KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Gestok

Monday, October 05, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Akronim Gestok (Gerakan 1 Oktober) diperkenalkan oleh Bung Karno karena peristiwa yang dikendalikan CIA tersebut berlangsung setelah tengah malam. Penganut Orde Baru senang sekali mendiskreditkan peristiwa tersebut dengan istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) agar mirip dengan pasukan Gestapo Nazi. Jahat ya Orde Baru!!

Hari Kesaktian Pancasila diselewengkan serta dikaburkan substansi, tujuan, dan maknanya hanya untuk memuluskan kepentingan penguasa. Kesaktian Pancasila bukan teruji dari peristiwa G30S/PKI yang disiasati oleh CIA, tetapi memang sudah teruji menghantarkan Indonesia merdeka dan mempertahankan kemerdekaan. Orde Baru yang memanipulasi peristiwa dan julukan tersebut, akhirnya hanya membawa bangsa ini mundur ke belakang.

Soeharto, komprador di balik peristiwa Gestok, selanjutnya mendapatkan peran sentral mendominasi kekuasaan di republik ini. Sepertiga hidupnya dia habiskan menjadi presiden dengan membohongi rakyatnya sendiri, memperkaya keluarganya dari darah dan nyawa orang-orang yang tewas tanpa pengadilan dan hak pembelaan diri, serta mendedikasikan hidupnya sebagai perpanjangan kapitalis dan imperialis Barat untuk terus-menerus meneriakkan bahaya laten PKI.

Secara geografis, Indonesia berada dalam posisi strategis menyambung benua Asia daratan dan Australia. Pengaruh komunisme terus merambat dari Rusia terus ke Cina, Korea, dan Vietnam. Kekhawatiran komunisme merangsek ke Australia menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki peran strategis menghempang pengaruh komunisme.

Secara geopolitik, Indonesia memiliki pemimpin sekuat Presiden Soekarno yang anti penjajahan dan anti penindasan, pemimpin yang menginspirasi kemerdekaan negara-negara Asia Afrika dari kolonialisme. Figur Soekarno sangat mengganggu kepentingan kapitalis dalam menangkal komunisme. Gangguan tersebut direspon oleh CIA dengan beberapa kali upaya pembunuhan terhadap Bung Karno, seperti pelemparan granat di Sekolah Cikini.

Keahlian CIA melihat gesekan di grass root antara Partai Komunis Indonesia yang memberikan tanah kepada rakyat di satu sisi dan para ulama yang menguasai puluhan/ratusan hektar tanah pesantren untuk menghidupi para santrinya di sisi lain menjadi dasar analisa CIA untuk menggulingkan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan, sehingga isu Dewan Jenderal/Dewan Revolusi hanya ilusi yang sengaja dipublikasi sebagai bentuk makar terhadap Presiden Soekarno.

Korban peristiwa Gestok hanya sebagai martir, sebagai dalih pembenaran atas pembinasaan ratusan ribu hingga jutaan rakyat Indonesia yang dicap PKI untuk dieksekusi secara kejam tanpa mendapatkan pembelaan diri dan pengadilan hukum. Siapa saja yang melakukan eksekusi sekejam itu, wallahualam.

Stigma PKI begitu membekas, berlanjut hingga anak cucu korban yang mendapatkan perlakuan menyedihkan selama rezim Orde Baru berkuasa. Bahkan kartu identitas pun diberi tanda khusus bahwa yang bersangkutan tersangkut bahaya laten yang harus diwaspadai. Secara psikologis, korban terintimidasi hak asasi, hak politik, dan hak ekonominya.

Soeharto benar-benar serius menjadikan komunis sebagai momok yang menakutkan bagi masyarakat. Rekayasa kekejaman komunis divisualisasikan dalam film dokumenter yang wajib diputar setiap 30 September. Bertujuan brainwash, menciptakan kesan dan citra bahwa PKI merupakan musuh bersama yang harus ditakuti. Tidak sebanding nyawa tujuh jenderal bila dibandingkan dengan nyawa ratusan ribu/jutaan orang. Setelah ditelusuri, jenderal yang terbunuh pun ternyata pengikut setia Bung Karno, berbeda dengan Jenderal Abdul Haris Nasution yang selamat dari peristiwa dan Soeharto yang memang binaan CIA.

Sanksi sosial berupa pengucilan dan diskriminasi tersebut dibangun sedemikian rupa sehingga bangsa Indonesia terjebak dalam arus utama keinginan rezim Orde Baru dan Barat, energi dan pemikiran rakyat terkuras untuk persoalan tersebut.

Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), lembaga yang dibentuk untuk mensterilkan dan menginvestigasi lawan-lawan Orde Baru memiliki kewenangan penuh untuk menyingkirkan siapa saja yang dianggap mengancam kekuasaan dan eksistensi rezim Soeharto.

Pembubaran Kopkamtib yang dinilai kejam, tidak manusiawi, dan mendapatkan tekanan lembaga internasional, digantikan dengan membentuk Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional) dan Bakorstanasda (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah). Lembaga baru ini hanya mengganti jubahnya saja, tetapi kolornya tetap sama, memuaskan libido kekuasaan Soeharto. Tugas menyingkirkan orang-orang yang dicurigai berseberangan dengan pemerintah dan mengeliminir bangkitnya paham komunis dijalankan dengan kepatuhan.

Peristiwa 27 Juli 1996, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Megawati Soekarnoputri diserbu oleh sekelompok orang berambut cepak yang mengatasnamakan pendukung mantan Ketua Umum PDI Soerjadi. Penyerbuan yang dikomandoi oleh Yoris Raweyai (Pemuda Pancasila) ini melakukan briefing di Tugu Monas dengan kamuflase Hari Kesetiakawanan Sosial. Menjelang subuh, agenda berubah menjadi penyerangan kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro.

Pilihan represif dengan tujuan pendongkelan Megawati sebagai Ketua Umum PDI dibenarkan karena dianggap membahayakan rezim Soeharto. Harus selalu ada kambing hitam berlabel komunis, Partai Rakyat Demokratik (PRD) pun menjadi dalih korban kebusukan politik ketakutan yang dicitrakan militer dan Soeharto.

Soeharto terbukti telah membawa bangsa ini menuju jurang penistaan yang parah. Harga diri dan kehormatan bangsa ini telah terjual dengan harga yang sangat rendah dan memakan jutaan korban jiwa.

Roda berputar, jarum jam bergerak. Pengalaman kejahatan Soeharto mengkudeta Bung Karno berulang ketika rakyat menjungkalkan Soeharto dari kediktatorannya. Waktu berlalu, di akhir-akhir sisa hidupnya, Soeharto terus merenungi nasib sebelum akhirnya dijemput malaikat maut Januari 2008 silam.

Paham komunisme terbukti gagal untuk dijadikan pegangan dan pandangan hidup rakyat Indonesia yang dikenal memiliki tingkat religiusitas dan spiritualitas yang tinggi. Namun, bukan berarti kita sebagai bangsa Indonesia dilarang mempelajari paham tersebut, termasuk paham-paham apapun yang ada di dunia ini.

Cina memodifikasi paham komunis yang dianutnya dengan memberikan kebebasan beragama bagi rakyatnya dan membuka pasar bagi ekonominya. Tetapi kontrol negara terhadap sektor publik, distribusi kesejahteraan, dan memastikan rakyat memperoleh hak-haknya tidak bisa dilepaskan kepada sektor swasta.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Volunteer Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

0 Comments: