KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Pak SBY, Bicaralah

Tuesday, November 17, 2009

Oleh: Wina Armada Sukardi*

Kasus ”cicak lawan buaya” benar-benar bak ”opera sabun”. Ceritanya panjang, berbelit, dan setiap episode memunculkan kisah serta konflik baru, dengan tokoh misterius atau antagonis.

Kasus ini melahirkan berbagai analisis, rumor, isu, dan gosip yang merembet ke mana-mana.

Awalnya, saat kasus itu masih sederhana dan belum berkembang, publik menginginkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mengambil tindakan tegas. Publik ingin SBY membuktikan tekadnya untuk menjadi ”seorang yang berdiri paling depan dalam memberantas korupsi”. Namun, saat SBY tak bertindak dan hanya memberikan keterangan normatif—di tengah kian terbuka perbedaan pendapat para tokoh yang terlibat—pertanyaan publik bergulir kian jauh dan penasaran, di mana posisi SBY dalam kasus ini. Publik juga bertanya-tanya, mengapa SBY, yang biasa cepat tanggap dan menjaga citra, kali ini banyak diam? Akibatnya, lahir berbagai persepsi, analisis, dan spekulasi dibumbui rumor, isu, dan gosip.

Tidak hanya di dalam negeri. Pers luar negeri pun mulai bertanya-tanya ihwal posisi SBY dalam kasus ini. The Wall Street Journal, misalnya, yang biasanya membela kebijakan SBY, juga ikut mempertanyakan sikap SBY melalui tulisan Indonesia Antigraft Showdown: Will the President Support the Anticorruption Commission? (Jumat, 13/11). Tentu saja berbagai analisis, persepsi, dan kabar miring ini menurunkan citra SBY. Survei yang diselenggarakan Lingkar Survei Indonesia (LSI) tanggal 3-9 November menunjukkan citra negatif SBY terus meningkat mencapai 64 persen. Kalau dibiarkan, ada kemungkinan citra SBY terus menukik.

Pak SBY, bicaralah

Kini, tiba saatnya SBY berbicara, mengungkap tuntas semua masalah yang terkait kasus ini. Bicaralah Pak SBY. Kejelasan dari SBY memiliki implikasi luas. Keterangan dari SBY amat bermanfaat, baik untuk kepemimpinannya sendiri maupun untuk kepentingan bangsa.

Penjelasan menyeluruh, mendasar, terbuka, nyata, dan rinci akan menangkis berbagai rumor, isu, dan spekulasi yang ada. Melalui keterbukaannya, SBY dapat membuktikan, suara-suara negatif yang selama ini beredar tentang diri dan kepemimpinan yang negatif tidak mendasar. Tepatnya, tidak benar.

Namun, penjelasan SBY harus mampu menjawab berbagai pertanyaan dan keraguan yang selama ini beredar di publik. SBY harus mengungkap semuanya tanpa keraguan.

Publik harus diyakinkan, dirinya sama sekali tidak terkait dengan hal-hal yang berbau buruk yang beredar di masyarakat. Tegaskan pula, SBY tetap pada komitmen memberantas korupsi, menegakkan demokrasi, dan menjaga kepentingan bangsa. SBY sebaiknya juga mengingatkan lagi, mereka yang mencatut namanya akan dituntut atau diproses secara hukum.

Meredakan suhu politik

Keterangan dari SBY secara terbuka ini dapat meredakan suhu politik yang mulai memanas. Jika suhu politik ini dibiarkan memanas tanpa manajemen yang tepat, akan bergulir menjadi bola liar dan panas yang sulit diprediksi hasil akhirnya.

Keterbukaan SBY akan berguna mengendalikan ketidakpastian itu. Melalui kesaksian SBY, publik akan mendapat kejelasan dari sumber utama yang selama ini masih simpang siur. Publik akan paham mengenai posisi SBY yang sebenarnya, dan hal ini akan menghentikan ”opera sabun” sekaligus mampu membenamkan bola liar yang memanas.

Jangan remehkan

Sebaiknya SBY jangan meremehkan kesimpangsiuran informasi dalam kasus ini. Jangan sampai kemenangan mutlak lebih dari 60 persen dan satu putaran pada pemilu lalu membuat SBY dan para pendukung terlalu percaya diri dengan mengabaikan suara publik di luar lembaga-lembaga resmi negara.

Pengalaman bangsa kita menunjukkan, persepsi dan sikap publik akan cepat berubah apabila menyangkut soal-soal ketidakadilan, demokrasi, dan korupsi. Ingat, Presiden Soeharto tumbang hanya setelah tiga bulan memenangi mayoritas mutlak pemilu dan menguasai parlemen lebih dari 70 persen. Padahal, saat itu pemerintahan Presiden Soeharto sudah mengharuskan semua anggota parlemen menjalani penelitian khusus (litsus) lebih dahulu. Namun, keadaan itu pun tidak dapat membendung aspirasi rakyat dan menyebabkan Presiden Soeharto saat itu harus lengser hanya tiga bulan setelah meraih kemenangan formal yang gilang gemilang.

Apabila SBY meremehkan persepsi publik terhadap pencitraan yang terus menurun dan keingintahuan publik yang membesar tanpa jawaban jelas, SBY bukan tidak mungkin harus memikul risiko terlampau besar.

Bukan tidak mungkin, dalam hal ini publik yang semula 60 persen memberikan dukungan kepada SBY dengan cepat berubah menilai kepemimpinan SBY tidak lagi memperjuangkan aspirasi publik, sehingga masyarakat memilih menempuh cara penyelesaian atau jalan keluar yang mereka ciptakan sendiri. Karena itu, sudah saatnya Pak SBY berbicara.

Pak SBY, bicaralah....

* Ketua Komisi Hukum Dewan Pers

Diambil dari Kompas Selasa, 17 November 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak

Baca selengkapnya...

Merindukan Kepahlawanan(?)

Tuesday, November 10, 2009

Oleh: Garin Nugroho*

Apa yang terjadi dengan bangsa ini? Kenapa kita tidak mempunyai kepahlawanan kepemimpinan hampir di berbagai bidang di tengah sejumlah peristiwa besar bangsa serta euforia demokrasi?

Masyarakat hampir tidak tahu, mana yang baik dan tidak baik, mana yang perlu dicontoh dan tidak dicontoh? Kita kehilangan panduan berbangsa, kepahlawanan kita adalah tokoh gosip dan tokoh bermasalah, bukan pemecah masalah.

Komentar seorang guru ini terkait berita KPK hingga Bank Century. Meski sederhana, sebenarnya merupakan muara dari nilai-nilai dasar kebangsaan, yakni bangunan warga negara terkait kerinduan laku nilai keutamaan berbangsa, sebutlah nilai-nilai pengorbanan, keteladanan, kejujuran, kerja keras, hingga rasa malu.

Kepahlawanan adalah kodrat kemanusiaan terbesar, yang hidup sejak dini, melekat dalam seluruh pertumbuhan manusia dalam upaya membangun peradabannya. Dengan kata lain, kepahlawanan melekat pada kerinduan dari sifat mulia manusia, yang mengontrol sifat-sifat manusia lain, seperti sifat kebinatangan. Sifat-sifat itu muncul pada perilaku kerakusan, jalan pintas, kehilangan rasa malu, dan lainnya.

Maka, penanda terbesar kemerosotan kebangsaan terbaca dengan tidak dihormatinya nilai-nilai kepahlawanan sekaligus tidak lahirnya bentuk-bentuk kepemimpinan aktual hari ini, yang mampu memberi nilai-nilai kepahlawanan dalam berbagai perspektifnya.

Oasis kepahlawanan

Kegelisahan sang guru atas hilangnya nilai kepahlawanan mencerminkan demokrasi kehilangan dua pilar terbesar, yakni manusia dan kemanusiaannya sebagai pelaksanaan kerja demokrasi. Di sisi lain, hilangnya pendidikan warga negara dalam membangun proses berbangsa.

Perlu dicatat, kepahlawanan adalah kitab besar pendidikan warga negara, di dalamnya terkandung dialog falsafah, penegakan prinsip hukum dan kemampuan menciptakan nilai-nilai serta harapan baru dalam ruang sosial masyarakat, yang berbasis pada rasa keadilan.

Bisa diduga, kepahlawanan tumbuh melekat dalam peradaban manusia, dihidupkan dalam dongeng-dongeng, diformulasikan melalui nilai-nilai etika dan hukum, didiskursuskan melalui beragam ilmu pengetahuan, dari humaniora hingga filsafat. Namun yang penting, dihidupkan dalam berbagai kebudayaan manusia di setiap bangsa, melalui cara kerja, berpikir, bereaksi, dan harapan warga negara atas sejumlah peristiwa bangsa.

Karena itu, ratusan pesan di Facebook dan antusias masyarakat atas nasib Bibit dan Chandra hingga kasus Bank Century, peran Anggodo maupun penegak hukum termasuk Presiden, menunjukkan harapan keadilan sebagai oasis nilai kepahlawanan yang dirindukan masyarakat, sekaligus cermin panjang mafia peradilan dalam sejarah yang dipenuhi pameran demokrasi.

Dengan kata lain, jika presiden hingga jajaran penegak hukum tidak mampu menemukan fakta dan menegakkan keadilan, maka seperti dikatakan sang guru kepada penulis, 10 tahun reformasi hanya dijadikan waktu oleh elite politik untuk terampil menggunakan dan memamerkan prosedur demokrasi untuk kepentingan kekuasaan, tetapi bukan untuk keadilan.

Hasil pemilu bukan pelaksanaan demokrasi, tetapi sekadar permainan prosedural demokrasi guna menjaga dan melindungi kekuasaan beserta ekonomi yang mendukungnya. Jika ini terjadi, ini bukan demokrasi, tetapi demo alias pameran sok aksi demokrasi.

Mampu menerobos

”Kita harus membela rasa keadilan masyarakat. Kita harus berani melakukan terobosan hukum, lewat hukum yang progresif.” Ucapan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD itu adalah esensi kerja pelaku kepahlawanan.

Perlu dicatat, dalam sejarah kepahlawanan, baik pahlawan hiburan, ekonomi, hingga politik, senantiasa terbaca kemampuan terobosan di tengah anomali nilai dan peran institusi. Simak dan belajarlah dari kepahlawanan populer yang digandrungi, tokoh- tokoh Superman hingga Batman, senantiasa menerobos prosedur formal penegak hukum karena keadilan masyarakat perlu diselamatkan di tengah krisis.

Dengan kata lain, kepahlawanan adalah geniusitas terobosan pemecahan masalah, yang mengandung penyelamatan atas nilai falsafah bangsa, prinsip hukum, dan kehidupan sosial berkeadilan dalam masyarakat.

Masihkah nilai itu menjadi bagian kerja elite politik, atau hanya tinggal dalam buku-buku fiksi, dan politik kita menjadi dongeng tanpa kepahlawanan, tanpa panduan kebaikan dan keburukan serta hilangnya keteladanan?

* Budayawan

Diambil dari Kompas Selasa, 10 November 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak

Baca selengkapnya...