Tuesday, July 07, 2009
Oleh: Jerry Indrawan*
Debat capres edisi final terjadi Kamis malam, 2 Juli 2009 lalu. Dibanding tiga edisi debat sebelumnya, debat kali ini sudah mengalami kemajuan. Ditandai dengan mulai terbukanya pikiran para pemilih Indonesia dengan visi, misi, program para capres yang sebelumnya terasa masih bersifat makro. Debat kali ini para capres mulai banyak bicara secara mikro tentang hal-hal yang berkaitan dengan tema debat, yaitu NKRI, demokrasi, dan otonomi daerah. Jangan lupakan juga kritik-kritik diantara mereka, yang memang masih disampaikan secara santun, tetapi sudah merupakan perkembangan yang baik.
Kesantunan memang masih menjadi hal yang utama bagi para capres. Terlihat mereka masih menggunakan politik melankolis dalam meraih simpati massa. Politik melankolis dapat diartikan sebagai sebuah sikap defensif daripada ofensif dalam menghadapi capres lain, terutama dalam acara face to face seperti debat, agar tidak terlihat terlalu ambisius. Politik melankolis memang menjadi bagian dari budaya politik Jawa yang feodalis, tetapi masih berlaku dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Salah satu tema yang dibahas pada debat tersebut adalah masalah demokrasi. Demokrasi berarti toleransi sosial yang tinggi. JK menekankan pada keberagaman. Keberagamanlah yang membuat kita kuat. Megawati pun seragam, Bhinneka Tunggal Ika menurutnya adalah pengayom dari seluruh kehidupan bangsa kita. Setali tiga uang, SBY melihat semangat kemajemukan dan Bhinneka Tunggal Ika adalah yang terutama. Terkait masalah agama, SBY mengingatkan bahwa ke depan supaya tidak ada lagi aturan-aturan daerah yang bertentangan dengan aturan pusat, mengingat banyaknya perda-perda berbau agama tertentu muncul di beberapa daerah di Indonesia.
Kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis serta mewujudkan sikap nasionalisme kebangsaan di tengah-tengah bangsa Indonesia merupakan amanat para founding fathers kita yang tertuang dalam Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bila kita perhatikan susunan sila-sila dalam Pancasila, tampaklah bahwa demokrasi tidak hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, tetapi juga merupakan bagian dari tujuan itu sendiri. Namun ironisnya, di usianya yang sudah hampir 64 tahun, “alat” itu belum juga kita temukan. Tujuan utama yang hendak dicapai pun masih sangat jauh dari jangkauan tangan kita. Tapi benarkah “alat” itu (ajaran demokrasi) memang tidak kita miliki? Tentu saja tidak!
Selama ini kita selalu salah dalam mempraktekkan kehidupan yang demokratis bagi bangsa kita ini. Pertama, kita memaknai demokrasi hanya sebatas arena politik, padahal demokrasi didapati di bidang lain, seperti ekonomi, sosial, dan keagamaan. Kedua, demokrasi dimaknai sebatas pelaksanaan pemilu, yaitu hanya memilih pemimpin. Demokrasi adalah wahana di mana pemilik kedaulatan mengejawantahkan kedaulatannya. Jadi, tidak hanya sekedar menyelenggarakan pemilu, bahkan boleh dikatakan selesainya satu pemilu merupakan awal dari ujian kehidupan demokrasi bagi satu bangsa. Ketiga, kita terlalu terpesona dengan praktek demokrasi di negara-negara maju, di mana kondisi dan situasi bangsa-bangsa tersebut jelas sangat berbeda dengan kita.
Demokrasi adalah ajaran universal. Tetapi operasionalisasi dari ajaran itu harus disesuaikan dengan nilai kultural yang berlaku. Demokrasi memang mengagungkan kebebasan individu, tetapi demokrasi tidak bergerak di ruang hampa. Konsep ini mendapatkan predikat sesuai dengan karakter ruang di mana ia dioperasikan. Misal, demokrasi liberal adalah demokrasi yang tumbuh dalam alam liberalisme, serta berbagai macam jenis demokrasi lainnya yang akan tumbuh sesuai dengan “alamnya”, setidaknya begitu menurut David Easton.
Demokrasi bukan milik salah satu kubu ideologi. Negara-negara Eropa Barat pada mulanya adalah negara-negara liberal yang kemudian membutuhkan demokrasi karena kaum liberal ingin supaya pemerintah melindungi hak-hak individu. Dengan demikian, “liberalisme” lebih dulu ada daripada “demokrasi liberal”. Karena itu tidak tertutup kemungkinan demokrasi tumbuh di alam lain dengan nama atau format yang berbeda. Yang penting konsep itu dipahami sebagai suatu proses kreatif, membangun norma maupun hubungan antarindividu sesuai dengan nilai universal demokrasi.
Nilai universal demokrasi menurut dua orang ahli demokrasi, Ricardo Blaug dan John Schwarzmantel dalam bukunya yang berjudul Democracy: A Reader, ada lima hal utama; freedom and autonomy; equality; representation; majority rule; dan citizenship. Secara formal kelima hal ini dapat kita nikmati, namun bentuk ini sudah tidak terlalu sesuai dengan semangat zaman. Saat ini dikehendaki demokrasi yang deliberative, substantive, dan participative.
Pergeseran inilah yang harus kita kelola secara hati-hati, sebab ini terjadi di saat bangsa Indonesia mengalami anomali. Tidak saja di ranah politik, anomali juga dialami di ranah ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan lain-lain. Menghadapi situasi seperti ini, masyarakat cenderung kembali ke nilai-nilai adat yang mereka miliki, atau bersandar pada nilai-nilai agama. Mengingat selama ini terjadi marjinalisasi nilai adat, harapan besar ada pada nilai agama. Namun apa daya, akhir-akhir ini nilai agama lebih digunakan untuk menuntun kita masuk ke istana negara daripada menuju surga.
Terkait dengan debat capres tadi, saya melihat ada tiga hal yang dapat mereka lakukan agar nilai universal demokrasi, semangat jaman bisa berubah, dan nilai-nilai adat bangsa Indonesia dapat disinergikan. Pertama, menggunakan nilai asli kita sebagai basis membangun kerangka moralitas dan etika berdemokrasi. Kedua, menyuplai masyarakat dengan informasi yang jelas, benar, dan akurat agar mereka bisa bertindak secara bebas, otonom, dan rasional. Dan ketiga, mengupayakan selekas mungkin institusionalisasi politik sehingga dinamika dan perubahan politik berlangsung secara sistemik. Untuk mencapainya, marilah kita semua bersiap untuk menggunakan hak kita pada 8 Juli nanti di TPS masing-masing!
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
Debat capres edisi final terjadi Kamis malam, 2 Juli 2009 lalu. Dibanding tiga edisi debat sebelumnya, debat kali ini sudah mengalami kemajuan. Ditandai dengan mulai terbukanya pikiran para pemilih Indonesia dengan visi, misi, program para capres yang sebelumnya terasa masih bersifat makro. Debat kali ini para capres mulai banyak bicara secara mikro tentang hal-hal yang berkaitan dengan tema debat, yaitu NKRI, demokrasi, dan otonomi daerah. Jangan lupakan juga kritik-kritik diantara mereka, yang memang masih disampaikan secara santun, tetapi sudah merupakan perkembangan yang baik.
Kesantunan memang masih menjadi hal yang utama bagi para capres. Terlihat mereka masih menggunakan politik melankolis dalam meraih simpati massa. Politik melankolis dapat diartikan sebagai sebuah sikap defensif daripada ofensif dalam menghadapi capres lain, terutama dalam acara face to face seperti debat, agar tidak terlihat terlalu ambisius. Politik melankolis memang menjadi bagian dari budaya politik Jawa yang feodalis, tetapi masih berlaku dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Salah satu tema yang dibahas pada debat tersebut adalah masalah demokrasi. Demokrasi berarti toleransi sosial yang tinggi. JK menekankan pada keberagaman. Keberagamanlah yang membuat kita kuat. Megawati pun seragam, Bhinneka Tunggal Ika menurutnya adalah pengayom dari seluruh kehidupan bangsa kita. Setali tiga uang, SBY melihat semangat kemajemukan dan Bhinneka Tunggal Ika adalah yang terutama. Terkait masalah agama, SBY mengingatkan bahwa ke depan supaya tidak ada lagi aturan-aturan daerah yang bertentangan dengan aturan pusat, mengingat banyaknya perda-perda berbau agama tertentu muncul di beberapa daerah di Indonesia.
Kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis serta mewujudkan sikap nasionalisme kebangsaan di tengah-tengah bangsa Indonesia merupakan amanat para founding fathers kita yang tertuang dalam Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bila kita perhatikan susunan sila-sila dalam Pancasila, tampaklah bahwa demokrasi tidak hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, tetapi juga merupakan bagian dari tujuan itu sendiri. Namun ironisnya, di usianya yang sudah hampir 64 tahun, “alat” itu belum juga kita temukan. Tujuan utama yang hendak dicapai pun masih sangat jauh dari jangkauan tangan kita. Tapi benarkah “alat” itu (ajaran demokrasi) memang tidak kita miliki? Tentu saja tidak!
Selama ini kita selalu salah dalam mempraktekkan kehidupan yang demokratis bagi bangsa kita ini. Pertama, kita memaknai demokrasi hanya sebatas arena politik, padahal demokrasi didapati di bidang lain, seperti ekonomi, sosial, dan keagamaan. Kedua, demokrasi dimaknai sebatas pelaksanaan pemilu, yaitu hanya memilih pemimpin. Demokrasi adalah wahana di mana pemilik kedaulatan mengejawantahkan kedaulatannya. Jadi, tidak hanya sekedar menyelenggarakan pemilu, bahkan boleh dikatakan selesainya satu pemilu merupakan awal dari ujian kehidupan demokrasi bagi satu bangsa. Ketiga, kita terlalu terpesona dengan praktek demokrasi di negara-negara maju, di mana kondisi dan situasi bangsa-bangsa tersebut jelas sangat berbeda dengan kita.
Demokrasi adalah ajaran universal. Tetapi operasionalisasi dari ajaran itu harus disesuaikan dengan nilai kultural yang berlaku. Demokrasi memang mengagungkan kebebasan individu, tetapi demokrasi tidak bergerak di ruang hampa. Konsep ini mendapatkan predikat sesuai dengan karakter ruang di mana ia dioperasikan. Misal, demokrasi liberal adalah demokrasi yang tumbuh dalam alam liberalisme, serta berbagai macam jenis demokrasi lainnya yang akan tumbuh sesuai dengan “alamnya”, setidaknya begitu menurut David Easton.
Demokrasi bukan milik salah satu kubu ideologi. Negara-negara Eropa Barat pada mulanya adalah negara-negara liberal yang kemudian membutuhkan demokrasi karena kaum liberal ingin supaya pemerintah melindungi hak-hak individu. Dengan demikian, “liberalisme” lebih dulu ada daripada “demokrasi liberal”. Karena itu tidak tertutup kemungkinan demokrasi tumbuh di alam lain dengan nama atau format yang berbeda. Yang penting konsep itu dipahami sebagai suatu proses kreatif, membangun norma maupun hubungan antarindividu sesuai dengan nilai universal demokrasi.
Nilai universal demokrasi menurut dua orang ahli demokrasi, Ricardo Blaug dan John Schwarzmantel dalam bukunya yang berjudul Democracy: A Reader, ada lima hal utama; freedom and autonomy; equality; representation; majority rule; dan citizenship. Secara formal kelima hal ini dapat kita nikmati, namun bentuk ini sudah tidak terlalu sesuai dengan semangat zaman. Saat ini dikehendaki demokrasi yang deliberative, substantive, dan participative.
Pergeseran inilah yang harus kita kelola secara hati-hati, sebab ini terjadi di saat bangsa Indonesia mengalami anomali. Tidak saja di ranah politik, anomali juga dialami di ranah ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan lain-lain. Menghadapi situasi seperti ini, masyarakat cenderung kembali ke nilai-nilai adat yang mereka miliki, atau bersandar pada nilai-nilai agama. Mengingat selama ini terjadi marjinalisasi nilai adat, harapan besar ada pada nilai agama. Namun apa daya, akhir-akhir ini nilai agama lebih digunakan untuk menuntun kita masuk ke istana negara daripada menuju surga.
Terkait dengan debat capres tadi, saya melihat ada tiga hal yang dapat mereka lakukan agar nilai universal demokrasi, semangat jaman bisa berubah, dan nilai-nilai adat bangsa Indonesia dapat disinergikan. Pertama, menggunakan nilai asli kita sebagai basis membangun kerangka moralitas dan etika berdemokrasi. Kedua, menyuplai masyarakat dengan informasi yang jelas, benar, dan akurat agar mereka bisa bertindak secara bebas, otonom, dan rasional. Dan ketiga, mengupayakan selekas mungkin institusionalisasi politik sehingga dinamika dan perubahan politik berlangsung secara sistemik. Untuk mencapainya, marilah kita semua bersiap untuk menggunakan hak kita pada 8 Juli nanti di TPS masing-masing!
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
0 Comments:
Post a Comment