Monday, July 20, 2009
Oleh: Jerry Indrawan*
Ujian Nasional (UN) untuk siswa SMA telah berakhir 24 April 2009 yang lalu. Minggu ini pengumumannya diumumkan. Ada yang bersorak kegirangan karena berhasil melewati UN, ada juga yang menangis, bahkan sampai pingsan karena dinyatakan tak lulus UN. Bagi yang lulus mungkin tidak masalah, tapi bagi yang gagal, UN menimbulkan pertanyaan besar. Perlukah UN diadakan? Kalau perlu mengapa terkesan digeneralisir sehingga saya bisa tidak lulus? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin akan ditanyakan setiap peserta UN yang tidak lulus, apalagi di daerah-daerah di seluruh nusantara ini. Kita tahu, paham, mengerti, dan akhirnya maklum bahwa standar pendidikan di negeri tercinta kita ini tidaklah merata. Jadi, jika UN digeneralisir, tentunya hal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi kita semua, apalagi bagi para pesertanya yang wajib lulus demi menggapai impian belajar di universitas.
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya selalu menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya UN, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya. Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap bahwa UN sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotorik, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme.
UN saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis, artinya soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif dari peserta didik. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif peserta didik, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.
Selain itu, UN sering dimanfaatkan untuk kepentingan di luar pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, pencontekan yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Sampai saat ini pun belum ada pola baku sistem ujian akhir untuk siswa. Perubahan sering terjadi seiring dengan pergantian pejabat. Hampir setiap pejabat ganti, kebijakan sistem juga ikut berganti rupa. Akhirnya permainan kotor yang selama ini disembunyikan di bawah karpet ketahuan juga. Kebiasaan mengatrol siswa dan menyulap angka selama bertahun-tahun telah menipu publik dan membuat bangsa ini kembali tidak mau belajar dari kesalahan.
Kisah pendidikan di Indonesia penuh air mata, mulai dari sakralisasi guru, degradasi mutu, sampai kepada eksperimen kurikulum yang tak jelas arahnya maupun implementasinya. Semua bermuara ke realita rendahnya apresiasi pemerintah terhadap bidang pendidikan dibanding dengan bidang lain seperti ekonomi, politik, dan lain-lain. Dalam konteks yang lebih sempit, hingga kini pemikiran dan tujuan yang melandasi kebijakan UN masih amat rancu. Kewenangan kelulusan yang seharusnya ada di tangan guru seperti diatur pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional langsung diubah dengan diterbitkannya PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penjelasan para birokrat pendidikan di Jakarta maupun daerah tentang UN tidak konsisten atau malah mencerminkan kekurangpahaman mengenai fungsi dan tujuan ujian, evaluasi, dan standarisasi.
Badan Standarisasi Pendidikan Nasional Pusat (BSNP) harus membuat aturan-aturan baru untuk meminimalisir kekurangan-kekurangan UAN. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut. Pertama, pemerintah pusat ataupun daerah dan juga DPR/DPRD harus diberi penjelasan yang baik dan terus-menerus mengenai pentingnya meningkatkan anggaran pendidikan. Kedua, BSNP juga mesti mensosialisasikan kepada pemerintah pusat/daerah dan DPR/DPRD, serta kepada masyarakat umumnya untuk tidak menjadikan persentase kelulusan menjadi komoditas politik. Ketiga, membentuk kepanitiaan independen dalam pelaksanaan UAN dari tingkat pusat, sampai ke sekolah-sekolah.
Apabila UN dimaksudkan untuk pemetaan kondisi pendidikan nasional, mengapa harus digeneralisasikan? Mengapa tidak menggunakan metode pengambilan sampel saja agar lebih hemat? Dan untuk tujuan pemetaan, seharusnya nilai ujian tidak perlu diumumkan, apalagi sampai menjatuhkan mental para siswa. Jika UN digunakan untuk menentukan kelulusan siswa, jelas bahwa prinsip test what you teach (ujilah apa yang sudah diajarkan) sudah dilanggar. Ketika kecemasan semakin menumpuk sehubungan dengan pelaksanaan ujian, sekolah, guru, dan orang tua mencekoki siswa dengan soal-soal tes. Suka atau tidak, upaya seperti ini akan menyita waktu dan perhatian yang seharusnya digunakan untuk proses belajar-mengajar. Orientasi siswa hanya akan tertuju pada UN, bukan pada mencari ilmu lagi dan juga tujuan guru hanya untuk secara intensif mengajarkan dan melatih siswa untuk belajar prediksi soal-soal yang akan keluar pada UN nanti bukannya mengajarkan siswa sesuai kurikulum pemerintah.
Agak aneh memang, di satu sisi pemerintah ingin membuat sebuah pemetaan general akan pelaksanaan UN di Indonesia tapi dalam realitanya para “pelaku-pelaku di lapangan” (siswa, guru, dan pihak sekolah) malah mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan standar kurikulum nasional yang notabene adalah buatan pemerintah juga. Jadi niat pemerintah untuk membuat sebuah standarisasi kurikulum pendidikan secara nasional tidak mampu terealisasikan dengan baik dikarenakan pelaksanaan UN yang juga merupakan program pemerintah. Tanpa disadari, rantai kecemasan telah mengorbankan siswa yang seharusnya menjadi subjek dalam proses pendidikan. Siswa dan orang tua yang tidak sanggup mengikuti pola permainan ini hanya mengandalkan apa yang diberikan sekolah sehingga akhirnya siswa yang menjadi korban.
Karena fakta-fakta tersebut di atas, maka saya pikir pemberlakuan UN dan sistem kelulusan saat ini perlu disempurnakan kembali. Untuk itu saya mengusulkan beberapa usulan yang mungkin bisa dijadikan sebuah pertimbangan logis. Pertama, UN serta sistem kelulusan yang berlaku saat ini terlihat tidak adil bagi saya. Mengapa? Karena hanya enam mata pelajaran yang diujikan. Parameter standarisasi kelulusan siswa hanya diukur melalui enam mata pelajaran itu saja dengan standar kelulusan 5,50, naik dari 5,25 tahun 2008 lalu. Pendidikan seharusnya sangat memperhitungkan perbedaan-perbedaan individual. Dalam psikologi pendidikan pun tidak ada siswa yang memiliki kemampuan sempurna dalam menguasai semua pelajaran. Ditinjau dari perspektif manapun hal ini menurut saya sangatlah tidak fair. Selain itu dalam kehidupan profesionalnya kelak, tidak semua ilmu akan digunakannya karena pastilah ia akan lebih memilih satu disiplin ilmu yang dikuasainya. Seharusnya pendidikan mengakomodasi kelebihan dan mengembangkan potensi individual siswa secara optimal.
Kedua, UN dengan sistem passing grade yang diberlakukan secara nasional telah mengabaikan disparitas kondisi masing-masing daerah. Tentu saja siswa yang belajar di Jakarta katakanlah dengan sarana dan kondisi serta fasilitas super lengkap akan lebih mampu untuk mencapai prestasi belajar yang maksimal dibandingkan dengan siswa yang bersekolah di Aceh dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, belum lagi sejak tertimba bencana tsunami yang mungkin saja telah menghancurkan segala fasilitas-fasilitas pendidikan yang mereka miliki. Atau dengan siswa-siswa yang bersekolah di daerah-daerah miskin atau daerah konflik di nusantara, seperti di Irian, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Apabila sistem seperti ini berlanjut, ketimpangan yang terjadi antara kaya-miskin, pusat-daerah, desa-kota akan semakin nyata teraplikasikan. Pendidikan tetap saja menjadi sebuah hal yang utopis bagi sebagian kecil rakyat Indonesia yang tidak mampu sehingga mereka terus saja termajinalisasikan.
Ketiga, nilai UN seharusnya tidak semata-mata dijadikan sebagai sebuah pertimbangan tunggal dalam evaluasi dan penentuan kelulusan siswa. Soal-soal dalam UN yang limitatif tidak akan mampu mengakomodir kemampuan siswa secara komprehensif. Selain itu, pencapaian prestasi-prestasi belajar siswa baik secara akademis maupun ekstrakurikuler selama proses belajar siswa tersebut harusnya diakui dan juga diperhitungkan.
Keempat, penetapan UN sebagai sebuah standarisasi nasional saya nilai sebagai sebuah kebijakan yang kurang efektif. Apabila pemerintah menuntut tercapainya sebuah kesetaraan output akademis secara nasional, sebaiknya guru dan pihak sekolah meminta kecukupan fasilitas yang memadai sehingga dapat memenuhi standar yang diinginkan pemerintah. Standar nasional yang dicanangkan pemerintah akan dapat terealisasikan dengan baik bila fasilitas dan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses tersebut juga mendukung. Artinya, bila disparitas kondisi fasilitas seperti media pembelajaran, ruang kelas, gedung sekolah, dan sebagainya serta sumber daya manusianya seperti para guru dan pihak sekolah sangat jauh dari cukup, bagaimana mungkin sebuah standar pendidikan dapat diimplementasikan secara general.
Disadari atau tidak, UN telah mengaplikasikan sebuah bentuk ketidakadilan kepada dunia pendidikan di negara kita. Bayangkan jika seluruh tangisan dan kesedihan seluruh siswa di seantero nusantara ini yang tidak lulus UN diakibatkan oleh sebuah kesalahan sistem. Bayangkan impian mereka untuk dapat melanjutkan belajar ke bangku kuliah tertunda sementara oleh karena kekurangpahaman fungsi dan tujuan ujian serta sikap ketidakprofesionalan pemerintah dalam pengelolaan pendidikan di Tanah Air tercinta kita ini.
Maka, sudah sepatutnyalah pemerintah melakukan proses restrukturalisasi dan revitalisasi pada dunia pendidikan di Indonesia. Jangan hanya mengurusi masalah politik, ekonomi, dan lain sebagainya tapi malah melupakan sebuah sektor fundamental yang merupakan sebuah platform yang esensial dalam proses reformasi menuju Indonesia yang lebih baik dan tentu saja lebih cerdas di masa depan. Semoga UN tahun depan tidak menimbulkan korban dan implikasi sosial yang makin membingungkan dan kompleks. Namun, justru menjadi starting point atau titik awal bagi dunia pendidikan yang selama ini dimanjakan oleh sikap permisif terhadap bentuk kecurangan dan manipulasi.
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
Ujian Nasional (UN) untuk siswa SMA telah berakhir 24 April 2009 yang lalu. Minggu ini pengumumannya diumumkan. Ada yang bersorak kegirangan karena berhasil melewati UN, ada juga yang menangis, bahkan sampai pingsan karena dinyatakan tak lulus UN. Bagi yang lulus mungkin tidak masalah, tapi bagi yang gagal, UN menimbulkan pertanyaan besar. Perlukah UN diadakan? Kalau perlu mengapa terkesan digeneralisir sehingga saya bisa tidak lulus? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin akan ditanyakan setiap peserta UN yang tidak lulus, apalagi di daerah-daerah di seluruh nusantara ini. Kita tahu, paham, mengerti, dan akhirnya maklum bahwa standar pendidikan di negeri tercinta kita ini tidaklah merata. Jadi, jika UN digeneralisir, tentunya hal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi kita semua, apalagi bagi para pesertanya yang wajib lulus demi menggapai impian belajar di universitas.
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya selalu menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya UN, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya. Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap bahwa UN sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotorik, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme.
UN saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis, artinya soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif dari peserta didik. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif peserta didik, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.
Selain itu, UN sering dimanfaatkan untuk kepentingan di luar pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, pencontekan yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Sampai saat ini pun belum ada pola baku sistem ujian akhir untuk siswa. Perubahan sering terjadi seiring dengan pergantian pejabat. Hampir setiap pejabat ganti, kebijakan sistem juga ikut berganti rupa. Akhirnya permainan kotor yang selama ini disembunyikan di bawah karpet ketahuan juga. Kebiasaan mengatrol siswa dan menyulap angka selama bertahun-tahun telah menipu publik dan membuat bangsa ini kembali tidak mau belajar dari kesalahan.
Kisah pendidikan di Indonesia penuh air mata, mulai dari sakralisasi guru, degradasi mutu, sampai kepada eksperimen kurikulum yang tak jelas arahnya maupun implementasinya. Semua bermuara ke realita rendahnya apresiasi pemerintah terhadap bidang pendidikan dibanding dengan bidang lain seperti ekonomi, politik, dan lain-lain. Dalam konteks yang lebih sempit, hingga kini pemikiran dan tujuan yang melandasi kebijakan UN masih amat rancu. Kewenangan kelulusan yang seharusnya ada di tangan guru seperti diatur pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional langsung diubah dengan diterbitkannya PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penjelasan para birokrat pendidikan di Jakarta maupun daerah tentang UN tidak konsisten atau malah mencerminkan kekurangpahaman mengenai fungsi dan tujuan ujian, evaluasi, dan standarisasi.
Badan Standarisasi Pendidikan Nasional Pusat (BSNP) harus membuat aturan-aturan baru untuk meminimalisir kekurangan-kekurangan UAN. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut. Pertama, pemerintah pusat ataupun daerah dan juga DPR/DPRD harus diberi penjelasan yang baik dan terus-menerus mengenai pentingnya meningkatkan anggaran pendidikan. Kedua, BSNP juga mesti mensosialisasikan kepada pemerintah pusat/daerah dan DPR/DPRD, serta kepada masyarakat umumnya untuk tidak menjadikan persentase kelulusan menjadi komoditas politik. Ketiga, membentuk kepanitiaan independen dalam pelaksanaan UAN dari tingkat pusat, sampai ke sekolah-sekolah.
Apabila UN dimaksudkan untuk pemetaan kondisi pendidikan nasional, mengapa harus digeneralisasikan? Mengapa tidak menggunakan metode pengambilan sampel saja agar lebih hemat? Dan untuk tujuan pemetaan, seharusnya nilai ujian tidak perlu diumumkan, apalagi sampai menjatuhkan mental para siswa. Jika UN digunakan untuk menentukan kelulusan siswa, jelas bahwa prinsip test what you teach (ujilah apa yang sudah diajarkan) sudah dilanggar. Ketika kecemasan semakin menumpuk sehubungan dengan pelaksanaan ujian, sekolah, guru, dan orang tua mencekoki siswa dengan soal-soal tes. Suka atau tidak, upaya seperti ini akan menyita waktu dan perhatian yang seharusnya digunakan untuk proses belajar-mengajar. Orientasi siswa hanya akan tertuju pada UN, bukan pada mencari ilmu lagi dan juga tujuan guru hanya untuk secara intensif mengajarkan dan melatih siswa untuk belajar prediksi soal-soal yang akan keluar pada UN nanti bukannya mengajarkan siswa sesuai kurikulum pemerintah.
Agak aneh memang, di satu sisi pemerintah ingin membuat sebuah pemetaan general akan pelaksanaan UN di Indonesia tapi dalam realitanya para “pelaku-pelaku di lapangan” (siswa, guru, dan pihak sekolah) malah mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan standar kurikulum nasional yang notabene adalah buatan pemerintah juga. Jadi niat pemerintah untuk membuat sebuah standarisasi kurikulum pendidikan secara nasional tidak mampu terealisasikan dengan baik dikarenakan pelaksanaan UN yang juga merupakan program pemerintah. Tanpa disadari, rantai kecemasan telah mengorbankan siswa yang seharusnya menjadi subjek dalam proses pendidikan. Siswa dan orang tua yang tidak sanggup mengikuti pola permainan ini hanya mengandalkan apa yang diberikan sekolah sehingga akhirnya siswa yang menjadi korban.
Karena fakta-fakta tersebut di atas, maka saya pikir pemberlakuan UN dan sistem kelulusan saat ini perlu disempurnakan kembali. Untuk itu saya mengusulkan beberapa usulan yang mungkin bisa dijadikan sebuah pertimbangan logis. Pertama, UN serta sistem kelulusan yang berlaku saat ini terlihat tidak adil bagi saya. Mengapa? Karena hanya enam mata pelajaran yang diujikan. Parameter standarisasi kelulusan siswa hanya diukur melalui enam mata pelajaran itu saja dengan standar kelulusan 5,50, naik dari 5,25 tahun 2008 lalu. Pendidikan seharusnya sangat memperhitungkan perbedaan-perbedaan individual. Dalam psikologi pendidikan pun tidak ada siswa yang memiliki kemampuan sempurna dalam menguasai semua pelajaran. Ditinjau dari perspektif manapun hal ini menurut saya sangatlah tidak fair. Selain itu dalam kehidupan profesionalnya kelak, tidak semua ilmu akan digunakannya karena pastilah ia akan lebih memilih satu disiplin ilmu yang dikuasainya. Seharusnya pendidikan mengakomodasi kelebihan dan mengembangkan potensi individual siswa secara optimal.
Kedua, UN dengan sistem passing grade yang diberlakukan secara nasional telah mengabaikan disparitas kondisi masing-masing daerah. Tentu saja siswa yang belajar di Jakarta katakanlah dengan sarana dan kondisi serta fasilitas super lengkap akan lebih mampu untuk mencapai prestasi belajar yang maksimal dibandingkan dengan siswa yang bersekolah di Aceh dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, belum lagi sejak tertimba bencana tsunami yang mungkin saja telah menghancurkan segala fasilitas-fasilitas pendidikan yang mereka miliki. Atau dengan siswa-siswa yang bersekolah di daerah-daerah miskin atau daerah konflik di nusantara, seperti di Irian, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Apabila sistem seperti ini berlanjut, ketimpangan yang terjadi antara kaya-miskin, pusat-daerah, desa-kota akan semakin nyata teraplikasikan. Pendidikan tetap saja menjadi sebuah hal yang utopis bagi sebagian kecil rakyat Indonesia yang tidak mampu sehingga mereka terus saja termajinalisasikan.
Ketiga, nilai UN seharusnya tidak semata-mata dijadikan sebagai sebuah pertimbangan tunggal dalam evaluasi dan penentuan kelulusan siswa. Soal-soal dalam UN yang limitatif tidak akan mampu mengakomodir kemampuan siswa secara komprehensif. Selain itu, pencapaian prestasi-prestasi belajar siswa baik secara akademis maupun ekstrakurikuler selama proses belajar siswa tersebut harusnya diakui dan juga diperhitungkan.
Keempat, penetapan UN sebagai sebuah standarisasi nasional saya nilai sebagai sebuah kebijakan yang kurang efektif. Apabila pemerintah menuntut tercapainya sebuah kesetaraan output akademis secara nasional, sebaiknya guru dan pihak sekolah meminta kecukupan fasilitas yang memadai sehingga dapat memenuhi standar yang diinginkan pemerintah. Standar nasional yang dicanangkan pemerintah akan dapat terealisasikan dengan baik bila fasilitas dan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses tersebut juga mendukung. Artinya, bila disparitas kondisi fasilitas seperti media pembelajaran, ruang kelas, gedung sekolah, dan sebagainya serta sumber daya manusianya seperti para guru dan pihak sekolah sangat jauh dari cukup, bagaimana mungkin sebuah standar pendidikan dapat diimplementasikan secara general.
Disadari atau tidak, UN telah mengaplikasikan sebuah bentuk ketidakadilan kepada dunia pendidikan di negara kita. Bayangkan jika seluruh tangisan dan kesedihan seluruh siswa di seantero nusantara ini yang tidak lulus UN diakibatkan oleh sebuah kesalahan sistem. Bayangkan impian mereka untuk dapat melanjutkan belajar ke bangku kuliah tertunda sementara oleh karena kekurangpahaman fungsi dan tujuan ujian serta sikap ketidakprofesionalan pemerintah dalam pengelolaan pendidikan di Tanah Air tercinta kita ini.
Maka, sudah sepatutnyalah pemerintah melakukan proses restrukturalisasi dan revitalisasi pada dunia pendidikan di Indonesia. Jangan hanya mengurusi masalah politik, ekonomi, dan lain sebagainya tapi malah melupakan sebuah sektor fundamental yang merupakan sebuah platform yang esensial dalam proses reformasi menuju Indonesia yang lebih baik dan tentu saja lebih cerdas di masa depan. Semoga UN tahun depan tidak menimbulkan korban dan implikasi sosial yang makin membingungkan dan kompleks. Namun, justru menjadi starting point atau titik awal bagi dunia pendidikan yang selama ini dimanjakan oleh sikap permisif terhadap bentuk kecurangan dan manipulasi.
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
1 Comment:
makasih banet artikelnya :))
Post a Comment