KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Tuesday, September 29, 2009

Oleh: Pradono Budi Saputro*

Pendahuluan

Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak seperti hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan merupakan hak yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun, seperti yang tercantum pada rumusan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia vide Tap MPR No. XVII/MPR/1998.

Konsep hak asasi manusia sebagai hak yang melekat pada diri manusia sebagai hak yang harus dihormati dan dilindungi, pada awalnya tumbuh pada tataran nasional di Inggris, Amerika Serikat (AS), dan Perancis pada abad ke-17 dan 18. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya Bill of Rights pada tahun 1689 di Inggris, Virginia Declaration of Rights dan Declaration of Independence pada tahun 1776 di AS, Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen pada tahun 1789 di Perancis, dan Bill of Rights pada tahun 1791 di AS. Instrumen-instrumen nasional ini menetapkan pokok-pokok yang sekarang dikenal sebagai human rights (hak asasi manusia).

Pada abad ke-19 dan dasawarsa awal abad ke-20, konsep hak asasi manusia (HAM) mulai berkembang di tataran internasional. Konsep ini sudah mulai dianut oleh komunitas bangsa-bangsa dalam melakukan hubungan di antara mereka. Upaya komunitas internasional untuk memantapkan pengakuan dan penghormatan HAM mencapai kulminasinya pada tanggal 10 Desember 1948 dengan diterima dan diproklamasikannya Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Deklarasi ini menetapkan hak dan kebebasan setiap orang yang harus diakui dan dihormati serta kewajiban setiap orang untuk dipenuhi.

Walaupun terlambat, lima puluh tahun setelah PBB memproklamasikan UDHR, lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan tonggak sejarah yang strategis dalam bidang HAM di Indonesia. Tenggang waktu setengah abad yang dirasa cukup lama menunjukkan bahwa betapa rumitnya bangsa ini dalam mengadopsi dan menyesuaikan nilai-nilai universal dengan nilai-nilai mengenai HAM yang sudah dianut.

Terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 1993 mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan di Indonesia, terbukti dengan banyaknya laporan dari masyarakat kepada Komnas HAM sehubungan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi selama ini. Hal ini di satu sisi menunjukkan betapa besarnya perhatian bangsa Indonesia terhadap penegakan HAM, namun di sisi lain menunjukkan pula betapa prihatinnya bangsa Indonesia terhadap pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di negeri ini.

Makna dan Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia

Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia terlahir dari suatu bangsa yang terjajah selama 350 tahun yang penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan. Oleh karenanya, bangsa Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, sangat menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia sebagai implementasi penghormatan terhadap HAM. Dalam batang tubuh UUD 1945 juga dimuat beberapa pasal sebagai implementasi HAM. Kemudian, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan UUDS 1950 memuat secara rinci ketentuan-ketentuan tentang HAM.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Tap MPRS No. XIV/1966 membentuk panitia ad hoc untuk menyiapkan rancangan piagam HAM dan hak-hak serta kewajiban warga negara. Pada Sidang Umum MPRS tahun 1968, rancangan itu tidak dibahas dengan maksud agar rancangan tersebut dibahas oleh MPR hasil Pemilu. Dalam beberapa kali sidang MPR pada era Orde Baru, tidak pernah diadakan pembahasan mengenai rancangan tersebut. Akhirnya, atas desakan dan tuntutan berbagai lapisan masyarakat, pada Sidang Istimewa MPR bulan November 1998 dihasilkan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, yang kemudian diikuti dengan dibuatnya beberapa peraturan perundang-undangan mengenai HAM. Hal ini dipandang sebagai kemajuan dalam upaya penegakan HAM di Indonesia di tengah keprihatinan atas terjadinya berbagai macam pelanggaran HAM di negeri tercinta ini.

Tipologi dan Praktek Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

Pendekatan pembangunan yang mengutamakan security approach (pendekatan keamanan) dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM oleh pemerintah. Selama lebih kurang tiga puluh dua tahun Orde Baru berkuasa, security approach ditempuh oleh pemerintah sebagai kunci untuk menjaga stabilitas dalam rangka menjaga kelangsungan pembangunan demi terwujudnya pertumbulan ekonomi nasional. Pola pendekatan semacam ini sangat berpeluang menimbulkan pelanggaran HAM oleh pemerintah karena stabilitas ditegakkan dengan cara-cara represif oleh pemegang kekuasaan.

Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan pada masa Orde Baru, dengan pemusatan kekuasaan pada pemerintah pusat notabene pada figur seorang presiden, telah mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negara sebagai akibat dari penguasaan para pemimpin negara terhadap rakyat. Pembalikan teori kedaulatan rakyat ini juga mengakibatkan timbulnya peluang pelanggaran HAM oleh negara dan pematian kreativitas warga negara serta pengekangan hak politik warga negara selaku pemilik kedaulatan. Adanya sentralisasi kekuasaan ini dilakukan pula dengan tujuan untuk melanggengkan kedaulatan sang pemegang kekuasaan itu.

Kualitas pelayanan publik yang masih rendah, sebagai akibat belum terwujudnya good governance yang ditandai dengan transparansi di berbagai bidang, akuntabilitas, penegakan hukum yang berkeadilan, dan demokratisasi, serta belum berubahnya paradigma aparat pemerintah yang masih memposisikan dirinya sebagai birokrat, bukan sebagai pelayan masyarakat, menghasilkan pelayanan publik yang buruk dan cenderung turut menimbulkan pelanggaran HAM.

Konflik horizontal dan konflik vertikal telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM baik oleh sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupun oleh aparat, seperti pembunuhan, penganiayaan, penculikan, pemerkosaan, pengusiran, hilangnya mata pencaharian, dan hilangnya rasa aman.

Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan dan anak pun masih sering terjadi. Begitu pula pelanggaran HAM yang disebabkan oleh isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Berbagai instrumen yang terdapat di Indonesia belum mampu untuk melindungi warga negaranya dari pelanggaran HAM meskipun PBB telah mendeklarasikan HAM yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak atas kebebasan dan martabat yang sama tanpa membedakan ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin.

Sebagai akibat dari belum terlaksananya supremasi hukum di Indonesia, lumrah terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM dalam bentuk perbedaan perlakuan di hadapan hukum, menjauhnya rasa keadilan, dan perbuatan main hakim sendiri akibat ketidakpercayaan kepada perangkat hukum.

Pengakuan dan Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Meskipun Republik Indonesia lahir sebelum diproklamirkannya UDHR, beberapa hak asasi dan kebebasan fundamental yang sangat penting sebenarnya sudah ada dan diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat maupun hak individu, namun pelaksanaan hak-hak individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia sedang berada dalam konflik bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember 1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal formal, sangat maju dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal dalam UUD RIS 1949. Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak memungkinkan untuk melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.

Kemajuan yang sama, secara konstitusional juga berlangsung sekembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan dicantumkannya tiga puluh delapan pasal di dalamnya. Pada masa berlakunya UUDS 1950 tersebut, penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup baik. Patut diingat bahwa pada masa itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa itu, Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) yang telah diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak Politik Perempuan pada tahun 1952.

Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan Konvensi tentang Hak Anak (1989).

Pada tahun 1993 memang dibentuk Komnas HAM berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993, yang bertujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan HAM “guna mendukung tujuan pembangunan nasional”. Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga mandiri yang memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu dinyatakan bersifat mandiri karena para anggotanya diangkat secara langsung oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden secara de facto dalam kehidupan bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa yang berada di bawah rezim yang otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM menjadi tidak terlalu berarti karena pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana.

Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini memperoleh impetus dengan diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai “perangkat lunak” berlanjut dengan diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.

Pada masa itu dikenal transitional justice, yang di Indonesia tampak disepakati sebagai keadilan dalam masa transisi, bukan hanya berkenaan dengan criminal justice (keadilan kriminal), melainkan juga bidang-bidang keadilan yang lain seperti constitutional justice (keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan administratif), political justice (keadilan politik), economic justice (keadilan ekonomi), social justice (keadilan sosial), dan bahkan historical justice (keadilan sejarah). Meskipun demikian, perhatian lebih umum lebih banyak tertuju pada transitional criminal justice karena memang merupakan salah satu aspek transitional justice yang berdampak langsung pada dan menyangkut kepentingan dasar baik dari pihak korban maupun dari pihak pelaku pelanggaran HAM tersebut. Di samping itu, bentuk penegakan transitional criminal justice merupakan elemen yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang pada kenyataannya sedang diupayakan.

Upaya penegakan transitional criminal justice umumnya dilakukan melalui dua jalur sekaligus, yaitu jalur yudisial (melalui proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di luar proses pengadilan). Jalur yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26 tahun 2000.

Sedangkan jalur ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian haruslah berorientasi pada kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat menunjang proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan upaya penciptaan kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang berupa berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan kebebasan fundamental.

Upaya Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

Pendekatan keamanan yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya represif tidak boleh terulang kembali. Untuk itu, supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat, memberikan perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.

Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini perlu dibatasi. Desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan. Otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas kekurangan yang selama ini masih terjadi.

Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara melakukan reformasi struktural, infromental, dan kultural mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah. Kemudian, perlu juga dilakukan penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.

Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua jaminan HAM yang tersedia bagi orang dewasa. Anak-anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang memungkinkan mereka berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak.

Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.

Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAM, perlu diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan aparat penegak hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum.

Mengingat bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional, yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat memperoleh keadilannya secara realistis.

Pelanggaran HAM tidak saja dapat dilakukan oleh negara (pemerintah), tetapi juga oleh suatu kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau individu lainnya. Selama ini perhatian lebih banyak difokuskan pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, sedangkan pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin jauh lebih banyak, tetapi kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu perlu ada kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya HAM di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
3. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.
4. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.

Penutup

Tuntutan untuk menegakkan HAM sudah sedemikian kuat, baik dari dalam negeri maupun melalui tekanan dunia internasional, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlu adanya dukungan dari semua pihak, seperti masyarakat, politisi, akademisi, tokoh masyarakat, dan pers, agar upaya penegakan HAM bergerak ke arah positif sesuai harapan kita bersama.

Penghormatan dan penegakan terhadap HAM merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negaranya. Diperlukan niat dan kemauan yang serius dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan para elite politik agar penegakan HAM berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan dan memastikan bahwa hak asasi warga negaranya dapat terwujud dan terpenuhi dengan baik. Dan sudah menjadi kewajiban bersama segenap komponen bangsa untuk mencegah agar pelanggaran HAM di masa lalu tidak terulang kembali di masa kini dan masa yang akan datang.

* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Pemikiran Plato dan Aristoteles tentang Negara

Thursday, September 24, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Baik Plato maupun Aristoteles adalah anak peradaban Yunani klasik. Mereka lahir dan dibesarkan dalam suatu peradaban yang dikenal sebagai salah satu pilar peradaban Barat dewasa ini. Menurut Plato, negara ideal menganut prinsip mementingkan kebajikan. Kebajikan, menurut Plato adalah pengetahuan. Atas dasar itulah Plato melihat pentingnya lembaga pendidikan bagi kehidupan kenegaraan. Plato menilai negara yang mengabaikan prinsip kebajikan jauh dari negara yang didambakan manusia. Mereka yang berhak menjadi penguasa hanyalah mereka yang mengerti sepenuhnya prinsip kebajikan ini. Plato menyebut negarawan seperti itu seorang raja-filsuf. Raja-filsuf harus memahami berbagai gejala penyakit masyarakat, mendeteksinya sejak dini, dan mencari cara menyembuhkannya. Pengetahuan, dengan demikian menjadi keharusan dan syarat utama seorang negarawan.

Hubungan timbal balik dan pembagian kerja secara sosial merupakan prinsip pokok kenegaraan lain. Plato beranggapan munculnya negara karena adanya hubungan timbal balik dan rasa saling membutuhkan antara sesama manusia. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia membutuhkan orang lain. Ini memungkinkan terjadinya hubungan tukar-menukar dalam kehidupan sosial manusia. Negara dalam hal ini berkewajiban memperhatikan penukaran timbal balik dan harus berusaha agar semua kebutuhan masyarakat terpenuhi sebaik-baiknya.

Negara ideal Plato juga didasarkan prinsip larangan atas pemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang, harta, keluarga, anak, dan istri. Menurut Plato, dengan hak atas kepemilikan pribadi akan tercipta kecemburuan dan kesenjangan sosial dan menjadikan setiap orang berusaha menumpuk kekayaan pribadi tanpa batas. Semua ini akan mengakibatkan persaingan yang tidak sehat. Larangan pemilikan uang karena Plato melihat bahwa pemilikan dan penggunaan uang untuk kepentingan pribadi berdampak buruk bagi negara. Pemilikan atas kapital yang tidak terkontrol oleh negara menciptakan kesenjangan ekonomi yang tajam antara yang kaya dan miskin. Plato menegaskan prinsip-prinsip kenegaraan ini hanya berlaku bagi para penguasa negara, yaitu mereka yang berasal dari kelas penjaga, bagi budak tidak berlaku.

Ada tuduhan bahwa Plato adalah pemikir yang anti demokrasi. Menurutnya dalam sistem pemerintahan demokrasi, pada akhirnya akan melahirkan pemerintahan tirani. Setiap orang akan memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja tanpa ada kontrol ketat dari negara. Dalam negara demokrasi, kebebasan individual dan pluralisme politik adalah dewa yang diagungkan. Semua warga negara memiliki kebebasan mengekspresikan aspirasi dan idealisme politiknya tanpa merasa khawatir akan intervensi negara terhadap kebebasannya itu. Dalam istilah Plato, demokrasi itu penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap orang dapat berbuat sekehendak hatinya. Kekerasan dibenarkan atas nama kebebasan dan persamaan hak. Penjungkirbalikan massal terhadap moralitas dan akal budi dibenarkan dengan alasan kebebasan.

Menurut Aristoteles, kemunculan negara tidak bisa dipisahkan dari watak politik manusia yang dikatakannya sebagai zoon politicon, yaitu makhluk yang berpolitik. Aristoteles menganalogikan negara sebagai organisme tubuh. Negara lahir dalam bentuknya yang sederhana, kemudian berkembang menjadi kuat dan dewasa, setelah itu hancur, tenggelam dalam sejarah. Komponen-komponen negara adalah desa-desa yang terdiri dari unit-unit keluarga. Keluarga adalah unit persekutuan terendah, sedangkan yang tertinggi adalah negara. Negara terbentuk karena adanya manusia yang saling membutuhkan. Ini sebabnya dalam kehidupan kemasyarakatan dan negara akan selalu terjadi hubungan saling ketergantungan antara individu dalam masyarakat.

Mengenai ukuran atau luas wilayah suatu negara hendaknya tidak terlalu luas, tetapi juga tidak terlalu kecil. Sebab bila negara terlalu kecil, sulit mempertahankan diri dan mudah dikuasai negara lain. Sedangkan bila terlampau besar dan luas, akan sulit menjaganya. Dari segi ideal menurut Aristoteles, negara adalah seperti polis atau city state. Tentang kekuasaan negara polis itu, Aristoteles berpendapat bahwa karena negara merupakan jenjang tertinggi, maka ia memiliki kekuasaan yang absolut.

Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, meski bukan berarti negara tidak memiliki batasan kekuasaan. Negara memiliki kekuasaan tertinggi karena ia merupakan lembaga politik yang memiliki tujuan paling tinggi dan mulia. Tujuan dibentuknya negara adalah untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu-individu tertentu. Dengan kesejahteraan seluruh masyarakat, maka kesejahteraan individu akan tercapai dengan sendirinya.

Aristoteles mengemukakan beberapa bentuk negara. Bentuk negara itu terkait erat dengan aspek moralitas. Itu terbukti dari klasifikasinya mengenai negara yang baik dan negara yang buruk. Negara yang baik adalah negara yang sanggup mencapai tujuannya, sedangkan yang buruk kebalikannya. Aristoteles juga menetapkan beberapa kriteria dalam melihat bentuk negara. Pertama, berapa jumlah orang yang memegang kekuasaan, apakah dipegang oleh satu orang, beberapa orang, ataukah banyak orang? Kedua, apakah tujuan dibentuknya negara?

Berdasarkan kriteria itu, Aristoteles mengklasifikasikan negara dalam beberapa kategori. Monarki, apabila kekuasaan terletak di tangan satu orang, bertujuan untuk kebaikan dan kesejahteraan semua, adalah bentuk pemerintahan terbaik. Monarki harus diperintah oleh seorang penguasa yang filsuf, arif, dan bijaksana. Ada juga aristokrasi, dimana pemerintahan dikuasai beberapa orang dan bertujuan baik demi kepentingan umum. Sedangkan untuk demokrasi sendiri, Aristoteles tidak melihatnya sebagai sebuah pemerintahan yang baik. Ia menganggap bila sebuah negara dipegang oleh banyak orang dan bertujuan hanya demi kepentingan mereka, maka bentuk negara itu adalah demokrasi dan bentuk negara seperti itu dianggap Aristoteles tidak ideal dan malahan memiliki konotasi negatif.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Volunteer Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Buat Apa Pemimpin?

Monday, September 07, 2009

Oleh: Hary Tjahyono*

Martabat organisasi (organization dignity) merupakan elemen terpenting dalam konsep perilaku organisasi. Maka, sebuah organisasi tanpa martabat sesungguhnya sudah tidak bisa disebut organisasi lagi.

Proses untuk melenyapkan martabat organisasi ini adalah dengan lebih dulu mengikis eksistensi organisasi tersebut. Sedangkan cara mengikis eksistensi adalah dengan menghancurkan dan mengeksploitasi sumber-sumber dayanya (resources).

Itulah yang dilakukan Malaysia terhadap ”organisasi mahabesar” Indonesia! Dalam konteks hubungan kedua negara, Malaysia cukup berhasil menghancurkan eksistensi Indonesia dan akhirnya mengikis martabat bangsa Indonesia. Rentetan dosa Malaysia sudah susah dihitung, sampai belakangan lewat ”pencaplokan” tari pendet dan penyiksaan barbar terhadap seorang TKI oleh aparat Malaysia yang ditayangkan secara gamblang oleh sebuah stasiun TV swasta. Penyiksaan tak berperikemanusiaan yang hanya bisa dilakukan oleh manusia barbar dengan naluri primitif binatang. Respons paling gampang untuk itu memang yang bersifat reaktif emosional: perang, hajar balik Malaysia, dan seterusnya. Namun, itu cuma melegakan hati sesaat belaka, bukan menyelesaikan substansi permasalahan.

Dalam konteks ini, ada dua pilar organisasi yang dikikis, yaitu sumber daya manusia (human resources) dan budaya (cultural resources). Segudang dosa Malaysia lewat eksploitasi dan penyiksaan terhadap para TKI kita menjadi bukti nyata bahwa SDM kita diperlakukan lebih buruk daripada mesin produksi. Bahkan mesin produksi pun masih dipelihara. Analoginya, kita ini ibarat perusahaan outsourcing yang mengirim karyawan kita kepada perusahaan pelanggan. Dan, di sana karyawan kita dieksploitasi seenaknya, tetapi kita tak berdaya apa pun.

Pengikisan sumber daya budaya tak kalah sadisnya, mulai dari lagu ”Rasa Sayange” yang dipakai jingle kampanye Truly Asia mereka sampai belakangan tari pendet, dan masih banyak lagi. Prinsipnya tak jauh beda dari proses pengikisan SDM sebuah organisasi. Pendeknya, semakin terkikis sumber-sumber daya sebagai pilar organisasi, semakin tergerus eksistensinya.

Proses pengikisan semacam ini sampai batas tertentu akan menghancurkan martabat organisasi. Beberapa elemen terpenting martabat organisasi, seperti nilai-nilai kebanggaan (pride) dan identitas diri (identity), tergerus habis. Di mata Malaysia, bangsa kita tak lebih dari segerombolan TKI liar yang bisa diperlakukan lebih buruk dari sebuah mesin produksi. Bagi mereka, simbol-simbol identitas dan kekayaan nilai (budaya) boleh dirampok seenaknya. Dan kita cuma bisa geram sebab tak berdaya akibat eksistensi dan martabat yang tergerus. Hanya bisa melongo.

Martabat

Eksistensi dan martabat organisasi bisa digembosi oleh pihak luar. Namun ingat, hal itu bisa dengan mudah dilakukan karena kita sendiri sebagai ”orang dalam” organisasi, sadar atau tidak, juga lebih dulu melakukan berbagai penggembosan yang sama. Atau, setidaknya, sesuai dengan konsep perilaku organisasi modern, kita tak melakukan pemberdayaan organisasi (organization empowerment) yang selayaknya.

Maka, dalam konteks penggembosan oleh Malaysia ini, ada satu upaya pokok dalam melakukan pemberdayaan organisasi, yakni transformasi tugas kepemimpinan, khususnya jajaran tertinggi pemimpin bangsa ini. Transformasi tugas kepemimpinan itu menyangkut dua dimensi: tugas manajerial (managerial task) dan tugas komunikasi (communication task).

Tugas manajerial mencakup bagaimana para pemimpin memelihara, mengelola, mengembangkan, dan melegitimasi sumber daya budaya, bukan cuma menikmati dan menjualnya (ini tak ubahnya eksploitasi dalam bentuk paling halus). Pendeknya, tugas ini mulai dari yang bersifat administratif (lihat Yudhistira ANM Massardi, Kompas, 29/8) sampai pengembangan seperti memberikan dan mengelola nilai kreasi, inovasi, teknologi, serta eksposisi formal dan informalnya terhadap sumber daya budaya itu.

Terhadap SDM pun tak jauh beda, bagaimana mengelolanya sampai pada tingkat tertinggi eksistensi SDM dalam sebuah organisasi (Adrian Levy). Bahwa SDM lebih dari sebagai aset terpenting (not only the most important assets) sebuah organisasi, tapi bahkan sebagai organisasi itu sendiri (human resource is the company/organization itself, lihat ”Membangun Manusia Paripurna”, Kompas, 25/6). Kita jangan hanya bisa ”memakai” dan ”mengirim” SDM (TKI) kita ke luar negeri, ini juga tak lebih dari bentuk eksploitasi paling halus terhadap SDM.

Maka, salah satu tugas kepemimpinan terpenting terkait dimensi manajerial ini, merujuk pada John Maxwell, bagaimana pemimpin mampu menemukan dan memberikan tempat yang tepat bagi pengikutnya (SDM, rakyat). Banyaknya TKI ilegal yang disiksa dan dieksploitasi bak binatang di negeri tetangga merefleksikan bahwa mereka belum mempunyai dan menemukan ”tempat” yang tepat bahkan di negerinya sendiri. Maka, tugas kepemimpinan para pemimpin baru bukan hanya memenangi pemilu, ada yang jauh lebih penting: menyediakan sebanyak mungkin ”tempat” bagi rakyatnya agar tak berkeliaran ”liar” di ”tempat” (negeri) lain.

Tugas komunikasi menyangkut transformasi pola dan gaya diplomatik serta berhubungan, khususnya dengan pihak luar. Singkatnya, pola komunikasi pemimpin mesti bergerak dari prinsip populis menuju asertif. Populis itu orientasinya ingin merangkul dan menyenangkan sebanyak mungkin pihak karena itu cenderung terlalu santun, hati-hati, kadang hipokrit, dan substansi pesan sering tak sampai. Sedangkan asertif cenderung lugas, tegas, penetratif, dan substansi pesan sampai secara jitu.

Populis cenderung tidak jitu karena mengedepankan ”kemasan” (sensasi). Populis mungkin cocok untuk memenangi pemilu, tetapi tak cocok untuk kasus Malaysia ini. Asertif lebih jitu karena mengutamakan ”isi” (substansi). Itu sebabnya Malaysia santai saja selama ini karena pola komunikasi pemimpin kita sangat populis dan mereka cuma merasa dielus-elus kepalanya.

Menghadapi masalah eksistensi dan martabat bangsa seperti dalam konteks ini memang tugas mahabesar segenap komponen bangsa. Namun, tanggung jawab terbesar tetap ada pada para pemimpin. Sebab, tugas utama pemimpin adalah menegakkan dan mengembangkan eksistensi serta martabat organisasi dan segenap anggotanya. Kalau tidak, buat apa ada pemimpin.

* Pengamat Sosial

Diambil dari Kompas Sabtu, 5 September 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak

Baca selengkapnya...

Mengakhiri Stagnasi Jepang

Wednesday, September 02, 2009

Oleh: Syamsul Hadi*

Seperti diduga, Partai Demokratik Liberal (LDP) menderita kekalahan dalam pemilu Jepang, 30 Agustus 2009. Pemimpin Partai Demokrat Jepang (DPJ), Yukio Hatoyama, akan menggantikan Taro Aso (LDP) sebagai perdana menteri.

Keberhasilan DPJ meraih 308 dari 480 kursi Majelis Rendah bernilai amat historis karena mengakhiri kekuasaan LDP yang hampir tak terputus sejak 1955.

PM Taro Aso mengalami nasib yang sama dengan dua pendahulunya dari LDP, Shinzo Abe dan Yasuo Fukuda, yang hanya mampu berkuasa tak lebih dari satu tahun. Aso mengalami ujian berat berupa krisis finansial global yang secara ekstrem memukul Jepang sejak Oktober 2008. Terjadi penurunan ekspor 50 persen, pertumbuhan minus 6,0 persen, dan angka pengangguran mencapai 5,7 persen, angka tertinggi sejak Perang Dunia II. Meski ekonomi Jepang diprediksi akan membaik seiring mulai membaiknya ekonomi global, para pemilih tampaknya lebih menginginkan perubahan ketimbang kesinambungan kekuasaan LDP.

Dari keajaiban ke depresi

LDP sebagai governing party semula identik dengan keajaiban ekonomi Jepang pascaberakhirnya Perang Dunia II, meski, seperti ditulis Chalmers Johnson (MITI and the Japanese Miracle, 1981), kekuasaan sebenarnya ada di tangan birokrasi yang merumuskan dan menjalankan kebijakan ekonomi. Dengan dukungan dana dari kalangan pebisnis, peran LDP lebih merupakan penyedia legitimasi politik bagi kerja para birokrat, seraya memastikan agar kebijakan mereka tidak terlalu menyalahi keinginan publik.

Birokrasi yang semula visioner dan menjadi lokomotif kemajuan lalu berubah menjadi sumber masalah dengan hadirnya beragam skandal dan stagnasi ekonomi berkepanjangan sejak 1980-an.

Dalam The Return of Depression Economics (2009), Paul Krugman mencoba menjelaskan mengapa berakhirnya bubble economy di Jepang tidak diiringi penyehatan ekonomi, tetapi justru depresi ekonomi berkelanjutan. Di mata Krugman, Jepang mengalami apa yang disebut growth recession, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tidak dapat mengimbangi cepatnya peningkatan kapasitas ekonomi. Fenomena ini terus berlanjut hingga kini karena birokrasi yang semula visioner terus tenggelam dalam sikap berpuas diri, fatalisme, dan enggan berpikir keras untuk memahami perubahan keadaan.

PM Junichiro Koizumi (2001-2006) mencoba mengusung reformasi radikal dengan menegakkan prinsip ekonomi pasar guna mendobrak stagnasi itu. Ia menyatakan perang kepada sistem hubungan ”segitiga besi” antara LDP, birokrat, dan pebisnis yang menjadi hulu beragam skandal. Koizumi mendapat dukungan luas publik yang tecermin dari kemenangan heroik LDP dalam Pemilu 2005. Namun, sebelum ia mundur tahun 2006, sistem ”segitiga besi” justru kembali menguat.

Ironisnya, dampak reformasi neoliberal Koizumi berupa melebarnya kesenjangan sosial, meluasnya pengangguran, dan mundurnya wilayah pedesaan justru menjadi titik terlemah yang diserang DPJ dalam kampanye. Hatoyama menjanjikan penguatan komitmen pemerintah pada perlindungan sosial, termasuk tunjangan keluarga 26.000 yen untuk tiap anak hingga duduk di bangku SMP. Hatoyama juga menawarkan dana 1 triliun yen untuk membantu petani yang menjadi korban penurunan harga produk pertanian.

Di sisi lain, Hatoyama mengikuti jejak Koizumi dengan janji ”merebut” kekuasaan dari birokrat dan mengalihkannya kepada politisi yang langsung bertanggung jawab kepada rakyat. Dalam kebijakan luar negeri, Hatoyama menjanjikan untuk lebih independen dari AS dan mendekat kepada negara-negara Asia.

Tantangan ke depan

Mirip Obama di AS, dalam kampanyenya Hatoyama mengkritik ”fundamentalisme pasar” dan keterlibatan berlebihan dalam proyek globalisasi. Dengan semboyan politics is for living, ia menunjukkan pemihakan eksplisit kepada kelompok sosial yang rentan, yaitu kalangan miskin, cacat, orang tua, dan anak-anak.

Pengalaman Obama menunjukkan, melaksanakan pro-weak policies memerlukan energi kepemimpinan yang ekstra besar, terutama pada saat utang pemerintah terus meningkat karena peningkatan belanja publik. Paket stimulus yang dikeluarkan Aso (sekitar 428 miliar dollar AS) dalam rangka menghadapi krisis global telah menaikkan rasio utang pemerintah terhadap GDP sebesar 170 persen. Meski fundamen ekonomi ditopang sektor korporasi yang tangguh dan piutang luar negeri yang besar, program jaminan sosial besar-besaran Hatoyama dikhawatirkan akan membahayakan sustainability ekonomi Jepang dalam jangka panjang.

Membaiknya ekonomi global dan mulai terlihatnya dampak positif program stimulus yang dikeluarkan Aso menjadi modal berharga bagi Hatoyama. Meski demikian, ekonomi Jepang yang amat bergantung pada ekspor dan investasi di luar negeri akan sulit berkembang lebih jauh dengan menguatnya kecenderungan proteksi dan inward looking di AS dan banyak negara lain. Tantangan menjadi lebih berat dengan terus meningkatnya jumlah manula (aging population), menurunnya jumlah tenaga kerja produktif, dan rendahnya angka kelahiran.

Tekad Hatoyama mengurangi kekuasaan birokrat tidak mudah diwujudkan. Budaya Jepang yang konservatif, menjunjung prinsip kolektivitas, dan cenderung patuh kepada para senior (termasuk kepada pensiunan birokrat yang terjun di bisnis) tampaknya menjadi dinding tebal yang tak mudah ditembus prinsip transparansi, efisiensi, dan good governance yang diusung Hatoyama. Pengalaman semasa Koizumi menunjukkan hal ini.

Rakyat Jepang sedang menunggu, apakah harapan untuk mengakhiri stagnasi ekonomi-politik dan meningkatkan kesejahteraan sosial akan terwujud oleh pemerintah baru pascapemilu ini. Bila tidak, depresi ekonomi-politik dan meluasnya frustrasi sosial akan terus berlangsung di Negeri Sakura itu, entah sampai kapan.

* Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI

Diambil dari Kompas Selasa, 1 September 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak

Baca selengkapnya...