Tuesday, May 12, 2009
Oleh: Pradono Budi Saputro*
Kebudayaan sejatinya merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang menunjukkan identitas dari suatu bangsa di mana kebudayaan tersebut berkembang. Oleh sebab itu, sudah seharusnya baik pemerintah maupun masyarakat melindungi aset yang sangat berharga tersebut. Namun, apa daya. Pemerintah seolah-olah sudah tak lagi peduli pada bidang budaya. Dalam konstitusi kita pun, kebudayaan hanya dirumuskan sebatas definisi, bukan dengan proses penciptaan dan strategi kebudayaan. Akibatnya, seni atau budaya tidak menjadi kebutuhan dasar masyarakat, bukan bagian dari hak hidup masyarakat, dan ruang untuk berekspresi tidak diwadahi oleh negara. Negara justru melakukan kontrol dalam bentuk sensor atau pencekalan terhadap berbagai bentuk seni yang menunjukkan kritisisme masyarakat. Hal yang justru menghilangkan ruang publik dan kebebasan berekspresi.
Tanggung jawab negara terhadap kebudayaan, kemudian malah diambil alih oleh lembaga-lembaga filantropis. Lembaga-lembaga tersebut melihat pentingnya mengembangkan kebudayaan, walaupun tentunya dilihat dari perspektif bisnis. Oleh karena itu, akhirnya kreativitas atau kesadaran berkesenian dikendalikan oleh regulasi pasar. Regulasi itu yang menentukan tinggi atau rendahnya nilai suatu produk kesenian. Akibatnya, kreativitas atau kesadaran berkesenian yang ada dewasa ini menjadi kreativitas atau kesadaran berkesenian semu untuk melayani lembaga-lembaga donor itu. Seniman-seniman yang selama ini banyak mengekspresikan aspirasi masyarakat, terpaksa mengubah keseniannya demi kebutuhan pasar.
Hal ini tak dapat kita salahkan begitu saja karena bagaimanapun juga seniman adalah manusia biasa. Mereka butuh uang dan butuh makan. Kalau untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit, bagaimana mau menyuarakan kepentingan rakyat. Maka, mau tidak mau sebagian besar seniman saat ini menjalankan proses berkesenian hanya sebatas pesanan. Bukan hanya pesanan lembaga-lembaga donor, melainkan juga pesanan atau kemauan seseorang. Seniman-seniman kecil seperti di Pasar Seni Ancol contohnya, melukis atau membuat patung sesuai pesanan pembeli, tidak lagi dengan idealisme mereka. Jika mereka membuat sesuai idealisme pribadi, siapa yang mau membeli dan dari mana seniman itu mendapat uang?
Lalu bagaimana dengan kesenian yang tahu-tahu direbut oleh bangsa lain? Kalau ada kesenian yang menjadi ciri khas kebudayaan kita tiba-tiba hilang atau diklaim oleh negara lain, ini terjadi akibat kita kurang peduli. Kesenian-kesenian tradisional seperti reog, angklung, seni membatik, dan berbagai lagu daerah kurang mendapat apresiasi publik dan subsidi pemerintah. Ketika kesenian-kesenian tersebut diakui sebagai sebagai produk budaya negeri tetangga, kita baru meributkannya. Kita meributkan seolah-olah kita peduli, padahal kita ribut lebih karena sentimen dibandingkan apresiasi terhadap produk-produk kesenian itu. Kalau memang peduli, seharusnya sudah sejak dahulu pemerintah berupaya membantu mematenkan produk-produk kesenian tersebut.
Oleh sebab itu, berkaca dari kejadian-kejadian tersebut, sudah seharusnya bangsa ini, baik pemerintah maupun masyarakat, ikut berpartisipasi dalam melindungi dan melestarikan kebudayaannya. Sebab jika bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikannya. Kita tentu tidak mau lagi ada produk budaya kita yang diambil oleh negara lain. Kita pastinya juga tak ingin para seniman yang awalnya berinteraksi dekat dengan masyarakat mulai berorientasi pada sesuatu yang jauh dari lingkungan mereka akibat materi semata. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kebudayaannya?
* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
Kebudayaan sejatinya merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang menunjukkan identitas dari suatu bangsa di mana kebudayaan tersebut berkembang. Oleh sebab itu, sudah seharusnya baik pemerintah maupun masyarakat melindungi aset yang sangat berharga tersebut. Namun, apa daya. Pemerintah seolah-olah sudah tak lagi peduli pada bidang budaya. Dalam konstitusi kita pun, kebudayaan hanya dirumuskan sebatas definisi, bukan dengan proses penciptaan dan strategi kebudayaan. Akibatnya, seni atau budaya tidak menjadi kebutuhan dasar masyarakat, bukan bagian dari hak hidup masyarakat, dan ruang untuk berekspresi tidak diwadahi oleh negara. Negara justru melakukan kontrol dalam bentuk sensor atau pencekalan terhadap berbagai bentuk seni yang menunjukkan kritisisme masyarakat. Hal yang justru menghilangkan ruang publik dan kebebasan berekspresi.
Tanggung jawab negara terhadap kebudayaan, kemudian malah diambil alih oleh lembaga-lembaga filantropis. Lembaga-lembaga tersebut melihat pentingnya mengembangkan kebudayaan, walaupun tentunya dilihat dari perspektif bisnis. Oleh karena itu, akhirnya kreativitas atau kesadaran berkesenian dikendalikan oleh regulasi pasar. Regulasi itu yang menentukan tinggi atau rendahnya nilai suatu produk kesenian. Akibatnya, kreativitas atau kesadaran berkesenian yang ada dewasa ini menjadi kreativitas atau kesadaran berkesenian semu untuk melayani lembaga-lembaga donor itu. Seniman-seniman yang selama ini banyak mengekspresikan aspirasi masyarakat, terpaksa mengubah keseniannya demi kebutuhan pasar.
Hal ini tak dapat kita salahkan begitu saja karena bagaimanapun juga seniman adalah manusia biasa. Mereka butuh uang dan butuh makan. Kalau untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit, bagaimana mau menyuarakan kepentingan rakyat. Maka, mau tidak mau sebagian besar seniman saat ini menjalankan proses berkesenian hanya sebatas pesanan. Bukan hanya pesanan lembaga-lembaga donor, melainkan juga pesanan atau kemauan seseorang. Seniman-seniman kecil seperti di Pasar Seni Ancol contohnya, melukis atau membuat patung sesuai pesanan pembeli, tidak lagi dengan idealisme mereka. Jika mereka membuat sesuai idealisme pribadi, siapa yang mau membeli dan dari mana seniman itu mendapat uang?
Lalu bagaimana dengan kesenian yang tahu-tahu direbut oleh bangsa lain? Kalau ada kesenian yang menjadi ciri khas kebudayaan kita tiba-tiba hilang atau diklaim oleh negara lain, ini terjadi akibat kita kurang peduli. Kesenian-kesenian tradisional seperti reog, angklung, seni membatik, dan berbagai lagu daerah kurang mendapat apresiasi publik dan subsidi pemerintah. Ketika kesenian-kesenian tersebut diakui sebagai sebagai produk budaya negeri tetangga, kita baru meributkannya. Kita meributkan seolah-olah kita peduli, padahal kita ribut lebih karena sentimen dibandingkan apresiasi terhadap produk-produk kesenian itu. Kalau memang peduli, seharusnya sudah sejak dahulu pemerintah berupaya membantu mematenkan produk-produk kesenian tersebut.
Oleh sebab itu, berkaca dari kejadian-kejadian tersebut, sudah seharusnya bangsa ini, baik pemerintah maupun masyarakat, ikut berpartisipasi dalam melindungi dan melestarikan kebudayaannya. Sebab jika bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikannya. Kita tentu tidak mau lagi ada produk budaya kita yang diambil oleh negara lain. Kita pastinya juga tak ingin para seniman yang awalnya berinteraksi dekat dengan masyarakat mulai berorientasi pada sesuatu yang jauh dari lingkungan mereka akibat materi semata. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kebudayaannya?
* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
1 Comment:
Wah kita memang harus menghargai budaya Indonesia, tetap semangat ya..
Post a Comment