Friday, July 03, 2009
Oleh: Jerry Indrawan*
Dalam debat calon presiden putaran kedua Kamis, 25 Juni lalu, capres Jusuf Kalla menyinggung soal ekonomi kemandirian, yang memang menjadi tag line kampanyenya. JK mengatakan bahwa memberi ikan dan pancingnya itu bagus, tetapi lebih bagus jika bangsa ini mampu juga membuat pancing, bahkan perahu untuk mencari ikan. Capres Megawati juga menekankan akan pentingnya pengentasan kemiskinan melalui optimalisasi sektor kelautan dan pertanian. Incumbent Susilo Bambang Yudhoyono tetap pada pendiriannya dalam memberikan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Kredit Usaha Rakyat (KUR), beras murah, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan lain-lain.
Debat sendiri berjalan jauh lebih baik dari debat sebelumnya, di mana para capres sudah saling mengkritisi kebijakan lawannya, walaupun memang belum terlalu frontal. Perdebatan dimulai dari Jusuf Kalla yang mengkritisi iklan SBY yang menggunakan produk mie instan. JK mengatakan bahwa jika masayrakat semakin banyak mengkonsumsi mie instan, maka kita akan semakin banyak mengimpor gandum. SBY membalas dengan mengatakan bahwa mie instan yang dikonsumsi JK bahannya semua dari gandum, sedangkan “mie instan SBY” sudah dicampur produk lokal, seperti singkong. JK pun kembali mengkritisi SBY dalam hal LNG Tangguh, harga listrik, privatisasi, dan UU Ketenagakerjaan. Sedangkan Megawati, walaupun konsep-konsepnya tentang ekonomi sudah masuk dalam tataran praktis, tetapi tetap bersikap defensif dengan tidak “menyerang” capres lainnya secara langsung.
Dalam konteks upaya konkret pengentasan kemiskinan, semua capres memang pro dengan ekonomi kerakyatan, ekonomi kemandirian, dan mazhab ekonomi lainnya yang memfokuskan diri pada rakyat miskin. Hanya saja menurut hemat penulis, berbagai konsep-konsep yang dikemukakan para capres terkesan masih mengawang-awang dan bersifat makro. Padahal, kita sebagai rakyat butuh bukti konkret yang nyata dan praktis bagaimana caranya mengatasi kemiskinan di bumi nusantara ini.
Pemenang nobel ekonomi 1998, Prof. Amartya Kumar Sen, memberikan pendapatnya soal pembangunan. Menurutnya, pembangunan adalah upaya untuk memperluas kebebasan riil yang dapat dinikmati oleh rakyat. Dalam konsepnya tersebut, perluasan kebebasan dipandang sebagai tujuan utama pembangunan. Nilai intrinsik kebebasan manusia, sebagai tujuan mulia pembangunan, didukung oleh berbagai kebebasan tertentu demi memajukan kebebasan-kebebasan lain.
Kaitan antara berbagai tipe kebebasan ini bersifat empiris dan kausal, tidak berdiri sendiri atau saling menjadi bagian. Sebagai contoh, bukti empiris telah menunjukkan bahwa kebebasan ekonomi dan politik saling memperkuat. Dari pada itu, peluang sosial di bidang pendidikan dan kesehatan melengkapi peluang seseorang untuk berperan serta dalam ekonomi dan politik serta mendorong inisiatif guna mengatasi berbagai kekurangannya.
Jelaslah pandangan ini kontras dengan pandangan konvensional, yang cenderung kapitalistik dan pro pasar, di mana parameter pembangunan hanya dilihat dari perspektif pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), peningkatan pendapatan pribadi, industralisasi dan kemajuan teknologi, dan modernisasi sosial. Peluasan kebebasan substansif, mengharuskan berbagai sumber utama nonkebebasan disingkirkan, yaitu kemiskinan dan tirani, minimnya peluang ekonomi, penelantaran sarana umum dan intoleransi, atau campur tangan rezim pemerintahan yang berlebihan.
Kehidupan ekonomi memang tidak akan pernah terlepas dari kebijakan-kebijakan politik penguasa atau rezim. Karena itu, penulis perlu menekankan akan adanya sebuah sinergitas yang positif antara sektor ekonomi yang sangat berpengaruh pada kebijakan-kebijakan politik yang dihasilkan dan dampaknya langsung pada kesejahteraan rakyat. Dengan adanya agregasi kepentingan antara bidang ekonomi dan politik yang sejalan, maka rakyat pun akan merasakan sebuah penerapan fungsi-fungsi positif dari dua bidang tadi yang selalu menjadi ujung tombak dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan bebas dari kemiskinan.
Terakhir, para capres yang semuanya pro ekonomi kerakyatan itu haruslah paham bahwa pembangunan nasional Indonesia yang berdasarkan ekonomi kerakyatan memang harus dikembangkan melalui metode optimalisasi potensi ekonomi mikro, bukannya makro. Jadi, para calon-calon pemimpin kita tersebut haruslah mulai memikirkan bagaimana melakukan optimalisasi potensi ekonomi mikro. Jangan hanya slogan saja yang kerakyatan, tetapi konsep-konsepnya tetap berorientasi makro. Semoga!
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
Dalam debat calon presiden putaran kedua Kamis, 25 Juni lalu, capres Jusuf Kalla menyinggung soal ekonomi kemandirian, yang memang menjadi tag line kampanyenya. JK mengatakan bahwa memberi ikan dan pancingnya itu bagus, tetapi lebih bagus jika bangsa ini mampu juga membuat pancing, bahkan perahu untuk mencari ikan. Capres Megawati juga menekankan akan pentingnya pengentasan kemiskinan melalui optimalisasi sektor kelautan dan pertanian. Incumbent Susilo Bambang Yudhoyono tetap pada pendiriannya dalam memberikan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Kredit Usaha Rakyat (KUR), beras murah, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan lain-lain.
Debat sendiri berjalan jauh lebih baik dari debat sebelumnya, di mana para capres sudah saling mengkritisi kebijakan lawannya, walaupun memang belum terlalu frontal. Perdebatan dimulai dari Jusuf Kalla yang mengkritisi iklan SBY yang menggunakan produk mie instan. JK mengatakan bahwa jika masayrakat semakin banyak mengkonsumsi mie instan, maka kita akan semakin banyak mengimpor gandum. SBY membalas dengan mengatakan bahwa mie instan yang dikonsumsi JK bahannya semua dari gandum, sedangkan “mie instan SBY” sudah dicampur produk lokal, seperti singkong. JK pun kembali mengkritisi SBY dalam hal LNG Tangguh, harga listrik, privatisasi, dan UU Ketenagakerjaan. Sedangkan Megawati, walaupun konsep-konsepnya tentang ekonomi sudah masuk dalam tataran praktis, tetapi tetap bersikap defensif dengan tidak “menyerang” capres lainnya secara langsung.
Dalam konteks upaya konkret pengentasan kemiskinan, semua capres memang pro dengan ekonomi kerakyatan, ekonomi kemandirian, dan mazhab ekonomi lainnya yang memfokuskan diri pada rakyat miskin. Hanya saja menurut hemat penulis, berbagai konsep-konsep yang dikemukakan para capres terkesan masih mengawang-awang dan bersifat makro. Padahal, kita sebagai rakyat butuh bukti konkret yang nyata dan praktis bagaimana caranya mengatasi kemiskinan di bumi nusantara ini.
Pemenang nobel ekonomi 1998, Prof. Amartya Kumar Sen, memberikan pendapatnya soal pembangunan. Menurutnya, pembangunan adalah upaya untuk memperluas kebebasan riil yang dapat dinikmati oleh rakyat. Dalam konsepnya tersebut, perluasan kebebasan dipandang sebagai tujuan utama pembangunan. Nilai intrinsik kebebasan manusia, sebagai tujuan mulia pembangunan, didukung oleh berbagai kebebasan tertentu demi memajukan kebebasan-kebebasan lain.
Kaitan antara berbagai tipe kebebasan ini bersifat empiris dan kausal, tidak berdiri sendiri atau saling menjadi bagian. Sebagai contoh, bukti empiris telah menunjukkan bahwa kebebasan ekonomi dan politik saling memperkuat. Dari pada itu, peluang sosial di bidang pendidikan dan kesehatan melengkapi peluang seseorang untuk berperan serta dalam ekonomi dan politik serta mendorong inisiatif guna mengatasi berbagai kekurangannya.
Jelaslah pandangan ini kontras dengan pandangan konvensional, yang cenderung kapitalistik dan pro pasar, di mana parameter pembangunan hanya dilihat dari perspektif pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), peningkatan pendapatan pribadi, industralisasi dan kemajuan teknologi, dan modernisasi sosial. Peluasan kebebasan substansif, mengharuskan berbagai sumber utama nonkebebasan disingkirkan, yaitu kemiskinan dan tirani, minimnya peluang ekonomi, penelantaran sarana umum dan intoleransi, atau campur tangan rezim pemerintahan yang berlebihan.
Kehidupan ekonomi memang tidak akan pernah terlepas dari kebijakan-kebijakan politik penguasa atau rezim. Karena itu, penulis perlu menekankan akan adanya sebuah sinergitas yang positif antara sektor ekonomi yang sangat berpengaruh pada kebijakan-kebijakan politik yang dihasilkan dan dampaknya langsung pada kesejahteraan rakyat. Dengan adanya agregasi kepentingan antara bidang ekonomi dan politik yang sejalan, maka rakyat pun akan merasakan sebuah penerapan fungsi-fungsi positif dari dua bidang tadi yang selalu menjadi ujung tombak dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan bebas dari kemiskinan.
Terakhir, para capres yang semuanya pro ekonomi kerakyatan itu haruslah paham bahwa pembangunan nasional Indonesia yang berdasarkan ekonomi kerakyatan memang harus dikembangkan melalui metode optimalisasi potensi ekonomi mikro, bukannya makro. Jadi, para calon-calon pemimpin kita tersebut haruslah mulai memikirkan bagaimana melakukan optimalisasi potensi ekonomi mikro. Jangan hanya slogan saja yang kerakyatan, tetapi konsep-konsepnya tetap berorientasi makro. Semoga!
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
0 Comments:
Post a Comment