KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Pemilu 2009=Pemilu Penuh Rekayasa?

Tuesday, April 28, 2009

Oleh: Pradono Budi Saputro*

Sudah dua minggu lebih Pemilu Legislatif 2009 dilaksanakan. Pemilu, yang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) digembar-gemborkan dapat berjalan sesuai rencana, nyatanya masih menyisakan berbagai masalah. Dan, masalah seputar pemilu legislatif tersebut tampaknya tidak akan habis dibicarakan sampai pemilu presiden (pilpres) bulan Juli mendatang.

Sangat banyak permasalahan yang menghinggapi pemilu legislatif lalu. Yang pertama, mengenai tata cara pemilihan yang baru, atau boleh dikatakan sama sekali baru. Mulai pemilu ini, masyarakat dihimbau untuk menandai pilihannya dengan cara mencontreng alias mencentang. Sepintas, cara ini terkesan sangat mudah. Kita hanya perlu memberi tanda contreng di lambang parpol, nomor urut caleg, atau nama caleg untuk surat suara DPR dan DPRD serta pada foto caleg untuk surat suara DPD. Namun, lain halnya dengan masyarakat pedesaan atau sebagian penduduk lanjut usia. Mereka sudah terbiasa memilih dengan cara mencoblos selama bertahun-tahun. Kurangnya sosialisasi tata cara memilih juga menjadi kendala, padahal dana yang disiapkan sudah cukup besar. Akibatnya, beberapa hari menjelang pemilu masih banyak yang belum mengetahui tata cara memilih yang baik dan benar.

Persoalan berikutnya terkait kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Akibat namanya tidak tercantum dalam DPT, puluhan juta WNI yang seharusnya mempunyai hak pilih “terpaksa” golput. Mereka menjadi golput karena tidak diperbolehkan memberikan suara. Bahkan, kartu identitas yang berlaku pun tidak dapat menjamin mereka mendapatkan hak pilih. Ayah penulis sendiri kebetulan turut menjadi “korban” dari hal ini, sampai-sampai beliau menuding adanya “permainan” dari partai yang berkuasa (the ruling party) demi memuluskan langkahnya pada pemilu ini. Lucunya, di kala sebagian masyarakat tidak tercantum namanya dalam DPT, ada sebagian masyarakat lain yang namanya dicantumkan di DPT walaupun sudah meninggal, pindah domisili ke daerah pemilihan (dapil) lain, bahkan anak-anak yang masih di bawah umur. Penulis sendiri merasa heran dengan tercantumnya nama almarhum kakek penulis yang telah meninggal dunia Agustus lalu. Itu belum seberapa, bila mencermati DPT kita akan menemukan banyak nama pemilih ganda atau dapat dikatakan “pemilih gaib”. Nama yang sama dapat dicantumkan berkali-kali dengan alamat yang sama pula. Oleh sebab itu, dalam satu tempat tinggal bisa terdapat belasan pemilih. Jadi, saat puluhan juta orang kehilangan hak pilih, banyak bermunculan pemilih-pemilih baru tanpa identitas yang jelas dalam jumlah yang hampir sama. Aneh bukan?

Masalah hak pilih diperparah oleh hilangnya kesempatan ratusan pasien rumah sakit, tahanan-tahanan di rumah tahanan, dan para mahasiswa perantau untuk memilih. Tak ada pihak yang memberikan jaminan kepada mereka untuk dapat menyalurkan suaranya. Tak ada tempat khusus yang disediakan agar mereka dapat menggunakan hak pilihnya. Terlebih lagi para mahasiswa perantau, yang karena identitas yang berlaku bukan dikeluarkan dari daerah setempat, tidak dapat mengikuti pemilu. Akibatnya, mereka pun “terpaksa” ikut golput.

Masalah selanjutnya yakni adanya penggelembungan suara di berbagai daerah. Ada indikasi pihak-pihak tertentu berusaha untuk menaikkan jumlah suara dari parpol atau caleg yang mereka usung. Bahkan, seorang caleg DPR RI dari sebuah parpol besar dapat memperoleh jumlah suara yang sangat fantastis, mencapai seratus ribuan suara. Sungguh mengerikan bukan?

Masalah berikutnya yaitu tertukarnya surat suara. Ini masalah yang sangat menggelikan. Bagaimana bisa terjadi surat suara yang seharusnya ditujukan untuk suatu dapil tahu-tahu sampai di dapil yang lain, sementara surat suara yang diperuntukkan bagi dapil tersebut dapat berada di dapil lainnya. Yang lebih mengherankan, ada kasus seorang caleg memenangi suara di tempat yang bukan merupakan dapilnya.

Problem lainnya ialah ketidaksiapan perangkat penyelenggara pemilu dalam menyiapkan logistik pemilu. Ada caleg yang namanya tidak tercantum dalam surat suara, ada pula yang namanya salah tulis di surat suara. Ukuran surat suara yang sangat besar dan lebar akibat banyaknya pilihan parpol dan caleg tidak diimbangi dengan ukuran bilik suara, yang terlihat kecil dibandingkan ukuran kertas suara. Begitu pula dengan kualitas tinta. Tinta yang digunakan untuk menandai warga yang telah menggunakan hak pilihnya ternyata mudah luntur dan terhapus. Boleh jadi ada oknum yang menggunakan hak pilihnya lebih dari sekali.

Netralitas dan independensi anggota KPU dan KPUD menjadi masalah selanjutnya. Banyak tokoh politik nasional yang mempertanyakan hal ini. Terlebih setelah Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary, berada di TPS tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyalurkan hak pilihnya. Ada hubungan apa antara KPU dengan SBY, yang notabene merupakan Ketua Dewan Pembina the ruling party? Perubahan jadwal pemilu legislatif kali ini disebut-sebut juga memiliki kaitan dengan hal ini. Pemilu legislatif yang semula direncanakan berlangsung tanggal 5 April diundur menjadi tanggal 9 April. Tanggal 9 April disebut-sebut merupakan tanggal keberuntungan SBY.

Itu baru KPU pusat, belum KPUD. Bisa jadi lebih banyak kepentingan yang “bermain” di KPUD, baik dari parpol-parpol maupun dari caleg-caleg. Beberapa bulan menjelang pemilu malah kita sempat mendengar kabar penghentian beberapa anggota KPUD di sebuah daerah akibat mereka diketahui terdaftar sebagai anggota sebuah parpol. Oleh karena itu, di daerah lebih rawan manipulasi. DPT, mungkin, dapat diatur sedemikian rupa agar dapat menghasilkan perolehan suara yang besar bagi parpol maupun caleg tertentu.

Masalah yang terakhir, walaupun dalam kenyataannya mungkin masih terdapat berbagai macam masalah lain, adalah lambatnya proses perhitungan suara. Data yang terkumpul dalam real count KPU sampai saat ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan suara Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 untuk rentang waktu yang sama. Terlepas dari proses perhitungan suara yang sangat rumit akibat banyaknya jumlah parpol dan caleg, kelambanan proses perhitungan suara ini patut kita pertanyakan. Terlebih, budget yang dipersiapkan untuk perangkat IT guna mendukung kelancaran proses perhitungan suara pada pemilu ini lebih besar daripada dua pemilu sebelumnya.

Solusi

Lalu, adakah solusi terhadap permasalahan-permasalahan tersebut? Mengenai tata cara pemberian suara yang baru, yakni dengan cara mencontreng, penulis pikir itu bukanlah hal yang sulit. Mengingat tingkat pendidikan masyarakat Indonesia saat ini sudah lebih baik dibandingkan era-era sebelumnya, penulis pikir cukup tepat untuk memberi tanda contreng ketimbang mencoblos pada pilihan kita. Hanya saja, pemerintah maupun KPU harus lebih aktif untuk mensosialisasikannya sejak dini agar pada saat pemilihan tidak ada lagi warga yang kebingungan dalam memberikan suaranya.

Kemudian, bagaimana dengan DPT? DPT disebut-sebut menjadi problem terbesar Pemilu 2009. DPT merupakan masalah yang sangat pelik dan harus segera diselesaikan agar di masa-masa mendatang, terutama menjelang pilpres nanti, tidak terulang lagi. Persoalan DPT sebenarnya dapat dikatakan bukan sepenuhnya merupakan kesalahan KPU. DPT disusun berdasarkan daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang diserahkan oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada tanggal 5 April tahun lalu. Selanjutnya, DP4 dicek oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dalam waktu sebulan. DP4 tersebut lalu diolah menjadi daftar pemilih sementara (DPS). Setelah itu, DPS diproses sehingga akhirnya disusun menjadi DPT. Akan tetapi, salah satu permasalahan mendasar yang perlu diketahui adalah waktu untuk pemutakhiran data DPS menjadi DPT sangat singkat. Bahkan, terlalu mengacu pada DP4 yang dikeluarkan oleh Depdagri. Tidak ada upaya untuk meng-update informasi yang ada dengan mengecek langsung data-data tersebut sampai tingkat RT dan RW. Jadi, selain mengacu kepada data administrasi kependudukan yang sudah ada, yang belum tentu masih valid, penulis pikir perlu juga untuk mendata dengan mendatangi langsung warga dari rumah ke rumah meskipun memakan waktu, tenaga, dan pastinya biaya, bukan malah menyalahkan warga yang dianggap kurang aktif untuk memeriksa apakah namanya telah tercantum. Di samping data administrasi kependudukan, penulis pikir dapat digunakan pula surat keterangan domisili agar mereka yang kebetulan sedang bermukim di wilayah yang bukan dapilnya, seperti para mahasiswa perantau, dapat menggunakan hak pilihnya. Demikian juga, perlu disediakan fasilitas bagi orang-orang dengan “kebutuhan khusus”, seperti pasien-pasien rumah sakit dan tahanan-tahanan di rumah tahanan, agar mereka tidak menjadi golput karena “terpaksa”.

Terkait dengan adanya upaya penggelembungan suara, penulis pikir selain pada waktu pencontrengan dan penghitungan suara, pengawasan juga perlu dilaksanakan dalam proses pemasukan data hasil perhitungan suara. Dengan usaha tersebut, kiranya adanya upaya penggelembungan suara dapat diminimalisir. Lalu, terhadap kasus tertukarnya surat suara, penulis rasa ini hanyalah akibat kekurangtelitian para petugas pada saat proses pengiriman logistik pemilu. Namun, bagaimanapun juga kesalahan yang terkesan sepele ini fatal akibatnya. Kemudian, untuk kesalahan dalam penyediaan logistik pemilu, seperti tidak tercantumnya nama caleg, kesalahan penulisan nama caleg, terlalu kecilnya ukuran bilik suara, dan rendahnya kualitas tinta, ini dapat menjadi pembelajaran bagi pihak-pihak penyelenggara pemilu agar lebih selektif dalam memilih perusahaan penyedia logistik pemilu.

Selanjutnya, berkenaan dengan persoalan netralitas dan independensi KPU maupun KPUD, jujur saja penulis pun agak menyangsikan kalau pemilu legislatif ini telah terlaksana secara langsung, umum, bebas, rahasia serta jujur dan adil. Memang, penulis tidak melihat langsung kejadian-kejadian di lapangan. Akan tetapi, kita dapat melihat berbagai kejanggalan yang mengindikasikan bahwa pemilu kali ini tidak “bersih” bila menilik dari berita-berita yang beredar. Walaupun begitu, kita tetap harus mampu melihat secara obyektif. Perubahan tanggal pemilu legislatif lalu contohnya. Selain itu, beredarnya Ketua KPU di TPS tempat Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mencontreng. Ditemukannya beberapa orang panitia yang mengarahkan sebagian warga untuk mencontreng parpol atau caleg tertentu di beberapa TPS mungkin dapat memperkuat indikasi ini. Demikian pula dengan pencederaan hak politik warga negara, di mana sebagian penduduk negara ini tidak dapat memberikan suaranya, bisa jadi ada hubungannya dengan masalah ini. Yang jelas, tanpa terlalu berprasangka negatif, kejadian-kejadian tersebut menunjukkan adanya kejanggalan. Bahkan, sejumlah tokoh masyarakat dan parpol dalam sebuah pernyataan sikap menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu yang lalu adalah yang terburuk sejak reformasi dan sangat jauh dari pemilu yang jujur, adil, demokratis, dan bermartabat. Mereka juga menganggap bahwa baik pemerintah, KPU, maupun KPUD telah bersikap tidak netral dalam pemilu ini.

Lambatnya proses perhitungan suara boleh jadi terkait dengan persoalan tadi. Di luar dari rumitnya penghitungan suara, ada yang menduga bahwa terdapat suatu “kesengajaan” untuk membuat data di Tabulasi Nasional KPU seolah-olah untuk memenuhi hasil quick count yang dibuat oleh lembaga-lembaga survei. Mudah-mudahan dugaan adanya kebohongan publik ini tidak benar. Namun, mencermati masalah-masalah yang ada seputar pemilu ini, cukup tepat apabila kita menyatakan bahwa Pemilu 2009 adalah pemilu penuh rekayasa. Entah rekayasa dalam arti negatif maupun rekayasa dalam arti positif. Yang jelas, dalam politik rekayasa ialah strategi karena politik pada dasarnya adalah strategi untuk merebut kekuasaan. Memenangkan parpol atau caleg merupakan bagian dari upaya untuk merebut kekuasaan. Sehubungan dengan dua masalah terakhir ini, sulit mencari pemecahannya. Kita tidak mungkin melaksanakan pemilu ulang karena hanya akan menghabiskan waktu, tenaga, dan dana. Demikian pula, tidak bijak rasanya untuk mengganti anggota KPU saat ini mengingat waktu pelaksanaan pilpres sudah semakin dekat dan tidak ada yang menjamin apabila anggota KPU yang baru nantinya dapat bekerja lebih baik. Kita hanya bisa berharap mudah-mudahan pihak penyelenggara KPU mau belajar dari kejadian-kejadian tersebut agar masalah-masalah tadi tidak lagi terulang.

* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Platform Pembangunan Berbasis Kerakyatan

Thursday, April 16, 2009

Oleh: Didin S Damanhuri*

Adanya faktor 'ketidakpastian keterpilihan', siapa pemenang menjelang Pemilu Presiden bulan Juli nanti. Ditambah belum pasti berkoalisinya kembali pasangan SBY-JK atau SBY versus JK dengan pasangannya masing-masing. Meskipun, adanya gejala persekutuan pribadi antarkedua tokoh itu seperti dilansir Fachry Ali. Namun yang menarik, melihat fenomena lebih jauh (beyond SBY-JK), yakni kemungkinan adanya 'Pesekutuan Platform Pembangunan berbasis Kerakyatan'. Alasannya sederhana, kalau pasangan ini terpilih bersama-sama atau berseberangan, SBY tak berhak lagi menjadi capres dan JK sudah terlalu tua untuk maju lagi sebagai capres. Dengan begitu, SBY dan JK kemungkinan akan mengeluarkan aslinya dalam menyematkan keberhasilan pembangunan dengan platform-nya yang lebih 'genuine'. Tulisan itu akan menganalisis kemungkinan gabungan platform dari aslinya SBY dan JK bersama atau berseberangan kalau mereka memerintah antara 2009-2014.

SBY dan JK mempunyai karakter berbeda, namun cenderung bisa saling melengkapi. SBY yang 'militer intelektual', hati-hati, dan meski mengambil pembantu ekonominya yang pro-neoliberal, namun berani mengambil kebijakan yang terkadang berkebalikan. Misalnya, dengan mengakhiri kerja sama dengan IMF sambil melunasi sisa utangnya serta menolak bantuan IMF untuk mengatasi krisis 2008. Juga, pelan-pelan Indonesia mengambil peran penting dalam hubungan internasional yang tak selalu mengekor negara maju, bahkan cenderung menjadi 'problem solver'. Semisal terakhir dalam kontroversi KTT G-20 yang nyaris pecah antar 'kubu stimulus' dengan 'kubu regulasi pasar finansial', SBY menyuarakan sintesa dan KTT berakhir dengan komunike bersama. Boleh dibilang SBY cenderung berkarakter 'eclectic' atau Zig-zag dalam mengambil kebijakan, mirip Pak Harto.

Sementara itu, JK yang cenderung bukan hanya karena dia pengusaha yang kemudian lebih pragmatis, namun kalau dilihat dari sepak terjangnya selama menjadi wapres yang 'superaktif', tokoh ini sering mengambil kebijakan yang 'out of textbook' dan juga kecepatannya dalam mengambil keputusan. Ini tercermin dari keberhasilan JK dalam merancang perdamaian di Maluku dan yang spektakuler di Aceh. Juga mendamaikan perpecahan partai, menyemarakan silaturahim antarpartai dan tokoh-tokohnya menjelang Pemilu 2009 demi kondusifnya politik, keberanian mengganti minyak tanah dengan bahan bakar gas, kompensasi subsidi BBM dengan BLT, serta menuntaskan pelbagai proyek-proyek mega infrastruktur.

Meski di mata pengkritiknya pemerintahan SBY-JK yang banyak kekurangan, termasuk kritik Prabowo yang menganggap haluan ekonominya menyimpang dari konstitusi. Ditambah dari sejak awal hingga akhir, pemerintahan terus menerus diterpa berbagai musibah bencana alam, sosial, dan ekonomi. Namun, pemerintahannya berjalan normal lima tahun dengan pertumbuhan ekonomi antara 5 hingga 6 persen, berfungsi optimalnya KPK yang tanpa preseden dalam pemeberantasan korupsi, relatif stabilnya keamanan, menyusut drastisnya ancaman terorisme, dan sedikit berkurangnya pengangguran terbuka dari sekitar 11 persen menjadi sekitar 9 persen. Yang masih keteteran adalah dalam pengurangan kemiskinan absolut yang cenderung di akhir pemerintahannya stagnan di angka 17 persen, bahkan bisa lebih tinggi (di atas 18 persen) karena krisis ekonomi global. Juga, sektor riil yang makin jauh ketinggalan dibandingkan dengan sektor finansial serta ketimpangan (antargolongan pendapatan, antardaerah dan antarsektor) yang cenderung memburuk dengan, antara lain indikator rasio Gini yang meningkat serta NTP (Nilai Tukar Petani) yang terus menurun.

Namun, yang menarik melihat anatomi jika persekutuan pribadi SBY-JK berlanjut atau berseberangan. Maka, secara psiko-politik ada faktor-faktor yang lebih menguntungkan seperti yang diharapkan para pengkritiknya. Antara lain, yang paling menonjol adalah 'utang SBY' di mana dalam disertasinya yang Suma Cum Laude di IPB telah membuktikan bahwa prioritas terhadap pembangunan pedesaan dan pertanian (dalam arti luas) dapat menjadi solusi pembangunan, khususnya dalam mengurangi secara signifikan problem kemiskinan. Meski, ada jargon penting dalam platform SBY dalam pemerintahan 2004-2009 untuk 'revitalisasi pertanian'. Tapi dalam aksi kebijakan, hasilnya relatif mediocre kecuali ada catatan swasembada beras. Dibandingkan keberhasilan Thailand sebagai Kitchen of the World dengan sumbangannya terhadap PDB yang besar, peran signifikan dalam solusi krisis 1997/98, toko produk Thailand di kota-kota besar di berbagai negara dunia, dan lain seterusnya, maka peran pertanian dan nasib petani di Indonesia masih jauh dari memuaskan. Maka, ada kemungkinan dalam platform SBY jika memerintah lagi, akan jauh serius lagi dalam melunasi 'utang'nya terhadap masih tertinggal, termarginalisasi serta masih jauh menjadi faktor untuk solusi dari peran pertanian terhadap pembangunan seperti dalam kesimpulan disertasinya.

Sementara JK yang telah memerankan wapres yang superaktif serta kebijakan yang diluar textbook, maka lagi-lagi analog keberhasilan seperti saudagar yang jadi Perdana Menteri di Thailand, Thaksin, yang memerintah tahun 2001-2006. Dengan Thaksinomics dikenal di luar buku teks, meski kerja sama dengan IMF, antara lain dalam solusi krisis 1997/98 Thaksin tak membuat seperti BPPN-nya Indonesia dengan dana rekap/utang publik sebesar Rp 650 triliun untuk mengatasi krisis perbankan. Tapi, dengan kebijakan fiskal agresif di sektor pedesaan, pertanian, dan UKM yang kemudian menjadi modal untuk membangkitkan daya beli rakyatnya secara masif, yang kemudian mampu menghidupkan kembali industri yang sebelumnya kolaps. Dengan demikian, peran JK yang saudagar dapat memerankan seperti keberhasilan Thaksin tersebut. Juga ditambah, misalnya, dalam kebijakan meredam konflik (menciptakan perdamaian), pembangunan infrastruktur, pemberdayaan UKM, pemecahan kemiskinan meski belum spektakuler, waktu jadi wapres akan menjadi modal untuk diteruskan dengan lebih cerdas dan komprehensif lagi jika nanti bersama SBY atau berseberangan dan memerintah 2009-2014.

Walaupun kini seperti banyak dibahas, akan terjadi koalisi Golden Triangle (Golkar-PDIP-PPP) versus Golden Bridge (Demokrat-PAN-PKS-PKB), dalam 'politik ala Indonesia' yang cenderung lebih berorientasi at all cost meraih kemenangan dibandingkan orientasi ideologi seperti di Amerika (Demokrat yang lebih sosialis-demokrat versus Republik yang lebih neoliberalis secara ideologis) atau di Prancis (Partai Sosialis vs Partai Kanan), di Inggris (Partai Buruh vs Partai Koservatif). Maka, di Indonesia polarisasi ideologi untuk menyusun platform yang bisa 'dibeli' dalam pemilu belum akan menjadi preseden dalam Pemilu 2009. Baru setelah itu, kemungkinan terjadi 'koalisi berbasis platform ideologis', misalnya platform ekonomi kerakyatan versus platform pertumbuhan ekonomi. Embrionya kini telah ada, misal yang diusung Prabowo dengan ekonomi kerakyatannya versus platform koalisi partai lain, mungkin baru akan terjadi setelah Pemilu 2014. Oleh karena itu, Pemilu 2009 ini koalisi platform pembangunan berbasis kerakyatan tersebut bisa saja terjadi di mana SBY-JK bersekutu atau SBY versus JK. Karena, perselingkuhan koalisi adalah logika politik yang belum berbasis ideologis seperti telah dijelaskan. Namun, bagi rakyat yang terpenting dari hasil Pemilu 2009 (legislatif maupun presiden) adalah jaminan akan 'lebih baik dan lebih cepat' dalam pencapaian keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sehingga bagi rakyat, demokrasi menjadi kongkret hubungannya dengan kehidupan nyata mereka, semoga.

* Guru Besar Ekonomi IPB

Diambil dari Republika Kamis, 16 April 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Republika Online

Baca selengkapnya...

Pemilu dan Kearifan Berdemokrasi

Tuesday, April 14, 2009

Oleh: Gumilar Rusliwa Somantri*

Ketika beberapa hari pemilu 9 April 2009 menjelang, sebagian tubuh bangsa dilanda sedikit cemas.

Gejala ini seiring dengan surutnya opera para demagog politik menebar janji dan etalase jalan dipenuhi baliho. Pokok perkara adalah kebesaran hati elite politik menerima hasil pemilu.

Bagaimanapun, selama lebih dari 10 tahun terakhir Indonesia telah memberi contoh kepada dunia tentang mengelola demokrasi di masyarakat yang kompleks. Kita tak lagi harus tertunduk inferior saat membincangkan keadaban politik di berbagai forum dunia.

Heterogenitas yang berbasis sebaran geografis, agama, preferensi politik, suku bangsa, tingkat pendidikan, dan golongan sosial adalah serangkaian ”kemustahilan” Indonesia untuk menjalankan genius sejarah yang bernama demokrasi. Namun, kita mampu melakukannya. Tak berlebihan jika kita menyatakan bahwa bangsa ini adalah raksasa kearifan demokrasi dari Timur.

”Devil is in the details”

Pemilu 2009 juga paling ”mendebarkan” dari sisi potensi eskalasi konflik. Hal ini dipicu oleh lompatan perubahan sistem pemilu dan perwakilan politik, kerasnya persaingan elite dan pertarungan antarcaleg, ketatnya aturan parliamentary threshold, terbukanya berbagai kemungkinan jebakan dalam koalisi partai, hingga disorganisasi dan malaadministrasi penyelenggaraan.

Dapat dikatakan, inilah pemilu paling menguras energi, baik finansial maupun sosial. Pemilu ini sekaligus merupakan pertaruhan ”kesabaran” kita sebagai bangsa untuk menatap optimistis persandingan antara cita-cita demokrasi dan kesejahteraan.

Pemilu kali ini adalah momentum dalam mempertegas arah konsolidasi demokrasi dan penguatan pelembagaan politik. Harapan kita, Pemilu 2009 tidak berhenti pada sekadar ritual sirkulasi elite dan power sharing kekuasaan, tetapi lebih dari itu dapat memberi pesan penting bahwa demokrasi bekerja untuk perbaikan kesejahteraan bangsa.

Salah satu kelemahan proses pemilu, seperti masalah daftar pemilih tetap serta administrasi pendataan, melibatkan kealpaan kita mengawalnya. Kondisi ini menjadi peringatan akan pentingnya ketertataan administrasi kependudukan. Pelajaran penting yang dapat diambil adalah demokrasi tak hanya berimpitan dengan gagasan-gagasan besar tentang perubahan, ideologi, platform, atau desain kelembagaan. Ia juga membutuhkan kehadiran administrasi dan perencanaan matang. Kealpaan mengurusnya akan menimbulkan masalah serius.

Namun, mengamini kelemahan tidak lantas memberikan pembenaran pada sikap gelap mata kontestan untuk menolak tanpa dasar hasil pemilu. Untuk mengatasi hal itu, kita tak diberi kesempatan panjang. Jangka pendek, dibutuhkan partisipasi kita semua untuk mengawasi pelaksanaan pemungutan suara hingga penetapan hasil akhir. Jangka panjang, administrasi kependudukan perlu direformasi agar substansi pemilu yang sejatinya memberi hak substansial paling mendasar dalam politik berupa hak pilih tidak ternodai.

Ujian para negarawan

Pemilu 2009 juga akan menjadi ujian kualitas elite politik Indonesia. Momentum ini menegaskan tentang siapa yang memiliki kualitas kepemimpinan sebatas politisi dan siapa berkualitas negarawan. Sejarah akan mencatat sikap menerima kemenangan dan kekalahan, memberi selamat dan dukungan moral kepada ”pemenang”, dan mengajak serta yang ”kalah” untuk berkontribusi. Itulah bentuk sikap dan tindakan yang dirindukan bangsa ini. Untuk itu, sikap elite politik mengajak masyarakat untuk mengikuti dan menerima hasil pemilu secara damai. Konsensus elite ini amat penting guna mendorong pendulum kematangan demokrasi.

Ke depan, karakter ”negarawan” elite politik dihadapkan tantangan untuk tidak saja memiliki visi kebangsaan, tetapi juga peradaban. Mereka dituntut menjadi suara bangsa, aktif menawarkan solusi kemacetan peradaban. Kita dihadapkan fase tidak mudah berupa merosotnya perekonomian global yang membutuhkan hadirnya arsitektur baru ekonomi dunia, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, ancaman pandemi penyakit menular, dan sebagainya.

Peran universitas

Dalam konteks pascapemilu, universitas dapat menjadi mitra politisi dalam mengarahkan desain pembangunan Indonesia. Sejalan agenda transformasi universitas, kami berkomitmen untuk terus memberikan kontribusi pada penguatan sistem demokrasi melalui sumbangan pemikiran, pengembangan riset, dan kajian di lapangan ilmu sosial, politik, serta studi kebijakan.

Sistem demokrasi konstitusional yang berlanjut (sustainable constitutional democracy) amat dibutuhkan guna menempatkannya sebagai instrumen efektif yang bekerja bagi perwujudan kesejahteraan. Di tataran lebih luas, agenda-agenda riset unggulan (frontier researches) yang relevan dan bermanfaat untuk menopang peradaban bangsa pada era global terus dikembangkan.

Universitas diharapkan dapat menjadi tulang punggung yang utama transformasi sosial dan peningkatan daya saing bangsa. Kerja akademik ini merupakan kewajiban sekaligus kehormatan bagi universitas.

* Rektor Universitas Indonesia

Diambil dari Kompas Senin, 13 April 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak

Baca selengkapnya...

Pembaruan Partai Politik

Tuesday, April 07, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Krisis multidimensi yang terjadi berkepanjangan di Indonesia telah membawa dampak buruk pada seluruh aspek kehidupan masyarakatnya, walaupun saya juga menyoroti hikmah positif (blessing in disguise) di balik itu semua, yaitu timbulnya pemikiran mendasar tentang reformasi di kalangan masyarakat kita. Fokus utama reformasi adalah bagaimana mempercepat terwujudnya civil society dalam kehidupan masyarakat dan negara yang dilandasi nilai-nilai good governance, dengan memunculkan semangat demokrasi, menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM, memberantas KKN, dan mempercepat otonomi daerah.

Dilihat dari sisi politik, dampak reformasi itu antara lain terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan sentralistik menuju sistem pemerintahan yang desentralistik, dimana rakyat mulai dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan publik. Salah satu indikatornya adalah amandemen Konstitusi 1945 yang dilakukan semasa MPR diketuai oleh Amien Rais. Berubahnya paradigma itu merupakan lompatan besar, dan perubahan konstitusi tersebut adalah bagian dari tuntutan reformasi. Reformasi konstitusi ini merupakan langkah besar demokrasi agar UUD 1945 yang telah diamandemen menjadi konstitusi modern dan sesuai tuntutan zaman.

Lompatan besar itu pada akhirnya akan bermuara pada partai-partai politik, karena dimanapun demokrasi dibangun, harus diakui bahwa partai merupakan institusi kunci bagi pengembangan demokrasi. Partai akan tetap menjadi kerangka institusional bagi proses representasi dan pemerintahan. Intinya, partai masih tetap akan memerankan peran penting dalam proses bangsa ini menuju reformasi demokrasi. Dilihat dari sistem politik otoritarian, peran partai seperti itu memperlihatkan bahwa reformasi kepartaian sudah membuahkan banyak hasil. Tetapi apabila ditinjau dari sisi reformasi menuju demokrasi, perkembangan sistem kepartaian itu sebenarnya masih minim. Karena memiliki peran yang sangat penting itulah, maka pembaruan partai politik adalah jawabannya.

Reformasi Kepartaian Menjadi Platform Pembaruan Partai Politik

Perubahan kepartaian dalam hampir sebelas tahun sejak reformasi pun saya nilai belum menapaki arah dan tujuan pembentukan negara secara tepat dan konsisten. Ditambah dengan sistem multipartai seperti sekarang ini, dimana jumlah partai sejak pemilu 1999 sampai pemilu 2004, dan menjelang pemilu 2009 sudah mencapai angka lebih dari 300 parpol. Peserta pemilu 2009 saja mencapai 38 partai politik. Hal ini menandakan banyaknya kepentingan dan tujuan yang dibawa oleh parpol-parpol tadi dalam berpolitik sehingga basis ideologi rakyat akan bergeser, dari ideologi nasionalis, Islam/agama, sosialis atau model masyarakat Jawa, menurut Clifford Geertz, (santri, abangan, dan priyayi) ke bentuk ideologi rasional. Alasannya, karena pengaruh isu global tidak bisa dibendung lagi serta semakin langkanya pemimpin kharismatik di masa depan. Konflik ideologi antar aliran politik seperti masa lalu akan bergeser pada konflik kepentingan yang didasarkan pada kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Indikasinya adalah berbagai kegagalan fungsional partai politik, dalam artian bahwa posisi partai politik yang amat strategis itu tidak diimbangi secara optimal dengan pelaksanaan segenap fungsinya. Begitu halnya dengan fungsi partai sebagai organisasi kekuatan sosial politik rakyat yang dibentuk untuk melindungi dan memperjuangkan aspirasi mereka, berupa nilai dan kepentingan di arena politik. Politisi partai malah menggunakan lembaga politik itu untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan sempit mereka sendiri untuk berkuasa. Konsekuensinya, fungsi integratif partai terhadap masyarakat plural menjadi mandul.

Kegagalan partai mewujudkan fungsinya yang utama tersebut berakibat pada ketidakmampuan partai untuk merealisasikan berbagai fungsi yang lainnya. Beberapa contohnya adalah, partai gagal membuat kebijakan publik secara tepat. Partai juga gagal menyelesaikan konflik secara langsung atau melalui kekuasaan pemerintahan, bahkan gagal menyelesaikan konflik internalnya sendiri. Partai gagal melaksanakan fungsi sosialisasi politik reformatif terhadap rakyat, bahkan terhadap pendukungnya sendiri, sebagai tampilan dari kegagalan fungsi komunikasi politik. Partai gagal membentuk dan menyiapkan pemimpin berdasarkan kriteria kepribadian berorientasi problem solver, kematangan etis, kemampuan negarawan yang baik, politisi profesional, dan teknokratik. Begitu pula dengan pemunculan pemimpin yang tepat di panggung nasional maupun lokal. Partai gagal menjadikan dirinya sebagai lembaga pembaharuan politik dalam rangka menuju reformasi demokrasi.

Akar masalah dari struktur organisasi partai dewasa ini adalah kehadirannya di tengah rakyat secara nasional, untuk memenuhi keabsahannya sebagai organisasi perjuangan politik yang dibentuk rakyat. Tanpa kehadiran dan kinerja organisasi partai di seluruh wilayah negara, amatlah sukar bagi partai mempertanggungjawabkan kekuasaan negara yang berada di tangan anggotanya. Di samping itu, akar masalah organisasi partai bagi realisasi fungsinya terhadap rakyat dan negara, berkenaan dengan sentralisasi organisasi. Akibatnya adalah melemahkan dan meniadakan otonomi partai, sehingga unit partai di daerah harus mengembalikan tugas dan tanggung jawabnya kepada masyarakat setempat, apabila DPP memerintahkannya untuk bertindak di luar kehendak masyarakat setempat. Dalam hal ini, DPP memang menjelma menjadi decision maker bagi unit-unit partai di daerah, padahal di tingkat pusat sendiri pengetahuan tentang kondisi masyarakat di daerah patut dipertanyakan. Inilah yang terjadi jika proses decision making pada sebuah partai didasarkan pada figuritas atau sentralisasi, bukan kolektivitas.

Apabila sumbangan struktur organisasi partai terhadap operasi fungsinya hendak dioptimalkan, maka langkah yang perlu diambil adalah mendekatkan kehadiran organisasi partai kepada rakyat secara struktural dan secara otonom. Itu berarti memberikan otonomi kepada unit-unit partai di tingkat masyarakat daerah (DPW, DPC, ranting, dll) untuk memberdayakan mereka dalam memainkan peran politik yang lebih luas lagi, terutama di tingkat daerahnya masing-masing.

Tetapi jika dikaitkan dengan hasil kinerjanya, dibuktikan juga dengan kegagalan fungsi partai, maka secara keseluruhan susunan pengurus partai terbebani oleh masalah rekrutmen serta loyalitas, disiplin, dan kemandirian yang mendistorsi kinerja partai sebagai sebuah organisasi. Kualifikasi kemampuan personal dan tim sesuai dengan kebutuhan perjuangan partai, seringkali dikalahkan oleh loyalitas personal kepada pemimpin dalam merekrut fungsionaris partai. Tindakan seperti itulah yang meyebabkan partai dikelola oleh personal yang kurang kreatif dalam berinisiatif dan berani menghadapi resiko, serta juga seorang yang memiliki visi mantap dan maju.

Aktivitas partai yang berkemampuan rendah, akan tetapi loyal kepada atasan itu, berpeluang menjadi disiplin. Akan tetapi sifat disiplin itu menjadi tidak kondusif untuk menunjang realisasi fungsi partai, dikarenakan mereka cenderung menjadi pengekor dan penjilat. Kedisiplinan mereka pun dipersembahkan kepada atasan, bukan kepada tujuan serta peraturan partai, dan terlebih kepada kepentingan rakyat sebagai konstituen partai. Buruknya sikap kedisiplinan itu disebabkan oleh minimnya pemahaman dan kemampuan berorganisasi yang mereka miliki sehingga saat dipercaya menjadi wakil rakyat, kapabilitas serta kompetensi mereka tidak terlihat.

Selain persoalan disiplin, saya memperhatikan bahwa pengurus partai terdistorsi pula oleh ketidakmandirian partai. Gagasan kalangan partai untuk meniadakan sumbangan dari pemerintah, demi langkah memandirikan partai, perlu dilakukan. Tapi kemandirian pengurus partai diganggu juga oleh ketergantungan dana kepada aktivisnya di lembaga negara, di samping ketergantungan kepada sumbangan-sumbangan dari pengusaha atau orang-orang kaya tertentu yang biasanya punya interest pribadi. Konsekuensinya adalah tendensi pejabat fungsionaris partai untuk tidak terlalu memprioritaskan masalah rakyat, sehingga berakibat pada gagalnya fungsi partai kepada rakyat.

Sistem rekrutmen dengan kualifikasi yang tepat, dan pemilihannya yang ditentukan oleh rakyat adalah kunci untuk mengatasi problema kapabilitas, kemampuan, loyalitas, disiplin, dan kemandirian pengurus partai. Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, terdapat tiga cara untuk mengatasinya. Pertama, membakukan tatanan kekuasaan, peringkat pemimpin, dan prosedur organisasi ke dalam peraturan partai secara rinci dan sistematik, untuk dijadikan pedoman serta pendisiplinan sikap dan tingkah laku. Kedua, mendisiplinkan sikap dan tingkah laku individual dan kolektif para elit serta pemimpin partai secara konsisten. Dan ketiga, membangun sistem pengawasan yang efektif dan disertai sanksi tegas atas pelanggaran-pelanggarannya.

Peranan Parpol di Masyarakat

Setelah dipaparkan beberapa masalah-masalah kepartaian yang terjadi di internal partai, maka sekarang saya akan berusaha melihat beberapa hal yang seharusnya dilakukan sebuah partai politik kepada konstituennya. Pendidikan politik kepada rakyat yang dilakukan oleh parpol menurut saya adalah yang terutama. Mengapa? Karena melalui sebuah proses pendidikan politik, rakyat akan memiliki kesadaran bahwa mereka memiliki kedaulatan tidak terbatas ketika memilih calon-calon pemimpin mereka serta mereka tercerdaskan secara intelektual untuk memilih pemimpin yang baik, jujur, dan tidak korupsi. Kesadaran itu harus dibangun pada tingkat pemahaman, bahwa kedaulatannya itu akan berlangsung selamanya sejauh pemerintahan itu berjalan demokratis.

Pendidikan politik ini juga dapat dikatakan sebagai proses pengenalan nilai-nilai politik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan politik seperti ini, selain ditujukan secara umum untuk masyarakat, diperlukan juga bagi sebuah partai terutama untuk kader-kader mereka demi melancarkan proses kaderisasi partai tersebut. Dalam proses tersebut akan diajarkan antara yang baik dan tidak, antara yang boleh dan tidak boleh dilakukan, antara hak dan kewajiban politik rakyat, dan cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan tujuan politiknya itu. Melalui bekal pengetahuan itu, rakyat akan dapat mengartikulasikan kepentingannya dan tidak akan termajinalkan secara politik maupun ekonomi lagi.

Mengingat kepentingan individu sangat kompleks, muncul keinginan untuk menyatukan kepentingan-kepentingan itu ke dalam tema yang sama. Kumpulan kepentingan tadi kemudian diramu oleh partai-partai sesuai basis ideologi mereka, untuk selanjutnya disusun dalam bentuk platform, program, dan isu yang nantinya akan ditawarkan pada kampanye saat pemilu. Tujuannya adalah untuk memperoleh dukungan suara sebanyak-banyaknya agar partai tersebut memenangi pemilu. Proses ini, selain mengandung unsur pendidikan politik, juga terdapat unsur komunikasi politik yang efektif antara partai dan konstituennya. Proses selanjutnya adalah partai menempatkan wakilnya di lembaga legislatif dengan tujuan utama untuk mendengarkan, menampung, serta memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Selain itu parpol juga memiliki peran lain, seperti memberikan jembatan institusional antara warga negara dengan pemerintah dan mengolah kebijakan yang ditawarkan masyarakat untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Partai pun harus menjadi wadah bagi proses kaderisasi dan seleksi politik untuk mengisi jabatan publik maupun jabatan fungsionaris di partai itu sendiri. Dari semua itu akan terlihat bahwa fungsi utama partai yaitu mengatur hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam sistem politik di suatu negara yang demokratis.

Partai juga memiliki peran sebagai wadah konflik, yaitu wadah untuk mengatur dan menyelesaikan konflik dalam masyarakat. Tetapi menyangkut peran eksternalnya, partai juga merupakan peserta konflik dalam suatu pemilihan atau forum pengambilan keputusan di lembaga legislatif. Dengan demikian dilihat dari fungsinya, partai akan dapat mengagregasikan dan mengartikulasikan berbagai kepentingan masyarakat yang berbeda menjadi kebijakan publik. Dengan melaksanakan fungsi itu, partai merupakan pihak yang seharusnya terlibat dalam setiap proses penyelesaian konflik. Saya melihat perlunya AD/ART partai untuk dirumuskan secara detail dan komprehensif, agar dapat memberi kaidah penuntun tindakan partai dalam melaksanakan fungsi esensialnya, yakni sebagai lembaga konflik, peserta konflik, sekaligus juga bertanggung jawab menyelesaikan konflik.

Tantangan Parpol ke Depan

Setelah melihat beberapa hal yang harus dibenahi oleh sebuah parpol, baik secara internal maupun eksternal, baiknya kita melihat secara umum tantangan-tantangan apa saja yang akan dihadapi oleh sebuah parpol di Indonesia ini. Semangat reformasi, seperti yang sudah saya jelaskan di awal, di bidang politik secara tidak langsung meningkatkan kesadaran politik rakyat. Salah satu indikasinya terlihat dari 140 parpol baru yang mendaftar untuk mengikuti pemilu 1999, walaupun akhirnya hanya 48 yang lolos seleksi menjadi organisasi peserta pemilu (OPP). Pada pemilu 2004, jumlah parpol bertambah menjadi 237, tetapi yang menjadi OPP hanya 24 parpol. Dan pada pemilu 2009 lebih dari 300-an parpol mendaftar tetapi hanya 38 yang lolos sebagai OPP. Banyaknya parpol ini terjadi menurut saya karena iklim reformasi membuat rakyat yang sejak pemilu 1977 hanya terpatronkan dengan tiga parpol saja, merasa perlu mengekspresikan keinginan dan kepentingannya dengan membuat sebuah wadah baru yang dapat memenuhi kepentingannya itu, wadah baru itu adalah sebuah partai politik.

Pemilu 2004 merupakan sejarah baru dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Untuk pertama kalinya para calon anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, tidak ada anggota legislatif yang diangkat tanpa melalui proses pemilu, seperti TNI, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan sekarang sudah tidak ada. Hal ini adalah sebuah fenomena baru sekaligus sebuah tantangan yang positif bagi eksistensi parpol ke depan. Oleh sebab itu, sudah saatnya bagi semua partai yang ada untuk mengedepankan platform dan program partai yang berpihak kepada rakyat, bukan lagi berpijak kepada ideologi seperti dekade 1950-an dan masa rezim Soeharto.

Untuk membenahi kehidupan parpol ke depan ada beberapa hal yang perlu dilakukan, antara lain melalui landasan pijak partai, terutama dalam pengungkapan pandangan parpol terhadap inti tatanan politik, tatanan ekonomi, dan budaya Indonesia. Landasan ini dapat berbentuk rumusan ideologi atau manifesto politik yang disusun berdasarkan pemikiran matang dari pimpinan partai, mulai dari pusat hingga daerah maupun cabang partai di seluruh tanah air.

Selain itu juga perlu pengenalan aturan main partai dalam menetapkan pimpinan melalui AD/ART, termasuk juga siapa yang berhak duduk sebagai pimpinan, syarat keanggotaan partai, jenjang dan karier, pengalaman serta kecakapan kerja. Diperlukan juga pimpinan partai yang mampu menerjemahkan visi dan misi partai termasuk pandangan pemimpin partai yang berkaitan dengan program sampai pembagian kerja dalam struktur partai. Setiap Badan Pengurus Harian partai harus mampu mengurus keuangan termasuk mencari sumber dana dan mengatur penggunaannya untuk tugas partai, dari pusat hingga daerah. Terkait masalah dana, perlunya dibuat sumber keuangan partai yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat diaudit oleh akuntan publik dan dipublikasikan kepada masyarakat. Penggunaan dana partai yang paling rawan adalah menjelang dan saat pemilu, karena tidak tertutup kemungkinan muncul praktek-praktek money politics.

Selanjutnya seperti yang sudah saya utarakan di atas, partai harus melakukan pendidikan politik dan komunikasi politik. Pendidikan politik dilakukan bagi masyarakat untuk mendidik agar mereka semakin sadar terhadap hak dan kewajiban politiknya. Selain pendidikan politik, partai juga perlu melakukan komunikasi terhadap masyarakat atau simpatisan pendukungnya, termasuk juga bersilaturahmi dengan partai-partai politik lainnya. Komunikasi politik yang ditujukan kepada masyarakat bisa dilakukan dalam acara-acara tertentu dan dirancang untuk kalangan tertentu, seperti seminar, sarasehan partai, HUT partai, dan sebagainya. Sedangkan silaturahmi antar partai sangat diperlukan untuk membangun budaya politik kemitraan dan kesetaraan yang sinergis.

Langkah-langkah di atas penting untuk diimplementasikan agar para elit partai tidak hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya. Jika mekanisme kontrol itu dapat dilakukan secara efektif, maka pertisipasi rakyat akan berkembang menuju budaya demokratis, yang antara lain ditandai dengan sportivitas, egaliter, santun, termasuk kelompok oposisi. Untuk itu parpol diharapkan lebih produktif menjalankan proses demokrasi di semua lini kehidupan, terutama bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat. Partai-partai harus kerja keras untuk menyelesaikan berbagai krisis di bangsa kita, terutama krisis ekonomi, moral, dan kepemimpinan. Dan partai pun harus rajin melakukan pendidikan politik secara berkesinambungan, terutama dalam mengkampanyekan figur pimpinan partai, program partai, dan isu-isu berikut platform partai pada pemilu-pemilu mendatang.

Partai politik yang berprospek ke depan adalah partai yang mengandalkan visi, platform, dan program partai secara konkrit dan realistis, tidak lagi mengandalkan primordialisme dan kharisma pemimpin partai. Visi partai ini penting agar mereka dapat berkibar, maksudnya partai yang didasarkan pada visi ke depan adalah partai yang dapat mengangkat bangsa Indonesia menuju kejayaan kelak. Bisa juga diartikan sebagai visi yang dapat membangkitkan harapan dan mendorong semangat untuk beranjak dari keterpurukan yang membuat bangsa ini semakin hancur. Semua itu menjadi tantangan yang tidak ringan bagi partai-partai politik yang ingin sukses dalam pemilu-pemilu mendatang. Sesungguhnya langkah-langkah menuju perbaikan partai politik di masa depan adalah bagian dari konsep pembaruan partai politik. Saya berharap semua komponen bangsa mau bersatu demi terciptanya iklim politik Indonesia yang lebih baik lagi dengan kualitas partai politiknya yang sehat.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Pesan Moral untuk Elite Politik

Friday, April 03, 2009

Oleh: M Mossadeq Bahri*

Pesan moral ini diawali dengan kutipan dua kalimat awal surat Alfatihah. Kalimat pertama, basmalah. Dimaksudkan, semoga isi pesan mampu memancarkan rahman dan rahim, kasih sayang. Khususnya, kepada para elite politik kita dan bangsa ini secara keseluruhan. Hanya dengan kasih sayang, bangsa ini akan menjadi bangsa yang terbebas dari huru-hara, gontok-gontokan, dan pertumpahan darah. Hanya dengan kasih-sayang pula, rakyat kita akan merasakan hidup damai dan merasa nyaman menikmati alam Indonesia baru yang demokratis.

Kalimat kedua, hamdalah. Dimaksudkan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, Tuhan pencipta sekalian alam. Bahwa, kita di sini, di Jakarta, dapat merasakan kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan saudara-saudara kita di Aceh, Ambon-Maluku, Poso, Irian Jaya, dan berbagai belahan Indonesia lain. Rasa syukur kepada Allah SWT itu seyogianya menebalkan keprihatinan kita kepada nasib saudara-saudara kita yang tertimpa musibah kerusuhan dan bencana yang entah kapan akan berakhir.

Belakangan, di negeri ini berjangkit virus bernama penyakit nasional atau penyakit Indonesia. Ciri-cirinya, antara lain, melemahnya disiplin sosial, buyarnya otoritas dan keteraturan, sikap tidak bertanggung jawab, berkuasanya kekuatan uang, konsumsi berlebihan dan ekstravagansa, rusaknya lingkungan hidup, serta gesekan dan friksi antarkelas, daerah, dan generasi. Senyampang penyakit ini tidak segera diobati, negara ini sangat mungkin terjerembab ke titik 'kehancuran total'. Akibat penyakit ini sungguh fatal bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Semua komponen bangsa perlu sungguh-sungguh menyadari hal ini.

Sejarah membuktikan, bangsa ini adalah bangsa pendendam (meski juga absah dibubuhi label bangsa pelupa). Vendeta politik menjadi fenomena yang absah. Kita menerapkan elemen 'hukum' Islam dalam arti yang saru dan soro atas ketertindasan (oleh satu rezim berkuasa) dibayar tunai dengan penindasan (ketika si pecundang naik tahta). Khusus semenjak era pemerintahan reformasi, antara arena politik dan hukum rimba menjadi kancah yang sama-sebangun. Bicara dan buka mulut tak berbeda. Akhlak tak lagi jadi penuntun. Etika masuk keranjang sampah. Kepongahan menjadi panglima. Kepandiran fundamental dipertontonkan dengan sikap jemawa yang sulit dicerna akal sehat.

Dalam konstelasi amburadul semacam itu, derivat yang mengejawantah dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat pun menjadi kaya varian. Manusia Indonesia berubah, orientasi nilai-nilai bergeser. Kepatutan menjadi perkara yang nisbi. Hukum dan dominasi hukum cuma elok di atas lembaran KUHP & KUH Perdata, tetapi menjadi mimpi buruk di dunia riil. Ulama yang seyogianya jadi juru penerang di tengah gulita tak kunjung memahami risalah kudusnya fitrah mereka sebagai ahli waris Nabiyyullah. Dan, cendekiawan yang tumbuh bak cendawan di musim hujan tampak nyaman sentosa memainkan peran remeh-temehnya alih-alih terlibat ide-ide berskala dan berdimensi besar.

Semboyan 'kepadamu pahlawan kami mengadu' di penghujung dasawarsa 1970-an adalah pekik romantis dengan selera humor yang kreatif mengingat iklim represif yang disemai Soeharto sebagai pemenang tender tunggal proyek pembangunan Nusantara. Gerakan moral mahasiswa (kampus) sebenarnya tak benar-benar musnah sepanjang kontur sejarah. Mereka hanya mati muda karena berada dalam habitat yang tandus. Mereka berjaya sebagai trigger reformasi pada Mei 1998 dengan menempatkan diri sebagai ujung tombak saat kemuakan berjuta-juta anak negeri mencapai kerongkongan.

Tahap selanjutnya, berbagai konstelasi dasar negeri ini berada di titik transisi. Status ini tak pernah diakui BJ Habibie meski Prof Dr Nurcholish Madjid amat nyinyir mengusung dan mendesakkan sebutan ini. Hikmah 'reformasi' cuma mendidik kita tentang satu hal. Kita tahu berubah 'dari', tetapi meraba-raba berubah 'ke (mana)'. Sebagai bangsa yang tak sabar, kita menuntut Habibie datang dengan lampu Aladin. Dengan sekali gesek, kondisi carut-marut warisan Soeharto sontak berubah bak membalik telapak tangan. Euforia reformasi itu pula yang melengserkan tongkat dirigen dari tangan seorang besar bertubuh kecil Habibie atas nama keabsahan politik lantaran aroma Soeharto pada dirinya dianggap kelewat kental.

Eksperimen demokrasi menghasilkan PDIP sebagai pemenang (dengan 32 persen suara dari 49 kandidat yang bertarung dalam Pemilu 1999 yang relatif luber-jurdil). Apa mau dikata, kombinasi kaukus Poros Tengah dengan manuver lokomotif parpol ini membuahkan kecelakaan sejarah jika tak hendak menyebutnya tragedi. Seorang yang tidak memenuhi syarat, menurut konstitusi, dan tak dicalonkan oleh partai yang dideklarasikannya menjadi orang nomor satu di negeri berpenduduk 210 juta jiwa ini. Bagaimana membayangkan jika cucu kita yang mencermati sejarah bertanya tentang hal ini? Kita tak tahu apa kita mampu menjawab atau tidak.

Begitulah. Tanpa perlu terlibat pro-kontra dalam kepentingan partai-partai-an, 200-an juta rakyat di hari-hari ini memerlukan juru penerang. Dahaga terhadap 'mata hati'. Yakni, orang yang menunjukkan 'jalan lurus' ketika rute perjalanan itu melintir, zig-zag, dan bengkok di sana-sini. Yang memberi tahu salah dan benar tatkala yang hak dan yang batil terpiuh dalam chaos yang belum pernah ada tandingannya dalam sejarah peradaban negeri ini, kecuali dipersandingkan dengan the dark period semasa era jahiliyah di Jazirah Arab sana.

Hitung saja manusia digelandang massa hingga luluh-lantak, lalu dibakar; berbunuh-bunuhan antarkomunitas, lalu pemenangnya menenteng dan mengarak penggalan kepala; polisi bermental lanun; hakim-jaksa-pengacara memperdagangkan pasal-pasal; serdadu mengeksekusi penduduk sipil dengan pelor yang berasal dari pajak rakyat; rampok berdasi rangkul-rangkulan dengan birokrat sembari menyantap hidangan kelas supereksekutif di hotel berbintang lima; narkoba mewabah dari lapisan teratas masyarakat hingga anak-anak SD; atau zina diabadikan dalam lempengan silikon VCD dan diperniagakan bebas dengan nilai Rp 3.000 per keping.

Di tengah 'karbala' kemanusiaan ini, sebagai rakyat, kita sangat berharap, elite politik nasional jangan cuma sibuk bersilat lidah tentang kasus Bank Indonesia, pengadilan Soeharto, kasus Lapindo, dan lain-lain. Bukankah ironis, sementara rakyat digelandang musibah, elite kita sibuk memproduk pernyataan yang justru tak bersimpati (konon pula berempati) pada aspirasi yang berdenyut di urat nadi kehidupan rakyat banyak? Inikah etika berpolitik kita? Beginikah moralitas elite politisi kita? Beginikah etika dan moralitas bangsa ini? Persoalan berikutnya, sudikah kita menjadi penonton pameran kedunguan ini? Sampai kapan?

Elite politik nasional seharusnya sadar, mereka bertanggung jawab terhadap 200-an juta rakyat. Mereka seharusnya sadar, pada tupoksi, mereka sebagai motivator; kreator; pelopor yang menentukan arah masa depan negara bangsa ini. Mereka kudu paham, cetak biru kebijakan ekonomi, sosial, politik, hukum, dan budaya di republik ini adalah keputusan politik yang cerdas dan mencerdaskan yang harusnya lahir dari kiprah mereka. Mereka masih bisa berbuat sesuatu, demi dan atas nama pertanggungjawaban, sekaligus pencerahan kultural, kecuali kalau menghendaki tumpak wilayah geografis bernama Indonesia ini lenyap dari atlas.

Kita berharap agar di Pemilu 2009 ini, sikap para elite politik nasional menjadi titik berangkat menyongsong Indonesia baru.

* Lektor Kepala Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI)

Diambil dari Republika Kamis, 19 Maret 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Republika Online

Baca selengkapnya...