalah hampir semua unsur negara Indonesia. Jika pada Orde Baru, yang sering melakukan pelanggaran hak asasi manusia adalah aparat pemerintah, dalam hal ini TNI, maka pada era sekarang, hak asasi manusia dilanggar secara “bersama-sama”. Dalam konteks ini, pelanggaran hak asasi manusia merupakan hal yang biasa terjadi di tengah masyarakat atau oleh masyarakat sendiri.

Secara garis besar, pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama era reformasi dapat dipetakan menjadi tiga pelaku. Pertama, pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara atau difasilitasi oleh negara. Jenis pelanggaran hak asasi manusia ini hampir sama dengan yang terjadi pada Orde Baru dimana militerisme masih merupakan solusi dalam menyelesaikan isu-isu separatisme di berbagai daerah konflik di Indonesia. Demikian juga pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan melalui pemberlakuan Undang-Undang Anti Subversif seperti yang telah dilakukan pada masa mantan Presiden Soeharto.

Dua penerus Soeharto pertama, Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid, menggunakan pendekatan tanpa kontrol terhadap kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Keduanya menempuh langka nyata dalam menangani pelanggaran-pelanggaran masa lalu. Pada akhir kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid, sebagian besar tahanan politik (tapol) yang ditawan selama pemerintahan Soeharto telah dibebaskan. Fenomena ini memang merupakan keberhasilan dua presiden in, dimana kebijakan-kebijakan mereka tidak populer di kalangan pro status quo.

Karena itu, eskalasi pelanggaran hak asasi manusia meningkat sejak tahun 2002, saat Megawati menjadi presiden. Pada masa tersebut hingga sekarang, setiap ada aksi kebebasan mulai dianggap mencancam negara. Sejak kepemimpinan Megawati, tidak sedikit mereka yang dijebloskan ke penjara karena dianggap menghina negara atau simbol negara. Pembenahan kembali undang-undang kolonial dan praktek-praktek era Soeharto yang sistematik dapat ditelusuri ulang ke bulan Juli dan Agustus 2002, ketika sejumlah kejadian penangkapan para aktivis politik di Jakarta. Penangkapan ini menyusul kejengkelan Megawati ketika foto-fotonya diinjak oleh demonstran dan penolakan berbagai kebijakan pemerintah Megawati yang sama sekali tidak memihak kepada wong cilik.

Pada era Megawati, setidaknya ada beberapa aktivis yang ditangkap karena mengancam “stabilitas” negara. Mereka diantaranya, yaitu Nang Mamija dan Muzakkir (pengamen jalanan); Susyanti, An’am Jaya, Sahabudin, Ansar Suherman, Hariansyah, dan M. Akman (Front Pemerintah Rakyat Miskin); Ignas Mau dan Firman (mahasiswa); Raihana Dany (Organisasi Perempuan Aceh); dll.

Selain beberapa hal yang telah dijelaskan sebelumnya, gejala mandulnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan gaungnya pada era reformasi tidak memberikan implikasi yang signifikan terhadap perjalanan hak asasi manusia di Indonesia. Di era Orde Baru, mereka dipandang sebagai tempat terakhir mengadu setiap ada pelanggaran hak asasi manusia. Namun sampai saat ini setiap ada temuan, komisi yang diketuai Abdul Hakim Garuda Nusantara ini kurang efektif dalam penanganannya.

Kedua, masyarakat sipil yang bersenjata. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh masyarakat sipil bersenjata sangat kental dijumpai di daerah konflik seperti di Maluku, Ambon, dan Aceh. Dalam berbagai laporan kerusuhan, tampak bahwa sipil bersenjata merupakan hal yang tidak begitu mengejutkan pada era reformasi. Seperti di Maluku, tempat konflik antara kelompok Muslim dan Kristen ternyata seperti perang suku zaman belum beradab dulu. Masing-masing menggunakan senjata tajam ketika berhadapan dan hanya karena beda agama, mereka saling bacok dan bunuh.

Kendati sebab-musabab kerusuhan mudah sekali dicari, namun fenomena menggunakan senjata merupakan hal yang tidak lazim dalam sejarah kerusuhan di Indonesia. Ketika rakyat sipil menggunakan senjata untuk saling membunuh, maka hal itu menjadi sebuah hal yang harus dihilangkan. Dalam kasus Maluku, kehadiran laskar jihad yang menyerukan jihad di Maluku dengan menggunakan senjata, baik dirakit sendiri maupun dirampas dari aparat, memang membuat konflik kian parah. Hal ini tentu saja main hakim sendiri, kendati atas nama agama.

Fenomena di Aceh juga tidak kalah menarik untuk dipelajari mengenai bagaimana tindakan sipil bersenjata yang bernaung di bawah organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebelum mereka menandatangani perjanjian damai di Helsinki Agustus 2005 lalu tentunya. Kendati GAM hanya ingin berperang melawan TNI, namun jatuhnya korban di pihak sipil juga mengkhawatirkan. Tembak di tempat (shot on site) adalah sesuatu yang sangat lazim dilakukan pihak GAM. Hal ini dipicu oleh adanya senjata di pihak yang dimaksudkan untuk menakuti rakyat sipil. Namun uniknya, GAM sendiri mengaku bahwa senjata mereka juga berasal dari TNI melalui transaksi bisnis antara TNI dan GAM. Pada gilirannya, senjata tersebut digunakan untuk berperang dan menembak masyarakat sipil yang tidak mendukung perjuangan GAM. Alhasil, pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, selain dilakukan oleh TNI/POLRI, juga dilakukan pihak GAM sendiri.

Dari beberapa uraian di atas, tampak sebuah kesimpulan bahwa adanya senjata di pihak sipil, selain diperoleh melalui cara mereka sendiri, ternyata juga dipicu oleh lengahnya aparat keamanan dalam menjaga senjata mereka agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Karena itu, eskalasi pelanggaran hak asasi manusia seperti yang telah dibahas di atas, juga dipicu oleh pihak sipil.

Ketiga, masyarakat sipil yang tidak bersenjata. Fenomena pelanggaran hak asasi manusia oleh sipil yang minus senjata ini ternyata mengalami lonjakan yang signifikan pada era reformasi. Tampaknya ini menjadi agenda kita ketika melihat rakyat mengamuk dan tidak dapat dikendalikan oleh aparat keamanan. Sejak kerusuhan Mei 1998 lalu, fenomena kerusuhan sangat mudah ditemukan. Kejadian seperti itu memang bukan tanpa sebab, jika dipetakan, kerusuhan memang dipicu oleh persoalan sosial, politik, ekonomi, dan agama.

Peristiwa kerusuhan Mei 1998, terutama tanggal 13 Mei, juga menyimpan luka mendalam bagi korbannya. Dalam tragedi ini, rakyat yang tidak bersenjata menjadi begitu ganas dan menyeramkan. Kendati hasil yang dicapai adalah turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun, namun implikasi pelanggaran hak asasi manusia juga menjadi ekses lain yang harus segera diselesaikan. Dampak sosial politik dari peristiwa ini pun sangat serius, sebab setelah kejadian tersebut berbagai misteri pelanggaran hak asasi manusia mulai mencuat.

Peristiwa pelanggaran hak asasi manusia lain yang dilakukan oleh sipil tidak bersenjata adalah ketika proses pemakzulan Abdurrahman Wahid pada Mei 2001. Dalam situasi dimana pendukung Gus Dur ini tidak menerima perlakuan parlemen terhadap cucu pendiri Nahdhatul Ulama ini, maka mereka pun melalukan amuk massa di Situbondo, Gresik, Sidoarjo, Bondowoso, Pasuruan, dan beberapa kota lainnya di Jawa Timur sebagai basis kawasan pendukung Gus Dur. Tempat-tempat yang dirusak adalah aset pemerintah, Muhammadiyah, gereja, PDI-P, dan PAN. Kejadian ini tentu mencoreng wajah Indonesia yang tengah bertransisi menuju demokrasi. Mudahnya massa dimobilisasi untuk melakukan penjarahan dan pembakaran merupakan bukti bahwa bangsa kita memang memiliki kepribadian dan nalar yang tidak sehat serta cenderung destruktif.

Demikian juga rentetan kejadian peledakan bom bunuh diri di Indonesia sejak kejadian 9/11 di Amerika Serikat dan terorisme mulai menggejala di dunia. Kasus terorisme di Indonesia memang memberikan implikasi yang negatif terhadap dinamika hak asasi manusia di Indonesia. Kenyataan ini memperlihatkan bagaimana keterampilan sipil yang tidak bersenjata dalam merakit bom dan meledakkannya secara profesional. Harus diakui, hal ini membuat Indonesia dicap oleh dunia internasional sebagai sarang teroris. Karena itu hak asasi manusia sendiri masih merupakan diskursus yang sulit terselesaikan di Indonesia. Hal ini pada gilirannya merupakan agenda bagi pemerhati hak asasi manusia untuk terus menggali aspek-aspek yang selama ini “terabaikan” dalam realisasi hak asasi manusia di Indonesia.

Dari beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa penegakan hak asasi manusia pasca Orde Baru tidak memberikan peningkatan yang signifikan. Kita lihat contohnya, misalkan aparat negara, sipil yang bersenjata, yang tidak bersenjata begitu banyak yang melanggar hak asasi manusia. Semua kasus-kasus di atas tidak lepas dari kebijakan dan political will pemerintah untuk bagaimana benar-benar mengedepankan masalah-masalah hak asasi manusia ini.

Hubungan Antara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Dilema antara perluasan makna hak asasi manusia di satu sisi dan penyempitan pengertian demokrasi di sisi lain, berulang kali muncul sehingga menjadi sebuah diskursus tersendiri. Dalam proses ini hak asasi manusia dimengerti secara abstrak dan dirumuskan sebagai persamaan di depan hukum, jaminan perlindungan pribadi, dan kebebasan nurani. Dalam pengertian ini, demokrasi politik memberikan peluang besar terwujudnya kebebasan dasar dan persamaan, bahwa kebebasan dasar dan persamaan akan terwujud bila terdapat mekanisme efektif untuk terjadinya proses saling mengingatkan tentang apa yang benar dan yang menjadi kebaikan bersama.

Hubungan antara demokrasi politik dan hak asasi manusia berdiri di atas berbagai asumsi yang sesunguhnya rapuh, misalnya bahwa kebebasan berbicara memungkinkan membicarakan masalah-masalah yang merugikan rakyat. Asumsi lain hubungan demokrasi dan hak asasi manusia adalah dapat mewakili berbagai kepentingan dan dengan sendirinya menjadi alat kontrol bagi proses checks and balances dalam pemerintahan. Demokrasi politik yang terbatas itu kemudian dinilai sebagai cure yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan sekali mekanismenya terbentuk.

Yang dimaksud dengan demokrasi politik ini tidak lain adalah kehadiran partai politik yang bebas tapi bertanggung jawab, dan kehadiran pemimpin yang kuat untuk mempertahankan sistem tersebut. Hal ini sangat tampak dalam proses pemilihan umum di Indonesia. Banyak sekali kelompok dan kalangan yang tidak dapat memperjuangkan kepentingannya secara langsung di dalam sistem tersebut dan harus mempercayakan kepada partai-partai yang ada. Rakyat miskin di daerah tertentu tidak dapat memperjuangkan kepentingannya karena jika harus membentuk partai politik sekalipun, akan sulit untuk lolos dari seleksi yang ketat, apalagi mengikuti proses pemilu yang pasti sangat menelan biaya yang sangat besar.

Tidak adanya pelembagaan pengertian hak asasi manusia secara luas, maka masalah-masalah mendasar yang termasuk dalam perlindungan hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya kurang mendapat perhatian karena perlindungan lebih dikonsentrasikan pada perlindungan hak-hak sipil dan politik. Ada dua hal yang mendukung proses tersebut, yaitu politik represif penguasa Orde Baru dulu yang membuat pelanggaran hak-hak sipil dan politik sangat menonjol. Kedua adalah meningkatnya dukungan dunia internasional terhadap perlindungan hak-hak tersebut.

Pengertian hak asasi manusia seperti ini sesungguhnya merupakan kemunduran dari perjuangan hak asasi manusia yang berkembang di tingkat basis. Usaha-usaha untuk memperjuangkan hak-hak yang mendasar dalam bidang sosial, ekonomi, dan budaya kerap tertutup jika tidak ada unsur represif yang memberi ruang pada kampanye hak-hak sipil dan politik menentang represi Orde Baru ketika itu. Dalam konteks ini, pengutamaan hak-hak sipil dan politik tidak jadi prioritas bukan karena alasan strategis tetapi lebih karena asas kesempatan. Dapat pula dikatakan, pandangan semacam ini jauh terbelakang bila dibandingkan dengan pencapaian pengertian demokrasi oleh warga dunia dalam konferensi Hak Asasi Manusia di Wina, Austria tahun 1993.

Konferensi Wina secara resmi telah menetapkan prinsip ketidakterpisahan antara hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya sebagai dasar melakukan penegakan hak asasi manusia. Dengan demikian jika demokrasi berangkat dari prinsip penegakan hak asasi manusia, ia haruslah merupakan kehendak rakyat yang dinyatakan secara bebas dan harus menjadi satu pekerjaan total untuk mengubah sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Apabila praktek demokrasi di Indonesia saat ini dianggap sebagai pemenuhan hak asasi manusia maka persoalannya adalah dimana tempat hak anak, hak masyarakat adat, hak perempuan, dan masih banyak hak-hak lainnya yang belum terakomodir yang sesunguhnya dinyatakan dalam Deklarasi Wina sebagai hak yang bersifat universal.

Penutup

Dalam perkembangan gerakan hak asasi manusia di dunia, terlihat munculnya sejumlah pengertian baru tentang hak asasi yang sejalan dengan praktek demokrasi langsung yang dianut negara kita dan terbukti efektif membawa perubahan. Gerakan perempuan berhasil mendesak pengakuan pelanggaran hak-hak di wilayah domestik sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Pengaruhnya begitu besar, sehingga Amnesti Internasional (salah satu lembaga hak asasi manusia yang memperjuangkan penegakan hak sipil politik) memulai usaha untuk mengembangkan konsep-konsep pelanggaran hak sipil dan politik di wilayah domestik. Komisi HAM PBB juga membentuk lembaga pelapor khusus masalah kekerasan terhadap perempuan. Selain masalah perempuan, gerakan perjuangan masyarakat adat telah mempertajam pengertian hak suatu bangsa menentukan nasib sendiri, dalam konvensi internasional hak ekonomi sosial budaya menjadi hak komunitas mengelola sumber daya alam, masyarakat, dan budayanya.

Mengambil sedikit komparasi dengan perjuangan penegakan hak asasi manusia di Aljazair, mereka menghasilkan pengertian hak dasar yang lebih maju daripada deklarasi umum hak asasi manusia. Deklarasi Aljazair memperluas ruang lingkup hak asasi manusia dan hak individual sampai pada hak rakyat dan hak gerakan. Deklarasi ini juga menyatakan bahwa hak dapat dirumuskan atas inisiatif rakyat dan tidak tergantung pada tindakan pemerintah. Intinya, deklarasi ini memberikan tekanan yang besar pada struktur dominasi transnasional dan kolaborator domestiknya sebagai penjelasan bagi terciptanya pelanggaran hak-hak asasi manusia. Beberapa pemikiran hak asasi manusia lainnya telah memunculkan hak-hak baru yang dipandang fundamental dalam situasi saat ini seperti hak untuk bertahan hidup dalam dunia yang damai.

Berbagai pencapaian tersebut justru langsung memperlihatkan keterbatasan demokrasi formal yang sering dianggap sebagai satu-satunya jalan. Di Filipina, naiknya Corazon Aquino dianggap sebagai kemenangan demokrasi atas tirani. Tidak disadari bahwa pelanggaran hak asasi manusia justru meluas. Jumlah pembunuhan politik oleh militer jauh di atas pembunuhan yang terjadi semasa Marcos menetapkan keadaan darurat (martial law). Di masa Aquino ini juga terjadi proses eksploitasi luar biasa terhadap rakyat yang dipaksa mengikuti austerity program dari lembaga-lembaga dana internasional.

Di Indonesia kita belajar dari sejarah kemunculan Orde Baru yang juga dianggap sebagai kemenangan demokrasi, tetapi kenyataannya menghasilkan kesengsaraan luar biasa selama kurang lebih 32 tahun. Keyakinan besar terhadap proses yang “bebas tetapi bertanggung jawab” sering menutup pandangan yang tumbuh dari bawah dan bahkan menciptakan sikap konservatif untuk mempertahankan status quo, tanpa menyadari bahwa status itu bersifat semu dan dalam prakteknya justru bertentangan dengan hati nurani rakyat.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Demokrasi dan Islam

Saturday, June 20, 2009

Oleh: Muhammad Iqbal*

Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang menjadi trend di dunia Barat. Islam pada saat zaman Rasulullah berkuasa dan para khalifah menjadi penguasa sesudah Rasulullah juga telah menerapkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Seperti contoh pada zaman Rasulullah terjadi peristiwa Aqabah I dan II, yang pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad diangkat menjadi imam oleh utusan dari Madinah yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Alangkah miripnya kedua peristiwa baiat itu dengan kontrak-kontrak sosial yang dideskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern serta dianggap sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan serta nilai-nilai demokrasi juga telah diterapkan pada era kepemimpinan Rasulullah.

Setelah Rasulullah wafat, pemilihan sebagai imam atau pemimpin dilanjutkan kekhalifahan Khulafaur Rasyidin dan bentuk pemilihannya diadakannya musyawarah dari tiap-tiap perwakilan suku-suku dan golongan (ulama, bangsawan, tentara, dan sahabat). Hari Saqifah adalah bentuk pertemuan atau musyawarah untuk memilih pengganti Rasulullah sebagai imam dan pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai pemimpin. Musyawarah tersebut merupakan bentuk kecil dari sebuah parlemen dan nilai-nilai demokrasi telah diterapkan pada masa perjuangan Islam. Pada zaman sekarang ini yang sudah termasuk era modern banyak negara-negara yang mayoritas warganya beragama Islam, menerapkan bentuk sistem politik dan pemerintahannya meniru model negara-negara barat yang notabene “Demokrasi” sedang menjadi suatu bentuk sistem politik yang ideal pada era modern ini.

Memang pada dewasa ini jika kita mengamati, dunia ini dikuasai oleh negara-negara Barat dan negara-negara Islam sebagian besar merupakan negara berkembang. Melalui hegemoni Amerika Serikat dan sekutunya mengkampanyekan demokrasi di setiap pelosok bumi ini, termasuk negara-negara mayoritas warganya Muslim. Jika kita telusuri melalui perspektif sejarah tentang demokrasi bisa kita lihat pada zaman Yunani kuno, para filsuf atau pemikir pada zaman tersebut telah memakai istilah demos yang cikal bakal dari kata “Demokrasi”. Nilai demokrasi telah diterapkan pada zaman Yunani kuno yang memang pada era tersebut menerapkan city state (negara kota) dan jika ada suatu permasalahan negara, dikumpulkannya masyarakat di suatu tempat terbuka dan melakukan perdebatan untuk menghasilkan jalan keluar atau solusi dari permasalahan tersebut. Hal tersebut telah dilakukan oleh kebudayaan Barat pada tahun 2500-an SM, jauh sebelum zaman Islam berjaya dan demokrasi mempunyai asas atau prinsip “kedaulatan tertinggi ditangan rakyat”.

Ibnu Khaldun sebagai pemikir besar Islam juga membahas permasalahan pemerintahan. Ada tiga jenis pemerintahan menurut Ibnu Khaldun:

1. Pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. Bisa jadi, termasuk didalamnya kasus-kasus ketika orang-orang yang berkuasa berdasarkan hawa nafsu dan instingnya tergabung dalam kelompok tertentu atau kelas masyarakat tertentu.

2. Pemerintahan (republik) ataupun juga kerajaan konstitusional, yang dapat mewujudkan keadilan sampai batasan tertentu; membawa berbagai manfaat bagi rakyat dalam kehidupan dunia karena menjalankan kebijakannya berdasarkan rasio yang telah digariskan oleh para pemikir dan intelektual umat serta dapat membawa pada stabilitas dan keteraturan kehidupan, juga membawa kemajuan dan kejayaan negara.

3. Sistem ketiga identik dengan membawa semua orang untuk berpikir sesuai dengan jalan agama, dalam memenuhi semua kepentingan mereka, baik yang bersifat keukhrawian maupun keduniawian yang juga harus dirujukan kepada yang disebut pertama (keukhrawian) karena dalam pandangan syara’, semua situasi dan kondisi keduniaan harus selalu memperhatikan pula kemaslahatan ukhrawi.

Dari ketiga sistem pemerintahan yang telah dirumuskan oleh Ibnu Khaldun, bisa terlihat perangkat-perangkat negara demokrasi ada dari salah satu ketiga sistem tersebut. Hal ini menandakan bahwa pemikir Islam juga telah berpandangan jauh dalam masalah keterkaitan Islam dan demokrasi.

Era Reformasi

Pada era reformasi, nama Islam semakin terpuruk oleh peristiwa 11 September 2001. Islam menjadi identik dengan kekerasan dan aksi terorisme padahal tindakan tersebut dilakukan oleh segelintir orang yang melakukan aksinya mengatasnamakan Islam. Di Indonesia sendiri aksi terorisme sudah terjadi, seperti pada kasus pengeboman di Bali yang menelan 202 korban jiwa yang terdiri dari warga Indonesia dan turis asing. Laskar atau ormas-ormas Islam juga bermunculan saat era Soeharto lengser. Sebagian ormas Islam tersebut telah melakukan kekerasan pada orang lain mengatasnamakan agama dan terjadinya konflik horizontal di masyarakat serta membuat nama Islam menjadi terpuruk lagi.

Kekerasan yang dilakukan oknum-oknum tersebut yang melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama telah melanggar nilai-nilai demokrasi yang mengedepankan dialog dan musyawarah. Tetapi hal tersebut terjadi jika kita lihat pada era Orde Baru yang dimana keran demokrasi telah ditutup dengan rapat dan pada era reformasi keran demokrasi telah dibuka selebar-lebarnya. Hal tersebut telah membuat celah terjadinya kekerasan yang banyak dilakukan pada era reformasi. Mungkin hal ini terjadi karena kurang tegasnya pemerintah dalam menghukum para pelaku kekerasan dan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap ormas-ormas yang melakukan kekerasan.

Tetapi, memang perlu keran demokrasi dibuka selebar-lebarnya untuk membuat semakin kreatifnya masyarakat dan mampu menjadi sebuah kelompok penekan dan pengawas kinerja terhadap kebijakan pemerintah. Inilah arti penting dari demokrasi itu sendiri, yang memberikan kebebasan seluas-luasnya dan adanya peraturan yang mengaturnya. Islam pada era reformasi telah menjadi permasalahan hangat baik di kalangan luas, adanya kelompok yang menyetujui demokrasi maupun yang tidak menyetujui.

Di negeri lainnya seperti di Turki, keberhasilan Mustapha Kemal Pasha mencapai reformasi bergantung atas kemampuannya melakukan pemisahan berbagai permasalahan, yang waktu itu memberi kesan, bahwa ia menitikkan perhatian khususnya pada satu bidang sembari meninggalkan bidang-bidang lain untuk sementara. Rencana besar dan tujuan utamanya terpulang pada dirinya sendiri. Sarana utama adalah membangun negara kebangsaan Turki di atas puing-puing Kerajaan Ottoman yang ditinggal oleh Anatolia. Dalam usahanya merumuskan komunitas nasional, Mustapha Kemal secara waspada memisahkan masalah-masalah negara kebangsaan Turki yang homogen, terbatas dan integral dari tipe kekuasaan politik yang telah ada di negeri itu. Hal tersebut mengindikasikan perubahan sistem politik di Turki dari sistem yang berdasarkan nilai-nilai Islam pada zaman Kerajaan Ottoman, sedangkan pada saat Mustapha Kemal berkuasa sistem Islam dihapuskan dan digantikan dengan sistem yang lebih demokratis serta lebih meniru Barat dalam model pemerintahannya.

Reformasi di berbagai dunia selalu berbeda-beda dalam penerapannya, ada yang berhasil dan gagal. Indonesia yang pada tahun 1998 melakukan reformasi hingga pada saat ini belum mencapai tahap keberhasilan, bahkan sebagian kalangan menilai reformasi yang terjadi di Indonesia tidak tepat sasaran, terlebih keadaan negara lebih buruk dibandingkan era Orde Baru. Tetapi reformasi yang terjadi di Indonesia ada sisi positifnya, yaitu adanya kebebasan di masyarakat dan kemajuan dalam hal penyelenggaraan pemilu yang lebih demokratis serta kemajuan di berbagai bidang lainnya, hal seperti ini tidak didapatkan pada era Orde Baru yang pemerintahnya lebih ototarian dalam mengatur masyarakatnya.

Pada era reformasi, sebagian besar masyarakat tidak menginginkan untuk merubah sistem yang telah demokratis dengan sistem model lain seperti halnya sistem Islam, walau di DPR ada beberapa partai Islam mencoba mengusahakan sistem Islam diterapkan pada era reformasi. Khatib ‘Am PBNU, Said Agil Siradj ketika merespon adanya keinginan dari partai-partai Islam membentuk fraksi Islam di DPR hasil pemilu 1999 mengatakan, “Pembentukan fraksi Islam adalah pengkhianatan pada komitmen membangun negara kebangsaan.” Pada akhirnya hingga saat ini keinginan tersebut tidak terealisasikan karena memang partai-partai Islam menjadi kelompok minoritas di parlemen dibandingkan dengan partai-partai nasionalis yang menguasai kursi-kursi di parlemen. Sehingga akan sulit partai-partai Islam memperjuangkan fraksi Islam di DPR.

Islam dan Demokrasi

Mayoritas ahli politik modern, terutama yang berada di negara-negara Islam, melihat adanya persamaan dan kemiripan antara Islam dan demokrasi. Sistem demokrasi yang saat ini menjadi trend di dunia Barat, pada gilirannya juga mengkampanyekan sistem ini, memujinya, dan mengangkatnya. Benar antara Islam dan demokrasi ada beberapa kesamaan, namun hal itu hanya cocok untuk mendeskripsikan sebagian sistem Islam itu. Karena pada kenyataannya, keduanya juga mempunyai perbedaan yang sama besar dengan sisi persamaannya.

Jika yang dimaksud dengan demokrasi adalah seperti yang didefinisikan oleh Lincoln, yaitu pemerintahan dari rakyat, melalui rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi adalah apa yang sering dikaitkan dengannya, seperti adanya konsep politik, atau konsep sosial tertentu, misalnya konsep persamaan di hadapan di undang-undang, kebebasan berkepercayaan dan akidah, mewujudkan keadilan sosial, dan lainnya, atau jaminan atas hak-hak tertentu, seperti hak hidup, berkebebasan, dan bekerja, serta sejenisnya, tentunya tidak diragukan lagi seluruh prinsip dan hak tadi terwujudkan dan terjamin dalam sistem Islam. Perlu diperhatikan bahwa pandangan Islam terhadap hak-hak tadi ditinjau dari tempat timbulnya yang alami, dapat berbeda dan dapat dilihat sebagai hak-hak Allah, atau hak bersama antara Allah dan hambanya atau dilihat sebagai nikmat, bukan hak, atau merupakan undang-undang yang diletakkan oleh Allah bagi wujud atau fitrah ini.

Sedangkan, jika yang dimaksud dengan demokrasi itu adalah sistem yang menjadi ikutannya, yaitu konsep pembagian kekuasaan, maka hal seperti itu pun ada dalam sistem Islam. Kekuasaan legislatif yang merupakan kekuasaan yang terpenting dalam sistem demokrasi terletak dalam diri umat secara kolektif dan terpisah dari kekuasaan imam atau pemimpin negara. Hukum disimpulkan dari Al-Qur’an dan hadits, atau ijma umat, atau hasil ijtihad. Dengan demikian, kedudukan hukum independen dari imam (kepala negara), bahkan lebih tinggi daripadanya.

Keistimewaan syariat Islam, dan yang hanya diakui oleh Islam, memperkuat statement bahwa Islam memberikan tempat khusus bagi umat dan aspirasinya dalam sistem Islam, yang lebih tinggi daripada apa yang mungkin dapat dicapai dalam sistem demokrasi manapun, sesempurna apapun sistem demokrasi itu. Kaum Muslimin telah menetapkan jauh sebelum Rousseau dan sejenisnya berbicara tentang aspirasi umum masyarakat, bahwa aspirasi umat adalah sakral dan merupakan cermin dari kehendak Allah, serta dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam, meskipun pada akhirnya tetap harus berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dari segi praktikal, aspirasi ini tercermin dalam ijma kalangan mujtahidin dari ulama umat Islam.

Sejarah Perkembangan Demokrasi Modern

Paham demokrasi bermula dari Revolusi Perancis tahun 1789, meskipun sistem perwakilan semacam parlemen telah dijalankan di Inggris sebelumnya. Sesungguhnya pemikiran mengenai prinsip kedaulatan rakyat yang merupakan dasar pemikiran demokrasi telah dibicarakan beberapa puluh tahun sebelum meletusnya Revolusi Perancis. Pemikiran tersebut dapat ditemukan pada tulisan-tulisan John Locke, Montesquieu, dan Rousseau, yakni tokoh-tokoh yang melahirkan pemikiran ikatan sosial yang menjadi dasar kedaulatan rakyat.

Pemikiran ini merupakan reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada Tuhan yang berkembang di Eropa selama kurang lebih sepuluh abad. Pemikiran penyerahan diri ini menyatakan bahwa para raja menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Tuhan. Dengan demikian, para raja mempunyai kekuasaan mutlak dan diperkuat oleh dukungan dari para paus. Kehidupan rakyat Eropa pun sangat menderita di bawah sistem penyerahan diri kepada Tuhan tersebut. Wajarlah bila paham kedaulatan rakyat saat itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja dan para paus yang berkuasa atas dasar perwakilan Tuhan, setidak-tidaknya begitu pengakuan mereka.

Pergeseran pemikiran mengenai kekuasaan dari asas perwakilan Tuhan menuju pemikiran kedaulatan rakyat tidak berjalan dengan damai, melainkan melalui revolusi berdarah yang sangat dahsyat di dunia, yaitu Revolusi Perancis. Motto Revolusi Prancis adalah “Gantunglah raja terakhir dengan usus pendeta terakhir”. Revolusi itu membuahkan hasil yang sangat penting, yaitu lahirnya pertama kali dalam sejarah Eropa Nasrani sebuah negara republik sekuler yang berfalsafah kekuasaan atas nama rakyat, bukan atas nama Tuhan. Lahir pula paham bebas beragama, sebagai pengganti doktrin Katolik dan paham kebebasan bagi semua orang, sebagai ganti dari ikatan perilaku keagamaan; serta undang-undang positif sebagai pengganti ketetapan-ketetapan gereja.

Pemikiran kedaulatan rakyat dan hak membuat undang-undang ini tampak jelas dalam prinsip-prinsip Revolusi Perancis dan undang-undangnya. Pada pasal ke-6 Proklamasi Hak-hak Asasi Manusia tahun 1789, tertera bahwa undang-undang adalah manifestasi dari kehendak rakyat. Artinya undang-undang itu bukan manifestasi dari kehendak gereja atau kehendak Tuhan. Dalam Proklamasi Hak-hak Asasi Manusia yang dikeluarkan bersama dengan Undang-undang Perancis tahun 1793, pada pasal ke-25 dinyatakan bahwa kedaulatan terpusat pada rakyat (dinukil dari Dr. As Sayid Shibri, Mabadiul Qonunid Dusturi, hal. 25). Berdasarkan kenyataan itu, prinsip-prinsip Revolusi Perancis tahun 1789 terhitung sebagai dasar prinsip-prinsip demokrasi Barat (Dr. Abdul Hamid Mutawali, Andzimul Hukmi fid Duwalin Namiyah, 1985: 30).

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Berpemilu dengan Damai

Saturday, June 13, 2009

Oleh: Margarito Kamis*

Hanya dalam damai, setiap orang berbudi akan memperoleh, menemukan, dan merasakan kesejatiannya sebagai warga bangsa. Karena esensinya begitu mengagumkan, hasrat berkehidupan dengan damai itu dibatinkan oleh orang-orang arif dalam pembukaan UUD 1945. Tidak salah kalau hasrat itu dimaknai luas oleh berbagai kalangan sebagai jiwa bangsa.

Berdasarkan esensinya yang agung itulah, maka setiap kali berembus suara-suara kedamaian, tak peduli dari mana asal usulnya, selalu terasa indah dan berkenan di hati setiap orang. Sebab suara damai, seabunawas apa pun suara itu, pasti tergerak, setidaknya bersentuhan dengan ketulusan para pemprakarsanya.

Elok

Keelokan dan keagungan “rasa damai” itu rasanya mulai terusik sedikit dalam beberapa hari kampanye ini. Perang udara dan perang darat yang telah bergema di hari-hari kampanye ini, dan mungkin akan terus berlanjut di hari-hari yang akan datang, tentu mencemaskan. Menariknya, perang ini tidak menggunakan senjata sungguhan, melainkan senjata kaum intelektual – argumen – dan senjata para politisi – siasat, jebakan, dan yang sebangsanya.

Betapapun amunisi utama perang politik pilpres yang ditabuh oleh para politisi dan serdadu-serdadunya, hanya bersenjatakan argumen dan siasat, tetap saja memerahkan dan memanaskan langit politik dan hukum kita. Sindir-menyindir dan bantah-membantah antarcapres kini semakin sering sampai ke telinga kita. Sering kali menjengkelkan, tetapi mau bilang apa.

Menang di udara, belum tentu menang di darat. Sementara menang di darat, pasti menjadi pemenang yang sesungguhnya. Karena itu, perang ini sungguh ketat, berisiko, dan melelahkan. Hanya mereka yang mengenal kelengahan dan kelemahan senti demi senti, menit demi menit, dan hari demi hari, yang dapat menatap sinar kemenangan. Karena itu, argumen dan pergerakan lawan pasti akan dianalisis secara cermat, cepat, dan tepat, agar lawan tidak memiliki kesempatan untuk menari-nari di medan perang, karena merasa telah memenangi perang, sekurang-kurangnya pertempuran.

Di titik itulah, keadaban berpemilu dipertaruhkan. Kesantunan, yang sejatinya merupakan pantulan dari kualitas suara moral yang bersemayam di hati, bukan di otak, dan yang kita perlukan, kini betul-betul berada dalam ujian berat. Semua orang tahu, capres dan cawapres dalam pilpres saat ini adalah orang-orang yang dulunya bersahabat satu dengan yang lainnya. Kini mereka, entah sungguh-sungguh ingin mengabdi kepada rakyat atau sepenuhnya demi harga diri mereka, atau karena empuknya kursi presiden, harus bersaing satu dengan yang lainnya, lalu sindir-menyindir dan bantah-membantah di panggung pemilu.

Bersahabat memang tidak mesti membutakan mata hati terhadap kesalahan sang sahabat. Sahabat sejati adalah sahabat yang mampu menunjukkan kesalahan sang sahabat. Bung Hatta, sosok yang terkenal kesahajaannya itu, dan begitu kokoh berpegang pada nilai-nilai moral, tidak membiarkan Bung Karno, sang sahabatnya, tergelincir dalam memimpin bangsa. Begitu lugas Bung Hatta mengkritik Bung Karno. Eloknya, Bung Hatta di sini terlihat mutu moralnya, tetap bertegur sapa dengan Bung Karno dengan suasana kekeluargaan yang hangat. Sungguh elok.

Menang dalam Damai

Meminta para capres dan cawapres untuk bertarung dengan kekuatan ketulusan khas orang-orang bermartabat, karena memiliki moralitas tinggi, pasti bukan sebuah dambaan konyol. Meminta mereka untuk mengontrol isu yang mesti digulirkan, baik oleh mereka sendiri maupun para penyokong utamanya, juga pasti bukan sebuah perkara yang sangat istimewa. Honesty, integrity, and trustworthiness, yang oleh George C Edwards dan Stephen J Wayne dilukiskan sebagai atribut-atribut esensial seorang presiden, pasti diketahui oleh para capres dan cawapres ini.

Tetapi konyol rasanya untuk berharap mereka tidak lagi mengatur penampilan di panggung pemilu ini. Mereka, mungkin baru berhenti ketika hukum melarang mereka untuk berhenti mendandani kata demi kata dan isu demi isu yang akan mereka lemparkan ke dalam panggung pemilu selama masa kampanye ini. Mereka tidak akan berhenti untuk terus membangun presidential image, selagi hukum memungkinkannya. Konyol juga untuk meminta mereka tidak lagi bepergian menemui pemilik republik ini, selagi hukum belum berkata apa-apa tentang apa saja yang memungkinkan mereka menang atau mengakibatkan mereka kalah.

Mereka – para capres dan cawapres ini pasti mengetahui kalau Theodore Roosevelt berpidato sebanyak 673 kali, mengunjungi kota di negara-negara bagian sebanyak 567 kali, yang kalau diletakkan dalam hitungan miles setara dengan 21.209 miles. Semuanya dilakukan oleh Roosevelt ketika berkampanye menantang William Jening Bryan yang hanya menempuh jarak perjalanan kampanye sejauh 18.000 miles.

Mengajarkan kepada para capres dan cawapres untuk selalu damai dalam berkampanye, pasti akan menjadi sebuah hal yang sangat konyol, karena mereka adalah arsitek-arsitek perdamaian. Tetapi, terlalu naif untuk tidak mengingatkan mereka, betapapun mereka adalah orang-orang, yang mungkin, berkemauan sama dengan kita. Soal kemauan ini, menarik memperhatikan moto Jimmy Carter ketika berkampanye. Katanya, “I want what you want.”

Berpemilu dalam damai menjadi begitu penting buat Indonesia, bukan karena damai disyaratkan oleh para pemilik modal asing dan dalam negeri sebagai sebuah unsur penting dalam membangun tata lingkungan investasi, tetapi lebih dari itu. Berpemilu damai, merupakan sisi lain kecintaan kita terhadap élan konstitusi – élan bangsa Indonesia – yang dengan begitu sadar ditorehkan oleh para founding fathers dalam pembukaan UUD 1945, puluhan tahun yang lalu.

Deklarasi kampanye damai, karena spiritnya, mesti direnungi, diresapi, dan diaktualisasikan oleh, bukan hanya para pemilih, melainkan, terutama oleh para capres dan cawapres dengan segenap penyokong utamanya. Menanglah dalam damai, dan damailah dalam menggapai kemenangan. Menang dan kalah adalah hukum pasti dalam sebuah pertandingan. Semuanya memiliki rahasia tersendiri, dan hanya orang-orang besar yang sesungguhnya, yang mampu mengenali rahasianya. Tetapi menang dan kalah dalam damai akan mengantarkan jiwa ke dalam kedamaian sejati. Semoga.

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

Diambil dari Koran Jakarta Jumat, 12 Juni 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di website Koran Jakarta

Baca selengkapnya...

Prasyarat Karakter Kepresidenan

Tuesday, June 09, 2009

Oleh: Yudi Latif*

Pada episentrum krisis kepemimpinan yang menimbulkan gempa krisis nasional bersemayam krisis karakter. Usaha kita keluar dari krisis tak bisa mengandalkan sekadar politics as usual, melainkan perlu menempatkan persoalan karakter sebagai pusat ukuran kepemimpinan.

Karakter mencerminkan kepribadian seseorang atau sekelompok orang yang terkait dengan basis moralitas, kekhasan kualitas, serta ketegaran dalam krisis. Ia merupakan jangkar jati diri karena merupakan aspek evaluatif yang menentukan sikap dasar manusia terhadap diri dan dunianya.

Meminjam ungkapan Franklin D Roosevelt, The presidency is preeminently a place of moral leadership. Keberhasilan seorang presiden ditentukan oleh modal moral serta kemampuannya berfungsi efektif dalam suatu budaya yang mencerminkan keragaman dan ketidakpastian moralitas.

Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik. Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, tetapi juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi perilaku rakyat.

Ketiga pasang calon presiden-calon wakil presiden Indonesia saat ini memperlihatkan basis moralitas yang berbeda. Pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto menonjol pada moralitas ”keadilan”, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada moralitas ”kebersihan”, dan pasangan Mohammad Jusuf Kalla-Wiranto pada moralitas ”pelayanan”.

Tindakan politik

Masalahnya, karena pemimpin politik dituntut menjadikan karakter moralitas perseorangan itu menjadi karakter moralitas rakyatnya, maka basis moralitas itu perlu diterjemahkan ke dalam ”tindakan politik”.

Hal ini menyangkut kinerja pemimpin dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya.

Karena ukuran-ukuran perilaku itu juga masih abstrak, moralitas juga memerlukan ”keteladanan”; menyangkut contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik.

Kemampuan menularkan keteladanan ini pada akhirnya ditentukan oleh kemampuan ”komunikasi politik” untuk menyosialisasikan gagasan dan nilai moralitasnya dalam bahasa persuasif efektif yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas rakyatnya.

Sungguh pun ketiga pasang, lewat berbagai iklan politik, mulai bisa diidentifikasi basis moralitasnya, publik politik masih meragukan kemampuan mereka menerjemahkannya ke dalam tindakan politik, keteladanan, dan komunikasi politik yang efektif.

Padahal, pada titik konsistensi inilah kesejatian seorang pemimpin diuji, yakni dalam kesatuan antara janji dan perbuatan.

Selain basis moralitas, karakter pemimpin juga ditentukan oleh kualitas khasnya yang membedakan dirinya dari orang lain. Kekhasan ini menjadi titik keunggulan atau membuat kelemahan menjadi kekuatan, yang pada gilirannya harus diterjemahkan ke dalam perbedaan dalam menentukan prioritas nasional.

Ahli kepresidenan, Stephen Hess, menjelaskan, ”Ketimbang sebagai chief manager, presiden adalah chief political officer dari sebuah republik.” Sebagai pejabat politik, tanggung jawab utama seorang presiden adalah membuat sejumlah kecil keputusan politik yang amat signifikan, seperti menentukan prioritas nasional, yang diterjemahkan ke dalam anggaran dan proposal legislasi.

Presiden juga dituntut bertindak sistematis untuk mendefinisikan mandat dan watak kepemimpinannya, selain harus menempatkan orang-orang yang loyal terhadap agendanya dalam posisi-posisi kunci.

Ideologi kerja

Dalam mendefinisikan mandat kepemimpinannya, pertama-tama seorang presiden harus memiliki landasan ideologi kerja berupa seperangkat prinsip dasar sebagai haluan kebijakan. Ideologi kerja ini sudah harus dinyatakan dalam kampanye yang bisa memberikan semacam jangkar nilai dan suar arah kepada publik pemilih. Dalam hal ini, ideologi presiden terkait dengan ideologi partai politik yang mendukungnya. Situasi Indonesia hari ini justru tak menunjukkan kejelasan dalam basis ideologi partai dan pembentukan koalisi. Ketidakjelasan basis nilai koalisi bisa membuat presiden terpilih pun tak punya prinsip dasar dan watak yang jelas pula.

Jika ada kejelasan ideologis, sebuah platform bisa diturunkan dengan prioritas yang jelas. Karena presiden tidak bisa mengurus dan menyelesaikan semua urusan pemerintahan, agenda pemerintahannya harus jelas dan terbatas dengan arahan jelas. Presiden harus menunjukkan fokus dalam mendefinisikan, dan keefektifan dalam mengejar, agenda substantifnya, demi memudahkan mobilisasi sumber daya serta menawarkan sense of direction bagi aparat pemerintahan, publik, dan media. Ambisi menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini.

Keberanian menentukan fokus terkait dengan karakter ketiga yang diperlukan seorang pemimpin, yakni ketegaran; kemampuan menghadapi kesulitan, ketidakenakan, dan kegawatan. Seorang pemimpin harus menjadi jangkar keyakinan dalam samudra ketidakpastian dan ketidakpercayaan.

Pemimpin pada masa krisis memerlukan kecepatan dan ketepatan untuk membidik jantung krisis. Untuk itu, perlu keberanian menentukan pilihan dan menghadapi pihak-pihak antiperubahan. Namun, ada risiko besar bagi presiden yang terlalu berhati-hati mencari jalan aman: peluang lewat, momentum lenyap, sinisme menguat.

Dengan prasyarat karakter yang diperlukan, publik bisa menilai pasangan mana yang mendekati tipe ideal yang diidamkan. Selanjutnya terserah Anda!

* Direktur Eksekutif Reform Institute

Diambil dari Kompas Selasa, 9 Juni 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak

Baca selengkapnya...

Pertarungan Koki Politik

Saturday, June 06, 2009

Oleh: Moch Nurhasim*

Pertarungan isu-isu politik menjelang pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden 8 Juli 2009 mendatang semakin sengit. Isu politik sebagai suatu agenda politik yang memengaruhi citra politik tiap calon dikemas oleh para koki politik.

Tiap calon telah memilih para koki politik masing-masing. Kehadiran koki politik dalam perebutan kursi RI-1 dan RI-2 ini bukanlah hal yang baru. Sejak munculnya pemilihan presiden-wakil presiden dan kepala daerah secara langsung, lahir beberapa kelompok yang dapat disebut sebagai koki politik. Koki politik ini memiliki tugas untuk mengemas gagasan, visi-misi, dan program kerja para calon presiden-wakil presiden lima tahun mendatang.

Kemasan yang mereka hasilkan dapat berubah iklan, spanduk, bahan pidato, dan mobilisasi isu serta gagasan. Peran mereka ini cukup penting dalam dua hal. Pertama, memengaruhi calon presiden-wakil presiden dalam menetapkan prioritas isu politik, jargon hingga simbol-simbol body language untuk memengaruhi pemilih.

Kedua, mereka juga bertugas meracik "makanan" yang khas untuk calonnya dan yang memiliki cita rasa sesuai dengan lidah rakyat Indonesia. Sejauh mana cita rasa dan kemasan para koki politik ini akan dicerna oleh masyarakat pemilih di Indonesia?

Dari Isu Keluarga hingga SARA

Politik isu, agenda politik, dan setting politik merupakan instrumen yang dipergunakan untuk memengaruhi pemilih. Dalam ranah pertarungan politik untuk memperebutkan kekuasaan dikenal istilah black campaign (kampanye hitam) yang isinya adalah caci maki dan saling memojokkan.

Kampanye hitam bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara demokrasi. Perdebatan biasanya mencakup apa yang harus diketahui dari seorang calon? Apakah seorang calon harus "dikuliti" mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki? Artinya, tidak ada lagi ranah pribadi karena semua diri calon adalah menjadi ranah publik.

Semua bisa dikomentari, semua bisa dipergunjingkan, mulai dari gaya bicara, gaya berpakaian, anak-istri, gaya memimpin, gaya berpolitik hingga perilaku politik seorang calon. Dengan alasan tidak ada lagi ranah pribadi, demokrasi dalam suatu sistem pemilihan presiden dan wakil presiden sepantasnya memberikan ruang kritis bagi pemilih untuk menimbang dan memahami siapa calon pemimpinnya.

Jika demokrasi meletakkan landasan tidak ada ranah pribadi bagi seorang calon presiden-wakil presiden, itu berarti semua dapat diperbincangkan dan semua dapat dipertanyakan. Masalahnya, ruang semacam itu sulit untuk ditemukan. Alasannya, masyarakat sudah terbelah-belah oleh politik dukungan dan mobilisasi.

Para koki politik pasangan JK-Wiranto misalnya mengemas jargon mereka sebagai yang paling cepat dan berani bertanggung jawab atau berani mengambil risiko. Kelompok kedua adalah pasangan Mega-Pro yang berjargon sebagai calon presiden wong cilik dengan ekonomi kerakyatan.

Sisanya, kubu incumbent, SBY-Boediono juga mengemas citra politik sebagai calon presiden yang baik, mulai dari keluarga hingga dalam gaya kepemimpinan. Untuk menggodok citra politik itu, para koki politik mulai memunculkan sentilan-sentilan politik "citra". Ketika Boediono diusung, muncullah isu neoliberal yang menghantam kubu SBY-Boediono.

Iklan politik pun akhirnya menjelaskan makna dari neoliberal itu dan apa dampaknya bagi Indonesia. SBY bahkan kemudian memerintahkan agar menyiapkan 12 isu untuk menangkis isu-isu politik yang berkembang mulai dari isu neoliberal versus kerakyatan, isu kebangsaan-pluralisme hingga soal utang luar negeri. Demikian pula ketika pasangan Mega-Pro memilih deklarasi secara sederhana dan tidak mewah di Tempat Pembuangan Sampah Bantar Gebang.

Ada pesan yang diramu oleh para koki politik untuk menampilkan citra dan kedekatan kelompok ini kepada rakyat kecil (wong cilik). Pertarungan gagasan itulah yang digodok oleh para koki politik. Para koki politik ini memiliki peran yang cukup signifikan semisal menyiapkan iklan dan simbol-simbol pertarungan. Bahkan para koki politik SBY, Fox Indonesia, misalnya mengubah iklan Indomie dengan lagu SBY presidenku.

Sementara itu, Prabowo tetap konsisten dengan gaya politik kerakyatan yang terus mengingatkan bangsa ini agar kekayaannya tidak diambil oleh negara asing. Inti dari pertarungan gagasan itu tentu bertujuan memengaruhi rakyat Indonesia.

Dalam konteks perang gagasan, ada kecenderungan bahwa para koki politik ini mengemas citra yang bagus-bagus, sementara itu koki politik di luarnya mencoba untuk merasakan kemasan itu dan timbullah respons. Respons para koki biasanya justru respons yang negatif, bahkan respons yang tidak cerdas dan emosional.

Menutupi Kelemahan

Dari pertarungan isu-isu politik yang sedang dipamerkan di televisi hingga media cetak, ada kecenderungan bahwa para koki politik menampilkan politik poles wajah. Tujuannya adalah melakukan kemasan yang menarik dari diri seorang calon presiden.

Sosok mereka selalu ditampilkan dengan gaya dan polesan yang baik-baik. Nyaris informasi yang jelas tidak diperoleh oleh publik untuk mengetahui kelemahan tiap calon. Usaha rakyat untuk mencari apa yang orisinal dari calon itu kadang menemui hambatan dan kendala.

Selain disebut sebagai black campaign, juga dapat dianggap melakukan pencemaran nama baik dan tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan dapat dipenjarakan. Dengan kondisi demikian, informasi ke publik relatif tidak sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya.

Rakyat sebenarnya disuguhi informasi-informasi yang sudah direkayasa sedemikian rupa yang menampilkan para calon itu ibarat dewa yang tidak punya kelemahan. Ini semua dampak dari distorsi pencitraan sebagai "satu-satunya" cara agar calon mereka dipilih oleh rakyat.

Masalahnya, apakah pencitraan politik yang berlebihan ini tidak dapat dianggap sebagai kebohongan publik? Suatu upaya untuk menutupi informasi yang sebenarnya, hanya menampilkan yang baik-baik saja, sedangkan yang buruk ditaruh di bawah bantal, tidak boleh dimunculkan ke permukaan.

Hingga saat ini, kita pun sulit untuk mencari bukti ilmiah apa yang berhasil dan gagal dari pemerintahan yang sedang berjalan? Jika kita mengikuti alur kampanye incumbent, seakan-akan tidak ada masalah bagi Indonesia, semuanya baik-baik saja. Semua ini sebagai dampak dari tidak adanya ukuran dan tanggung jawab presiden terpilih untuk merealisasi visi, misi, dan programnya jika mereka terpilih kelak.

Selain itu, visi, misi, dan program para calon terkesan abstrak sehingga ketika mereka terpilih sulit untuk dimintai pertanggungjawaban dari daftar menu yang ditawarkan, berapa persen yang sudah direalisasi untuk rakyat Indonesia? Jika kita mengulang cara-cara yang sama pada Pilpres 2004 lalu, tentu rakyat Indonesia akan disuguhi janji-janji yang sama sebagai angin surga. Padahal, kebanyakan angin akan mengakibatkan rakyat Indonesia menjadi kembung.

* Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta

Diambil dari Harian Seputar Indonesia Jumat, 5 Juni 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Okezone

Baca selengkapnya...

Negara ”Pascaneoliberal”

Thursday, June 04, 2009

Oleh: Syamsul Hadi*

Dalam A Short History of Neoliberalism (2000), Susan George mengingatkan kita tentang sifat relatif paham neoliberal. Ia hanya konstruksi sebuah zaman saat korporasi dilihat sebagai sumber utama kemakmuran tiap bangsa dan negara dilihat sebagai ”ancaman” bagi efisiensi dan produktivitas pasar.

Secara struktural, gelombang neoliberalisme yang dimulai awal 1980-an merupakan ”arus atas” dari perubahan struktur produksi kapitalisme, dari produksi yang bersifat massal (fordism-taylorism) kepada suatu produksi yang mengandalkan teknologi informasi dan digital, dengan pergerakan kapital finansial yang enggan dibatasi oleh ruang (baca: kedaulatan negara) dan waktu.

Dalam Empire (2001), Michael Hardt dan Antonio Negri menyebutkan ini sebagai postmodernization dari sistem kapitalisme, yang diwarnai pergerakan dari sektor industri ke sektor tertier (jasa, finansial), dengan peran sentral pengetahuan, informasi, dan komunikasi yang bergerak cepat. ”Kebebasan pasar” menjadi kata kunci yang mengaitkan ekonomi antarnegara ke dalam suatu interdependensi global.

Gelombang perubahan

Periode ”hegemoni” paham neoliberal tercatat sebagai periode paling rentan bagi hadirnya krisis finansial, seperti terjadi di seluruh Amerika Latin (1980-an), Meksiko (1994), dan Asia Timur (1997-1998). Klimaksnya, krisis finansial global yang melanda dunia sejak dua tahun terakhir yang telah mengantarkan neoliberalisme pada titik nadirnya.

Seperti tecermin dalam diskusi di forum-forum mainstream semacam KTT G-20, kini tak seorang pun membantah, liberalisasi ekonomi yang kebablasan menjadi penyebab krisis global yang menyebabkan puluhan juta orang kehilangan kerja dan terperosok dalam kemiskinan.

”Ruang ekonomi bebas” ternyata dimanipulasi pelaku pasar finansial untuk tujuan-tujuan pengayaan diri secara instan dengan mengorbankan mayoritas anggota masyarakat. Pada saat kehancuran sektor finansial merembet pada sektor riil, peran negara untuk menyelamatkan ekonomi nasional lalu menjadi pilihan tak terhindarkan.

Dalam konteks IMF, yang dalam dua dekade terakhir identik dengan kejemawaan paham neoliberal, perubahan orientasi dan perspektif sesungguhnya telah dimulai saat Dominique Strauss-Kahn dilantik menjadi Managing Director IMF pada tahun 2007, saat dengan jelas dia menyatakan, tanpa adanya perubahan orientasi dalam kebijakan ekonomi, IMF akan kehilangan relevansinya. Strauss-Kahn juga tidak segan-segan mengkritik sikap ”fundamentalisme pasar” pendahulunya, seperti dilakukannya dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Januari 2008.

Jelas bahwa Strauss-Kahn telah belajar dari kegagalan Structural Adjustment Program IMF yang dipaksakan di Asia, Rusia, dan Amerika Latin pada era 1980-an dan 1990-an. Dukungan ”IMF baru” pada peningkatan peran negara dalam ekonomi tecermin dalam anjuran Strauss-Kahn atas negara-negara Eropa untuk memperbesar stimulus pemerintah atas perekonomian, selain kritiknya atas keraguan Pemerintah AS dalam menuntaskan persoalan aset-aset bermasalah di sektor perbankan.

Secara masif, gelombang ”pengingkaran global” atas neoliberalisme justru dimulai di AS, ”tanah kelahiran” neoliberalisme sendiri, saat krisis finansial memaksa pemerintah melakukan bail out triliunan dollar AS untuk menyangga sektor korporasi yang terancam runtuh.

Perbankan AS secara efektif telah dinasionalisasi pada Oktober 2008, hampir berbarengan dengan pemberian dana negara 25 miliar dollar AS kepada the big three di sektor otomotif (General Motors, Chrysler, dan Ford). Lebih mengejutkan lagi, pada Februari 2009 Kongres AS mengeluarkan regulasi ”Buy American” yang jelas mengingkari prinsip pasar bebas (salah satu substansi pokok neoliberalisme) karena mengharuskan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pekerjaan umum (public works) menggunakan produk baja dalam negeri.

Di bawah Obama, peran aktif pemerintah bukan hanya diarahkan untuk memulihkan kekuatan sektor korporasi, tetapi juga memulai rekayasa ekonomi berbasis lingkungan (green economy) serta memperluas komitmen negara bagi kesehatan dan jaminan-jaminan sosial lain.

Di bawah Obama, AS bukan hanya telah mengingkari prinsip pembatasan peran ekonomi negara dalam model Anglo-Saxon Capitalism, tetapi juga makin mendekat kepada model welfare state Eropa yang ditandai oleh peningkatan budget besar-besaran untuk kesejahteraan sosial. OECD memprediksi terjadinya kenaikan belanja Pemerintah AS ke angka 40 persen pada tahun 2010 setelah satu dekade sebelumnya hanya mencapai 34 persen (Newsweek, 16/2).

Kapitalisme negara?

Ian Bremmer (State Capitalism Comes of Age: the End of Free Market?, Foreign Affairs, Mei/Juni 2009) menyatakan, kehadiran krisis global dua tahun terakhir menyebabkan peningkatan intervensi negara/pemerintah bukan hanya di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara paling maju (developed countries).

Bremmer menyebutkan ini sebagai gelombang ”kapitalisme negara” (state capitalism) yang memfungsikan negara sebagai leading economic actor yang mengarahkan pasar untuk berbagai tujuan politik, ekonomi, dan sosial. Rule of the game akan bergeser dari keniscayaan neoliberal seperti liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi, kepada peningkatan efektivitas peran negara dalam pembangunan sosial-ekonomi.

Pandangan Bremmer jelas mewakili ”semangat zaman” terbaru setelah hadirnya krisis finansial global. Kemungkinan besar model ”kapitalisme negara” hanyalah konstruksi paradigmatis sementara yang muncul sebagai respons atas ”fundamentalisme pasar” (baca: neoliberalisme) yang telah memenjara masyarakat dunia dalam lingkaran krisis demi krisis.

Meminjam Anthony Giddens, ke depan kita butuh ”Jalan Ketiga” (Third Way) yang dapat menjamin keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, ketahanan ekologi, dan keadilan sosial. Bukankah ekstremitas dan fanatisme selalu membuahkan tragedi?

* Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI

Diambil dari Kompas Rabu, 3 Juni 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak

Baca selengkapnya...