KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Negara, Bangsa, dan Negara Bangsa

Monday, August 31, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial, maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang berbeda dengan bentuk organisasi lain, terutama karena hak negara untuk mencabut nyawa seseorang. Untuk dapat menjadi suatu negara maka harus ada rakyat, yaitu sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.

Menurut Roger F. Soltau, negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat. Sedangkan menurut George Jellinek, negara ialah organisasi kekuasaan dari sekolompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu. Prof. Mr. Kranenburg juga berpendapat bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa.

Bangsa adalah suatu kelompok manusia yang dianggap memiliki identitas bersama dan mempunyai kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya, dan/atau sejarah. Mereka umumnya dianggap memiliki asal-usul keturunan yang sama. Konsep bahwa semua manusia dibagi menjadi kelompok-kelompok bangsa ini merupakan salah satu doktrin paling berpengaruh dalam sejarah. Doktrin ini merupakan doktrin etika dan filsafat, dan merupakan awal dari ideologi nasionalisme.

Bangsa (nation) atau nasional, nasionalitas atau kebangsaan, nasionalisme atau paham kebangsaan, semua istilah tersebut dalam kajian sejarah terbukti mengandung konsep-konsep yang sulit dirumuskan sehingga para pakar di bidang politik, sosiologi, dan antropologi pun sering tidak sependapat mengenai makna istilah-istilah tersebut. Selain istilah bangsa, dalam bahasa Indonesia, kita juga menggunakan istilah nasional, nasionalisme yang diturunkan dari kata asing “nation” yang bersinonim dengan kata bangsa. Tidak ada rumusan ilmiah yang bisa dirancang untuk mendefinisikan istilah bangsa secara objektif, tetapi fenomena kebangsaan tetap aktual hingga saat ini. Bangsa dalam arti etnis dapat disamakan dengan bangsa dalam arti rasial atau keturunan. Dalam arti kultural, bangsa merupakan sekelompok manusia yang menganut kebudayaan yang sama. Dalam arti politis, bangsa merupakan kelompok manusia yang mendukung suatu organisasi kekuasaan yang disebut negara tanpa menyelidiki asal-usul keturunannya.

Negara dan bangsa memiliki pengertian yang berbeda. Apabila negara adalah organisasi kekuasaan dari persekutuan hidup manusia maka bangsa lebih menunjuk pada persekutuan hidup manusia itu sendiri. Di dunia ini masih ada bangsa yang belum bernegara. Demikian pula orang-orang yang telah bernegara yang pada mulanya berasal dari banyak bangsa dapat menyatakan dirinya sebagai suatu bangsa. Baik bangsa maupun negara memiliki ciri khas yang membedakan bangsa atau negara tersebut dengan bangsa atau negara lain di dunia. Ciri khas sebuah bangsa merupakan identitas dari bangsa yang bersangkutan. Ciri khas yang dimiliki negara juga merupakan identitas dari negara yang bersangkutan. Identitas-identitas yang disepakati dan diterima oleh bangsa menjadi identitas nasional bangsa.

Negara bangsa ialah satu konsep atau bentuk kenegaraan yang memperoleh pengesahan politiknya dengan menjadi sebuah entitas berdaulat bagi bangsa menjadi sebagai sebuah unit wilayah yang berdaulat. “Negara” (atau negeri) adalah entitas politik dan geopolitik, manakala “bangsa” adalah entitas budaya dan/atau etnik. Istilah negara bangsa menandakan bahwa keduanya adalah sama, dan ini membedakannya dengan bentuk kenegaraan yang lain, yang telah ada sebelumnya. Pengertian negara bangsa ini menandakan bahwa rakyatnya bersatu untuk satu bahasa, budaya, dan nilai. Ciri-ciri ini bukan merupakan ciri-ciri negara yang telah ada sebelumnya. Sebuah dunia dengan negara-negara bangsa juga akan melaksanakan tuntutan terhadap penentuan nasib sendiri dan otonomi bagi setiap bangsa, yang menjadi fokus utama paham nasionalisme.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Volunteer Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Mencari Pemimpin Berakhlak Mulia

Friday, August 28, 2009

Oleh: Pradono Budi Saputro*

Seperti yang kita ketahui, tanggal 8 Juli lalu telah dilaksanakan pemilihan umum presiden (pilpres) secara langsung untuk kedua kalinya di negeri tercinta ini. Sebagai warga negara yang baik, tentu kita menggunakan hak pilih kita masing-masing saat pilpres tersebut. Walaupun ada pula sebagian dari kita yang bisa jadi tidak dapat menggunakan hak pilih akibat alasan tertentu. Memilih calon presiden dan calon wakil presiden tidak boleh asal pilih. Ibarat membeli buah di pasar, kita harus memilih dengan cermat. Boleh jadi dari luar sepintas tampak segar, tetapi di dalamnya buah itu mungkin sudah tidak segar alias busuk. Untuk itulah mengapa kita perlu mengenali calon-calon tersebut, baik dari luar maupun dari dalam.

Lalu calon-calon seperti apa yang paling tepat untuk negara ini? Pada era di mana kita mengalami krisis moral atau krisis akhlak seperti saat ini, kita membutuhkan para calon yang berakhlak mulia. Tidak hanya capres dan cawapres, dalam berbagai bidang kehidupan, kita juga memerlukan pemimpin-pemimpin yang berakhlak mulia.

Sebelum berbicara mengenai akhlak mulia, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan akhlak. Secara sederhana, kata “akhlak” dapat dipadankan dengan perilaku, adab, sikap, perbuatan, sopan santun, dan budi pekerti. Sedangkan menurut ajaran agama, akhlak bermakna perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa harus mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Kalau dalam diri seseorang sejak dini sudah ditanamkan nilai-nilai kebaikan, dengan sendirinya ia akan mudah tergerak untuk melakukan perbuatan baik tanpa memikirkan untung-ruginya. Atau dengan kata lain, ia akan melakukan perbuatan baik dengan ikhlas.

Pada asasnya banyak yang mengetahui apa itu akhlak mulia, tetapi pada amalannya bisa jadi tidak mereka laksanakan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran untuk melaksanakan perbuatan baik secara tulus. Akhlak mulia bukan sekedar pengetahuan mengenai perbuatan-perbuatan baik. Akhlak mulia bukan pula sekedar kemampuan untuk untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Akhlak mulia harus dimulai dengan dengan niat yang ikhlas bahwa kita harus mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik semata-mata karena Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa seorang pemimpin yang baik harus berakhlak mulia (akhlaqul karimah) dan harus dapat membuat orang-orang yang dipimpinnya berakhlak pula. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus terlebih dahulu menunjukkan akhlak yang mulia sebelum ia dapat menyempurnakan akhlak kaum yang dipimpinnya. Atau dengan kata lain, memberikan teladan kepada kaumnya melalui tindakan nyata.

Rasulullah telah memberikan teladan yang baik kepada kita. Beliau merupakan pemimpin sejati yang memiliki akhlak yang sangat mulia. Menurut tuntunan Rasulullah, untuk menjadi seorang pemimpin dibutuhkan sesuatu, yang dalam bahasa kerennya disebut STAF. Yang dimaksud STAF di sini bukan bawahan atau pegawai, melainkan singkatan dari sidiq, tabligh, amanah, dan fathonah. Ya, untuk menjadi seorang pemimpin dibutuhkan empat sifat tersebut.

Yang pertama, sidiq. Sidiq berarti benar. Seorang pemimpin harus senantiasa mengucapkan sesuatu yang sesuai dengan kebenaran. Seorang pemimpin juga harus memiliki pikiran, perasaan, dan perkataan yang selalu konsisten dengan perbuatan yang diyakini kebenarannya.

Kemudian, tabligh. Tabligh artinya menyampaikan. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menyampaikan segala sesuatu kepada orang-orang yang dipimpinnya dengan baik. Seorang pemimpin harus dapat memberikan contoh yang baik dan tak segan-segan mengakui apabila telah melakukan perbuatan yang keliru. Pesan yang disampaikan haruslah sesuatu yang yang berupa kebaikan, yang ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, bukan sesuatu yang dapat menimbulkan keresahan akibat saling tuding, saling fitnah, dan saling menjatuhkan antara yang satu dengan yang lain.

Selanjutnya, amanah. Amanah bermakna dapat dipercaya. Seorang pemimpin harus dapat menjaga kepercayaan orang-orang yang dipimpinnya dan harus dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh rasa tanggung jawab. Terlebih lagi pada era reformasi ini di mana pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Seorang pemimpin tentu tidak boleh mengecewakan orang-orang yang telah mempercayakan tampuk kepemimpinan di tangannya sebab menjadi seorang pemimpin itu sendiri merupakan suatu amanah. Dan seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban mengenai kepemimpinannya di akhirat kelak.

Yang terakhir adalah fathonah. Fathonah berarti cerdas atau pandai. Seorang pemimpin harus cerdas, memiliki banyak ilmu, dan berpengetahuan luas. Jika tidak, sang pemimpin hanya akan dijadikan “boneka”, atau dengan kata lain hanya akan dimanfaatkan oleh segelintir orang yang ada di sekitarnya untuk kepentingan pribadi ataupun golongan mereka.

Sifat-sifat kepemimpinan Rasulullah tersebut sudah sepatutnya menjadi acuan. Pemimpin kita yang paling baik adalah yang mampu meneladani dan mencontoh sifat-sifat yang ditunjukkan oleh Rasulullah. Rasulullah sebagai seorang pemimpin tidak pernah sombong, tidak pernah tergiur harta, tahta, maupun wanita, dan selalu dekat dengan rakyat.

Di samping sifat-sifat tersebut, seorang pemimpin harus pula memiliki rasa malu. Seorang pemimpin harus malu jika berbuat maksiat. Seorang pemimpin harus malu bila terlibat skandal. Seorang pemimpin harus malu jika melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dan seorang pemimpin harus malu apabila tidak mampu memenuhi janji-janjinya kepada rakyat. Rasa malu itu wajib dimiliki karena rasa malu merupakan sebagian dari iman. Rasa malu juga menjadi salah satu tiang penyangga akhlak mulia. Apabila seorang pemimpin hilang rasa malunya maka akan rusak pula akhlaknya.

Apa yang telah disampaikan tadi adalah karakter-karakter yang harus dimiliki pemimpin dari sudut pandang agama. Agama banyak mengajarkan kebaikan bagi umat manusia, tak terkecuali bangsa ini. Namun, untuk memimpin bangsa ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pula. Seorang pemimpin negeri ini harus memiliki perhatian utama pada pembangunan karakter dan jati diri bangsa dengan landasan moral keagamaan untuk mempertebal keyakinan atas kebesaran dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Seorang pemimpin negeri ini harus menanamkan benih kecintaan yang dalam terhadap tanah air untuk meningkatkan dan mempertebal nasionalisme. Seorang pemimpin negeri ini wajib menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan karakter-karakter tersebut diharapkan akan lahir pemimpin-pemimpin berakhlak mulia yang mampu membawa perubahan untuk Indonesia yang lebih baik.

Kembali ke masalah pilpres. Dari ketiga pasang capres dan cawapres yang bertarung dalam pilpres lalu, mungkin tidak ada yang benar-benar memenuhi kriteria tersebut. Mungkin tidak ada figur sempurna yang layak memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Sekali lagi penulis katakan mungkin, bukan berarti tidak ada sama sekali. Akan tetapi, penulis yakin, sebagai warga negara yang baik, kita tentu sudah menggunakan hak pilih secara bijak pada pilpres lalu untuk memilih capres dan cawapres yang menurut hati nurani kita masing-masing adalah yang terbaik, siapapun orangnya. Pastinya kita berharap bahwa kita tidak memilih dengan sia-sia. Dan pastinya kita berharap siapapun yang kita pilih adalah pemimpin yang baik, pemimpin yang berakhlak mulia. Meskipun calon yang kita pilih ternyata tidak berhasil meraih kemenangan, kita tentu bangga bisa menjadi bagian dari sejarah demokrasi di negeri tercinta ini dengan memilih pemimpin yang kita anggap memiliki akhlak mulia.

Perkara menang atau kalah, mungkin sudah suratan takdir. Mungkin sebagian dari kita sempat kecewa karena calon yang didukung tidak menang. Mungkin sebagian dari kita sempat kesal karena merasa calon yang didukungnya dicurangi. Namun, tak berarti calon yang terpilih itu buruk. Boleh jadi yang terpilih tidak lebih baik dari yang kita dukung, tetapi tidak berarti buruk pula. Semoga saja pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang setidaknya memiliki sebagian dari ciri-ciri pemimpin yang berakhlak mulia. Dan tentunya kita juga berharap dengan adanya pemimpin berakhlak mulia, negeri ini akan menjadi lebih baik.

Sebagai penutup, penulis menghimbau agar para pemimpin, terutama para calon yang telah bertarung di ajang pilpres lalu, siapapun orangnya, baik yang terpilih maupun yang tidak, dapat meneladani kepemimpinan Rasulullah dan menerapkan ciri-ciri pemimpin yang berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Minimal ada itikad untuk menerapkannya walaupun sedikit demi sedikit, mengutip istilah populer dari salah seorang da’i kondang, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal kecil, dan mulai dari sekarang. Terlebih di bulan suci Ramadhan ini. Apalagi di negara-negara Timur seperti Indonesia ada kecenderungan untuk meniru tingkah laku seorang yang dianggap sebagai pemimpin. Jika seorang pemimpin memiliki akhlak yang mulia, bukan tidak mungkin rakyatnya akan memiliki akhlak mulia juga.

* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Undang-undang Pemerintahan Aceh dan Implementasinya

Sunday, August 23, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Sudah hampir lima tahun lebih Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandatangani. Indonesia yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin sebagai ketua tim perunding dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka yang diwakili oleh ketua tim perunding mereka yaitu Malik Mahmud serta mantan Presiden Finlandia Maarti Ahtisaari sebagai fasilitator sekaligus penengah telah membuat draft Undang-undang Pemerintahan Aceh pasca konflik berdarah yang sudah terjadi selama puluhan tahun ini.

Sejak itu pula kalangan DPR berusaha untuk membuat undang-undang atau legal drafting yang formal sebagai usaha mengimplementasikan Memorandum of Understanding (MoU) Pemerintahan Aceh tersebut. DPR bahkan membentuk sebuah Panitia Khusus (Pansus) yang diketuai oleh Ferry Mursyidan Baldan dari Fraksi Partai Golkar untuk membahas implementasi dari MoU Pemerintahan Aceh tersebut. Panitia Khusus itu pun tentunya dibantu oleh Departemen Dalam Negeri, Pemerintahan Propinsi Aceh, dan sebuah lembaga baru hasil MoU juga, yaitu Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan pihak internasional sebagai pengawas perdamaian yang diketuai oleh Peter Feith.

Berbicara masalah bagaimana sebaiknya pemerintahan di Aceh seharusnya dibentuk, menurut saya semuanya seharusnya sudah jelas. Mengapa? Karena sejak menjadi sebuah daerah otonomi khusus, Aceh diperkenankan melaksanakan sistem syariat Islam secara murni dan konsekuen. Syariat sendiri dalam Islam adalah berarti peraturan yang berguna untuk mengatur kehidupan umat Islam baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari atau dalam menjalankan proses berbangsa dan bernegara. Dalam hal apa yang terbaik bagi pemerintahan di Aceh di masa datang, bagi saya haruslah sebuah sistem pemerintahan di mana konsep syariat Islam dapat diimplementasikan secara murni dan konsekuen sehingga rakyat Aceh yang mayoritas Muslim dapat dipersatukan oleh sebuah sistem di mana sistem tersebut adalah sebuah sistem yang sudah dapat dipahami bersama.

Lalu, mengapa masalah Undang-undang Pemerintahan Aceh sampai sekarang masih menjadi perdebatan sengit di kalangan anggota DPR? Bahkan sampai ada kasus uang rapat sebesar 5 juta per anggota DPR yang tergabung dalam Pansus, sehingga mengundang kontroversi oleh banyak pihak. Saya pikir ini hanyalah masalah politik kepentingan saja antara mereka-mereka yang masih ingin “bermain” di Aceh. Apalagi sejak kasus bencana tsunami, Aceh seperti kebanjiran proyek. Bahkan proyek pengadaan buku rencana rekonstruksi Aceh saja diduga dikorup, apalagi proyek-proyek rekonstruksi yang sifatnya besar dan tentunya berdana besar. Ditambah lagi para anggota dewan kita itu kan banyak yang “nyambi” juga jadi pengusaha, seperti lazimnya para pejabat-pejabat kita dewasa ini, sehingga tentunya tidak ingin kehilangan order atau kalah tender.

Terakhir, apapun yang dihasilkan oleh Pansus DPR tersebut kita sebagai warga negara Indonesia yang baik sudah selayaknya mendukung keputusan apapun yang nantinya akan dihasilkan. Sistem pemerintahan seperti apapun itu marilah kita berharap agar itulah yang terbaik yang dapat dihasilkan untuk rakyat Aceh. Toh, pastinya kita pun sudah harus bersyukur bahwa kedamaian di Aceh sudah terealisasikan dengan baik dan pihak-pihak yang bertikai sudah dapat menciptakan suasana perdamaian yang kondusif sehingga konsep NKRI harus terus dapat dipertahankan.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Volunteer Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Ketika Esensi Upacara Bendera Dipertanyakan

Wednesday, August 19, 2009

Oleh: Pradono Budi Saputro*

Pada tanggal 17 Agustus 2009 kemarin, kita baru saja merayakan 64 tahun berdirinya Republik Indonesia. Seperti lazimnya peringatan 17 Agustus, tahun ini pun dilangsungkan upacara bendera di berbagai tempat. Namun, tidak semua tempat menyelenggarakannya. Upacara bendera seolah-olah kehilangan greget-nya. Tidak seperti dahulu. Sampai-sampai ada yang bertanya, “Apa yang sebenarnya menjadi esensi dari upacara bendera sehingga kita harus mengikutinya?”

Ya, sepertinya upacara bendera tengah dipertanyakan esensinya. Upacara bendera saat ini bukan lagi suatu “kewajiban” seperti pada era pemerintahan yang dahulu. Akan tetapi, bila kita cermati, upacara bendera sangatlah penting. Mengapa demikian?

Berbicara mengenai upacara bendera, kita tidak dapat melepaskannya dari Jepang. Upacara bendera yang biasa dilaksanakan tiap Senin di sekolah-sekolah dan setiap tanggal 17 Agustus memang merupakan warisan Jepang. Orang-orang Jepang mengajarkan tata cara pelaksanaan upacara bendera pada masa pendudukan mereka di tanah air. Seperti yang kita ketahui, bangsa Jepang menyembah berbagai dewa-dewi dan salah satunya, yang utama, adalah Amaterasu (dewi matahari). Bangsa Jepang menyembah matahari terbit dan matahari terbenam sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap Amaterasu. Namun, terkadang cuaca menyebabkan matahari tidak selalu tampak. Oleh karena itu, mereka lalu mengganti ritual penyembahan tersebut dengan melaksanakan upacara bendera. Mereka membuat Hinomaru, bendera dengan corak matahari berwarna merah yang dibuat dengan kain berwarna putih. Pada saat upacara bendera, mereka memberi hormat ke arah bendera tersebut. Hal ini jugalah yang mereka ajarkan kepada para pelajar dan pemuda Indonesia ketika mereka menduduki Indonesia.

Pemerintah militer Jepang menanamkan sendi-sendi militeristik di Indonesia dan memiliterisasi seluruh aspek kehidupan bangsa pada saat itu. Salah satu di antaranya, dengan mengajarkan tata cara pelaksanaan upacara bendera kepada para pelajar dan pemuda kita tersebut. Upacara bendera dianggap dapat menjadi sarana yang tepat untuk meletakkan fondasi militer dan fasisme bagi generasi muda di tanah air.

Waktu pun berlalu, upacara tidak dengan serta-merta membuat para pemuda kita melupakan tanah air tercinta. Melalui upacara bendera, muncul semangat nasionalisme. Nasionalisme tumbuh dan berawal ketika manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu. Naluri untuk mempertahankan diri dan wilayah tempat tinggalnya mendorong manusia untuk mempertahankan negeri di mana mereka hidup dan menggantungkan diri. Ketika diserang oleh bangsa asing, mereka berjuang bersama untuk memerdekakan negerinya. Dari upacara bendera dan didikan asing itulah mereka belajar, kemudian menggalang kekuatan dan berjuang bersama demi merebut kemerdekaan.

Maka, merupakan suatu kekeliruan apabila kita menganggap upacara bendera tidak ada manfaatnya. Upacara bendera yang tidak bermanfaat adalah bila kita mengikutinya hanya karena formalitas belaka. Upacara bendera akan sangat bermanfaat jika kita menghayati apa yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita sehingga kita dapat merdeka. Melalui upacara bendera, kita dapat menunjukkan nasionalisme, membuktikan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa, serta menghormati jasa-jasa para pejuang yang telah mengorbankan harta dan jiwa mereka demi merebut kemerdekaan.

Upacara bendera bukan semata-mata menjalankan ritual yang diwariskan oleh Jepang. Bukan pula implementasi pemerintahan militer dan fasisme yang harus kita jauhi. Sebab, esensi utama upacara bendera yakni untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa para pejuang yang dengan susah payah merebut dan mempertahankan kemerdekaan negeri tercinta ini. Dengan begitu, kita bisa mengetahui sejarah bangsa dan negara ini. Akibatnya, jiwa patriotisme dapat timbul. Dan patriotisme ini diwujudkan dengan menggelar ataupun mengikuti upacara bendera. Namun, harus ada kesatuan antara sikap dan hati pada saat kita melangsungkan upacara bendera. Tidak boleh karena sekedar menjalankan formalitas. Jika kita mengikuti upacara bendera dengan benar, tentu kita akan tergetar saat lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu-lagu wajib nasional dikumandangkan.

Menghormati dan mengenang jasa-jasa para pahlawan bangsa melalui upacara bendera juga sejalan dengan ajaran Bapak Proklamasi kita, Ir. H. Soekarno. Menurut Bung Karno, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Terhadap anggapan yang menyatakan bahwa upacara bendera adalah perbuatan syirik, saya berpendapat bahwa itu merupakan suatu anggapan yang keliru pula karena dalam upacara bendera, kita menghormati bendera nasional kita, bukan menyembah bendera tersebut ataupun benda-benda tertentu. Esensinya pun sudah bergeser. Kita tidak lagi harus menyembah matahari terbit dan matahari terbenam. Jadi, masih ada yang mempertanyakan esensi upacara bendera?

* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Kearifan Lokal dalam Memaknai Persatuan Nasional

Saturday, August 15, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Kearifan lokal sering disebut juga local genius. Sering dipahami sebagai sebuah entitas budaya, sosial, ekonomi, bahkan politik suatu daerah yang mana menunjukkan suatu modernitas masyarakat atau peradaban daerah tersebut. Sayang, modernitas lokal tersebut sering tereduksi atau terkooptasi oleh modernitas-modernitas semu yang bersifat eksternal, sehingga menganeksasi local genius tersebut, hingga mengalami degradasi, bahkan extinction atau kepunahan.

Dilematisasi dalam memaknai konteks ini memang menjadi hal yang niscaya. Yang seharusnya terjadi adalah integrasi akulturalis antara local genius dengan foreign entity atau entitas asing untuk menciptakan sebuah kesatuan holistik budaya, sosial, ekonomi, politik baru, yang mana dalam substansinya terdapat kombinasi modernitas-modernitas lokal dan asing.

Setiap kebudayaan menampilkan sisi-sisi humanis, hanya jangan kita melihatnya melalui kacamata kuda. Harus ditelaah dan dipandang secermat mungkin dari berbagai perspektif dan paradigma, sambil juga kita menghargai perbedaan yang melekat di dalamnya. Yang penting kebenaran universal akan yang namanya kebaikan pasti tertera di dalamnya.

Itulah modernitas-modernitas lokal tadi, dimana sisi humanis sebuah kebudayaan teraplikasi dalam rutinitas-rutinitas subjek kebudayaan tersebut, dalam mengintegrasikan perannya ke dalam struktur sosial masyarakat yang lebih tinggi lagi. Tetapi, sekali lagi struktur sosial masyarakat yang tinggi juga sering kita pahami sebagai sebuah modernitas semu. Apakah definisi modernitas diukur hanya dari satu perspektif saja? Apakah modernitas hanya milik bangsa-bangsa yang mengaku beradab, karena mereka memiliki infrastruktur ekonomi, politik, sosial, sampai teknologi yang advance? Apakah hanya masyarakat yang menguasai politik dan memiliki kekuatan senjata yang besar yang bisa menentukan sebuah masyarakat modern atau tidak? Jawabannya adalah tidak! Modernitas semu adalah pihak-pihak yang menjadi subjek dari pertanyaan-pertanyaan tadi, yang menggunakan kacamata kuda dalam mengaplikasikan point of view mereka.

Sebetulnya, saya ingin menggunakan kata “beradab” daripada “modern”. Mengapa? Karena ekspansi bangsa Barat pra abad 20 (bahkan sampai sekarang, walaupun sudah jarang), adalah demi “memberadabkan” sebuah entitas masyarakat, yang di dalamnya ternyata memiliki keberadaban yang lebih tinggi dan kompleks, daripada bangsa yang ingin “memberadabkan” mereka! Ini yang saya sebut local genius atau kearifan lokal.

Masuk ke dalam pemahaman tentang persatuan nasional, saya melihat persatuan nasional harus dilakukan secara desentralisasi. Kearifan lokal tadi dapat menjadi pemicu semangat nasional, bukannya pelecut selera disintegrasi, seperti banyak yang ditakutkan elit-elit pusat yang punya kepentingan ekonomi dan politik di daerah. Local genius harus terseminasikan secara integral dan holistik, sehingga tercipta entitas baru yang lebih kompleks dan, tetapi tetap mewakili entitas-entitas lokal yang adalah stakeholder utama entitas baru tersebut.

Entitas baru ini adalah entitas nasional, yang merupakan kombinasi-kombinasi akulturatif kearifan lokal di seluruh Nusantara Indonesia, sehingga layak disebut post-kebudayaan nasional yang lebih aspiratif. Menjelang hari kemerdekaan ini, isu-isu disintegrasi memang masih banyak yang belum terselesaikan. Persatuan nasional yang berlandaskan pengakuan dan keterwakilan aspirasi kearifan lokal harus dapat jadi benteng utama mengatasi masalah tersebut. Terakhir, persatuan nasional harus dan tetap wajib menjadi guidance bangsa Indonesia dalam menyongsong kemerdekaannya yang ke-64 dan menjadi filter bagi pengaruh globalisasi dunia. Semoga tulisan ini mampu memberi sedikit sumbangsih bagi bangsa dalam menyelesaikan sekelumit persoalan-persoalan yang dideritanya. Merdeka!

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Volunteer Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Pelajaran dari Mbah Surip dan Rendra Bagi Para Pemimpin Negara

Wednesday, August 12, 2009

Oleh: Pradono Budi Saputro*

Beberapa tahun terakhir ini, Indonesia seperti tak henti-hentinya ditimpa musibah. Bencana alam silih berganti mendatangi negeri ini. Hampir sebulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 17 Juli 2009, kita ditimpa musibah lain. Saat itu terjadi ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton yang berlokasi di kawasan sentra bisnis Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Ledakan bom yang diduga kuat terkait dengan aksi terorisme itu tak pelak membuat image negeri ini kembali terpuruk, di samping batalnya klub sepak bola ternama Inggris Manchester United bertandang ke Indonesia.

Belum habis pemberitaan mengenai teror bom, bangsa ini kembali dikejutkan dengan meninggalnya dua orang seniman kenamaan, Mbah Surip dan WS Rendra, yang hanya berselang dua hari. Mbah Surip adalah seorang seniman fenomenal yang “tumbuh besar” dari perjalanan hidupnya sebagai seorang penyanyi jalanan. Pria yang dilahirkan dengan nama Urip Achmad Rijanto di Mojokerto, Jawa Timur pada tanggal 6 Mei 1949 (ada pula yang mengatakan 1957) ini merupakan sosok yang sangat sederhana dan bersahaja. Perjalanan kariernya tidak dibangun secara instant melalui ajang-ajang pencari bakat yang diselenggarakan oleh berbagai stasiun televisi. Ia menjalani kehidupan yang keras selama puluhan tahun sebagai seorang penyanyi jalanan. Melalui berbagai komunitas seniman jalanan, nama Mbah Surip mulai dikenal. Walaupun kita tidak dapat pula menafikan peran televisi dalam melambungkan namanya beberapa bulan terakhir ini.

Membuat album rekaman bukan merupakan hal baru bagi Mbah Surip. Pria yang namanya melambung berkat lagu hits-nya yang berjudul “Tak Gendong” ini sebenarnya sudah pernah menelurkan lima album. Namun, baru beberapa bulan ini ia naik daun dengan sangat pesat akibat lagu “Tak Gendong” tersebut. Konon, dari penjualan ringback tone (RBT) lagu tersebut, ia mampu meraup keuntungan milyaran rupiah. Meskipun disebut-sebut sebagai “orang kaya mendadak”, ia tetap rendah diri dan tak sungkan-sungkan bergaul dengan orang-orang dari kalangan manapun. Lagu “Tak Gendong” sendiri, yang kabarnya ia ciptakan saat sedang berada di luar negeri, menggambarkan bahwa kita, sebagai makhluk sosial, harus saling bahu-membahu. Dengan saling bahu-membahu, apapun akan menjadi lebih mudah dibanding bila kita bekerja sendiri.

Karena sosoknya yang unik dan nyentrik tetapi juga sangat supel dan humoris itulah, banyak orang menyukainya. Sampai-sampai ketika ia wafat pada tanggal 4 Agustus lalu, berbagai media meliput secara eksklusif. Presiden SBY pun sampai-sampai merasa harus membuat pidato kenegaraan tak resmi berkaitan dengan meninggalnya seniman yang berambut gimbal ala Bob Marley tersebut.

Hanya berselang dua hari setelah meninggalnya Mbah Surip, seorang sastrawan dan budayawan besar yang kerap dijuluki “Si Burung Merak”, WS Rendra wafat. Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah 74 tahun yang lalu itu dikenang banyak orang sebagai seorang seniman yang sangat kritis. Rendra acapkali mengungkap permasalahan bangsa melalui karya-karya. Karya-karyanya memang bukan karya-karya kacangan melainkan karya-karya yang selalu berpihak pada kepentingan rakyat. Baik sajak, cerpen, drama, maupun karya-karya lainnya selalu dibuat berdasarkan keprihatinannya pada penderitaan rakyat. Maka tidak mengherankan apabila aktor senior Deddy Mizwar menyebut Rendra bukan sekedar seniman atau budayawan, melainkan juga seorang negarawan sebab cara berpikirnya memang sudah seperti seorang negarawan. Di saat sebagian elite negeri ini memilih untuk menjual aset negara, Rendra dengan tegas menolak neoliberalisme.

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga sampai ke luar negeri. Banyak hasil karyanya yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, Bahasa Jerman, Bahasa Jepang, dan Bahasa Hindi. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri dan tak jarang memperoleh penghargaan di negeri orang. Meskipun kehidupan pribadinya tak lepas dari kontroversi, seperti soal pindah agama dan poligami, banyak yang mencintai sosoknya. Oleh sebab itu, banyak yang berduka cita atas kepergiannya.

Ia meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus lalu dan dimakamkan keesokan harinya selepas Shalat Jumat di kompleks pemakaman Bengkel Teater yang berada di Citayam, Depok. Pusaranya hanya berjarak beberapa meter dari pusara almarhum Mbah Surip. Sama seperti Mbah Surip, prosesi pemakamannya pun mendapat liputan luas dari berbagai media di tanah air.

Sosok Mbah Surip yang sangat bersahaja, supel, dan mencintai semua apa adanya dengan tulus serta WS Rendra yang sampai akhir hayatnya terus memikirkan persoalan bangsa ini semestinya bisa menjadi acuan bagi para pemimpin negeri ini. Tidak banyak pemimpin negeri ini yang memiliki sifat-sifat seperti itu. Saat ini, para pemimpin kita masih terjebak pada upaya meraih kekuasaan semata dan hanya “berusaha dekat” dengan rakyat menjelang pemilihan berlangsung. Para pemimpin itu pun kerap tergoda dengan gelimang harta, tahta, dan wanita. Tak jarang mereka bermuka dua. Di satu sisi mereka seolah-olah peduli pada penderitaan rakyat, tetapi di sisi lain mereka juga berusaha memperoleh keuntungan bagi diri mereka pribadi ataupun golongannya. Maka tak heran jika praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme masih berlangsung hingga saat ini.

Oleh karena itu, tidak salah apabila kepergian Mbah Surip dan Rendra turut dianggap sebagai musibah bagi bangsa ini. Kita kehilangan dua sosok yang mampu memberikan teladan, terlepas dari kekurangan-kekurangan mereka. Selamat jalan Mbah Surip! Selamat jalan Rendra!

* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...