KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Pemilu 2009=Pemilu Penuh Rekayasa?

Tuesday, April 28, 2009

Oleh: Pradono Budi Saputro*

Sudah dua minggu lebih Pemilu Legislatif 2009 dilaksanakan. Pemilu, yang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) digembar-gemborkan dapat berjalan sesuai rencana, nyatanya masih menyisakan berbagai masalah. Dan, masalah seputar pemilu legislatif tersebut tampaknya tidak akan habis dibicarakan sampai pemilu presiden (pilpres) bulan Juli mendatang.

Sangat banyak permasalahan yang menghinggapi pemilu legislatif lalu. Yang pertama, mengenai tata cara pemilihan yang baru, atau boleh dikatakan sama sekali baru. Mulai pemilu ini, masyarakat dihimbau untuk menandai pilihannya dengan cara mencontreng alias mencentang. Sepintas, cara ini terkesan sangat mudah. Kita hanya perlu memberi tanda contreng di lambang parpol, nomor urut caleg, atau nama caleg untuk surat suara DPR dan DPRD serta pada foto caleg untuk surat suara DPD. Namun, lain halnya dengan masyarakat pedesaan atau sebagian penduduk lanjut usia. Mereka sudah terbiasa memilih dengan cara mencoblos selama bertahun-tahun. Kurangnya sosialisasi tata cara memilih juga menjadi kendala, padahal dana yang disiapkan sudah cukup besar. Akibatnya, beberapa hari menjelang pemilu masih banyak yang belum mengetahui tata cara memilih yang baik dan benar.

Persoalan berikutnya terkait kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Akibat namanya tidak tercantum dalam DPT, puluhan juta WNI yang seharusnya mempunyai hak pilih “terpaksa” golput. Mereka menjadi golput karena tidak diperbolehkan memberikan suara. Bahkan, kartu identitas yang berlaku pun tidak dapat menjamin mereka mendapatkan hak pilih. Ayah penulis sendiri kebetulan turut menjadi “korban” dari hal ini, sampai-sampai beliau menuding adanya “permainan” dari partai yang berkuasa (the ruling party) demi memuluskan langkahnya pada pemilu ini. Lucunya, di kala sebagian masyarakat tidak tercantum namanya dalam DPT, ada sebagian masyarakat lain yang namanya dicantumkan di DPT walaupun sudah meninggal, pindah domisili ke daerah pemilihan (dapil) lain, bahkan anak-anak yang masih di bawah umur. Penulis sendiri merasa heran dengan tercantumnya nama almarhum kakek penulis yang telah meninggal dunia Agustus lalu. Itu belum seberapa, bila mencermati DPT kita akan menemukan banyak nama pemilih ganda atau dapat dikatakan “pemilih gaib”. Nama yang sama dapat dicantumkan berkali-kali dengan alamat yang sama pula. Oleh sebab itu, dalam satu tempat tinggal bisa terdapat belasan pemilih. Jadi, saat puluhan juta orang kehilangan hak pilih, banyak bermunculan pemilih-pemilih baru tanpa identitas yang jelas dalam jumlah yang hampir sama. Aneh bukan?

Masalah hak pilih diperparah oleh hilangnya kesempatan ratusan pasien rumah sakit, tahanan-tahanan di rumah tahanan, dan para mahasiswa perantau untuk memilih. Tak ada pihak yang memberikan jaminan kepada mereka untuk dapat menyalurkan suaranya. Tak ada tempat khusus yang disediakan agar mereka dapat menggunakan hak pilihnya. Terlebih lagi para mahasiswa perantau, yang karena identitas yang berlaku bukan dikeluarkan dari daerah setempat, tidak dapat mengikuti pemilu. Akibatnya, mereka pun “terpaksa” ikut golput.

Masalah selanjutnya yakni adanya penggelembungan suara di berbagai daerah. Ada indikasi pihak-pihak tertentu berusaha untuk menaikkan jumlah suara dari parpol atau caleg yang mereka usung. Bahkan, seorang caleg DPR RI dari sebuah parpol besar dapat memperoleh jumlah suara yang sangat fantastis, mencapai seratus ribuan suara. Sungguh mengerikan bukan?

Masalah berikutnya yaitu tertukarnya surat suara. Ini masalah yang sangat menggelikan. Bagaimana bisa terjadi surat suara yang seharusnya ditujukan untuk suatu dapil tahu-tahu sampai di dapil yang lain, sementara surat suara yang diperuntukkan bagi dapil tersebut dapat berada di dapil lainnya. Yang lebih mengherankan, ada kasus seorang caleg memenangi suara di tempat yang bukan merupakan dapilnya.

Problem lainnya ialah ketidaksiapan perangkat penyelenggara pemilu dalam menyiapkan logistik pemilu. Ada caleg yang namanya tidak tercantum dalam surat suara, ada pula yang namanya salah tulis di surat suara. Ukuran surat suara yang sangat besar dan lebar akibat banyaknya pilihan parpol dan caleg tidak diimbangi dengan ukuran bilik suara, yang terlihat kecil dibandingkan ukuran kertas suara. Begitu pula dengan kualitas tinta. Tinta yang digunakan untuk menandai warga yang telah menggunakan hak pilihnya ternyata mudah luntur dan terhapus. Boleh jadi ada oknum yang menggunakan hak pilihnya lebih dari sekali.

Netralitas dan independensi anggota KPU dan KPUD menjadi masalah selanjutnya. Banyak tokoh politik nasional yang mempertanyakan hal ini. Terlebih setelah Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary, berada di TPS tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyalurkan hak pilihnya. Ada hubungan apa antara KPU dengan SBY, yang notabene merupakan Ketua Dewan Pembina the ruling party? Perubahan jadwal pemilu legislatif kali ini disebut-sebut juga memiliki kaitan dengan hal ini. Pemilu legislatif yang semula direncanakan berlangsung tanggal 5 April diundur menjadi tanggal 9 April. Tanggal 9 April disebut-sebut merupakan tanggal keberuntungan SBY.

Itu baru KPU pusat, belum KPUD. Bisa jadi lebih banyak kepentingan yang “bermain” di KPUD, baik dari parpol-parpol maupun dari caleg-caleg. Beberapa bulan menjelang pemilu malah kita sempat mendengar kabar penghentian beberapa anggota KPUD di sebuah daerah akibat mereka diketahui terdaftar sebagai anggota sebuah parpol. Oleh karena itu, di daerah lebih rawan manipulasi. DPT, mungkin, dapat diatur sedemikian rupa agar dapat menghasilkan perolehan suara yang besar bagi parpol maupun caleg tertentu.

Masalah yang terakhir, walaupun dalam kenyataannya mungkin masih terdapat berbagai macam masalah lain, adalah lambatnya proses perhitungan suara. Data yang terkumpul dalam real count KPU sampai saat ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan suara Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 untuk rentang waktu yang sama. Terlepas dari proses perhitungan suara yang sangat rumit akibat banyaknya jumlah parpol dan caleg, kelambanan proses perhitungan suara ini patut kita pertanyakan. Terlebih, budget yang dipersiapkan untuk perangkat IT guna mendukung kelancaran proses perhitungan suara pada pemilu ini lebih besar daripada dua pemilu sebelumnya.

Solusi

Lalu, adakah solusi terhadap permasalahan-permasalahan tersebut? Mengenai tata cara pemberian suara yang baru, yakni dengan cara mencontreng, penulis pikir itu bukanlah hal yang sulit. Mengingat tingkat pendidikan masyarakat Indonesia saat ini sudah lebih baik dibandingkan era-era sebelumnya, penulis pikir cukup tepat untuk memberi tanda contreng ketimbang mencoblos pada pilihan kita. Hanya saja, pemerintah maupun KPU harus lebih aktif untuk mensosialisasikannya sejak dini agar pada saat pemilihan tidak ada lagi warga yang kebingungan dalam memberikan suaranya.

Kemudian, bagaimana dengan DPT? DPT disebut-sebut menjadi problem terbesar Pemilu 2009. DPT merupakan masalah yang sangat pelik dan harus segera diselesaikan agar di masa-masa mendatang, terutama menjelang pilpres nanti, tidak terulang lagi. Persoalan DPT sebenarnya dapat dikatakan bukan sepenuhnya merupakan kesalahan KPU. DPT disusun berdasarkan daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang diserahkan oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada tanggal 5 April tahun lalu. Selanjutnya, DP4 dicek oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dalam waktu sebulan. DP4 tersebut lalu diolah menjadi daftar pemilih sementara (DPS). Setelah itu, DPS diproses sehingga akhirnya disusun menjadi DPT. Akan tetapi, salah satu permasalahan mendasar yang perlu diketahui adalah waktu untuk pemutakhiran data DPS menjadi DPT sangat singkat. Bahkan, terlalu mengacu pada DP4 yang dikeluarkan oleh Depdagri. Tidak ada upaya untuk meng-update informasi yang ada dengan mengecek langsung data-data tersebut sampai tingkat RT dan RW. Jadi, selain mengacu kepada data administrasi kependudukan yang sudah ada, yang belum tentu masih valid, penulis pikir perlu juga untuk mendata dengan mendatangi langsung warga dari rumah ke rumah meskipun memakan waktu, tenaga, dan pastinya biaya, bukan malah menyalahkan warga yang dianggap kurang aktif untuk memeriksa apakah namanya telah tercantum. Di samping data administrasi kependudukan, penulis pikir dapat digunakan pula surat keterangan domisili agar mereka yang kebetulan sedang bermukim di wilayah yang bukan dapilnya, seperti para mahasiswa perantau, dapat menggunakan hak pilihnya. Demikian juga, perlu disediakan fasilitas bagi orang-orang dengan “kebutuhan khusus”, seperti pasien-pasien rumah sakit dan tahanan-tahanan di rumah tahanan, agar mereka tidak menjadi golput karena “terpaksa”.

Terkait dengan adanya upaya penggelembungan suara, penulis pikir selain pada waktu pencontrengan dan penghitungan suara, pengawasan juga perlu dilaksanakan dalam proses pemasukan data hasil perhitungan suara. Dengan usaha tersebut, kiranya adanya upaya penggelembungan suara dapat diminimalisir. Lalu, terhadap kasus tertukarnya surat suara, penulis rasa ini hanyalah akibat kekurangtelitian para petugas pada saat proses pengiriman logistik pemilu. Namun, bagaimanapun juga kesalahan yang terkesan sepele ini fatal akibatnya. Kemudian, untuk kesalahan dalam penyediaan logistik pemilu, seperti tidak tercantumnya nama caleg, kesalahan penulisan nama caleg, terlalu kecilnya ukuran bilik suara, dan rendahnya kualitas tinta, ini dapat menjadi pembelajaran bagi pihak-pihak penyelenggara pemilu agar lebih selektif dalam memilih perusahaan penyedia logistik pemilu.

Selanjutnya, berkenaan dengan persoalan netralitas dan independensi KPU maupun KPUD, jujur saja penulis pun agak menyangsikan kalau pemilu legislatif ini telah terlaksana secara langsung, umum, bebas, rahasia serta jujur dan adil. Memang, penulis tidak melihat langsung kejadian-kejadian di lapangan. Akan tetapi, kita dapat melihat berbagai kejanggalan yang mengindikasikan bahwa pemilu kali ini tidak “bersih” bila menilik dari berita-berita yang beredar. Walaupun begitu, kita tetap harus mampu melihat secara obyektif. Perubahan tanggal pemilu legislatif lalu contohnya. Selain itu, beredarnya Ketua KPU di TPS tempat Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mencontreng. Ditemukannya beberapa orang panitia yang mengarahkan sebagian warga untuk mencontreng parpol atau caleg tertentu di beberapa TPS mungkin dapat memperkuat indikasi ini. Demikian pula dengan pencederaan hak politik warga negara, di mana sebagian penduduk negara ini tidak dapat memberikan suaranya, bisa jadi ada hubungannya dengan masalah ini. Yang jelas, tanpa terlalu berprasangka negatif, kejadian-kejadian tersebut menunjukkan adanya kejanggalan. Bahkan, sejumlah tokoh masyarakat dan parpol dalam sebuah pernyataan sikap menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu yang lalu adalah yang terburuk sejak reformasi dan sangat jauh dari pemilu yang jujur, adil, demokratis, dan bermartabat. Mereka juga menganggap bahwa baik pemerintah, KPU, maupun KPUD telah bersikap tidak netral dalam pemilu ini.

Lambatnya proses perhitungan suara boleh jadi terkait dengan persoalan tadi. Di luar dari rumitnya penghitungan suara, ada yang menduga bahwa terdapat suatu “kesengajaan” untuk membuat data di Tabulasi Nasional KPU seolah-olah untuk memenuhi hasil quick count yang dibuat oleh lembaga-lembaga survei. Mudah-mudahan dugaan adanya kebohongan publik ini tidak benar. Namun, mencermati masalah-masalah yang ada seputar pemilu ini, cukup tepat apabila kita menyatakan bahwa Pemilu 2009 adalah pemilu penuh rekayasa. Entah rekayasa dalam arti negatif maupun rekayasa dalam arti positif. Yang jelas, dalam politik rekayasa ialah strategi karena politik pada dasarnya adalah strategi untuk merebut kekuasaan. Memenangkan parpol atau caleg merupakan bagian dari upaya untuk merebut kekuasaan. Sehubungan dengan dua masalah terakhir ini, sulit mencari pemecahannya. Kita tidak mungkin melaksanakan pemilu ulang karena hanya akan menghabiskan waktu, tenaga, dan dana. Demikian pula, tidak bijak rasanya untuk mengganti anggota KPU saat ini mengingat waktu pelaksanaan pilpres sudah semakin dekat dan tidak ada yang menjamin apabila anggota KPU yang baru nantinya dapat bekerja lebih baik. Kita hanya bisa berharap mudah-mudahan pihak penyelenggara KPU mau belajar dari kejadian-kejadian tersebut agar masalah-masalah tadi tidak lagi terulang.

* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

0 Comments: