Monday, May 18, 2009
Oleh: Jerry Indrawan*
Di lingkungan birokrat maupun pengusaha, korupsi sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu buktinya, masyarakat harus membayar mahal pelayanan publik yang buruk. Apabila ingin mendapat pelayanan yang baik, masyarakat harus menyediakan uang pelicin. Kondisi itu diperparah dengan adanya kecenderungan pegawai negeri sipil, harus pandai mengumpulkan uang untuk kenaikan pangkat. Begitu pula tingkat pejabat tinggi, memperluas kroni guna mempertebal saku agar dapat mempertahankan loyalitas bawahan dan jabatannya.
Pada rezim yang memiliki otoritas kuat, pemberantasan korupsi secara konvensional, seperti perbaikan pengawasan melalui institusi negara, terbukti sudah tidak efektif lagi. Pada akhirnya rakyat tetap saja menjadi korban. Apalagi saat ini sudah terbangun mitos di masyarakat korupsi hampir mustahil dibasmi. Korupsi hanya menguntungkan segelintir orang kaya, penguasa, dan kroni, sementara yang memikul akibatnya seluruh rakyat.
Upaya Memerangi Korupsi
Untuk memerangi korupsi di kalangan birokrat, memerlukan kampanye massal supaya rakyat sadar pada haknya, memperoleh pelayanan publik yang baik. Kemudian warga yang selalu menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan publik, harus mendapat ruang dalam sistem hukum, perlindungan hukum, dan menuntut koruptor ke pengadilan pidana atau perdata.
Celakanya, saat ini ada kecenderungan dari masyarakat semakin “menuhankan” materi. Mereka memberi tempat istimewa kepada pejabat negara yang korup, status sosial kaya raya, dan gaya hidup mewah. Padahal itu semua mustahil atau tidak mungkin bisa diperoleh dari pendapatan resmi. Kedudukan pejabat seperti itu malah mendapat tempat cukup tinggi di masyarakat, diidolakan dan dirubung. Pejabat yang royal berderma, dianggap seseorang yang tinggi ahlaknya dan senantiasa didoakan masyarakat, tanpa pernah dipertanyakan dari mana sumber dananya.
Dalam kondisi tersebut, tidaklah mengherankan bila semua orang bermimpi jadi koruptor. Bahkan kalau seorang pejabat itu miskin, dianggap tolol dan bodoh. Kalaupun ada kebencian, paling hanya kecemburuan sosial. Pasalnya kalau mereka ada kesempatan dapat dipastikan akan menirunya, bukan membasmi.
Kondisi sama terjadi pula di tubuh para pengusaha, untuk mengakhiri patronasi politik dalam bisnisnya harus dimulai dari organisasi profesi dan asosiasi. Itu bisa dilakukan dengan meningkatkan standar etika di kalangan mereka. Salah satunya harus ada kesadaran, transaksi bisnis kolutif dan mengabaikan hukum akan merugikan kepentingan jangka panjang bisnis mereka. Akibatnya bisa melahirkan biaya tinggi yang membebani konsumen, menekan upah buruh, menciptakan persaingan tidak sehat, dan merusak sumber daya alam.
Mandul
Perlu juga disoroti kemandulan fungsi kontrol lembaga legislatif, yang tidak bisa dilepaskan dari sosok para anggota dewan sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang terjun ke dunia politik dengan tujuan mendekatkan atau memiliki akses ke sumber ekonomi atau melindungi kepentingan bisnisnya. Buktinya, tidak sedikit pejabat dan anggota DPR menjadi kontraktor pengadaan publik atau proyek pembangunan yang dibiayai pemerintah. Dan parahnya lagi para wakil rakyat kita itu sering bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memuluskan keinginan mereka itu. Itu merupakan suatu bukti bahwa korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga sudah merambah ke tingkat-tingkat daerah. Satu contoh kasus adalah kasus Andi Mustaqim, staf salah satu anggota DPR, yang diduga kuat menjadi perantara proyek-proyek pemerintah di beberapa daerah.
Begitu pula dengan pemilihan calon legislatif, mutlak jadi kewenangan orang kuat dalam parpol pusat maupun daerah. Tidak sedikit mereka yang berhasil duduk di DPR ini dicukongi pengusaha atau bahkan mereka juga adalah pengusaha, sehingga lazim disebut “pejabatusaha”. Terkadang mereka memanfaatkan jabatan mereka sebagai anggota dewan untuk menyertakan perusahaan-perusahaan mereka dalam proyek-proyek pemerintah.
Di bidang yudikatif juga begitu. Mahkamah Agung yang memiliki wewenang yudikasi tertinggi malah sedang terkena kasus jual beli perkara yang melibatkan semua elemen MA, mulai dari tukang parkir sampai ketua MA-nya sendiri, yang sedang diperiksa KPK menyangkut masalah korupsi pengusaha Probosutedjo. Saya menyambut baik dibentuknya Komisi Yudisial, yang diketuai Busyro Muqoddas, untuk memeriksa hakim-hakim yang diduga melakukan penyelewengan-penyelewengan serta membersihkan internal MA dari unprofessional conduct para hakim.
Memberantas korupsi sangat sulit, salah satu cara menekannya yaitu melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat. Hanya saja perlu diingat, gerakan antikorupsi haruslah merupakan gerakan sosial. Tolok ukur paling penting, yaitu seberapa jauh korupsi berkaitan dengan kepentingan umum dan merugikan keuangan negara. Pasalnya tidak mungkin bisa menyelesaikan semua kasus korupsi dan sangat membingungkan karena begitu banyaknya kasus. Semoga saja seluruh elemen pemerintahan, tidak hanya KPK, dapat terus memerangi korupsi sesuai dengan instruksi presiden di awal-awal pemerintahannya.
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
Di lingkungan birokrat maupun pengusaha, korupsi sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu buktinya, masyarakat harus membayar mahal pelayanan publik yang buruk. Apabila ingin mendapat pelayanan yang baik, masyarakat harus menyediakan uang pelicin. Kondisi itu diperparah dengan adanya kecenderungan pegawai negeri sipil, harus pandai mengumpulkan uang untuk kenaikan pangkat. Begitu pula tingkat pejabat tinggi, memperluas kroni guna mempertebal saku agar dapat mempertahankan loyalitas bawahan dan jabatannya.
Pada rezim yang memiliki otoritas kuat, pemberantasan korupsi secara konvensional, seperti perbaikan pengawasan melalui institusi negara, terbukti sudah tidak efektif lagi. Pada akhirnya rakyat tetap saja menjadi korban. Apalagi saat ini sudah terbangun mitos di masyarakat korupsi hampir mustahil dibasmi. Korupsi hanya menguntungkan segelintir orang kaya, penguasa, dan kroni, sementara yang memikul akibatnya seluruh rakyat.
Upaya Memerangi Korupsi
Untuk memerangi korupsi di kalangan birokrat, memerlukan kampanye massal supaya rakyat sadar pada haknya, memperoleh pelayanan publik yang baik. Kemudian warga yang selalu menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan publik, harus mendapat ruang dalam sistem hukum, perlindungan hukum, dan menuntut koruptor ke pengadilan pidana atau perdata.
Celakanya, saat ini ada kecenderungan dari masyarakat semakin “menuhankan” materi. Mereka memberi tempat istimewa kepada pejabat negara yang korup, status sosial kaya raya, dan gaya hidup mewah. Padahal itu semua mustahil atau tidak mungkin bisa diperoleh dari pendapatan resmi. Kedudukan pejabat seperti itu malah mendapat tempat cukup tinggi di masyarakat, diidolakan dan dirubung. Pejabat yang royal berderma, dianggap seseorang yang tinggi ahlaknya dan senantiasa didoakan masyarakat, tanpa pernah dipertanyakan dari mana sumber dananya.
Dalam kondisi tersebut, tidaklah mengherankan bila semua orang bermimpi jadi koruptor. Bahkan kalau seorang pejabat itu miskin, dianggap tolol dan bodoh. Kalaupun ada kebencian, paling hanya kecemburuan sosial. Pasalnya kalau mereka ada kesempatan dapat dipastikan akan menirunya, bukan membasmi.
Kondisi sama terjadi pula di tubuh para pengusaha, untuk mengakhiri patronasi politik dalam bisnisnya harus dimulai dari organisasi profesi dan asosiasi. Itu bisa dilakukan dengan meningkatkan standar etika di kalangan mereka. Salah satunya harus ada kesadaran, transaksi bisnis kolutif dan mengabaikan hukum akan merugikan kepentingan jangka panjang bisnis mereka. Akibatnya bisa melahirkan biaya tinggi yang membebani konsumen, menekan upah buruh, menciptakan persaingan tidak sehat, dan merusak sumber daya alam.
Mandul
Perlu juga disoroti kemandulan fungsi kontrol lembaga legislatif, yang tidak bisa dilepaskan dari sosok para anggota dewan sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang terjun ke dunia politik dengan tujuan mendekatkan atau memiliki akses ke sumber ekonomi atau melindungi kepentingan bisnisnya. Buktinya, tidak sedikit pejabat dan anggota DPR menjadi kontraktor pengadaan publik atau proyek pembangunan yang dibiayai pemerintah. Dan parahnya lagi para wakil rakyat kita itu sering bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memuluskan keinginan mereka itu. Itu merupakan suatu bukti bahwa korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga sudah merambah ke tingkat-tingkat daerah. Satu contoh kasus adalah kasus Andi Mustaqim, staf salah satu anggota DPR, yang diduga kuat menjadi perantara proyek-proyek pemerintah di beberapa daerah.
Begitu pula dengan pemilihan calon legislatif, mutlak jadi kewenangan orang kuat dalam parpol pusat maupun daerah. Tidak sedikit mereka yang berhasil duduk di DPR ini dicukongi pengusaha atau bahkan mereka juga adalah pengusaha, sehingga lazim disebut “pejabatusaha”. Terkadang mereka memanfaatkan jabatan mereka sebagai anggota dewan untuk menyertakan perusahaan-perusahaan mereka dalam proyek-proyek pemerintah.
Di bidang yudikatif juga begitu. Mahkamah Agung yang memiliki wewenang yudikasi tertinggi malah sedang terkena kasus jual beli perkara yang melibatkan semua elemen MA, mulai dari tukang parkir sampai ketua MA-nya sendiri, yang sedang diperiksa KPK menyangkut masalah korupsi pengusaha Probosutedjo. Saya menyambut baik dibentuknya Komisi Yudisial, yang diketuai Busyro Muqoddas, untuk memeriksa hakim-hakim yang diduga melakukan penyelewengan-penyelewengan serta membersihkan internal MA dari unprofessional conduct para hakim.
Memberantas korupsi sangat sulit, salah satu cara menekannya yaitu melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat. Hanya saja perlu diingat, gerakan antikorupsi haruslah merupakan gerakan sosial. Tolok ukur paling penting, yaitu seberapa jauh korupsi berkaitan dengan kepentingan umum dan merugikan keuangan negara. Pasalnya tidak mungkin bisa menyelesaikan semua kasus korupsi dan sangat membingungkan karena begitu banyaknya kasus. Semoga saja seluruh elemen pemerintahan, tidak hanya KPK, dapat terus memerangi korupsi sesuai dengan instruksi presiden di awal-awal pemerintahannya.
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
0 Comments:
Post a Comment