Friday, April 03, 2009
Oleh: M Mossadeq Bahri*
Pesan moral ini diawali dengan kutipan dua kalimat awal surat Alfatihah. Kalimat pertama, basmalah. Dimaksudkan, semoga isi pesan mampu memancarkan rahman dan rahim, kasih sayang. Khususnya, kepada para elite politik kita dan bangsa ini secara keseluruhan. Hanya dengan kasih sayang, bangsa ini akan menjadi bangsa yang terbebas dari huru-hara, gontok-gontokan, dan pertumpahan darah. Hanya dengan kasih-sayang pula, rakyat kita akan merasakan hidup damai dan merasa nyaman menikmati alam Indonesia baru yang demokratis.
Kalimat kedua, hamdalah. Dimaksudkan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, Tuhan pencipta sekalian alam. Bahwa, kita di sini, di Jakarta, dapat merasakan kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan saudara-saudara kita di Aceh, Ambon-Maluku, Poso, Irian Jaya, dan berbagai belahan Indonesia lain. Rasa syukur kepada Allah SWT itu seyogianya menebalkan keprihatinan kita kepada nasib saudara-saudara kita yang tertimpa musibah kerusuhan dan bencana yang entah kapan akan berakhir.
Belakangan, di negeri ini berjangkit virus bernama penyakit nasional atau penyakit Indonesia. Ciri-cirinya, antara lain, melemahnya disiplin sosial, buyarnya otoritas dan keteraturan, sikap tidak bertanggung jawab, berkuasanya kekuatan uang, konsumsi berlebihan dan ekstravagansa, rusaknya lingkungan hidup, serta gesekan dan friksi antarkelas, daerah, dan generasi. Senyampang penyakit ini tidak segera diobati, negara ini sangat mungkin terjerembab ke titik 'kehancuran total'. Akibat penyakit ini sungguh fatal bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Semua komponen bangsa perlu sungguh-sungguh menyadari hal ini.
Sejarah membuktikan, bangsa ini adalah bangsa pendendam (meski juga absah dibubuhi label bangsa pelupa). Vendeta politik menjadi fenomena yang absah. Kita menerapkan elemen 'hukum' Islam dalam arti yang saru dan soro atas ketertindasan (oleh satu rezim berkuasa) dibayar tunai dengan penindasan (ketika si pecundang naik tahta). Khusus semenjak era pemerintahan reformasi, antara arena politik dan hukum rimba menjadi kancah yang sama-sebangun. Bicara dan buka mulut tak berbeda. Akhlak tak lagi jadi penuntun. Etika masuk keranjang sampah. Kepongahan menjadi panglima. Kepandiran fundamental dipertontonkan dengan sikap jemawa yang sulit dicerna akal sehat.
Dalam konstelasi amburadul semacam itu, derivat yang mengejawantah dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat pun menjadi kaya varian. Manusia Indonesia berubah, orientasi nilai-nilai bergeser. Kepatutan menjadi perkara yang nisbi. Hukum dan dominasi hukum cuma elok di atas lembaran KUHP & KUH Perdata, tetapi menjadi mimpi buruk di dunia riil. Ulama yang seyogianya jadi juru penerang di tengah gulita tak kunjung memahami risalah kudusnya fitrah mereka sebagai ahli waris Nabiyyullah. Dan, cendekiawan yang tumbuh bak cendawan di musim hujan tampak nyaman sentosa memainkan peran remeh-temehnya alih-alih terlibat ide-ide berskala dan berdimensi besar.
Semboyan 'kepadamu pahlawan kami mengadu' di penghujung dasawarsa 1970-an adalah pekik romantis dengan selera humor yang kreatif mengingat iklim represif yang disemai Soeharto sebagai pemenang tender tunggal proyek pembangunan Nusantara. Gerakan moral mahasiswa (kampus) sebenarnya tak benar-benar musnah sepanjang kontur sejarah. Mereka hanya mati muda karena berada dalam habitat yang tandus. Mereka berjaya sebagai trigger reformasi pada Mei 1998 dengan menempatkan diri sebagai ujung tombak saat kemuakan berjuta-juta anak negeri mencapai kerongkongan.
Tahap selanjutnya, berbagai konstelasi dasar negeri ini berada di titik transisi. Status ini tak pernah diakui BJ Habibie meski Prof Dr Nurcholish Madjid amat nyinyir mengusung dan mendesakkan sebutan ini. Hikmah 'reformasi' cuma mendidik kita tentang satu hal. Kita tahu berubah 'dari', tetapi meraba-raba berubah 'ke (mana)'. Sebagai bangsa yang tak sabar, kita menuntut Habibie datang dengan lampu Aladin. Dengan sekali gesek, kondisi carut-marut warisan Soeharto sontak berubah bak membalik telapak tangan. Euforia reformasi itu pula yang melengserkan tongkat dirigen dari tangan seorang besar bertubuh kecil Habibie atas nama keabsahan politik lantaran aroma Soeharto pada dirinya dianggap kelewat kental.
Eksperimen demokrasi menghasilkan PDIP sebagai pemenang (dengan 32 persen suara dari 49 kandidat yang bertarung dalam Pemilu 1999 yang relatif luber-jurdil). Apa mau dikata, kombinasi kaukus Poros Tengah dengan manuver lokomotif parpol ini membuahkan kecelakaan sejarah jika tak hendak menyebutnya tragedi. Seorang yang tidak memenuhi syarat, menurut konstitusi, dan tak dicalonkan oleh partai yang dideklarasikannya menjadi orang nomor satu di negeri berpenduduk 210 juta jiwa ini. Bagaimana membayangkan jika cucu kita yang mencermati sejarah bertanya tentang hal ini? Kita tak tahu apa kita mampu menjawab atau tidak.
Begitulah. Tanpa perlu terlibat pro-kontra dalam kepentingan partai-partai-an, 200-an juta rakyat di hari-hari ini memerlukan juru penerang. Dahaga terhadap 'mata hati'. Yakni, orang yang menunjukkan 'jalan lurus' ketika rute perjalanan itu melintir, zig-zag, dan bengkok di sana-sini. Yang memberi tahu salah dan benar tatkala yang hak dan yang batil terpiuh dalam chaos yang belum pernah ada tandingannya dalam sejarah peradaban negeri ini, kecuali dipersandingkan dengan the dark period semasa era jahiliyah di Jazirah Arab sana.
Hitung saja manusia digelandang massa hingga luluh-lantak, lalu dibakar; berbunuh-bunuhan antarkomunitas, lalu pemenangnya menenteng dan mengarak penggalan kepala; polisi bermental lanun; hakim-jaksa-pengacara memperdagangkan pasal-pasal; serdadu mengeksekusi penduduk sipil dengan pelor yang berasal dari pajak rakyat; rampok berdasi rangkul-rangkulan dengan birokrat sembari menyantap hidangan kelas supereksekutif di hotel berbintang lima; narkoba mewabah dari lapisan teratas masyarakat hingga anak-anak SD; atau zina diabadikan dalam lempengan silikon VCD dan diperniagakan bebas dengan nilai Rp 3.000 per keping.
Di tengah 'karbala' kemanusiaan ini, sebagai rakyat, kita sangat berharap, elite politik nasional jangan cuma sibuk bersilat lidah tentang kasus Bank Indonesia, pengadilan Soeharto, kasus Lapindo, dan lain-lain. Bukankah ironis, sementara rakyat digelandang musibah, elite kita sibuk memproduk pernyataan yang justru tak bersimpati (konon pula berempati) pada aspirasi yang berdenyut di urat nadi kehidupan rakyat banyak? Inikah etika berpolitik kita? Beginikah moralitas elite politisi kita? Beginikah etika dan moralitas bangsa ini? Persoalan berikutnya, sudikah kita menjadi penonton pameran kedunguan ini? Sampai kapan?
Elite politik nasional seharusnya sadar, mereka bertanggung jawab terhadap 200-an juta rakyat. Mereka seharusnya sadar, pada tupoksi, mereka sebagai motivator; kreator; pelopor yang menentukan arah masa depan negara bangsa ini. Mereka kudu paham, cetak biru kebijakan ekonomi, sosial, politik, hukum, dan budaya di republik ini adalah keputusan politik yang cerdas dan mencerdaskan yang harusnya lahir dari kiprah mereka. Mereka masih bisa berbuat sesuatu, demi dan atas nama pertanggungjawaban, sekaligus pencerahan kultural, kecuali kalau menghendaki tumpak wilayah geografis bernama Indonesia ini lenyap dari atlas.
Kita berharap agar di Pemilu 2009 ini, sikap para elite politik nasional menjadi titik berangkat menyongsong Indonesia baru.
* Lektor Kepala Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI)
Diambil dari Republika Kamis, 19 Maret 2009
Tulisan ini juga dapat Anda baca di Republika Online
Pesan moral ini diawali dengan kutipan dua kalimat awal surat Alfatihah. Kalimat pertama, basmalah. Dimaksudkan, semoga isi pesan mampu memancarkan rahman dan rahim, kasih sayang. Khususnya, kepada para elite politik kita dan bangsa ini secara keseluruhan. Hanya dengan kasih sayang, bangsa ini akan menjadi bangsa yang terbebas dari huru-hara, gontok-gontokan, dan pertumpahan darah. Hanya dengan kasih-sayang pula, rakyat kita akan merasakan hidup damai dan merasa nyaman menikmati alam Indonesia baru yang demokratis.
Kalimat kedua, hamdalah. Dimaksudkan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, Tuhan pencipta sekalian alam. Bahwa, kita di sini, di Jakarta, dapat merasakan kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan saudara-saudara kita di Aceh, Ambon-Maluku, Poso, Irian Jaya, dan berbagai belahan Indonesia lain. Rasa syukur kepada Allah SWT itu seyogianya menebalkan keprihatinan kita kepada nasib saudara-saudara kita yang tertimpa musibah kerusuhan dan bencana yang entah kapan akan berakhir.
Belakangan, di negeri ini berjangkit virus bernama penyakit nasional atau penyakit Indonesia. Ciri-cirinya, antara lain, melemahnya disiplin sosial, buyarnya otoritas dan keteraturan, sikap tidak bertanggung jawab, berkuasanya kekuatan uang, konsumsi berlebihan dan ekstravagansa, rusaknya lingkungan hidup, serta gesekan dan friksi antarkelas, daerah, dan generasi. Senyampang penyakit ini tidak segera diobati, negara ini sangat mungkin terjerembab ke titik 'kehancuran total'. Akibat penyakit ini sungguh fatal bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Semua komponen bangsa perlu sungguh-sungguh menyadari hal ini.
Sejarah membuktikan, bangsa ini adalah bangsa pendendam (meski juga absah dibubuhi label bangsa pelupa). Vendeta politik menjadi fenomena yang absah. Kita menerapkan elemen 'hukum' Islam dalam arti yang saru dan soro atas ketertindasan (oleh satu rezim berkuasa) dibayar tunai dengan penindasan (ketika si pecundang naik tahta). Khusus semenjak era pemerintahan reformasi, antara arena politik dan hukum rimba menjadi kancah yang sama-sebangun. Bicara dan buka mulut tak berbeda. Akhlak tak lagi jadi penuntun. Etika masuk keranjang sampah. Kepongahan menjadi panglima. Kepandiran fundamental dipertontonkan dengan sikap jemawa yang sulit dicerna akal sehat.
Dalam konstelasi amburadul semacam itu, derivat yang mengejawantah dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat pun menjadi kaya varian. Manusia Indonesia berubah, orientasi nilai-nilai bergeser. Kepatutan menjadi perkara yang nisbi. Hukum dan dominasi hukum cuma elok di atas lembaran KUHP & KUH Perdata, tetapi menjadi mimpi buruk di dunia riil. Ulama yang seyogianya jadi juru penerang di tengah gulita tak kunjung memahami risalah kudusnya fitrah mereka sebagai ahli waris Nabiyyullah. Dan, cendekiawan yang tumbuh bak cendawan di musim hujan tampak nyaman sentosa memainkan peran remeh-temehnya alih-alih terlibat ide-ide berskala dan berdimensi besar.
Semboyan 'kepadamu pahlawan kami mengadu' di penghujung dasawarsa 1970-an adalah pekik romantis dengan selera humor yang kreatif mengingat iklim represif yang disemai Soeharto sebagai pemenang tender tunggal proyek pembangunan Nusantara. Gerakan moral mahasiswa (kampus) sebenarnya tak benar-benar musnah sepanjang kontur sejarah. Mereka hanya mati muda karena berada dalam habitat yang tandus. Mereka berjaya sebagai trigger reformasi pada Mei 1998 dengan menempatkan diri sebagai ujung tombak saat kemuakan berjuta-juta anak negeri mencapai kerongkongan.
Tahap selanjutnya, berbagai konstelasi dasar negeri ini berada di titik transisi. Status ini tak pernah diakui BJ Habibie meski Prof Dr Nurcholish Madjid amat nyinyir mengusung dan mendesakkan sebutan ini. Hikmah 'reformasi' cuma mendidik kita tentang satu hal. Kita tahu berubah 'dari', tetapi meraba-raba berubah 'ke (mana)'. Sebagai bangsa yang tak sabar, kita menuntut Habibie datang dengan lampu Aladin. Dengan sekali gesek, kondisi carut-marut warisan Soeharto sontak berubah bak membalik telapak tangan. Euforia reformasi itu pula yang melengserkan tongkat dirigen dari tangan seorang besar bertubuh kecil Habibie atas nama keabsahan politik lantaran aroma Soeharto pada dirinya dianggap kelewat kental.
Eksperimen demokrasi menghasilkan PDIP sebagai pemenang (dengan 32 persen suara dari 49 kandidat yang bertarung dalam Pemilu 1999 yang relatif luber-jurdil). Apa mau dikata, kombinasi kaukus Poros Tengah dengan manuver lokomotif parpol ini membuahkan kecelakaan sejarah jika tak hendak menyebutnya tragedi. Seorang yang tidak memenuhi syarat, menurut konstitusi, dan tak dicalonkan oleh partai yang dideklarasikannya menjadi orang nomor satu di negeri berpenduduk 210 juta jiwa ini. Bagaimana membayangkan jika cucu kita yang mencermati sejarah bertanya tentang hal ini? Kita tak tahu apa kita mampu menjawab atau tidak.
Begitulah. Tanpa perlu terlibat pro-kontra dalam kepentingan partai-partai-an, 200-an juta rakyat di hari-hari ini memerlukan juru penerang. Dahaga terhadap 'mata hati'. Yakni, orang yang menunjukkan 'jalan lurus' ketika rute perjalanan itu melintir, zig-zag, dan bengkok di sana-sini. Yang memberi tahu salah dan benar tatkala yang hak dan yang batil terpiuh dalam chaos yang belum pernah ada tandingannya dalam sejarah peradaban negeri ini, kecuali dipersandingkan dengan the dark period semasa era jahiliyah di Jazirah Arab sana.
Hitung saja manusia digelandang massa hingga luluh-lantak, lalu dibakar; berbunuh-bunuhan antarkomunitas, lalu pemenangnya menenteng dan mengarak penggalan kepala; polisi bermental lanun; hakim-jaksa-pengacara memperdagangkan pasal-pasal; serdadu mengeksekusi penduduk sipil dengan pelor yang berasal dari pajak rakyat; rampok berdasi rangkul-rangkulan dengan birokrat sembari menyantap hidangan kelas supereksekutif di hotel berbintang lima; narkoba mewabah dari lapisan teratas masyarakat hingga anak-anak SD; atau zina diabadikan dalam lempengan silikon VCD dan diperniagakan bebas dengan nilai Rp 3.000 per keping.
Di tengah 'karbala' kemanusiaan ini, sebagai rakyat, kita sangat berharap, elite politik nasional jangan cuma sibuk bersilat lidah tentang kasus Bank Indonesia, pengadilan Soeharto, kasus Lapindo, dan lain-lain. Bukankah ironis, sementara rakyat digelandang musibah, elite kita sibuk memproduk pernyataan yang justru tak bersimpati (konon pula berempati) pada aspirasi yang berdenyut di urat nadi kehidupan rakyat banyak? Inikah etika berpolitik kita? Beginikah moralitas elite politisi kita? Beginikah etika dan moralitas bangsa ini? Persoalan berikutnya, sudikah kita menjadi penonton pameran kedunguan ini? Sampai kapan?
Elite politik nasional seharusnya sadar, mereka bertanggung jawab terhadap 200-an juta rakyat. Mereka seharusnya sadar, pada tupoksi, mereka sebagai motivator; kreator; pelopor yang menentukan arah masa depan negara bangsa ini. Mereka kudu paham, cetak biru kebijakan ekonomi, sosial, politik, hukum, dan budaya di republik ini adalah keputusan politik yang cerdas dan mencerdaskan yang harusnya lahir dari kiprah mereka. Mereka masih bisa berbuat sesuatu, demi dan atas nama pertanggungjawaban, sekaligus pencerahan kultural, kecuali kalau menghendaki tumpak wilayah geografis bernama Indonesia ini lenyap dari atlas.
Kita berharap agar di Pemilu 2009 ini, sikap para elite politik nasional menjadi titik berangkat menyongsong Indonesia baru.
* Lektor Kepala Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI)
Diambil dari Republika Kamis, 19 Maret 2009
Tulisan ini juga dapat Anda baca di Republika Online
0 Comments:
Post a Comment