KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Mengakhiri Stagnasi Jepang

Wednesday, September 02, 2009

Oleh: Syamsul Hadi*

Seperti diduga, Partai Demokratik Liberal (LDP) menderita kekalahan dalam pemilu Jepang, 30 Agustus 2009. Pemimpin Partai Demokrat Jepang (DPJ), Yukio Hatoyama, akan menggantikan Taro Aso (LDP) sebagai perdana menteri.

Keberhasilan DPJ meraih 308 dari 480 kursi Majelis Rendah bernilai amat historis karena mengakhiri kekuasaan LDP yang hampir tak terputus sejak 1955.

PM Taro Aso mengalami nasib yang sama dengan dua pendahulunya dari LDP, Shinzo Abe dan Yasuo Fukuda, yang hanya mampu berkuasa tak lebih dari satu tahun. Aso mengalami ujian berat berupa krisis finansial global yang secara ekstrem memukul Jepang sejak Oktober 2008. Terjadi penurunan ekspor 50 persen, pertumbuhan minus 6,0 persen, dan angka pengangguran mencapai 5,7 persen, angka tertinggi sejak Perang Dunia II. Meski ekonomi Jepang diprediksi akan membaik seiring mulai membaiknya ekonomi global, para pemilih tampaknya lebih menginginkan perubahan ketimbang kesinambungan kekuasaan LDP.

Dari keajaiban ke depresi

LDP sebagai governing party semula identik dengan keajaiban ekonomi Jepang pascaberakhirnya Perang Dunia II, meski, seperti ditulis Chalmers Johnson (MITI and the Japanese Miracle, 1981), kekuasaan sebenarnya ada di tangan birokrasi yang merumuskan dan menjalankan kebijakan ekonomi. Dengan dukungan dana dari kalangan pebisnis, peran LDP lebih merupakan penyedia legitimasi politik bagi kerja para birokrat, seraya memastikan agar kebijakan mereka tidak terlalu menyalahi keinginan publik.

Birokrasi yang semula visioner dan menjadi lokomotif kemajuan lalu berubah menjadi sumber masalah dengan hadirnya beragam skandal dan stagnasi ekonomi berkepanjangan sejak 1980-an.

Dalam The Return of Depression Economics (2009), Paul Krugman mencoba menjelaskan mengapa berakhirnya bubble economy di Jepang tidak diiringi penyehatan ekonomi, tetapi justru depresi ekonomi berkelanjutan. Di mata Krugman, Jepang mengalami apa yang disebut growth recession, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tidak dapat mengimbangi cepatnya peningkatan kapasitas ekonomi. Fenomena ini terus berlanjut hingga kini karena birokrasi yang semula visioner terus tenggelam dalam sikap berpuas diri, fatalisme, dan enggan berpikir keras untuk memahami perubahan keadaan.

PM Junichiro Koizumi (2001-2006) mencoba mengusung reformasi radikal dengan menegakkan prinsip ekonomi pasar guna mendobrak stagnasi itu. Ia menyatakan perang kepada sistem hubungan ”segitiga besi” antara LDP, birokrat, dan pebisnis yang menjadi hulu beragam skandal. Koizumi mendapat dukungan luas publik yang tecermin dari kemenangan heroik LDP dalam Pemilu 2005. Namun, sebelum ia mundur tahun 2006, sistem ”segitiga besi” justru kembali menguat.

Ironisnya, dampak reformasi neoliberal Koizumi berupa melebarnya kesenjangan sosial, meluasnya pengangguran, dan mundurnya wilayah pedesaan justru menjadi titik terlemah yang diserang DPJ dalam kampanye. Hatoyama menjanjikan penguatan komitmen pemerintah pada perlindungan sosial, termasuk tunjangan keluarga 26.000 yen untuk tiap anak hingga duduk di bangku SMP. Hatoyama juga menawarkan dana 1 triliun yen untuk membantu petani yang menjadi korban penurunan harga produk pertanian.

Di sisi lain, Hatoyama mengikuti jejak Koizumi dengan janji ”merebut” kekuasaan dari birokrat dan mengalihkannya kepada politisi yang langsung bertanggung jawab kepada rakyat. Dalam kebijakan luar negeri, Hatoyama menjanjikan untuk lebih independen dari AS dan mendekat kepada negara-negara Asia.

Tantangan ke depan

Mirip Obama di AS, dalam kampanyenya Hatoyama mengkritik ”fundamentalisme pasar” dan keterlibatan berlebihan dalam proyek globalisasi. Dengan semboyan politics is for living, ia menunjukkan pemihakan eksplisit kepada kelompok sosial yang rentan, yaitu kalangan miskin, cacat, orang tua, dan anak-anak.

Pengalaman Obama menunjukkan, melaksanakan pro-weak policies memerlukan energi kepemimpinan yang ekstra besar, terutama pada saat utang pemerintah terus meningkat karena peningkatan belanja publik. Paket stimulus yang dikeluarkan Aso (sekitar 428 miliar dollar AS) dalam rangka menghadapi krisis global telah menaikkan rasio utang pemerintah terhadap GDP sebesar 170 persen. Meski fundamen ekonomi ditopang sektor korporasi yang tangguh dan piutang luar negeri yang besar, program jaminan sosial besar-besaran Hatoyama dikhawatirkan akan membahayakan sustainability ekonomi Jepang dalam jangka panjang.

Membaiknya ekonomi global dan mulai terlihatnya dampak positif program stimulus yang dikeluarkan Aso menjadi modal berharga bagi Hatoyama. Meski demikian, ekonomi Jepang yang amat bergantung pada ekspor dan investasi di luar negeri akan sulit berkembang lebih jauh dengan menguatnya kecenderungan proteksi dan inward looking di AS dan banyak negara lain. Tantangan menjadi lebih berat dengan terus meningkatnya jumlah manula (aging population), menurunnya jumlah tenaga kerja produktif, dan rendahnya angka kelahiran.

Tekad Hatoyama mengurangi kekuasaan birokrat tidak mudah diwujudkan. Budaya Jepang yang konservatif, menjunjung prinsip kolektivitas, dan cenderung patuh kepada para senior (termasuk kepada pensiunan birokrat yang terjun di bisnis) tampaknya menjadi dinding tebal yang tak mudah ditembus prinsip transparansi, efisiensi, dan good governance yang diusung Hatoyama. Pengalaman semasa Koizumi menunjukkan hal ini.

Rakyat Jepang sedang menunggu, apakah harapan untuk mengakhiri stagnasi ekonomi-politik dan meningkatkan kesejahteraan sosial akan terwujud oleh pemerintah baru pascapemilu ini. Bila tidak, depresi ekonomi-politik dan meluasnya frustrasi sosial akan terus berlangsung di Negeri Sakura itu, entah sampai kapan.

* Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI

Diambil dari Kompas Selasa, 1 September 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak

0 Comments: