KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Kontroversi Ujian Nasional

Monday, July 20, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Ujian Nasional (UN) untuk siswa SMA telah berakhir 24 April 2009 yang lalu. Minggu ini pengumumannya diumumkan. Ada yang bersorak kegirangan karena berhasil melewati UN, ada juga yang menangis, bahkan sampai pingsan karena dinyatakan tak lulus UN. Bagi yang lulus mungkin tidak masalah, tapi bagi yang gagal, UN menimbulkan pertanyaan besar. Perlukah UN diadakan? Kalau perlu mengapa terkesan digeneralisir sehingga saya bisa tidak lulus? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin akan ditanyakan setiap peserta UN yang tidak lulus, apalagi di daerah-daerah di seluruh nusantara ini. Kita tahu, paham, mengerti, dan akhirnya maklum bahwa standar pendidikan di negeri tercinta kita ini tidaklah merata. Jadi, jika UN digeneralisir, tentunya hal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi kita semua, apalagi bagi para pesertanya yang wajib lulus demi menggapai impian belajar di universitas.

Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya selalu menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya UN, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya. Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap bahwa UN sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotorik, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme.

UN saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis, artinya soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif dari peserta didik. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif peserta didik, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.

Selain itu, UN sering dimanfaatkan untuk kepentingan di luar pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, pencontekan yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Sampai saat ini pun belum ada pola baku sistem ujian akhir untuk siswa. Perubahan sering terjadi seiring dengan pergantian pejabat. Hampir setiap pejabat ganti, kebijakan sistem juga ikut berganti rupa. Akhirnya permainan kotor yang selama ini disembunyikan di bawah karpet ketahuan juga. Kebiasaan mengatrol siswa dan menyulap angka selama bertahun-tahun telah menipu publik dan membuat bangsa ini kembali tidak mau belajar dari kesalahan.

Kisah pendidikan di Indonesia penuh air mata, mulai dari sakralisasi guru, degradasi mutu, sampai kepada eksperimen kurikulum yang tak jelas arahnya maupun implementasinya. Semua bermuara ke realita rendahnya apresiasi pemerintah terhadap bidang pendidikan dibanding dengan bidang lain seperti ekonomi, politik, dan lain-lain. Dalam konteks yang lebih sempit, hingga kini pemikiran dan tujuan yang melandasi kebijakan UN masih amat rancu. Kewenangan kelulusan yang seharusnya ada di tangan guru seperti diatur pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional langsung diubah dengan diterbitkannya PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penjelasan para birokrat pendidikan di Jakarta maupun daerah tentang UN tidak konsisten atau malah mencerminkan kekurangpahaman mengenai fungsi dan tujuan ujian, evaluasi, dan standarisasi.

Badan Standarisasi Pendidikan Nasional Pusat (BSNP) harus membuat aturan-aturan baru untuk meminimalisir kekurangan-kekurangan UAN. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut. Pertama, pemerintah pusat ataupun daerah dan juga DPR/DPRD harus diberi penjelasan yang baik dan terus-menerus mengenai pentingnya meningkatkan anggaran pendidikan. Kedua, BSNP juga mesti mensosialisasikan kepada pemerintah pusat/daerah dan DPR/DPRD, serta kepada masyarakat umumnya untuk tidak menjadikan persentase kelulusan menjadi komoditas politik. Ketiga, membentuk kepanitiaan independen dalam pelaksanaan UAN dari tingkat pusat, sampai ke sekolah-sekolah.

Apabila UN dimaksudkan untuk pemetaan kondisi pendidikan nasional, mengapa harus digeneralisasikan? Mengapa tidak menggunakan metode pengambilan sampel saja agar lebih hemat? Dan untuk tujuan pemetaan, seharusnya nilai ujian tidak perlu diumumkan, apalagi sampai menjatuhkan mental para siswa. Jika UN digunakan untuk menentukan kelulusan siswa, jelas bahwa prinsip test what you teach (ujilah apa yang sudah diajarkan) sudah dilanggar. Ketika kecemasan semakin menumpuk sehubungan dengan pelaksanaan ujian, sekolah, guru, dan orang tua mencekoki siswa dengan soal-soal tes. Suka atau tidak, upaya seperti ini akan menyita waktu dan perhatian yang seharusnya digunakan untuk proses belajar-mengajar. Orientasi siswa hanya akan tertuju pada UN, bukan pada mencari ilmu lagi dan juga tujuan guru hanya untuk secara intensif mengajarkan dan melatih siswa untuk belajar prediksi soal-soal yang akan keluar pada UN nanti bukannya mengajarkan siswa sesuai kurikulum pemerintah.

Agak aneh memang, di satu sisi pemerintah ingin membuat sebuah pemetaan general akan pelaksanaan UN di Indonesia tapi dalam realitanya para “pelaku-pelaku di lapangan” (siswa, guru, dan pihak sekolah) malah mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan standar kurikulum nasional yang notabene adalah buatan pemerintah juga. Jadi niat pemerintah untuk membuat sebuah standarisasi kurikulum pendidikan secara nasional tidak mampu terealisasikan dengan baik dikarenakan pelaksanaan UN yang juga merupakan program pemerintah. Tanpa disadari, rantai kecemasan telah mengorbankan siswa yang seharusnya menjadi subjek dalam proses pendidikan. Siswa dan orang tua yang tidak sanggup mengikuti pola permainan ini hanya mengandalkan apa yang diberikan sekolah sehingga akhirnya siswa yang menjadi korban.

Karena fakta-fakta tersebut di atas, maka saya pikir pemberlakuan UN dan sistem kelulusan saat ini perlu disempurnakan kembali. Untuk itu saya mengusulkan beberapa usulan yang mungkin bisa dijadikan sebuah pertimbangan logis. Pertama, UN serta sistem kelulusan yang berlaku saat ini terlihat tidak adil bagi saya. Mengapa? Karena hanya enam mata pelajaran yang diujikan. Parameter standarisasi kelulusan siswa hanya diukur melalui enam mata pelajaran itu saja dengan standar kelulusan 5,50, naik dari 5,25 tahun 2008 lalu. Pendidikan seharusnya sangat memperhitungkan perbedaan-perbedaan individual. Dalam psikologi pendidikan pun tidak ada siswa yang memiliki kemampuan sempurna dalam menguasai semua pelajaran. Ditinjau dari perspektif manapun hal ini menurut saya sangatlah tidak fair. Selain itu dalam kehidupan profesionalnya kelak, tidak semua ilmu akan digunakannya karena pastilah ia akan lebih memilih satu disiplin ilmu yang dikuasainya. Seharusnya pendidikan mengakomodasi kelebihan dan mengembangkan potensi individual siswa secara optimal.

Kedua, UN dengan sistem passing grade yang diberlakukan secara nasional telah mengabaikan disparitas kondisi masing-masing daerah. Tentu saja siswa yang belajar di Jakarta katakanlah dengan sarana dan kondisi serta fasilitas super lengkap akan lebih mampu untuk mencapai prestasi belajar yang maksimal dibandingkan dengan siswa yang bersekolah di Aceh dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, belum lagi sejak tertimba bencana tsunami yang mungkin saja telah menghancurkan segala fasilitas-fasilitas pendidikan yang mereka miliki. Atau dengan siswa-siswa yang bersekolah di daerah-daerah miskin atau daerah konflik di nusantara, seperti di Irian, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Apabila sistem seperti ini berlanjut, ketimpangan yang terjadi antara kaya-miskin, pusat-daerah, desa-kota akan semakin nyata teraplikasikan. Pendidikan tetap saja menjadi sebuah hal yang utopis bagi sebagian kecil rakyat Indonesia yang tidak mampu sehingga mereka terus saja termajinalisasikan.

Ketiga, nilai UN seharusnya tidak semata-mata dijadikan sebagai sebuah pertimbangan tunggal dalam evaluasi dan penentuan kelulusan siswa. Soal-soal dalam UN yang limitatif tidak akan mampu mengakomodir kemampuan siswa secara komprehensif. Selain itu, pencapaian prestasi-prestasi belajar siswa baik secara akademis maupun ekstrakurikuler selama proses belajar siswa tersebut harusnya diakui dan juga diperhitungkan.

Keempat, penetapan UN sebagai sebuah standarisasi nasional saya nilai sebagai sebuah kebijakan yang kurang efektif. Apabila pemerintah menuntut tercapainya sebuah kesetaraan output akademis secara nasional, sebaiknya guru dan pihak sekolah meminta kecukupan fasilitas yang memadai sehingga dapat memenuhi standar yang diinginkan pemerintah. Standar nasional yang dicanangkan pemerintah akan dapat terealisasikan dengan baik bila fasilitas dan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses tersebut juga mendukung. Artinya, bila disparitas kondisi fasilitas seperti media pembelajaran, ruang kelas, gedung sekolah, dan sebagainya serta sumber daya manusianya seperti para guru dan pihak sekolah sangat jauh dari cukup, bagaimana mungkin sebuah standar pendidikan dapat diimplementasikan secara general.

Disadari atau tidak, UN telah mengaplikasikan sebuah bentuk ketidakadilan kepada dunia pendidikan di negara kita. Bayangkan jika seluruh tangisan dan kesedihan seluruh siswa di seantero nusantara ini yang tidak lulus UN diakibatkan oleh sebuah kesalahan sistem. Bayangkan impian mereka untuk dapat melanjutkan belajar ke bangku kuliah tertunda sementara oleh karena kekurangpahaman fungsi dan tujuan ujian serta sikap ketidakprofesionalan pemerintah dalam pengelolaan pendidikan di Tanah Air tercinta kita ini.

Maka, sudah sepatutnyalah pemerintah melakukan proses restrukturalisasi dan revitalisasi pada dunia pendidikan di Indonesia. Jangan hanya mengurusi masalah politik, ekonomi, dan lain sebagainya tapi malah melupakan sebuah sektor fundamental yang merupakan sebuah platform yang esensial dalam proses reformasi menuju Indonesia yang lebih baik dan tentu saja lebih cerdas di masa depan. Semoga UN tahun depan tidak menimbulkan korban dan implikasi sosial yang makin membingungkan dan kompleks. Namun, justru menjadi starting point atau titik awal bagi dunia pendidikan yang selama ini dimanjakan oleh sikap permisif terhadap bentuk kecurangan dan manipulasi.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Sikap dan Pilihan Politik Partai Golkar Pasca Pilpres 2009

Thursday, July 16, 2009

Oleh: Pradono Budi Saputro*

Pemilihan umum presiden (pilpres) 2009 sudah berlangsung dan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono hampir dipastikan memenanginya dalam satu putaran sesuai hasil quick count berbagai lembaga survei. Parpol-parpol pendukung pasangan lain terlihat mulai menegaskan kembali sikap mereka untuk masa lima tahun ke depan. Parpol pengusung pasangan Megawati-Prabowo, PDI-P dan Gerindra, bisa dipastikan terus bekerja sama membangun koalisi di DPR. Artinya, baik PDI-P maupun Gerindra tidak akan masuk dalam lingkaran pemerintahan di kabinet SBY. Salah satu parpol pengusung Jusuf Kalla-Wiranto, Hanura, hampir dipastikan mengikuti langkah PDI-P dan Gerindra. Lalu, yang menjadi pertanyaan saat ini ialah Golkar. Akankah Golkar, yang selama ini identik dengan partai yang selalu berada dalam lingkaran kekuasaan, turut bergabung dengan koalisi di DPR tersebut alias memilih untuk beroposisi?

Definisi Oposisi

Sebelum berbicara mengenai langkah Partai Golkar pasca pilpres, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan oposisi itu. Dalam politik, oposisi berarti satu atau lebih partai atau kelompok terorganisir lain yang menentang pemerintahan, partai, ataupun kelompok lainnya. Oposisi merupakan salah satu subkultur dalam demokrasi. Partai yang menjadi oposisi pada umumnya adalah partai yang kalah pemilu dan hanya merupakan kelompok minoritas dalam parlemen, namun memiliki kekuatan dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah atau partai pemenang pemilu. Oposisi dibutuhkan dalam demokrasi modern sebagai bagian dari mekanisme check and balance sebab dalam demokrasi yang sehat diperlukan adanya kekuatan pemantau dan penyeimbang.

Oposisi tidak harus selalu menentang kebijakan-kebijakan pemerintah atau partai pemenang pemilu. Almarhum Prof. Dr. Nurcholish Madjid pernah menggagas adanya oposisi loyal (loyal opposition). Menurut Cak Nur, demikian cendekiawan Muslim itu biasa disapa, di manapun diyakini tidak ada seorangpun yang mampu merangkum kebenaran mutlak pada dirinya. Oleh karena itu, dibutuhkan kekuatan pemantau dan penyeimbang sebagai salah satu cara untuk saling mengingatkan apa yang tidak baik dan tidak benar.

Cak Nur juga menjabarkan mekanisme check and balance yang semestinya dijalankan dalam kaitannya dengan keberadaan oposisi loyal. Menurutnya, mekanisme check and balance terdiri dari dua fungsi, yakni to check dan to balance. To check harus dilaksanakan untuk membuktikan bahwa tindakan dan kebijakan pemerintah masih sejalan dengan cita-cita bersama. Masyarakat berhak untuk membuktikan dan mengawasi pelaksanaan setiap kebijakan. Kalau pelaksanaan kebijakan menyimpang dari tujuan semula, masyarakat berhak untuk memberi masukan dan kritikan. Sesudah hal tersebut dijalankan, pemerintah wajib menjalankan fungsi yang kedua, yaitu to balance. Pemerintah harus dapat mengimbangi masukan dan kritikan masyarakat itu dengan pemikiran dan kebijakan lain yang sesuai dengan harapan rakyat.

Berdasarkan deskripsi oposisi loyal yang digambarkan oleh Cak Nur, secara sederhana, ada dua tugas yang harus dilaksanakan oleh pihak oposisi. Pertama, ketika pemerintah melakukan kesalahan, oposisi bertugas untuk mengabarkan kekeliruan tersebut pada masyarakat. Kedua, apabila pemerintah menjalankan fungsinya dengan baik, oposisi bertugas untuk membangun kesadaran aksi masyarakat untuk meminta kelanjutan dan konsistensi dari apa yang sudah benar itu.

Akan tetapi, oposisi masih ditanggapi secara dingin oleh sebagian besar masyarakat kita. Di negeri yang belum memiliki tradisi oposisi ini, oposisi masih dianggap sebagai posisi yang sifatnya negatif sebab oposisi dinilai sebagai pihak yang seolah-olah kontra-pemerintah, dalam artian hampir selalu menentang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal, bila peran oposisi loyal dapat dijalankan dengan baik oleh partai-partai yang menjadi oposisi selama ini, demokrasi di negara ini akan menjadi lebih dinamis.

Arah Golkar Pasca Pilpres

Kekalahan pasangan JK-Wiranto ditengarai akibat ketidaksungguhan mesin politik Golkar dalam bekerja mendukung pasangan tersebut. Pada pilpres yang lalu, JK-Wiranto hanya memperoleh sekitar 12% suara, padahal dalam pemilu legislatif (pileg) lalu, Golkar dan Hanura masing-masing mendapat 14,45% dan 3,77% suara. Apabila mesin politik Golkar bekerja dengan maksimal dalam mendukung JK-Wiranto seharusnya pasangan tersebut minimal memperoleh 18% suara. Namun, sepertinya mereka agak enggan mendukung penuh pasangan tersebut terkait kontroversi pencalonan JK dalam pilpres silam di mana sebagian elite Golkar masih menghendaki JK berpasangan dengan SBY. Bahkan, suara JK-Wiranto masih berada di bawah perolehan suara pasangan Mega-Prabowo.

Menyikapi kekalahan dalam pileg dan pilpres 2009, muncul berbagai wacana dalam tubuh Partai Golkar. Sebagian elite Golkar ingin melanjutkan kerja sama yang telah terjalin selama ini dengan SBY dan Partai Demokrat atau dengan kata lain menjadi bagian dari koalisi partai-partai pendukung SBY-Boediono. Mereka beranggapan bahwa “darah” Golkar adalah “darah” pemerintah. Alasannya, Golkar tidak memiliki pengalaman yang cukup kuat untuk menjadi oposisi.

Seperti yang kita ketahui, Golkar dan kekuasaan bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya tidak terpisahkan. Image Golkar selama ini adalah partai yang selalu berada dalam lingkaran kekuasaan. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, Golkar adalah the ruling party. Demikian pula setelah era reformasi, Golkar tak pernah absen dalam menempatkan kadernya di kabinet.

Sementara, sebagian elite Golkar yang lain, terutama dari generasi yang lebih muda, menghendaki Golkar tidak bergabung dalam koalisi partai-partai pendukung SBY-Boediono. Mereka ingin agar Golkar melanjutkan koalisi besar yang telah dirintis sebelum pilpres bersama PDI-P, Gerindra, dan Hanura. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai oposisi. Sebagian elite ini menghendaki perubahan besar dalam tubuh partai. Menurut mereka, kekalahan telak pada pileg dan pilpres lalu mengharuskan Golkar lebih berani mengambil resiko dalam menentukan “posisi berdiri” selama lima tahun ke depan. Kader-kader Golkar juga harus tertantang untuk bisa menunjukkan kematangan berpolitik.

Elite-elite yang tidak ingin Golkar beroposisi khawatir akan kehilangan akses pada sumber daya. Mereka juga khawatir dipandang sebagai penyebab instabilitas dan menjadi kekuatan destruktif dalam percaturan politik tanah air. Pandangan ini sebenarnya salah besar karena dalam demokrasi, oposisi memiliki fungsi check and balance. Konfrontasi antara pemerintah dan oposisi terkait kepentingan politik justru akan menjadi fenomena positif untuk kemajuan negara. Instabilitas pun hanya akan terjadi apabila pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang memarjinalisasi partai-partai oposisi, seperti menciptakan dualisme kepemimpinan partai dan membatasi akses partai pada media massa.

Di sisi yang lain, elite-elite yang menginginkan oposisi menganggap bahwa dengan membawa Golkar ke dalam lingkaran kekuasaan hanya dengan bargaining satu atau dua kursi kabinet tidak akan bermanfaat bagi Golkar untuk jangka panjang. JK dalam kapasitas yang lebih besar sebagai wakil presiden dan Ketua Umum DPP Partai Golkar pun tidak mampu membawa kemenangan bagi Golkar. Terlebih, dengan hanya bermodalkan beberapa kursi menteri. Mereka juga berpendapat bahwa dengan merapat ke pemerintah yang telah memiliki koalisi yang menguasai sekitar 56% kursi DPR tidak lantas membuat keberadaan Golkar menjadi penting.

Dengan merapat ke kabinet SBY akan membuat pemerintah menjadi terlalu kuat dengan menguasai lebih dari 70% kursi DPR. Akibatnya, akan terjadi kekencangan demokrasi. Hal ini tidak baik dalam proses pembelajaran demokrasi. Dengan pemerintah yang terlalu kuat, posisi oposisi akan menjadi sangat lemah. Lemahnya oposisi menyebabkan fungsi check and balance tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Dengan tidak berjalannya fungsi check and balance, pemerintah dapat melaksanakan apapun yang pemerintah kehendaki karena tidak ada kekuatan yang mampu mengontrol. Hal ini sangat berbahaya sebab akan cenderung menciptakan otoritarianisme baru. Jika pemerintah menjadi sangat otoriter, apa bedanya saat ini dengan masa Orde Baru dahulu?

Pada masa Orde Baru, eksekutif dan legislatif dipegang oleh satu kekuatan besar. Fungsi check and balance lumpuh total. Akibatnya, legislatif hanya manut pada kekuasaan eksekutif. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ahmad Fauzi Rangkuti. Menurut pria yang lebih dikenal dengan Ray Rangkuti ini, jika dua kekuasaan (eksekutif dan legislatif) dipegang maka kekuasaan akan menjadi semakin besar. Legislatif, tambahnya, hanya akan mengiyakan pemerintah yang ada, sedangkan pemerintah malah akan memaksakan pendapat dan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, Golkar perlu didorong untuk menjadi oposisi.

Kemungkinan Koalisi dan Oposisi

Posisi JK sebagai wakil presiden incumbent membuat Golkar harus mengambil sikap “rendah hati” dalam menghadapi transisi pemerintahan pasca pilpres. Setelah sempat bertarung sengit dalam pilpres, JK bersikap ksatria dengan memberi ucapan selamat kepada SBY yang hampir pasti akan keluar sebagai pemenang, walaupun hasil real count KPU belum diumumkan secara resmi. Keduanya pun “berangkulan” kembali. Bahkan, JK menegaskan komitmennya untuk tetap melanjutkan pemerintahan bersama SBY hingga masa pemerintahan berakhir pada tanggal 20 Oktober mendatang. Apa yang akan dilakukan sesudahnya bergantung kepada mekanisme yang berlaku dalam internal Partai Golkar.

Namun, sepertinya Golkar akan menunggu apakah ada “undangan” dari SBY untuk bergabung kembali dalam pemerintahan. Bila tidak ada indikasi Golkar diajak bergabung dalam kabinet yang baru nanti, Golkar boleh jadi akan menegaskan kembali komitmen untuk membangun koalisi besar di DPR bersama PDI-P, Gerindra, dan Hanura. Artinya, mereka akan mengambil sikap untuk beroposisi.

Akan tetapi, ada kemungkinan lain di mana Golkar akan kembali ke pemerintahan SBY jika saat itu telah terpilih Ketua Umum DPP Partai Golkar baru pengganti JK yang lebih condong untuk menyokong pemerintah. Hal ini senada dengan analisis politik Ketua Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris. Menurut Syamsuddin, salah satu faktor penting yang turut menentukan sikap dan pilihan politik Golkar pasca pilpres adalah figur pengganti JK sebagai Ketua Umum. Apabila Sri Sultan Hamengkubowono X atau Surya Paloh yang terpilih, Golkar mungkin memilih bersikap oposisi terhadap pemerintahan SBY. Namun bila Aburizal Bakrie atau Agung Laksono yang terpilih, kemungkinan Golkar kembali ke “pangkuan politik” SBY cukup besar. Di samping itu, lanjutnya, kemungkinan Golkar menganut politik dua muka, sebagaimana watak dasar partai ini, tidak mustahil pula menjadi sikap dan pilihan politik partai ini ke depan. Hal tersebut berarti secara organisasi Golkar tetap berada di luar pemerintahan, tetapi secara individu beberapa elite Golkar terlibat dalam kabinet SBY.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono memandang posisi Golkar seperti yang dilakukan saat ini sudah pas. Yang dimaksud Agung dengan posisi saat ini, yaitu Golkar tetap menjadi partai pendukung pemerintah yang kritis. Menurutnya, hal ini sesuai dengan hasil Musyawarah Nasional Partai Golkar tahun 2004 silam. Ia menambahkan bahwa tidak ada aturan yang mengatur soal oposisi, yang penting mekanisme check and balance tetap berjalan.

Setali tiga uang, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI Priyo Budi Santoso mengungkapkan hal serupa. Priyo menyatakan bahwa bergabung dan mendukung pemerintah terpilih nanti merupakan opsi yang paling memungkinkan untuk Golkar. Adanya pernyataan-pernyataan seperti yang dilontarkan Agung dan Priyo tersebut menandakan bahwa kekuasaan masih menjadi magnet bagi sebagian elite Golkar. Bahkan, saat mendapati kenyataan bahwa perolehan suaranya terus merosot, Golkar masih berupaya untuk menjadi bagian dari kekuasaan yang ada.

Sebenarnya, upaya untuk melepaskan Golkar dari image partai yang lekat dengan dengan kekuasaan sudah pernah dilakukan ketika Golkar, yang mengusung Wiranto-Salahuddin Wahid, kalah dalam pilpres 2004. Saat itu, Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung mengumumkan tekad untuk keluar dari tradisi the ruling party melalui komitmen bersama dengan PDI-P untuk menjadi oposisi. Akan tetapi, komitmen itu tidak berlangsung lama. SBY-JK menarik sejumlah elite Golkar dalam kabinet yang mereka bentuk. Sedikit demi sedikit, posisi Golkar sebagai oposisi terkikis. Puncaknya ketika JK terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar menggantikan Akbar Tandjung.

Saat ini, sudah sepantasnya Golkar meneruskan langkah yang pernah diambil oleh Akbar. Yang paling baik bagi Golkar memang mengambil sikap untuk menjadi oposisi dan tidak terjebak dalam upaya meraih kekuasaan semata. Era politik perselingkuhan elite Golkar dengan kekuasaan perlahan-lahan harus diakhiri seiring anjloknya perolehan kursi mereka. Golkar harus mampu merefleksikan diri sebagai partai modern dengan berperan sebagai oposisi loyal. Bukankah dengan menjadi oposisi juga merupakan sesuatu yang mulia?

* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Demokrasi dalam Debat Capres Edisi Final

Tuesday, July 07, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Debat capres edisi final terjadi Kamis malam, 2 Juli 2009 lalu. Dibanding tiga edisi debat sebelumnya, debat kali ini sudah mengalami kemajuan. Ditandai dengan mulai terbukanya pikiran para pemilih Indonesia dengan visi, misi, program para capres yang sebelumnya terasa masih bersifat makro. Debat kali ini para capres mulai banyak bicara secara mikro tentang hal-hal yang berkaitan dengan tema debat, yaitu NKRI, demokrasi, dan otonomi daerah. Jangan lupakan juga kritik-kritik diantara mereka, yang memang masih disampaikan secara santun, tetapi sudah merupakan perkembangan yang baik.

Kesantunan memang masih menjadi hal yang utama bagi para capres. Terlihat mereka masih menggunakan politik melankolis dalam meraih simpati massa. Politik melankolis dapat diartikan sebagai sebuah sikap defensif daripada ofensif dalam menghadapi capres lain, terutama dalam acara face to face seperti debat, agar tidak terlihat terlalu ambisius. Politik melankolis memang menjadi bagian dari budaya politik Jawa yang feodalis, tetapi masih berlaku dalam dunia perpolitikan di Indonesia.

Salah satu tema yang dibahas pada debat tersebut adalah masalah demokrasi. Demokrasi berarti toleransi sosial yang tinggi. JK menekankan pada keberagaman. Keberagamanlah yang membuat kita kuat. Megawati pun seragam, Bhinneka Tunggal Ika menurutnya adalah pengayom dari seluruh kehidupan bangsa kita. Setali tiga uang, SBY melihat semangat kemajemukan dan Bhinneka Tunggal Ika adalah yang terutama. Terkait masalah agama, SBY mengingatkan bahwa ke depan supaya tidak ada lagi aturan-aturan daerah yang bertentangan dengan aturan pusat, mengingat banyaknya perda-perda berbau agama tertentu muncul di beberapa daerah di Indonesia.

Kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis serta mewujudkan sikap nasionalisme kebangsaan di tengah-tengah bangsa Indonesia merupakan amanat para founding fathers kita yang tertuang dalam Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bila kita perhatikan susunan sila-sila dalam Pancasila, tampaklah bahwa demokrasi tidak hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, tetapi juga merupakan bagian dari tujuan itu sendiri. Namun ironisnya, di usianya yang sudah hampir 64 tahun, “alat” itu belum juga kita temukan. Tujuan utama yang hendak dicapai pun masih sangat jauh dari jangkauan tangan kita. Tapi benarkah “alat” itu (ajaran demokrasi) memang tidak kita miliki? Tentu saja tidak!

Selama ini kita selalu salah dalam mempraktekkan kehidupan yang demokratis bagi bangsa kita ini. Pertama, kita memaknai demokrasi hanya sebatas arena politik, padahal demokrasi didapati di bidang lain, seperti ekonomi, sosial, dan keagamaan. Kedua, demokrasi dimaknai sebatas pelaksanaan pemilu, yaitu hanya memilih pemimpin. Demokrasi adalah wahana di mana pemilik kedaulatan mengejawantahkan kedaulatannya. Jadi, tidak hanya sekedar menyelenggarakan pemilu, bahkan boleh dikatakan selesainya satu pemilu merupakan awal dari ujian kehidupan demokrasi bagi satu bangsa. Ketiga, kita terlalu terpesona dengan praktek demokrasi di negara-negara maju, di mana kondisi dan situasi bangsa-bangsa tersebut jelas sangat berbeda dengan kita.

Demokrasi adalah ajaran universal. Tetapi operasionalisasi dari ajaran itu harus disesuaikan dengan nilai kultural yang berlaku. Demokrasi memang mengagungkan kebebasan individu, tetapi demokrasi tidak bergerak di ruang hampa. Konsep ini mendapatkan predikat sesuai dengan karakter ruang di mana ia dioperasikan. Misal, demokrasi liberal adalah demokrasi yang tumbuh dalam alam liberalisme, serta berbagai macam jenis demokrasi lainnya yang akan tumbuh sesuai dengan “alamnya”, setidaknya begitu menurut David Easton.

Demokrasi bukan milik salah satu kubu ideologi. Negara-negara Eropa Barat pada mulanya adalah negara-negara liberal yang kemudian membutuhkan demokrasi karena kaum liberal ingin supaya pemerintah melindungi hak-hak individu. Dengan demikian, “liberalisme” lebih dulu ada daripada “demokrasi liberal”. Karena itu tidak tertutup kemungkinan demokrasi tumbuh di alam lain dengan nama atau format yang berbeda. Yang penting konsep itu dipahami sebagai suatu proses kreatif, membangun norma maupun hubungan antarindividu sesuai dengan nilai universal demokrasi.

Nilai universal demokrasi menurut dua orang ahli demokrasi, Ricardo Blaug dan John Schwarzmantel dalam bukunya yang berjudul Democracy: A Reader, ada lima hal utama; freedom and autonomy; equality; representation; majority rule; dan citizenship. Secara formal kelima hal ini dapat kita nikmati, namun bentuk ini sudah tidak terlalu sesuai dengan semangat zaman. Saat ini dikehendaki demokrasi yang deliberative, substantive, dan participative.

Pergeseran inilah yang harus kita kelola secara hati-hati, sebab ini terjadi di saat bangsa Indonesia mengalami anomali. Tidak saja di ranah politik, anomali juga dialami di ranah ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan lain-lain. Menghadapi situasi seperti ini, masyarakat cenderung kembali ke nilai-nilai adat yang mereka miliki, atau bersandar pada nilai-nilai agama. Mengingat selama ini terjadi marjinalisasi nilai adat, harapan besar ada pada nilai agama. Namun apa daya, akhir-akhir ini nilai agama lebih digunakan untuk menuntun kita masuk ke istana negara daripada menuju surga.

Terkait dengan debat capres tadi, saya melihat ada tiga hal yang dapat mereka lakukan agar nilai universal demokrasi, semangat jaman bisa berubah, dan nilai-nilai adat bangsa Indonesia dapat disinergikan. Pertama, menggunakan nilai asli kita sebagai basis membangun kerangka moralitas dan etika berdemokrasi. Kedua, menyuplai masyarakat dengan informasi yang jelas, benar, dan akurat agar mereka bisa bertindak secara bebas, otonom, dan rasional. Dan ketiga, mengupayakan selekas mungkin institusionalisasi politik sehingga dinamika dan perubahan politik berlangsung secara sistemik. Untuk mencapainya, marilah kita semua bersiap untuk menggunakan hak kita pada 8 Juli nanti di TPS masing-masing!

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Pilpres Satu Putaran dan Arogansi Tim Kampanye SBY-Boediono

Saturday, July 04, 2009

Oleh: Pradono Budi Saputro*

Menjelang pemilihan umum presiden (pilpres) 8 Juli mendatang, muncul berbagai kontroversi. Salah satu kontroversi datang dari wacana pilpres satu putaran. Wacana yang digulirkan oleh Denny Januar Ali, Ph.D. melalui Lembaga Studi Demokrasi (LSD) yang ia dirikan, bahkan sudah disosialisasikan secara luas melalui iklan-iklan di berbagai media, mulai dari surat kabar, televisi, hingga internet. Yang menjadi persoalan dalam iklan ini bukanlah esensi pilpres satu putaran itu sendiri, melainkan adanya ajakan untuk memilih pasangan capres dan cawapres tertentu.

Dalam iklan pilpres satu putaran tersebut, masyarakat dihimbau untuk memilih pasangan dengan nomor urut 2, yakni SBY-Boediono. Denny JA, begitu Direktur Eksekutif LSD itu biasa disebut, berpendapat bahwa SBY-Boediono memiliki tingkat elektabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan lainnya. Bukan hanya itu, LSD memberikan dukungan politis secara terbuka (political endorsement) kepada SBY-Boediono karena dianggap sesuai dengan misi berdirinya LSD, yaitu “Pemerintah yang Kuat dan Konsolidasi Demokrasi”.

Denny JA menyatakan bahwa pemberian political endorsement kepada capres tertentu sah-sah saja. Di negara demokrasi seperti AS, menurutnya, lazim dilakukan, seperti ketika mantan Menteri Luar Negeri AS Colin Powell, yang merupakan seorang Republikan, memberikan dukungannya kepada Barack Obama yang berasal dari Partai Demokrat. Demikian pula surat kabar-surat kabar ternama seperti New York Times dan Washington Post juga kerap memberikan political endorsement kepada salah satu capres menjelang pilpres di sana. Bahkan, Denny menambahkan bahwa dengan tradisi baru dukungan terbuka kepada salah satu capres dalam rangka sebuah gagasan, politik Indonesia akan menjadi lebih visioner dan lebih memberikan harapan.

Sebenarnya, tidak ada salahnya sebuah lembaga survei atau lembaga riset opini publik memberikan dukungan terbuka kepada capres tertentu. Masalahnya adalah ketika sebuah lembaga survei mendukung capres tertentu, tentu tanggung jawab ilmiah lembaga survei tersebut kepada publik patut dipertanyakan karena tentu lembaga itu sudah tidak lagi netral dan independen. Ketika memutuskan untuk mendukung salah satu pasangan, tentu ada tendensi untuk “memenangkan” pasangan yang diusung. Oleh sebab itu, hasil survei yang dirilis ke publik tidak lagi valid karena hanya ditujukan untuk menggiring opini publik semata, termasuk dalam kasus iklan pilpres satu putaran ini.

Denny JA, LSI, dan LSD

Denny JA sebenarnya bukan merupakan sosok yang asing dalam dunia survei politik. Ia dikenal sebagai Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Melalui LSI, ia sering membantu pemenangan pilkada di berbagai daerah, mulai dari propinsi, kabupaten, hingga kota.

Political endorsement-nya kepada pasangan SBY-Boediono dinilai cukup mengejutkan. Pasalnya pada pemilu legislatif (pileg) lalu, ia menjadi konsultan politik PDI-P melalui salah satu anak perusahaan LSI, Citra Publik Indonesia. Kabarnya, Denny JA, yang disebut-sebut sebagai loyalis SBY, sengaja “disusupkan” untuk membuat Megawati melakukan “blunder”. Seperti yang kita ketahui, beberapa bulan sebelum pileg, popularitas Mega dan PDI-P meningkat. Denny lalu mendorong Mega untuk “menyetujui” program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sangat ditentangnya. Hal ini tentu saja membuat Mega seolah-olah plin-plan. Denny berargumen bahwa ada sekitar 19 juta warga (wong cilik) yang memperoleh BLT. Oleh sebab itu, Denny menganggap sudah selayaknya PDI-P mengklaim dan mendukung BLT. Mungkin kita pernah menyaksikan iklannya di televisi.

Namun, kebersamaan Denny JA di PDI-P tidak bertahan lama. Setelah “kejadian” itu, ia resmi “ditendang” dari posisinya sebagai konsultan politik PDI-P. Melalui LSI, ia lalu melansir survei mengenai tingkat elektabilitas para pasangan capres dan cawapres. Dalam rilisnya, SBY-Boediono menempati posisi teratas dengan persentase 63,1%. Selanjutnya, ia bermanuver dengan menyatakan political endorsement kepada SBY-Boediono melalui LSD. Di LSD sendiri, ia juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif.

Lalu, LSD dan Konsultan Citra Indonesia, anak perusahaan LSI lainnya, merilis iklan pilpres satu putaran ke publik. Denny beralasan dengan pilpres satu putaran dapat menghemat biaya saat ekonomi sulit, pihak yang bersaing dapat bersatu kembali secara lebih cepat, dan pemerintah bisa lebih cepat fokus kembali untuk mengatasi problem. Kalau memang hal-hal tersebut merupakan benefit pilpres satu putaran, seharusnya hal-hal itulah yang ditonjolkan, bukan malah ajakan untuk mencontreng pasangan SBY-Boediono. Atau, agar lebih adil seharusnya ia juga membuat iklan tersebut dalam versi pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto.

Akan tetapi, hal tersebut tampaknya mustahil mengingat LSI diketahui disewa oleh pihak capres incumbent. Dengan adanya “kontrak” tersebut, Denny JA pasti tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk “mencari muka” dengan pihak capres tersebut maka dibuatlah iklan itu guna membentuk opini publik. Tindakan tersebut bagai dua sisi mata uang. Tentunya, ia tahu bila kredibilitas pribadi dan lembaganya ikut dipertaruhkan.

Kasus Serupa

Kasus yang tidak jauh berbeda pernah dialami oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Saiful Mujani. Sekitar sebulan yang lalu, LSI Saiful Mujani merilis hasil survei yang dilakukan pada tanggal 25-30 Mei lalu. Dalam hasil survei tersebut, pasangan SBY-Boediono menempati posisi tertinggi dengan persentase 71%, diikuti Mega-Prabowo dengan 16,4%, dan JK-Wiranto dengan 6%. Beberapa minggu setelahnya, lembaga tersebut kembali merilis hasil survei. Tak jauh berbeda, SBY-Boediono masih berada di puncak dengan 70%, dibuntuti Mega-Prabowo dengan 18%, dan JK-Wiranto dengan 7%. Belakangan diketahui bahwa survei yang dilaksanakan LSI Saiful Mujani itu dibiayai oleh Fox Indonesia, yang notabene merupakan konsultan kampanye SBY-Boediono.

Akibatnya, Metro TV memutuskan kontrak dengan LSI Saiful Mujani karena menilai lembaga itu tidak independen dan terbukti dibiayai oleh Fox Indonesia. Padahal Metro TV dan LSI Saiful Mujani telah bekerja sama sejak tahun 2004 dengan adanya program quick count pada pileg, pilpres 2004, maupun pilkada di berbagai daerah. Saiful Mujani sendiri pernah menjadi Direktur Litbang Media Group, perusahaan induk Metro TV.

Menurut survei LSI Saiful Mujani tersebut, dengan perolehan suara mutlak 70%, SBY-Boediono sangat potensial untuk memenangkan pilpres dalam satu putaran. Memang, dalam berbagai survei mengenai pilpres, pasangan SBY-Boediono hampir selalu menjadi yang teratas. Namun, hasil survei dengan perolehan suara mutlak 70% agaknya sudah menjadi bukti kesombongan tim kampanye pasangan bernomor urut 2 tersebut. Dalam survei yang dilansir oleh Lembaga Riset Informasi (LRI), SBY-Boediono juga menjadi yang terdepan, namun tidak mungkin dapat menang langsung satu putaran. Dalam survei LRI itu, SBY-Boediono memperoleh suara 33,02%, diikuti JK-Wiranto dengan 29,29%, sementara Mega-Prabowo berada di posisi buncit dengan 20,09%. Tak pelak, dengan hasil survei yang dianggap mengada-ada, LSI Saiful Mujani dikecam berbagai pihak.

Pukulan Telak untuk SBY

Iklan pilpres satu putaran malah berbuah “tamparan” bagi SBY. Dalam debat capres edisi final yang dilangsungkan Kamis, 2 Juli lalu, SBY mendapat “pukulan telak” dari JK. Menurut JK, iklan pilpres satu putaran dengan alasan menghemat Rp 4 trilyun sama halnya dengan memandang demokrasi dengan uang semata sehingga hal tersebut menyesatkan. Dalam demokrasi, tambah JK, yang ditonjolkan seharusnya adalah ketokohan dan partisipasi rakyat. Kalau pilpres satu putaran dengan alasan hemat dipercaya, bisa-bisa tahun 2014 nanti “lanjutkan terus tanpa pilpres” demi menghemat anggaran negara Rp 25 trilyun.

Menanggapi komentar JK tersebut, SBY tampak senyum kecut walaupun terlihat sedikit menahan emosi jika kita perhatikan mimik mukanya. SBY pun berkilah. Ia menyatakan iklan pilpres satu putaran itu bukan dibuat oleh tim kampanyenya. Ketika JK menyimpulkan bahwa iklan tersebut ilegal, SBY pun mengangguk setuju. Di sini terlihat SBY berusaha meng-counter “serangan” JK, tetapi rasanya percuma. Toh, publik sudah mengetahui. Selanjutnya, JK mengingatkan bahwa yang bisa menang satu putaran bukan hanya SBY, JK atau Mega pun bisa.

Akan tetapi, Ketua Umum DPP Partai Demokrat Hadi Utomo berpendapat beda dengan SBY. Hadi memastikan iklan pilpres satu putaran itu legal. Hadi berpendapat bahwa iklan tersebut hanya merupakan bentuk spontanitas yang dilakukan oleh rekan-rekan dan pendukung SBY yang jumlahnya banyak.

Senada dengan Hadi Utomo, Wakil Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono Bara Hasibuan juga menyebut iklan tersebut legal. Ia menganggap siapapun dapat membuat iklan untuk mendukung pilihannya. Ia juga berkilah dengan menyebut Denny JA bukan bagian dari tim SBY-Boediono, namun tindakan Denny dalam demokrasi modern diperbolehkan. Terlebih lagi, menurut Bara, iklan tersebut tidak ilegal karena tidak melanggar aturan KPU. Malah, tambahnya, ajakan pilpres satu putaran harus didukung karena meningkatkan kualitas pemilihan itu sendiri.

Peluang Menang Satu Putaran

Adapun untuk dapat memenangkan pilpres dalam satu putaran, syaratnya tidak mudah. Harus memperoleh suara lebih dari 50% dengan perolehan suara di 17 propinsi harus lebih dari 20%. Jika melihat situasi saat ini, tampaknya sulit bagi SBY untuk menang satu putaran. Di satu sisi, popularitas JK-Wiranto dan Mega-Prabowo terus menanjak. Di sisi sebaliknya, popularitas SBY-Boediono malah mengalami penurunan.

Turunnya popularitas SBY-Boediono di antaranya disebabkan oleh ulah sebagian anggota tim sukses dan tim kampanyenya yang tidak simpatik, sebut saja Ruhut “Si Rasis” Sitompul, Rizal Mallarangeng, dan baru-baru ini Andi Mallarangeng. Di daerah pun, tim sukses SBY-Boediono terkait tindakan tak simpatik, seperti kasus di Jayapura di mana seorang kader Partai Demokrat menendang seorang wartawati hingga pingsan saat kampanye Boediono.

Faktor lain yang menyebabkan popularitas SBY-Boediono menurun adalah semakin cerdasnya pemilih. Masyarakat saat ini diyakini tidak akan terlalu banyak terpengaruh pada praktek politik melankolis yang dilakukan oleh SBY. Oleh karena itu, tak pantas rasanya bila mereka mengklaim dapat memenangkan pilpres dalam satu putaran sebab itu merupakan bentuk arogansi dan sama sekali tidak menghargai pasangan lainnya. Ya, kita lihat saja pembuktiannya pada tanggal 8 Juli nanti!

* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Realisasi Ekonomi Kerakyatan Para Capres

Friday, July 03, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Dalam debat calon presiden putaran kedua Kamis, 25 Juni lalu, capres Jusuf Kalla menyinggung soal ekonomi kemandirian, yang memang menjadi tag line kampanyenya. JK mengatakan bahwa memberi ikan dan pancingnya itu bagus, tetapi lebih bagus jika bangsa ini mampu juga membuat pancing, bahkan perahu untuk mencari ikan. Capres Megawati juga menekankan akan pentingnya pengentasan kemiskinan melalui optimalisasi sektor kelautan dan pertanian. Incumbent Susilo Bambang Yudhoyono tetap pada pendiriannya dalam memberikan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Kredit Usaha Rakyat (KUR), beras murah, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan lain-lain.

Debat sendiri berjalan jauh lebih baik dari debat sebelumnya, di mana para capres sudah saling mengkritisi kebijakan lawannya, walaupun memang belum terlalu frontal. Perdebatan dimulai dari Jusuf Kalla yang mengkritisi iklan SBY yang menggunakan produk mie instan. JK mengatakan bahwa jika masayrakat semakin banyak mengkonsumsi mie instan, maka kita akan semakin banyak mengimpor gandum. SBY membalas dengan mengatakan bahwa mie instan yang dikonsumsi JK bahannya semua dari gandum, sedangkan “mie instan SBY” sudah dicampur produk lokal, seperti singkong. JK pun kembali mengkritisi SBY dalam hal LNG Tangguh, harga listrik, privatisasi, dan UU Ketenagakerjaan. Sedangkan Megawati, walaupun konsep-konsepnya tentang ekonomi sudah masuk dalam tataran praktis, tetapi tetap bersikap defensif dengan tidak “menyerang” capres lainnya secara langsung.

Dalam konteks upaya konkret pengentasan kemiskinan, semua capres memang pro dengan ekonomi kerakyatan, ekonomi kemandirian, dan mazhab ekonomi lainnya yang memfokuskan diri pada rakyat miskin. Hanya saja menurut hemat penulis, berbagai konsep-konsep yang dikemukakan para capres terkesan masih mengawang-awang dan bersifat makro. Padahal, kita sebagai rakyat butuh bukti konkret yang nyata dan praktis bagaimana caranya mengatasi kemiskinan di bumi nusantara ini.

Pemenang nobel ekonomi 1998, Prof. Amartya Kumar Sen, memberikan pendapatnya soal pembangunan. Menurutnya, pembangunan adalah upaya untuk memperluas kebebasan riil yang dapat dinikmati oleh rakyat. Dalam konsepnya tersebut, perluasan kebebasan dipandang sebagai tujuan utama pembangunan. Nilai intrinsik kebebasan manusia, sebagai tujuan mulia pembangunan, didukung oleh berbagai kebebasan tertentu demi memajukan kebebasan-kebebasan lain.

Kaitan antara berbagai tipe kebebasan ini bersifat empiris dan kausal, tidak berdiri sendiri atau saling menjadi bagian. Sebagai contoh, bukti empiris telah menunjukkan bahwa kebebasan ekonomi dan politik saling memperkuat. Dari pada itu, peluang sosial di bidang pendidikan dan kesehatan melengkapi peluang seseorang untuk berperan serta dalam ekonomi dan politik serta mendorong inisiatif guna mengatasi berbagai kekurangannya.

Jelaslah pandangan ini kontras dengan pandangan konvensional, yang cenderung kapitalistik dan pro pasar, di mana parameter pembangunan hanya dilihat dari perspektif pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), peningkatan pendapatan pribadi, industralisasi dan kemajuan teknologi, dan modernisasi sosial. Peluasan kebebasan substansif, mengharuskan berbagai sumber utama nonkebebasan disingkirkan, yaitu kemiskinan dan tirani, minimnya peluang ekonomi, penelantaran sarana umum dan intoleransi, atau campur tangan rezim pemerintahan yang berlebihan.

Kehidupan ekonomi memang tidak akan pernah terlepas dari kebijakan-kebijakan politik penguasa atau rezim. Karena itu, penulis perlu menekankan akan adanya sebuah sinergitas yang positif antara sektor ekonomi yang sangat berpengaruh pada kebijakan-kebijakan politik yang dihasilkan dan dampaknya langsung pada kesejahteraan rakyat. Dengan adanya agregasi kepentingan antara bidang ekonomi dan politik yang sejalan, maka rakyat pun akan merasakan sebuah penerapan fungsi-fungsi positif dari dua bidang tadi yang selalu menjadi ujung tombak dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan bebas dari kemiskinan.

Terakhir, para capres yang semuanya pro ekonomi kerakyatan itu haruslah paham bahwa pembangunan nasional Indonesia yang berdasarkan ekonomi kerakyatan memang harus dikembangkan melalui metode optimalisasi potensi ekonomi mikro, bukannya makro. Jadi, para calon-calon pemimpin kita tersebut haruslah mulai memikirkan bagaimana melakukan optimalisasi potensi ekonomi mikro. Jangan hanya slogan saja yang kerakyatan, tetapi konsep-konsepnya tetap berorientasi makro. Semoga!

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...