KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Pak SBY, Bicaralah

Tuesday, November 17, 2009

Oleh: Wina Armada Sukardi*

Kasus ”cicak lawan buaya” benar-benar bak ”opera sabun”. Ceritanya panjang, berbelit, dan setiap episode memunculkan kisah serta konflik baru, dengan tokoh misterius atau antagonis.

Kasus ini melahirkan berbagai analisis, rumor, isu, dan gosip yang merembet ke mana-mana.

Awalnya, saat kasus itu masih sederhana dan belum berkembang, publik menginginkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mengambil tindakan tegas. Publik ingin SBY membuktikan tekadnya untuk menjadi ”seorang yang berdiri paling depan dalam memberantas korupsi”. Namun, saat SBY tak bertindak dan hanya memberikan keterangan normatif—di tengah kian terbuka perbedaan pendapat para tokoh yang terlibat—pertanyaan publik bergulir kian jauh dan penasaran, di mana posisi SBY dalam kasus ini. Publik juga bertanya-tanya, mengapa SBY, yang biasa cepat tanggap dan menjaga citra, kali ini banyak diam? Akibatnya, lahir berbagai persepsi, analisis, dan spekulasi dibumbui rumor, isu, dan gosip.

Tidak hanya di dalam negeri. Pers luar negeri pun mulai bertanya-tanya ihwal posisi SBY dalam kasus ini. The Wall Street Journal, misalnya, yang biasanya membela kebijakan SBY, juga ikut mempertanyakan sikap SBY melalui tulisan Indonesia Antigraft Showdown: Will the President Support the Anticorruption Commission? (Jumat, 13/11). Tentu saja berbagai analisis, persepsi, dan kabar miring ini menurunkan citra SBY. Survei yang diselenggarakan Lingkar Survei Indonesia (LSI) tanggal 3-9 November menunjukkan citra negatif SBY terus meningkat mencapai 64 persen. Kalau dibiarkan, ada kemungkinan citra SBY terus menukik.

Pak SBY, bicaralah

Kini, tiba saatnya SBY berbicara, mengungkap tuntas semua masalah yang terkait kasus ini. Bicaralah Pak SBY. Kejelasan dari SBY memiliki implikasi luas. Keterangan dari SBY amat bermanfaat, baik untuk kepemimpinannya sendiri maupun untuk kepentingan bangsa.

Penjelasan menyeluruh, mendasar, terbuka, nyata, dan rinci akan menangkis berbagai rumor, isu, dan spekulasi yang ada. Melalui keterbukaannya, SBY dapat membuktikan, suara-suara negatif yang selama ini beredar tentang diri dan kepemimpinan yang negatif tidak mendasar. Tepatnya, tidak benar.

Namun, penjelasan SBY harus mampu menjawab berbagai pertanyaan dan keraguan yang selama ini beredar di publik. SBY harus mengungkap semuanya tanpa keraguan.

Publik harus diyakinkan, dirinya sama sekali tidak terkait dengan hal-hal yang berbau buruk yang beredar di masyarakat. Tegaskan pula, SBY tetap pada komitmen memberantas korupsi, menegakkan demokrasi, dan menjaga kepentingan bangsa. SBY sebaiknya juga mengingatkan lagi, mereka yang mencatut namanya akan dituntut atau diproses secara hukum.

Meredakan suhu politik

Keterangan dari SBY secara terbuka ini dapat meredakan suhu politik yang mulai memanas. Jika suhu politik ini dibiarkan memanas tanpa manajemen yang tepat, akan bergulir menjadi bola liar dan panas yang sulit diprediksi hasil akhirnya.

Keterbukaan SBY akan berguna mengendalikan ketidakpastian itu. Melalui kesaksian SBY, publik akan mendapat kejelasan dari sumber utama yang selama ini masih simpang siur. Publik akan paham mengenai posisi SBY yang sebenarnya, dan hal ini akan menghentikan ”opera sabun” sekaligus mampu membenamkan bola liar yang memanas.

Jangan remehkan

Sebaiknya SBY jangan meremehkan kesimpangsiuran informasi dalam kasus ini. Jangan sampai kemenangan mutlak lebih dari 60 persen dan satu putaran pada pemilu lalu membuat SBY dan para pendukung terlalu percaya diri dengan mengabaikan suara publik di luar lembaga-lembaga resmi negara.

Pengalaman bangsa kita menunjukkan, persepsi dan sikap publik akan cepat berubah apabila menyangkut soal-soal ketidakadilan, demokrasi, dan korupsi. Ingat, Presiden Soeharto tumbang hanya setelah tiga bulan memenangi mayoritas mutlak pemilu dan menguasai parlemen lebih dari 70 persen. Padahal, saat itu pemerintahan Presiden Soeharto sudah mengharuskan semua anggota parlemen menjalani penelitian khusus (litsus) lebih dahulu. Namun, keadaan itu pun tidak dapat membendung aspirasi rakyat dan menyebabkan Presiden Soeharto saat itu harus lengser hanya tiga bulan setelah meraih kemenangan formal yang gilang gemilang.

Apabila SBY meremehkan persepsi publik terhadap pencitraan yang terus menurun dan keingintahuan publik yang membesar tanpa jawaban jelas, SBY bukan tidak mungkin harus memikul risiko terlampau besar.

Bukan tidak mungkin, dalam hal ini publik yang semula 60 persen memberikan dukungan kepada SBY dengan cepat berubah menilai kepemimpinan SBY tidak lagi memperjuangkan aspirasi publik, sehingga masyarakat memilih menempuh cara penyelesaian atau jalan keluar yang mereka ciptakan sendiri. Karena itu, sudah saatnya Pak SBY berbicara.

Pak SBY, bicaralah....

* Ketua Komisi Hukum Dewan Pers

Diambil dari Kompas Selasa, 17 November 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak

Baca selengkapnya...

Merindukan Kepahlawanan(?)

Tuesday, November 10, 2009

Oleh: Garin Nugroho*

Apa yang terjadi dengan bangsa ini? Kenapa kita tidak mempunyai kepahlawanan kepemimpinan hampir di berbagai bidang di tengah sejumlah peristiwa besar bangsa serta euforia demokrasi?

Masyarakat hampir tidak tahu, mana yang baik dan tidak baik, mana yang perlu dicontoh dan tidak dicontoh? Kita kehilangan panduan berbangsa, kepahlawanan kita adalah tokoh gosip dan tokoh bermasalah, bukan pemecah masalah.

Komentar seorang guru ini terkait berita KPK hingga Bank Century. Meski sederhana, sebenarnya merupakan muara dari nilai-nilai dasar kebangsaan, yakni bangunan warga negara terkait kerinduan laku nilai keutamaan berbangsa, sebutlah nilai-nilai pengorbanan, keteladanan, kejujuran, kerja keras, hingga rasa malu.

Kepahlawanan adalah kodrat kemanusiaan terbesar, yang hidup sejak dini, melekat dalam seluruh pertumbuhan manusia dalam upaya membangun peradabannya. Dengan kata lain, kepahlawanan melekat pada kerinduan dari sifat mulia manusia, yang mengontrol sifat-sifat manusia lain, seperti sifat kebinatangan. Sifat-sifat itu muncul pada perilaku kerakusan, jalan pintas, kehilangan rasa malu, dan lainnya.

Maka, penanda terbesar kemerosotan kebangsaan terbaca dengan tidak dihormatinya nilai-nilai kepahlawanan sekaligus tidak lahirnya bentuk-bentuk kepemimpinan aktual hari ini, yang mampu memberi nilai-nilai kepahlawanan dalam berbagai perspektifnya.

Oasis kepahlawanan

Kegelisahan sang guru atas hilangnya nilai kepahlawanan mencerminkan demokrasi kehilangan dua pilar terbesar, yakni manusia dan kemanusiaannya sebagai pelaksanaan kerja demokrasi. Di sisi lain, hilangnya pendidikan warga negara dalam membangun proses berbangsa.

Perlu dicatat, kepahlawanan adalah kitab besar pendidikan warga negara, di dalamnya terkandung dialog falsafah, penegakan prinsip hukum dan kemampuan menciptakan nilai-nilai serta harapan baru dalam ruang sosial masyarakat, yang berbasis pada rasa keadilan.

Bisa diduga, kepahlawanan tumbuh melekat dalam peradaban manusia, dihidupkan dalam dongeng-dongeng, diformulasikan melalui nilai-nilai etika dan hukum, didiskursuskan melalui beragam ilmu pengetahuan, dari humaniora hingga filsafat. Namun yang penting, dihidupkan dalam berbagai kebudayaan manusia di setiap bangsa, melalui cara kerja, berpikir, bereaksi, dan harapan warga negara atas sejumlah peristiwa bangsa.

Karena itu, ratusan pesan di Facebook dan antusias masyarakat atas nasib Bibit dan Chandra hingga kasus Bank Century, peran Anggodo maupun penegak hukum termasuk Presiden, menunjukkan harapan keadilan sebagai oasis nilai kepahlawanan yang dirindukan masyarakat, sekaligus cermin panjang mafia peradilan dalam sejarah yang dipenuhi pameran demokrasi.

Dengan kata lain, jika presiden hingga jajaran penegak hukum tidak mampu menemukan fakta dan menegakkan keadilan, maka seperti dikatakan sang guru kepada penulis, 10 tahun reformasi hanya dijadikan waktu oleh elite politik untuk terampil menggunakan dan memamerkan prosedur demokrasi untuk kepentingan kekuasaan, tetapi bukan untuk keadilan.

Hasil pemilu bukan pelaksanaan demokrasi, tetapi sekadar permainan prosedural demokrasi guna menjaga dan melindungi kekuasaan beserta ekonomi yang mendukungnya. Jika ini terjadi, ini bukan demokrasi, tetapi demo alias pameran sok aksi demokrasi.

Mampu menerobos

”Kita harus membela rasa keadilan masyarakat. Kita harus berani melakukan terobosan hukum, lewat hukum yang progresif.” Ucapan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD itu adalah esensi kerja pelaku kepahlawanan.

Perlu dicatat, dalam sejarah kepahlawanan, baik pahlawan hiburan, ekonomi, hingga politik, senantiasa terbaca kemampuan terobosan di tengah anomali nilai dan peran institusi. Simak dan belajarlah dari kepahlawanan populer yang digandrungi, tokoh- tokoh Superman hingga Batman, senantiasa menerobos prosedur formal penegak hukum karena keadilan masyarakat perlu diselamatkan di tengah krisis.

Dengan kata lain, kepahlawanan adalah geniusitas terobosan pemecahan masalah, yang mengandung penyelamatan atas nilai falsafah bangsa, prinsip hukum, dan kehidupan sosial berkeadilan dalam masyarakat.

Masihkah nilai itu menjadi bagian kerja elite politik, atau hanya tinggal dalam buku-buku fiksi, dan politik kita menjadi dongeng tanpa kepahlawanan, tanpa panduan kebaikan dan keburukan serta hilangnya keteladanan?

* Budayawan

Diambil dari Kompas Selasa, 10 November 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak

Baca selengkapnya...

Sumpah Pemuda dan Etnis Tionghoa

Thursday, October 29, 2009

Oleh: Mustofa Liem*

Etnis Tionghoa sebagai bagian integral bangsa ini ikut terlibat dalam beragam dinamika Indonesia. Termasuk saat peristiwa historis Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Saat itu para pemuda dari berbagai suku atau etnis mencetuskan sumpah yang sangat monumental. Sumpah yang merupakan "resolusi" kongres pemuda kedua (1928) itu adalah tekad bersama semua unsur pemuda di Nusantara untuk bersatu tanah air, bersatu bangsa, dan bersatu bahasa: Indonesia! Para pemuda itu sudah memiliki visi menghargai keragaman dan masing-masing memandang satu sama lain dalam posisi setara atau sederajat.

Lalu di mana peran etnis Tionghoa? Itu antara lain terbukti dengan dihibahkannya gedung Soempah Pemoeda oleh Sie Kong Liong. Selain itu, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa yang duduk dalam kepanitiaan. Di antaranya Kwee Tiong Hong dan tiga pemuda Tionghoa yang lain. Peran yang cukup signifikan boleh jadi terletak pada peran etnis ini untuk ikut berkomitmen mendukung isi Sumpah Pemuda butir ketiga "kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia", etnis Tionghoa juga punya sumbangan cukup lumayan.

Menurut bukti sejarah, dalam hal bahasa, kontribusi etnis ini memang tidak kecil. Sekadar diketahui, semula etnis Tionghoa, di Jawa khususnya, lebih suka berbahasa Jawa. Namun, sebuah keputusan yang diambil pemerintah Belanda dengan sistem tanam paksa (1830-1870) akhirnya memutuskan sistem pas (passenstelsel) yang praktis memisahkan orang Tionghoa dengan orang Jawa. Nah, praktis, sejak saat itu, etnis ini mulai berbahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.

Lalu, dengan terdongkraknya status sosial orang-orang peranakan golongan atas, mereka pun mulai mengembangkan sifat dan minat golongan atas, termasuk sastra dan tata pergaulan sosial. Kekayaan juga mendorong mereka menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah Belanda berbahasa Melayu yang didirikan pemerintah kolonial sejak 1854.

Anak-anak yang bersekolah di sekolah-sekolah itu, tentu saja, mulai menulis dalam bahasa Melayu, baik wartawan maupun sastrawan. Apalagi, surat kabar berbahasa Melayu juga mulai dicetak di percetakan yang hampir semuanya milik etnis Tionghoa, seperti Soerat Kabar Bahasa Melajoe (1856) dan Bintang Soerabaja (1860). Di awal abad ke-20, terbit koran besar Pewarta Soerabaia, Sin Tit Po, dan Sin Po. Harian Sin Po adalah surat kabar pertama yang menjadi pelopor penggunaan kata Indonesia menggantikan Nederlandsch-Indie, Hindia Nederlandsch atau Hindia Olanda dan menghapuskan penggunaan kata "inlander" yang dirasakan sebagai penghinaan bagi rakyat Indonesia. Langkah ini kemudian diikuti harian lain. Kemudian untuk membalas "budi" sebagian besar penerbitan pers Indonesia mengganti kata "China" dengan kata "Tionghoa".

Tanpa disadari, pers yang dikelola komunitas Tionghoa tersebut kemudian berkembang menjadi sarana efektif dalam penyebarluasan berbagai berita perjuangan bangsa ini untuk lepas dari penjajahan serta menjadi bangsa yang benar-benar merdeka dan berdaulat.

Nah, yang perlu digarisbawahi, jika peran etnis Tionghoa ditampilkan dalam tulisan ini, sebenarnya bukan bermaksud menonjolkan peran etnis ini sendiri dalam mendukung Sumpah Pemuda. Peran etnis Tionghoa mungkin sama saja atau bahkan tidak seberapa jika dibandingkan dengan para pemuda dari Jawa, Batak, atau Betawi, dan sebagainya. Peran etnis Tionghoa "terpaksa" disinggung di sini sekadar untuk menyegarkan ingatan, karena kadang masih terdengar penilaian etnis Tionghoa sama sekali tidak peduli dengan masalah-masalah kebangsaan atau etnis Tionghoa malah merusak bahasa Indonesia.

Kalau kita kembali ke semangat Sumpah Pemuda, penilaian minor yang mengecilkan peran etnis tertentu seperti disebutkan di atas hanya kontraproduktif bagi bangsa ini. Karena itu, semangat 1928 rasanya masih sangat relevan gaungnya untuk kita. Pasalnya, pada 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai suku dan agama sudah berani membangun tekad kebersamaan. Yang penting bagi mereka adalah semangat bersama untuk mewujudkan impian akan sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat bernama Indonesia.

Dan sebuah Indonesia yang berdaulat hanya bisa berdiri tegak jika setiap komponennya memiliki semangat dan visi multikultural yang menghargai keragaman, pluralisme, atau perbedaan. Entah seberapa besar atau kecil sumbangannya bagi Indonesia, tidak terlalu penting untuk diperdebatkan. Yang jauh lebih penting adalah solidaritas dan menjauhi semangat kesukuan atau semangat menonjolkan suku, etnis atau kelompok sendiri. Untuk itu, jangan gara-gara soal menteri saja, sampai mau bercerai dari NKRI.

Kini sudah 64 tahun lebih Indonesia merdeka. Semangat Sumpah Pemuda masih belum basi, terlebih untuk menjaga dan merawat Indonesia yang kini menghadapi 1001 persoalan, terlebih tantangan globalisasi, terorisme, dan korupsi. Kita yakin bila semua suku atau etnis atau elemen apa pun dari bangsa ini mau memberikan sumbangan positifnya, mungkin kita akan bisa meraih mimpi yang lebih besar, yakni Indonesia yang berkesetaraan dan berkeadilan, bukan almarhum Indonesia yang rusak karena tercerai berai berbagai ambisi primordialisme.

* Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan

Diambil dari Jambi Ekspres Kamis, 29 Oktober 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Jambi Ekspres Online

Baca selengkapnya...

Pemikiran Thomas Aquinas

Tuesday, October 20, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Thomas Aquinas adalah seorang teolog yang mengabdikan hidupnya untuk mengembangkan doktrin-doktrin Kristiani. Namun, dalam perkembangannya Aquinas mengalami persoalan sosial politik. Untuk memahami gagasannya tentang negara dan kekuasaan, kita harus memahami pandangannya tentang hukum karena tidak bisa dilepaskan dari Hukum Kodrat (Natural Law).

Aquinas mengatakan hukum alam itu tidak lain merupakan partisipasi makhluk rasional dalam hukum abadi. Yang dimaksud makhluk rasional adalah manusia, sedangkan yang lainnya adalah irasional. Hanya manusia yang dianugerahi Tuhan penalaran, intelegensia, dan akal budi. Eternal law adalah kebijaksanaan dan akal budi abadi Tuhan. Bertitik tolak dari hukum kodrat ini, Aquinas berpendapat bahwa eksistensi negara bersumber dari sifat alamiah manusia.

Bicara kekuasaan, Aquinas berpendapat bahwa kekuasaan, karena berasal dari Tuhan, haruslah digunakan untuk kebaikan bersama dan tidak dibenarkan untuk kepentingan pribadi. Tugas penguasa negara yang utama adalah mengusahakan kesejahteraan dan kebajikan hidup bersama. Penguasa dituntut untuk memungkinkan rakyat memenuhi kebutuhan materialnya, seperti sandang dan pangan. Tugas negara juga mencakup usaha bagaimana manusia dapat mencapai kebahagiaan hidup abadi setelah mati. Dengan demikian, negara dituntut untuk menyediakan sarana ibadah dan menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya masyarakat spiritual.

Penguasa harus merumuskan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum kodrat. Apabila bertentangan, rakyat diberikan hak untuk menentangnya. Menjaga perdamaian merupakan kewajiban lain penguasa negara. Apabila musuh asing menyerang negara dan merusak perdamaian, penguasa berkewajiban mempertahankan negara. Penguasa diberi hak mendeklarasikan perang dan menghukum mereka yang terlibat kejahatan perang.

Aquinas juga mengklasifikasi bentuk-bentuk negara. Pertama, negara yang diperintah satu orang dan bertujuan mencapai kebaikan bersama dinamakan monarki, tetapi bila tujuannya hanya mencapai kebaikan pribadi, penguasa tidak adil maka negara itu dinamakan tirani. Kedua, negara yang diperintah beberapa orang mulia dan memiliki tujuan kebaikan bersama dinamakan aristokrasi. Bila tidak, negara itu dinamakan oligarki.

Bentuk negara terbaik menurut Aquinas adalah pemerintahan oleh satu orang atau monarki. Dengan penguasa tunggal, keanekaragaman pandangan, tujuan, dan cita-cita negara yang bersifat destruktif dapat dihindari. Ia juga sesuai dengan hakikat hukum kodrat dimana alam selalu diperintah oleh satu oknum. Contohnya, keseluruhan alam semesta diatur hanya oleh satu Tuhan, pencipta segalanya. Ini semua menurut Aquinas sesuai dengan penalaran dan akal budi.

Bila monarki yang terbaik, maka tirani adalah yang terburuk. Untuk menghindari penguasa tiran dalam suatu negara, menurut Aquinas perlu diciptakan mekanisme berikut. Pertama, raja atau penguasa tunggal yang akan memerintah negara harus diangkat berdasarkan pemilihan oleh pemimpin-pemimpin masyarakat. Dengan cara ini, penguasa akan memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan kekuatan negara. Kedua, perlu adanya pembatasan untuk membatasi kekuasaan penguasa tunggal yang bersangkutan. Ketiga, perlu ada pemilikan kekuasaan secara bersama-sama, maksudnya sharing power dalam pemerintahan.

Senjata lain menghadapi kaum tiran adalah doa kepada Tuhan. Penguasa tiran harus didoakan agar berubah hatinya, dari kejam menjadi lemah lembut. Munculnya penguasa dan negara tiran tetap dalam skenario Tuhan. Raja zalim datang ke dunia dengan seizin Tuhan dengan maksud menghukum rakyat yang berdosa dan ujian bagi orang yang beriman. Melalui penguasa tiran, orang beriman dituntut untuk selalu meningkatkan kesalehan mereka dan ingat kepada Tuhan. Hanya dengan selalu membersihankan diri dari dosa-dosa, Tuhan akan menghilangkan penguasa tiran dari dunia ini.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Volunteer Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...

Gestok

Monday, October 05, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Akronim Gestok (Gerakan 1 Oktober) diperkenalkan oleh Bung Karno karena peristiwa yang dikendalikan CIA tersebut berlangsung setelah tengah malam. Penganut Orde Baru senang sekali mendiskreditkan peristiwa tersebut dengan istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) agar mirip dengan pasukan Gestapo Nazi. Jahat ya Orde Baru!!

Hari Kesaktian Pancasila diselewengkan serta dikaburkan substansi, tujuan, dan maknanya hanya untuk memuluskan kepentingan penguasa. Kesaktian Pancasila bukan teruji dari peristiwa G30S/PKI yang disiasati oleh CIA, tetapi memang sudah teruji menghantarkan Indonesia merdeka dan mempertahankan kemerdekaan. Orde Baru yang memanipulasi peristiwa dan julukan tersebut, akhirnya hanya membawa bangsa ini mundur ke belakang.

Soeharto, komprador di balik peristiwa Gestok, selanjutnya mendapatkan peran sentral mendominasi kekuasaan di republik ini. Sepertiga hidupnya dia habiskan menjadi presiden dengan membohongi rakyatnya sendiri, memperkaya keluarganya dari darah dan nyawa orang-orang yang tewas tanpa pengadilan dan hak pembelaan diri, serta mendedikasikan hidupnya sebagai perpanjangan kapitalis dan imperialis Barat untuk terus-menerus meneriakkan bahaya laten PKI.

Secara geografis, Indonesia berada dalam posisi strategis menyambung benua Asia daratan dan Australia. Pengaruh komunisme terus merambat dari Rusia terus ke Cina, Korea, dan Vietnam. Kekhawatiran komunisme merangsek ke Australia menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki peran strategis menghempang pengaruh komunisme.

Secara geopolitik, Indonesia memiliki pemimpin sekuat Presiden Soekarno yang anti penjajahan dan anti penindasan, pemimpin yang menginspirasi kemerdekaan negara-negara Asia Afrika dari kolonialisme. Figur Soekarno sangat mengganggu kepentingan kapitalis dalam menangkal komunisme. Gangguan tersebut direspon oleh CIA dengan beberapa kali upaya pembunuhan terhadap Bung Karno, seperti pelemparan granat di Sekolah Cikini.

Keahlian CIA melihat gesekan di grass root antara Partai Komunis Indonesia yang memberikan tanah kepada rakyat di satu sisi dan para ulama yang menguasai puluhan/ratusan hektar tanah pesantren untuk menghidupi para santrinya di sisi lain menjadi dasar analisa CIA untuk menggulingkan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan, sehingga isu Dewan Jenderal/Dewan Revolusi hanya ilusi yang sengaja dipublikasi sebagai bentuk makar terhadap Presiden Soekarno.

Korban peristiwa Gestok hanya sebagai martir, sebagai dalih pembenaran atas pembinasaan ratusan ribu hingga jutaan rakyat Indonesia yang dicap PKI untuk dieksekusi secara kejam tanpa mendapatkan pembelaan diri dan pengadilan hukum. Siapa saja yang melakukan eksekusi sekejam itu, wallahualam.

Stigma PKI begitu membekas, berlanjut hingga anak cucu korban yang mendapatkan perlakuan menyedihkan selama rezim Orde Baru berkuasa. Bahkan kartu identitas pun diberi tanda khusus bahwa yang bersangkutan tersangkut bahaya laten yang harus diwaspadai. Secara psikologis, korban terintimidasi hak asasi, hak politik, dan hak ekonominya.

Soeharto benar-benar serius menjadikan komunis sebagai momok yang menakutkan bagi masyarakat. Rekayasa kekejaman komunis divisualisasikan dalam film dokumenter yang wajib diputar setiap 30 September. Bertujuan brainwash, menciptakan kesan dan citra bahwa PKI merupakan musuh bersama yang harus ditakuti. Tidak sebanding nyawa tujuh jenderal bila dibandingkan dengan nyawa ratusan ribu/jutaan orang. Setelah ditelusuri, jenderal yang terbunuh pun ternyata pengikut setia Bung Karno, berbeda dengan Jenderal Abdul Haris Nasution yang selamat dari peristiwa dan Soeharto yang memang binaan CIA.

Sanksi sosial berupa pengucilan dan diskriminasi tersebut dibangun sedemikian rupa sehingga bangsa Indonesia terjebak dalam arus utama keinginan rezim Orde Baru dan Barat, energi dan pemikiran rakyat terkuras untuk persoalan tersebut.

Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), lembaga yang dibentuk untuk mensterilkan dan menginvestigasi lawan-lawan Orde Baru memiliki kewenangan penuh untuk menyingkirkan siapa saja yang dianggap mengancam kekuasaan dan eksistensi rezim Soeharto.

Pembubaran Kopkamtib yang dinilai kejam, tidak manusiawi, dan mendapatkan tekanan lembaga internasional, digantikan dengan membentuk Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional) dan Bakorstanasda (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah). Lembaga baru ini hanya mengganti jubahnya saja, tetapi kolornya tetap sama, memuaskan libido kekuasaan Soeharto. Tugas menyingkirkan orang-orang yang dicurigai berseberangan dengan pemerintah dan mengeliminir bangkitnya paham komunis dijalankan dengan kepatuhan.

Peristiwa 27 Juli 1996, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Megawati Soekarnoputri diserbu oleh sekelompok orang berambut cepak yang mengatasnamakan pendukung mantan Ketua Umum PDI Soerjadi. Penyerbuan yang dikomandoi oleh Yoris Raweyai (Pemuda Pancasila) ini melakukan briefing di Tugu Monas dengan kamuflase Hari Kesetiakawanan Sosial. Menjelang subuh, agenda berubah menjadi penyerangan kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro.

Pilihan represif dengan tujuan pendongkelan Megawati sebagai Ketua Umum PDI dibenarkan karena dianggap membahayakan rezim Soeharto. Harus selalu ada kambing hitam berlabel komunis, Partai Rakyat Demokratik (PRD) pun menjadi dalih korban kebusukan politik ketakutan yang dicitrakan militer dan Soeharto.

Soeharto terbukti telah membawa bangsa ini menuju jurang penistaan yang parah. Harga diri dan kehormatan bangsa ini telah terjual dengan harga yang sangat rendah dan memakan jutaan korban jiwa.

Roda berputar, jarum jam bergerak. Pengalaman kejahatan Soeharto mengkudeta Bung Karno berulang ketika rakyat menjungkalkan Soeharto dari kediktatorannya. Waktu berlalu, di akhir-akhir sisa hidupnya, Soeharto terus merenungi nasib sebelum akhirnya dijemput malaikat maut Januari 2008 silam.

Paham komunisme terbukti gagal untuk dijadikan pegangan dan pandangan hidup rakyat Indonesia yang dikenal memiliki tingkat religiusitas dan spiritualitas yang tinggi. Namun, bukan berarti kita sebagai bangsa Indonesia dilarang mempelajari paham tersebut, termasuk paham-paham apapun yang ada di dunia ini.

Cina memodifikasi paham komunis yang dianutnya dengan memberikan kebebasan beragama bagi rakyatnya dan membuka pasar bagi ekonominya. Tetapi kontrol negara terhadap sektor publik, distribusi kesejahteraan, dan memastikan rakyat memperoleh hak-haknya tidak bisa dilepaskan kepada sektor swasta.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Volunteer Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

Baca selengkapnya...