Tuesday, September 29, 2009
Oleh: Pradono Budi Saputro*
Pendahuluan
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak seperti hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan merupakan hak yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun, seperti yang tercantum pada rumusan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia vide Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Konsep hak asasi manusia sebagai hak yang melekat pada diri manusia sebagai hak yang harus dihormati dan dilindungi, pada awalnya tumbuh pada tataran nasional di Inggris, Amerika Serikat (AS), dan Perancis pada abad ke-17 dan 18. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya Bill of Rights pada tahun 1689 di Inggris, Virginia Declaration of Rights dan Declaration of Independence pada tahun 1776 di AS, Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen pada tahun 1789 di Perancis, dan Bill of Rights pada tahun 1791 di AS. Instrumen-instrumen nasional ini menetapkan pokok-pokok yang sekarang dikenal sebagai human rights (hak asasi manusia).
Pada abad ke-19 dan dasawarsa awal abad ke-20, konsep hak asasi manusia (HAM) mulai berkembang di tataran internasional. Konsep ini sudah mulai dianut oleh komunitas bangsa-bangsa dalam melakukan hubungan di antara mereka. Upaya komunitas internasional untuk memantapkan pengakuan dan penghormatan HAM mencapai kulminasinya pada tanggal 10 Desember 1948 dengan diterima dan diproklamasikannya Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Deklarasi ini menetapkan hak dan kebebasan setiap orang yang harus diakui dan dihormati serta kewajiban setiap orang untuk dipenuhi.
Walaupun terlambat, lima puluh tahun setelah PBB memproklamasikan UDHR, lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan tonggak sejarah yang strategis dalam bidang HAM di Indonesia. Tenggang waktu setengah abad yang dirasa cukup lama menunjukkan bahwa betapa rumitnya bangsa ini dalam mengadopsi dan menyesuaikan nilai-nilai universal dengan nilai-nilai mengenai HAM yang sudah dianut.
Terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 1993 mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan di Indonesia, terbukti dengan banyaknya laporan dari masyarakat kepada Komnas HAM sehubungan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi selama ini. Hal ini di satu sisi menunjukkan betapa besarnya perhatian bangsa Indonesia terhadap penegakan HAM, namun di sisi lain menunjukkan pula betapa prihatinnya bangsa Indonesia terhadap pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di negeri ini.
Makna dan Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia
Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia terlahir dari suatu bangsa yang terjajah selama 350 tahun yang penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan. Oleh karenanya, bangsa Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, sangat menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia sebagai implementasi penghormatan terhadap HAM. Dalam batang tubuh UUD 1945 juga dimuat beberapa pasal sebagai implementasi HAM. Kemudian, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan UUDS 1950 memuat secara rinci ketentuan-ketentuan tentang HAM.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Tap MPRS No. XIV/1966 membentuk panitia ad hoc untuk menyiapkan rancangan piagam HAM dan hak-hak serta kewajiban warga negara. Pada Sidang Umum MPRS tahun 1968, rancangan itu tidak dibahas dengan maksud agar rancangan tersebut dibahas oleh MPR hasil Pemilu. Dalam beberapa kali sidang MPR pada era Orde Baru, tidak pernah diadakan pembahasan mengenai rancangan tersebut. Akhirnya, atas desakan dan tuntutan berbagai lapisan masyarakat, pada Sidang Istimewa MPR bulan November 1998 dihasilkan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, yang kemudian diikuti dengan dibuatnya beberapa peraturan perundang-undangan mengenai HAM. Hal ini dipandang sebagai kemajuan dalam upaya penegakan HAM di Indonesia di tengah keprihatinan atas terjadinya berbagai macam pelanggaran HAM di negeri tercinta ini.
Tipologi dan Praktek Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pendekatan pembangunan yang mengutamakan security approach (pendekatan keamanan) dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM oleh pemerintah. Selama lebih kurang tiga puluh dua tahun Orde Baru berkuasa, security approach ditempuh oleh pemerintah sebagai kunci untuk menjaga stabilitas dalam rangka menjaga kelangsungan pembangunan demi terwujudnya pertumbulan ekonomi nasional. Pola pendekatan semacam ini sangat berpeluang menimbulkan pelanggaran HAM oleh pemerintah karena stabilitas ditegakkan dengan cara-cara represif oleh pemegang kekuasaan.
Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan pada masa Orde Baru, dengan pemusatan kekuasaan pada pemerintah pusat notabene pada figur seorang presiden, telah mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negara sebagai akibat dari penguasaan para pemimpin negara terhadap rakyat. Pembalikan teori kedaulatan rakyat ini juga mengakibatkan timbulnya peluang pelanggaran HAM oleh negara dan pematian kreativitas warga negara serta pengekangan hak politik warga negara selaku pemilik kedaulatan. Adanya sentralisasi kekuasaan ini dilakukan pula dengan tujuan untuk melanggengkan kedaulatan sang pemegang kekuasaan itu.
Kualitas pelayanan publik yang masih rendah, sebagai akibat belum terwujudnya good governance yang ditandai dengan transparansi di berbagai bidang, akuntabilitas, penegakan hukum yang berkeadilan, dan demokratisasi, serta belum berubahnya paradigma aparat pemerintah yang masih memposisikan dirinya sebagai birokrat, bukan sebagai pelayan masyarakat, menghasilkan pelayanan publik yang buruk dan cenderung turut menimbulkan pelanggaran HAM.
Konflik horizontal dan konflik vertikal telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM baik oleh sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupun oleh aparat, seperti pembunuhan, penganiayaan, penculikan, pemerkosaan, pengusiran, hilangnya mata pencaharian, dan hilangnya rasa aman.
Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan dan anak pun masih sering terjadi. Begitu pula pelanggaran HAM yang disebabkan oleh isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Berbagai instrumen yang terdapat di Indonesia belum mampu untuk melindungi warga negaranya dari pelanggaran HAM meskipun PBB telah mendeklarasikan HAM yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak atas kebebasan dan martabat yang sama tanpa membedakan ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin.
Sebagai akibat dari belum terlaksananya supremasi hukum di Indonesia, lumrah terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM dalam bentuk perbedaan perlakuan di hadapan hukum, menjauhnya rasa keadilan, dan perbuatan main hakim sendiri akibat ketidakpercayaan kepada perangkat hukum.
Pengakuan dan Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Meskipun Republik Indonesia lahir sebelum diproklamirkannya UDHR, beberapa hak asasi dan kebebasan fundamental yang sangat penting sebenarnya sudah ada dan diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat maupun hak individu, namun pelaksanaan hak-hak individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia sedang berada dalam konflik bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember 1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal formal, sangat maju dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal dalam UUD RIS 1949. Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak memungkinkan untuk melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.
Kemajuan yang sama, secara konstitusional juga berlangsung sekembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan dicantumkannya tiga puluh delapan pasal di dalamnya. Pada masa berlakunya UUDS 1950 tersebut, penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup baik. Patut diingat bahwa pada masa itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa itu, Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) yang telah diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak Politik Perempuan pada tahun 1952.
Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan Konvensi tentang Hak Anak (1989).
Pada tahun 1993 memang dibentuk Komnas HAM berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993, yang bertujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan HAM “guna mendukung tujuan pembangunan nasional”. Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga mandiri yang memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu dinyatakan bersifat mandiri karena para anggotanya diangkat secara langsung oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden secara de facto dalam kehidupan bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa yang berada di bawah rezim yang otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM menjadi tidak terlalu berarti karena pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana.
Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini memperoleh impetus dengan diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai “perangkat lunak” berlanjut dengan diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.
Pada masa itu dikenal transitional justice, yang di Indonesia tampak disepakati sebagai keadilan dalam masa transisi, bukan hanya berkenaan dengan criminal justice (keadilan kriminal), melainkan juga bidang-bidang keadilan yang lain seperti constitutional justice (keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan administratif), political justice (keadilan politik), economic justice (keadilan ekonomi), social justice (keadilan sosial), dan bahkan historical justice (keadilan sejarah). Meskipun demikian, perhatian lebih umum lebih banyak tertuju pada transitional criminal justice karena memang merupakan salah satu aspek transitional justice yang berdampak langsung pada dan menyangkut kepentingan dasar baik dari pihak korban maupun dari pihak pelaku pelanggaran HAM tersebut. Di samping itu, bentuk penegakan transitional criminal justice merupakan elemen yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang pada kenyataannya sedang diupayakan.
Upaya penegakan transitional criminal justice umumnya dilakukan melalui dua jalur sekaligus, yaitu jalur yudisial (melalui proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di luar proses pengadilan). Jalur yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26 tahun 2000.
Sedangkan jalur ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian haruslah berorientasi pada kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat menunjang proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan upaya penciptaan kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang berupa berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan kebebasan fundamental.
Upaya Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pendekatan keamanan yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya represif tidak boleh terulang kembali. Untuk itu, supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat, memberikan perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.
Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini perlu dibatasi. Desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan. Otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas kekurangan yang selama ini masih terjadi.
Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara melakukan reformasi struktural, infromental, dan kultural mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah. Kemudian, perlu juga dilakukan penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.
Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua jaminan HAM yang tersedia bagi orang dewasa. Anak-anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang memungkinkan mereka berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak.
Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAM, perlu diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan aparat penegak hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum.
Mengingat bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional, yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat memperoleh keadilannya secara realistis.
Pelanggaran HAM tidak saja dapat dilakukan oleh negara (pemerintah), tetapi juga oleh suatu kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau individu lainnya. Selama ini perhatian lebih banyak difokuskan pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, sedangkan pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin jauh lebih banyak, tetapi kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu perlu ada kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya HAM di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
3. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.
4. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.
Penutup
Tuntutan untuk menegakkan HAM sudah sedemikian kuat, baik dari dalam negeri maupun melalui tekanan dunia internasional, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlu adanya dukungan dari semua pihak, seperti masyarakat, politisi, akademisi, tokoh masyarakat, dan pers, agar upaya penegakan HAM bergerak ke arah positif sesuai harapan kita bersama.
Penghormatan dan penegakan terhadap HAM merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negaranya. Diperlukan niat dan kemauan yang serius dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan para elite politik agar penegakan HAM berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan dan memastikan bahwa hak asasi warga negaranya dapat terwujud dan terpenuhi dengan baik. Dan sudah menjadi kewajiban bersama segenap komponen bangsa untuk mencegah agar pelanggaran HAM di masa lalu tidak terulang kembali di masa kini dan masa yang akan datang.
* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
Baca selengkapnya...
Pendahuluan
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak seperti hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan merupakan hak yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun, seperti yang tercantum pada rumusan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia vide Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Konsep hak asasi manusia sebagai hak yang melekat pada diri manusia sebagai hak yang harus dihormati dan dilindungi, pada awalnya tumbuh pada tataran nasional di Inggris, Amerika Serikat (AS), dan Perancis pada abad ke-17 dan 18. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya Bill of Rights pada tahun 1689 di Inggris, Virginia Declaration of Rights dan Declaration of Independence pada tahun 1776 di AS, Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen pada tahun 1789 di Perancis, dan Bill of Rights pada tahun 1791 di AS. Instrumen-instrumen nasional ini menetapkan pokok-pokok yang sekarang dikenal sebagai human rights (hak asasi manusia).
Pada abad ke-19 dan dasawarsa awal abad ke-20, konsep hak asasi manusia (HAM) mulai berkembang di tataran internasional. Konsep ini sudah mulai dianut oleh komunitas bangsa-bangsa dalam melakukan hubungan di antara mereka. Upaya komunitas internasional untuk memantapkan pengakuan dan penghormatan HAM mencapai kulminasinya pada tanggal 10 Desember 1948 dengan diterima dan diproklamasikannya Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Deklarasi ini menetapkan hak dan kebebasan setiap orang yang harus diakui dan dihormati serta kewajiban setiap orang untuk dipenuhi.
Walaupun terlambat, lima puluh tahun setelah PBB memproklamasikan UDHR, lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan tonggak sejarah yang strategis dalam bidang HAM di Indonesia. Tenggang waktu setengah abad yang dirasa cukup lama menunjukkan bahwa betapa rumitnya bangsa ini dalam mengadopsi dan menyesuaikan nilai-nilai universal dengan nilai-nilai mengenai HAM yang sudah dianut.
Terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 1993 mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan di Indonesia, terbukti dengan banyaknya laporan dari masyarakat kepada Komnas HAM sehubungan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi selama ini. Hal ini di satu sisi menunjukkan betapa besarnya perhatian bangsa Indonesia terhadap penegakan HAM, namun di sisi lain menunjukkan pula betapa prihatinnya bangsa Indonesia terhadap pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di negeri ini.
Makna dan Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia
Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia terlahir dari suatu bangsa yang terjajah selama 350 tahun yang penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan. Oleh karenanya, bangsa Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, sangat menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia sebagai implementasi penghormatan terhadap HAM. Dalam batang tubuh UUD 1945 juga dimuat beberapa pasal sebagai implementasi HAM. Kemudian, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan UUDS 1950 memuat secara rinci ketentuan-ketentuan tentang HAM.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Tap MPRS No. XIV/1966 membentuk panitia ad hoc untuk menyiapkan rancangan piagam HAM dan hak-hak serta kewajiban warga negara. Pada Sidang Umum MPRS tahun 1968, rancangan itu tidak dibahas dengan maksud agar rancangan tersebut dibahas oleh MPR hasil Pemilu. Dalam beberapa kali sidang MPR pada era Orde Baru, tidak pernah diadakan pembahasan mengenai rancangan tersebut. Akhirnya, atas desakan dan tuntutan berbagai lapisan masyarakat, pada Sidang Istimewa MPR bulan November 1998 dihasilkan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, yang kemudian diikuti dengan dibuatnya beberapa peraturan perundang-undangan mengenai HAM. Hal ini dipandang sebagai kemajuan dalam upaya penegakan HAM di Indonesia di tengah keprihatinan atas terjadinya berbagai macam pelanggaran HAM di negeri tercinta ini.
Tipologi dan Praktek Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pendekatan pembangunan yang mengutamakan security approach (pendekatan keamanan) dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM oleh pemerintah. Selama lebih kurang tiga puluh dua tahun Orde Baru berkuasa, security approach ditempuh oleh pemerintah sebagai kunci untuk menjaga stabilitas dalam rangka menjaga kelangsungan pembangunan demi terwujudnya pertumbulan ekonomi nasional. Pola pendekatan semacam ini sangat berpeluang menimbulkan pelanggaran HAM oleh pemerintah karena stabilitas ditegakkan dengan cara-cara represif oleh pemegang kekuasaan.
Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan pada masa Orde Baru, dengan pemusatan kekuasaan pada pemerintah pusat notabene pada figur seorang presiden, telah mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negara sebagai akibat dari penguasaan para pemimpin negara terhadap rakyat. Pembalikan teori kedaulatan rakyat ini juga mengakibatkan timbulnya peluang pelanggaran HAM oleh negara dan pematian kreativitas warga negara serta pengekangan hak politik warga negara selaku pemilik kedaulatan. Adanya sentralisasi kekuasaan ini dilakukan pula dengan tujuan untuk melanggengkan kedaulatan sang pemegang kekuasaan itu.
Kualitas pelayanan publik yang masih rendah, sebagai akibat belum terwujudnya good governance yang ditandai dengan transparansi di berbagai bidang, akuntabilitas, penegakan hukum yang berkeadilan, dan demokratisasi, serta belum berubahnya paradigma aparat pemerintah yang masih memposisikan dirinya sebagai birokrat, bukan sebagai pelayan masyarakat, menghasilkan pelayanan publik yang buruk dan cenderung turut menimbulkan pelanggaran HAM.
Konflik horizontal dan konflik vertikal telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM baik oleh sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupun oleh aparat, seperti pembunuhan, penganiayaan, penculikan, pemerkosaan, pengusiran, hilangnya mata pencaharian, dan hilangnya rasa aman.
Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan dan anak pun masih sering terjadi. Begitu pula pelanggaran HAM yang disebabkan oleh isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Berbagai instrumen yang terdapat di Indonesia belum mampu untuk melindungi warga negaranya dari pelanggaran HAM meskipun PBB telah mendeklarasikan HAM yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak atas kebebasan dan martabat yang sama tanpa membedakan ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin.
Sebagai akibat dari belum terlaksananya supremasi hukum di Indonesia, lumrah terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM dalam bentuk perbedaan perlakuan di hadapan hukum, menjauhnya rasa keadilan, dan perbuatan main hakim sendiri akibat ketidakpercayaan kepada perangkat hukum.
Pengakuan dan Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Meskipun Republik Indonesia lahir sebelum diproklamirkannya UDHR, beberapa hak asasi dan kebebasan fundamental yang sangat penting sebenarnya sudah ada dan diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat maupun hak individu, namun pelaksanaan hak-hak individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia sedang berada dalam konflik bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember 1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal formal, sangat maju dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal dalam UUD RIS 1949. Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak memungkinkan untuk melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.
Kemajuan yang sama, secara konstitusional juga berlangsung sekembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan dicantumkannya tiga puluh delapan pasal di dalamnya. Pada masa berlakunya UUDS 1950 tersebut, penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup baik. Patut diingat bahwa pada masa itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa itu, Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) yang telah diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak Politik Perempuan pada tahun 1952.
Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan Konvensi tentang Hak Anak (1989).
Pada tahun 1993 memang dibentuk Komnas HAM berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993, yang bertujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan HAM “guna mendukung tujuan pembangunan nasional”. Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga mandiri yang memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu dinyatakan bersifat mandiri karena para anggotanya diangkat secara langsung oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden secara de facto dalam kehidupan bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa yang berada di bawah rezim yang otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM menjadi tidak terlalu berarti karena pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana.
Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini memperoleh impetus dengan diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai “perangkat lunak” berlanjut dengan diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.
Pada masa itu dikenal transitional justice, yang di Indonesia tampak disepakati sebagai keadilan dalam masa transisi, bukan hanya berkenaan dengan criminal justice (keadilan kriminal), melainkan juga bidang-bidang keadilan yang lain seperti constitutional justice (keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan administratif), political justice (keadilan politik), economic justice (keadilan ekonomi), social justice (keadilan sosial), dan bahkan historical justice (keadilan sejarah). Meskipun demikian, perhatian lebih umum lebih banyak tertuju pada transitional criminal justice karena memang merupakan salah satu aspek transitional justice yang berdampak langsung pada dan menyangkut kepentingan dasar baik dari pihak korban maupun dari pihak pelaku pelanggaran HAM tersebut. Di samping itu, bentuk penegakan transitional criminal justice merupakan elemen yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang pada kenyataannya sedang diupayakan.
Upaya penegakan transitional criminal justice umumnya dilakukan melalui dua jalur sekaligus, yaitu jalur yudisial (melalui proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di luar proses pengadilan). Jalur yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26 tahun 2000.
Sedangkan jalur ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian haruslah berorientasi pada kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat menunjang proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan upaya penciptaan kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang berupa berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan kebebasan fundamental.
Upaya Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pendekatan keamanan yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya represif tidak boleh terulang kembali. Untuk itu, supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat, memberikan perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.
Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini perlu dibatasi. Desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan. Otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas kekurangan yang selama ini masih terjadi.
Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara melakukan reformasi struktural, infromental, dan kultural mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah. Kemudian, perlu juga dilakukan penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.
Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua jaminan HAM yang tersedia bagi orang dewasa. Anak-anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang memungkinkan mereka berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak.
Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAM, perlu diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan aparat penegak hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum.
Mengingat bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional, yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat memperoleh keadilannya secara realistis.
Pelanggaran HAM tidak saja dapat dilakukan oleh negara (pemerintah), tetapi juga oleh suatu kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau individu lainnya. Selama ini perhatian lebih banyak difokuskan pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, sedangkan pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin jauh lebih banyak, tetapi kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu perlu ada kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya HAM di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
3. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.
4. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.
Penutup
Tuntutan untuk menegakkan HAM sudah sedemikian kuat, baik dari dalam negeri maupun melalui tekanan dunia internasional, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlu adanya dukungan dari semua pihak, seperti masyarakat, politisi, akademisi, tokoh masyarakat, dan pers, agar upaya penegakan HAM bergerak ke arah positif sesuai harapan kita bersama.
Penghormatan dan penegakan terhadap HAM merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negaranya. Diperlukan niat dan kemauan yang serius dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan para elite politik agar penegakan HAM berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan dan memastikan bahwa hak asasi warga negaranya dapat terwujud dan terpenuhi dengan baik. Dan sudah menjadi kewajiban bersama segenap komponen bangsa untuk mencegah agar pelanggaran HAM di masa lalu tidak terulang kembali di masa kini dan masa yang akan datang.
* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini