KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Demokrasi dan Islam

Saturday, June 20, 2009

Oleh: Muhammad Iqbal*

Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang menjadi trend di dunia Barat. Islam pada saat zaman Rasulullah berkuasa dan para khalifah menjadi penguasa sesudah Rasulullah juga telah menerapkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Seperti contoh pada zaman Rasulullah terjadi peristiwa Aqabah I dan II, yang pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad diangkat menjadi imam oleh utusan dari Madinah yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Alangkah miripnya kedua peristiwa baiat itu dengan kontrak-kontrak sosial yang dideskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern serta dianggap sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan serta nilai-nilai demokrasi juga telah diterapkan pada era kepemimpinan Rasulullah.

Setelah Rasulullah wafat, pemilihan sebagai imam atau pemimpin dilanjutkan kekhalifahan Khulafaur Rasyidin dan bentuk pemilihannya diadakannya musyawarah dari tiap-tiap perwakilan suku-suku dan golongan (ulama, bangsawan, tentara, dan sahabat). Hari Saqifah adalah bentuk pertemuan atau musyawarah untuk memilih pengganti Rasulullah sebagai imam dan pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai pemimpin. Musyawarah tersebut merupakan bentuk kecil dari sebuah parlemen dan nilai-nilai demokrasi telah diterapkan pada masa perjuangan Islam. Pada zaman sekarang ini yang sudah termasuk era modern banyak negara-negara yang mayoritas warganya beragama Islam, menerapkan bentuk sistem politik dan pemerintahannya meniru model negara-negara barat yang notabene “Demokrasi” sedang menjadi suatu bentuk sistem politik yang ideal pada era modern ini.

Memang pada dewasa ini jika kita mengamati, dunia ini dikuasai oleh negara-negara Barat dan negara-negara Islam sebagian besar merupakan negara berkembang. Melalui hegemoni Amerika Serikat dan sekutunya mengkampanyekan demokrasi di setiap pelosok bumi ini, termasuk negara-negara mayoritas warganya Muslim. Jika kita telusuri melalui perspektif sejarah tentang demokrasi bisa kita lihat pada zaman Yunani kuno, para filsuf atau pemikir pada zaman tersebut telah memakai istilah demos yang cikal bakal dari kata “Demokrasi”. Nilai demokrasi telah diterapkan pada zaman Yunani kuno yang memang pada era tersebut menerapkan city state (negara kota) dan jika ada suatu permasalahan negara, dikumpulkannya masyarakat di suatu tempat terbuka dan melakukan perdebatan untuk menghasilkan jalan keluar atau solusi dari permasalahan tersebut. Hal tersebut telah dilakukan oleh kebudayaan Barat pada tahun 2500-an SM, jauh sebelum zaman Islam berjaya dan demokrasi mempunyai asas atau prinsip “kedaulatan tertinggi ditangan rakyat”.

Ibnu Khaldun sebagai pemikir besar Islam juga membahas permasalahan pemerintahan. Ada tiga jenis pemerintahan menurut Ibnu Khaldun:

1. Pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. Bisa jadi, termasuk didalamnya kasus-kasus ketika orang-orang yang berkuasa berdasarkan hawa nafsu dan instingnya tergabung dalam kelompok tertentu atau kelas masyarakat tertentu.

2. Pemerintahan (republik) ataupun juga kerajaan konstitusional, yang dapat mewujudkan keadilan sampai batasan tertentu; membawa berbagai manfaat bagi rakyat dalam kehidupan dunia karena menjalankan kebijakannya berdasarkan rasio yang telah digariskan oleh para pemikir dan intelektual umat serta dapat membawa pada stabilitas dan keteraturan kehidupan, juga membawa kemajuan dan kejayaan negara.

3. Sistem ketiga identik dengan membawa semua orang untuk berpikir sesuai dengan jalan agama, dalam memenuhi semua kepentingan mereka, baik yang bersifat keukhrawian maupun keduniawian yang juga harus dirujukan kepada yang disebut pertama (keukhrawian) karena dalam pandangan syara’, semua situasi dan kondisi keduniaan harus selalu memperhatikan pula kemaslahatan ukhrawi.

Dari ketiga sistem pemerintahan yang telah dirumuskan oleh Ibnu Khaldun, bisa terlihat perangkat-perangkat negara demokrasi ada dari salah satu ketiga sistem tersebut. Hal ini menandakan bahwa pemikir Islam juga telah berpandangan jauh dalam masalah keterkaitan Islam dan demokrasi.

Era Reformasi

Pada era reformasi, nama Islam semakin terpuruk oleh peristiwa 11 September 2001. Islam menjadi identik dengan kekerasan dan aksi terorisme padahal tindakan tersebut dilakukan oleh segelintir orang yang melakukan aksinya mengatasnamakan Islam. Di Indonesia sendiri aksi terorisme sudah terjadi, seperti pada kasus pengeboman di Bali yang menelan 202 korban jiwa yang terdiri dari warga Indonesia dan turis asing. Laskar atau ormas-ormas Islam juga bermunculan saat era Soeharto lengser. Sebagian ormas Islam tersebut telah melakukan kekerasan pada orang lain mengatasnamakan agama dan terjadinya konflik horizontal di masyarakat serta membuat nama Islam menjadi terpuruk lagi.

Kekerasan yang dilakukan oknum-oknum tersebut yang melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama telah melanggar nilai-nilai demokrasi yang mengedepankan dialog dan musyawarah. Tetapi hal tersebut terjadi jika kita lihat pada era Orde Baru yang dimana keran demokrasi telah ditutup dengan rapat dan pada era reformasi keran demokrasi telah dibuka selebar-lebarnya. Hal tersebut telah membuat celah terjadinya kekerasan yang banyak dilakukan pada era reformasi. Mungkin hal ini terjadi karena kurang tegasnya pemerintah dalam menghukum para pelaku kekerasan dan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap ormas-ormas yang melakukan kekerasan.

Tetapi, memang perlu keran demokrasi dibuka selebar-lebarnya untuk membuat semakin kreatifnya masyarakat dan mampu menjadi sebuah kelompok penekan dan pengawas kinerja terhadap kebijakan pemerintah. Inilah arti penting dari demokrasi itu sendiri, yang memberikan kebebasan seluas-luasnya dan adanya peraturan yang mengaturnya. Islam pada era reformasi telah menjadi permasalahan hangat baik di kalangan luas, adanya kelompok yang menyetujui demokrasi maupun yang tidak menyetujui.

Di negeri lainnya seperti di Turki, keberhasilan Mustapha Kemal Pasha mencapai reformasi bergantung atas kemampuannya melakukan pemisahan berbagai permasalahan, yang waktu itu memberi kesan, bahwa ia menitikkan perhatian khususnya pada satu bidang sembari meninggalkan bidang-bidang lain untuk sementara. Rencana besar dan tujuan utamanya terpulang pada dirinya sendiri. Sarana utama adalah membangun negara kebangsaan Turki di atas puing-puing Kerajaan Ottoman yang ditinggal oleh Anatolia. Dalam usahanya merumuskan komunitas nasional, Mustapha Kemal secara waspada memisahkan masalah-masalah negara kebangsaan Turki yang homogen, terbatas dan integral dari tipe kekuasaan politik yang telah ada di negeri itu. Hal tersebut mengindikasikan perubahan sistem politik di Turki dari sistem yang berdasarkan nilai-nilai Islam pada zaman Kerajaan Ottoman, sedangkan pada saat Mustapha Kemal berkuasa sistem Islam dihapuskan dan digantikan dengan sistem yang lebih demokratis serta lebih meniru Barat dalam model pemerintahannya.

Reformasi di berbagai dunia selalu berbeda-beda dalam penerapannya, ada yang berhasil dan gagal. Indonesia yang pada tahun 1998 melakukan reformasi hingga pada saat ini belum mencapai tahap keberhasilan, bahkan sebagian kalangan menilai reformasi yang terjadi di Indonesia tidak tepat sasaran, terlebih keadaan negara lebih buruk dibandingkan era Orde Baru. Tetapi reformasi yang terjadi di Indonesia ada sisi positifnya, yaitu adanya kebebasan di masyarakat dan kemajuan dalam hal penyelenggaraan pemilu yang lebih demokratis serta kemajuan di berbagai bidang lainnya, hal seperti ini tidak didapatkan pada era Orde Baru yang pemerintahnya lebih ototarian dalam mengatur masyarakatnya.

Pada era reformasi, sebagian besar masyarakat tidak menginginkan untuk merubah sistem yang telah demokratis dengan sistem model lain seperti halnya sistem Islam, walau di DPR ada beberapa partai Islam mencoba mengusahakan sistem Islam diterapkan pada era reformasi. Khatib ‘Am PBNU, Said Agil Siradj ketika merespon adanya keinginan dari partai-partai Islam membentuk fraksi Islam di DPR hasil pemilu 1999 mengatakan, “Pembentukan fraksi Islam adalah pengkhianatan pada komitmen membangun negara kebangsaan.” Pada akhirnya hingga saat ini keinginan tersebut tidak terealisasikan karena memang partai-partai Islam menjadi kelompok minoritas di parlemen dibandingkan dengan partai-partai nasionalis yang menguasai kursi-kursi di parlemen. Sehingga akan sulit partai-partai Islam memperjuangkan fraksi Islam di DPR.

Islam dan Demokrasi

Mayoritas ahli politik modern, terutama yang berada di negara-negara Islam, melihat adanya persamaan dan kemiripan antara Islam dan demokrasi. Sistem demokrasi yang saat ini menjadi trend di dunia Barat, pada gilirannya juga mengkampanyekan sistem ini, memujinya, dan mengangkatnya. Benar antara Islam dan demokrasi ada beberapa kesamaan, namun hal itu hanya cocok untuk mendeskripsikan sebagian sistem Islam itu. Karena pada kenyataannya, keduanya juga mempunyai perbedaan yang sama besar dengan sisi persamaannya.

Jika yang dimaksud dengan demokrasi adalah seperti yang didefinisikan oleh Lincoln, yaitu pemerintahan dari rakyat, melalui rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi adalah apa yang sering dikaitkan dengannya, seperti adanya konsep politik, atau konsep sosial tertentu, misalnya konsep persamaan di hadapan di undang-undang, kebebasan berkepercayaan dan akidah, mewujudkan keadilan sosial, dan lainnya, atau jaminan atas hak-hak tertentu, seperti hak hidup, berkebebasan, dan bekerja, serta sejenisnya, tentunya tidak diragukan lagi seluruh prinsip dan hak tadi terwujudkan dan terjamin dalam sistem Islam. Perlu diperhatikan bahwa pandangan Islam terhadap hak-hak tadi ditinjau dari tempat timbulnya yang alami, dapat berbeda dan dapat dilihat sebagai hak-hak Allah, atau hak bersama antara Allah dan hambanya atau dilihat sebagai nikmat, bukan hak, atau merupakan undang-undang yang diletakkan oleh Allah bagi wujud atau fitrah ini.

Sedangkan, jika yang dimaksud dengan demokrasi itu adalah sistem yang menjadi ikutannya, yaitu konsep pembagian kekuasaan, maka hal seperti itu pun ada dalam sistem Islam. Kekuasaan legislatif yang merupakan kekuasaan yang terpenting dalam sistem demokrasi terletak dalam diri umat secara kolektif dan terpisah dari kekuasaan imam atau pemimpin negara. Hukum disimpulkan dari Al-Qur’an dan hadits, atau ijma umat, atau hasil ijtihad. Dengan demikian, kedudukan hukum independen dari imam (kepala negara), bahkan lebih tinggi daripadanya.

Keistimewaan syariat Islam, dan yang hanya diakui oleh Islam, memperkuat statement bahwa Islam memberikan tempat khusus bagi umat dan aspirasinya dalam sistem Islam, yang lebih tinggi daripada apa yang mungkin dapat dicapai dalam sistem demokrasi manapun, sesempurna apapun sistem demokrasi itu. Kaum Muslimin telah menetapkan jauh sebelum Rousseau dan sejenisnya berbicara tentang aspirasi umum masyarakat, bahwa aspirasi umat adalah sakral dan merupakan cermin dari kehendak Allah, serta dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam, meskipun pada akhirnya tetap harus berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dari segi praktikal, aspirasi ini tercermin dalam ijma kalangan mujtahidin dari ulama umat Islam.

Sejarah Perkembangan Demokrasi Modern

Paham demokrasi bermula dari Revolusi Perancis tahun 1789, meskipun sistem perwakilan semacam parlemen telah dijalankan di Inggris sebelumnya. Sesungguhnya pemikiran mengenai prinsip kedaulatan rakyat yang merupakan dasar pemikiran demokrasi telah dibicarakan beberapa puluh tahun sebelum meletusnya Revolusi Perancis. Pemikiran tersebut dapat ditemukan pada tulisan-tulisan John Locke, Montesquieu, dan Rousseau, yakni tokoh-tokoh yang melahirkan pemikiran ikatan sosial yang menjadi dasar kedaulatan rakyat.

Pemikiran ini merupakan reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada Tuhan yang berkembang di Eropa selama kurang lebih sepuluh abad. Pemikiran penyerahan diri ini menyatakan bahwa para raja menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Tuhan. Dengan demikian, para raja mempunyai kekuasaan mutlak dan diperkuat oleh dukungan dari para paus. Kehidupan rakyat Eropa pun sangat menderita di bawah sistem penyerahan diri kepada Tuhan tersebut. Wajarlah bila paham kedaulatan rakyat saat itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja dan para paus yang berkuasa atas dasar perwakilan Tuhan, setidak-tidaknya begitu pengakuan mereka.

Pergeseran pemikiran mengenai kekuasaan dari asas perwakilan Tuhan menuju pemikiran kedaulatan rakyat tidak berjalan dengan damai, melainkan melalui revolusi berdarah yang sangat dahsyat di dunia, yaitu Revolusi Perancis. Motto Revolusi Prancis adalah “Gantunglah raja terakhir dengan usus pendeta terakhir”. Revolusi itu membuahkan hasil yang sangat penting, yaitu lahirnya pertama kali dalam sejarah Eropa Nasrani sebuah negara republik sekuler yang berfalsafah kekuasaan atas nama rakyat, bukan atas nama Tuhan. Lahir pula paham bebas beragama, sebagai pengganti doktrin Katolik dan paham kebebasan bagi semua orang, sebagai ganti dari ikatan perilaku keagamaan; serta undang-undang positif sebagai pengganti ketetapan-ketetapan gereja.

Pemikiran kedaulatan rakyat dan hak membuat undang-undang ini tampak jelas dalam prinsip-prinsip Revolusi Perancis dan undang-undangnya. Pada pasal ke-6 Proklamasi Hak-hak Asasi Manusia tahun 1789, tertera bahwa undang-undang adalah manifestasi dari kehendak rakyat. Artinya undang-undang itu bukan manifestasi dari kehendak gereja atau kehendak Tuhan. Dalam Proklamasi Hak-hak Asasi Manusia yang dikeluarkan bersama dengan Undang-undang Perancis tahun 1793, pada pasal ke-25 dinyatakan bahwa kedaulatan terpusat pada rakyat (dinukil dari Dr. As Sayid Shibri, Mabadiul Qonunid Dusturi, hal. 25). Berdasarkan kenyataan itu, prinsip-prinsip Revolusi Perancis tahun 1789 terhitung sebagai dasar prinsip-prinsip demokrasi Barat (Dr. Abdul Hamid Mutawali, Andzimul Hukmi fid Duwalin Namiyah, 1985: 30).

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

0 Comments: