Wednesday, May 27, 2009
Oleh: Toto Sugiarto*
Semua pasangan capres-cawapres mengklaim beraliran ekonomi kerakyatan. Tak terkecuali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono) yang seringkali dimasukkan ke kategori tokoh beraliran neoliberal.
Ia mengecap diri sebagai prorakyat. Sementara Boediono, yang selama ini dikenal sebagai ekonom neoliberal, menyatakan keheranannya dengan cap tersebut seraya menyebutkan bahwa dirinya selalu berpikir tentang kesejahteraan rakyat.
Benarkah pemerintahan Yudhoyono menganut aliran ekonomi kerakyatan? Ataukah klaim SBY-Boediono hanya sebatas strategi kampanye? Kenapa neoliberal, meskipun diyakini kebenarannya, tidak bisa dijual?
Lima Tahun Pemerintahan
Aliran ekonomi yang dianut suatu pemerintahan selalu bisa dilihat dari kebijakannya dan respons pelaku ekonomi terhadap kebijakan tersebut.
Jika kebijakan pemerintah bersifat protektif untuk mengutamakan kepentingan nasional, misalnya melindungi produksi dalam negeri dengan cara menetapkan bea masuk yang tinggi bagi produk-produk tertentu, pengusaha biasanya akan merespons dengan memaksimalkan penggunaan produk lokal untuk bahan baku barang yang ia produksi.
Sebaliknya, jika pemerintah tidak peduli terhadap terjaminnya kepentingan dalam negeri, ia akan menerapkan pasar bebas tanpa reserve.
Dalam hal perdagangan internasional, ia akan menetapkan bea masuk serendah mungkin, bahkan nol persen. Sebagai respons terhadap sikap pemerintah seperti itu, pengusaha akan melirik ke luar. Mereka akan mencari produk bahan baku semurah mungkin, yaitu dengan cara mengimpor. Akibatnya, produsen dalam negeri merana.
Bagaimana dengan kondisi republik setelah hampir lima tahun pemerintahan Presiden Yudhoyono, dengan Boediono juga termasuk di dalamnya? Apakah industri kita, dari hulu sampai hilir, bergairah dan mengalami kemajuan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat dilakukan secara induktif, yaitu dengan cara mengambil beberapa contoh fakta kontemporer sebagai bahan pertimbangan. Pertama, produsen susu dan mi sekarang ini lebih suka menggunakan bahan mentah impor dibanding menggunakan hasil produksi petani indonesia. Kedua, furnitur China membanjiri pasar dan membunuh furnitur dalam negeri, padahal kayunya banyak berasal dari pembabatan hutan di Indonesia. Ketiga, industri otomotif dan elektronik tak beranjak statusnya hanya sebagai “penjahit” merek-merek Jepang, Korea, China, dan India. Keempat, batik asal China mulai mendominasi pasar dan meminggirkan batik Pekalongan, Solo, Yogyakarta, dan batik Indonesia lainnya.
Semuanya terjadi karena kebijakan pemerintah yang menerapkan bea impor sangat rendah. Pemerintah tampak tidak memiliki kehendak untuk melindungi industri dan pertanian dalam negeri.
Selain itu, terdapat fakta lainnya, yaitu pertama, menjamurnya peritel raksasa sampai ke area perumahan sehingga membuat banyak toko kecil gulung tikar. Kedua, menderitanya rakyat yang tanah dan rumahnya tenggelam oleh semburan lumpur yang diakibatkan oleh kesalahan penambangan. Ketiga, ekspor energi yang terus dilakukan tanpa mempertimbangkan tercukupinya kebutuhan dalam negeri.
Semuanya merupakan akibat dari terlalu berpihaknya pemerintah pada pengusaha besar.
Berdasarkan beberapa fakta di atas, pemerintahan Yudhoyono dapat dikategorikan sebagai pemerintahan beraliran neoliberal. Pemerintah yang sedang berjalan sekarang ini adalah pemerintahan propasar bebas dalam pengertian memberi keleluasaan dan perlindungan penuh bagi pemain besar walaupun keleluasaan tersebut berakibat “kematian” bagi kalangan lain (pedagang dan rakyat kecil).
Adapun pernyataan Boediono bahwa dirinya selalu berpikir tentang kesejahteraan rakyat tidak berarti bahwa ia bukan penganut neoliberalisme. Ia penganut lassez faire, dalam arti percaya bahwa dengan kekuatan, dinamika, dan logika pasar, masyarakat yang menerapkan sistem ekonomi bebas pada akhirnya akan mencapai kesejahteraan.
Bagi penganut faham neoliberalisme, kesejahteraan adalah hasil dari proses mekanisme pasar bebas. Itulah cara pencapaian kesejahteraan yang selalu dipikirkan Boediono.
Hal itu tecermin dari pernyataan Boediono bahwa intervensi negara dibutuhkan, namun hendaknya tidak teralu besar agar kreativitas dunia usaha tidak hilang. Pandangan Boediono ini senada dengan Milton Friedman, Bapak Neoliberalisme, yang menyatakan bahwa jika suatu negara ingin mencapai kemajuan ekonomi, peran negara harus diminimalisasi seraya memberikan kebebasan penuh bagi dunia usaha.
Menguntungkan Elite
Tidak adanya kandidat yang berani mengakui diri beraliran neoliberal, padahal dalam keseharian ketika memerintah menunjukkan hal itu, memberi kesan faham ekonomi tersebut merupakan faham yang buruk. Neoliberalisme bukan hanya tidak akan laku dijual, melainkan juga kontraproduktif bagi proses pemenangan kandidat tersebut.
Apakah neoliberalisme bukan “barang jualan” yang bagus? Neoliberalisme sebenarnya bisa menjadi “barang” yang laris manis, yaitu di negara yang masyarakatnya telah mencapai taraf ekonomi yang tinggi. Masyarakat seperti itu adalah masyarakat yang mampu bertahan dalam persaingan.
Dalam masyarakat yang mayoritas taraf ekonominya rendah seperti Indonesia, neoliberalisme hampir dilihat sebagai musuh. Neoliberalisme dipandang sebagai sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Karena itu, dalam setiap pemilu di negara yang rakyatnya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, neoliberalisme merupakan kartu mati. Calon yang dalam dirinya tertempel citra neolib sulit untuk mendapat simpati publik.
Meski demikian, karena sistem neoliberal merupakan sistem yang paling menguntungkan dan memudahkan bagi pemerintah, siapa pun yang memenangi pilpres nanti hampir dapat dipastikan akan menerapkan sistem propasar bebas tersebut. Apalagi jika SBY-Boediono (yang berdasarkan analisis di atas telah menerapkan sistem neoliberal saat ini) yang memenangi persaingan, dapat dipastikan neoliberalisme akan semakin terkonsolidasi di negeri ini.
* Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
Diambil dari Koran Jakarta Jumat, 22 Mei 2009
Tulisan ini juga dapat Anda baca di website Koran Jakarta
Semua pasangan capres-cawapres mengklaim beraliran ekonomi kerakyatan. Tak terkecuali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono) yang seringkali dimasukkan ke kategori tokoh beraliran neoliberal.
Ia mengecap diri sebagai prorakyat. Sementara Boediono, yang selama ini dikenal sebagai ekonom neoliberal, menyatakan keheranannya dengan cap tersebut seraya menyebutkan bahwa dirinya selalu berpikir tentang kesejahteraan rakyat.
Benarkah pemerintahan Yudhoyono menganut aliran ekonomi kerakyatan? Ataukah klaim SBY-Boediono hanya sebatas strategi kampanye? Kenapa neoliberal, meskipun diyakini kebenarannya, tidak bisa dijual?
Lima Tahun Pemerintahan
Aliran ekonomi yang dianut suatu pemerintahan selalu bisa dilihat dari kebijakannya dan respons pelaku ekonomi terhadap kebijakan tersebut.
Jika kebijakan pemerintah bersifat protektif untuk mengutamakan kepentingan nasional, misalnya melindungi produksi dalam negeri dengan cara menetapkan bea masuk yang tinggi bagi produk-produk tertentu, pengusaha biasanya akan merespons dengan memaksimalkan penggunaan produk lokal untuk bahan baku barang yang ia produksi.
Sebaliknya, jika pemerintah tidak peduli terhadap terjaminnya kepentingan dalam negeri, ia akan menerapkan pasar bebas tanpa reserve.
Dalam hal perdagangan internasional, ia akan menetapkan bea masuk serendah mungkin, bahkan nol persen. Sebagai respons terhadap sikap pemerintah seperti itu, pengusaha akan melirik ke luar. Mereka akan mencari produk bahan baku semurah mungkin, yaitu dengan cara mengimpor. Akibatnya, produsen dalam negeri merana.
Bagaimana dengan kondisi republik setelah hampir lima tahun pemerintahan Presiden Yudhoyono, dengan Boediono juga termasuk di dalamnya? Apakah industri kita, dari hulu sampai hilir, bergairah dan mengalami kemajuan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat dilakukan secara induktif, yaitu dengan cara mengambil beberapa contoh fakta kontemporer sebagai bahan pertimbangan. Pertama, produsen susu dan mi sekarang ini lebih suka menggunakan bahan mentah impor dibanding menggunakan hasil produksi petani indonesia. Kedua, furnitur China membanjiri pasar dan membunuh furnitur dalam negeri, padahal kayunya banyak berasal dari pembabatan hutan di Indonesia. Ketiga, industri otomotif dan elektronik tak beranjak statusnya hanya sebagai “penjahit” merek-merek Jepang, Korea, China, dan India. Keempat, batik asal China mulai mendominasi pasar dan meminggirkan batik Pekalongan, Solo, Yogyakarta, dan batik Indonesia lainnya.
Semuanya terjadi karena kebijakan pemerintah yang menerapkan bea impor sangat rendah. Pemerintah tampak tidak memiliki kehendak untuk melindungi industri dan pertanian dalam negeri.
Selain itu, terdapat fakta lainnya, yaitu pertama, menjamurnya peritel raksasa sampai ke area perumahan sehingga membuat banyak toko kecil gulung tikar. Kedua, menderitanya rakyat yang tanah dan rumahnya tenggelam oleh semburan lumpur yang diakibatkan oleh kesalahan penambangan. Ketiga, ekspor energi yang terus dilakukan tanpa mempertimbangkan tercukupinya kebutuhan dalam negeri.
Semuanya merupakan akibat dari terlalu berpihaknya pemerintah pada pengusaha besar.
Berdasarkan beberapa fakta di atas, pemerintahan Yudhoyono dapat dikategorikan sebagai pemerintahan beraliran neoliberal. Pemerintah yang sedang berjalan sekarang ini adalah pemerintahan propasar bebas dalam pengertian memberi keleluasaan dan perlindungan penuh bagi pemain besar walaupun keleluasaan tersebut berakibat “kematian” bagi kalangan lain (pedagang dan rakyat kecil).
Adapun pernyataan Boediono bahwa dirinya selalu berpikir tentang kesejahteraan rakyat tidak berarti bahwa ia bukan penganut neoliberalisme. Ia penganut lassez faire, dalam arti percaya bahwa dengan kekuatan, dinamika, dan logika pasar, masyarakat yang menerapkan sistem ekonomi bebas pada akhirnya akan mencapai kesejahteraan.
Bagi penganut faham neoliberalisme, kesejahteraan adalah hasil dari proses mekanisme pasar bebas. Itulah cara pencapaian kesejahteraan yang selalu dipikirkan Boediono.
Hal itu tecermin dari pernyataan Boediono bahwa intervensi negara dibutuhkan, namun hendaknya tidak teralu besar agar kreativitas dunia usaha tidak hilang. Pandangan Boediono ini senada dengan Milton Friedman, Bapak Neoliberalisme, yang menyatakan bahwa jika suatu negara ingin mencapai kemajuan ekonomi, peran negara harus diminimalisasi seraya memberikan kebebasan penuh bagi dunia usaha.
Menguntungkan Elite
Tidak adanya kandidat yang berani mengakui diri beraliran neoliberal, padahal dalam keseharian ketika memerintah menunjukkan hal itu, memberi kesan faham ekonomi tersebut merupakan faham yang buruk. Neoliberalisme bukan hanya tidak akan laku dijual, melainkan juga kontraproduktif bagi proses pemenangan kandidat tersebut.
Apakah neoliberalisme bukan “barang jualan” yang bagus? Neoliberalisme sebenarnya bisa menjadi “barang” yang laris manis, yaitu di negara yang masyarakatnya telah mencapai taraf ekonomi yang tinggi. Masyarakat seperti itu adalah masyarakat yang mampu bertahan dalam persaingan.
Dalam masyarakat yang mayoritas taraf ekonominya rendah seperti Indonesia, neoliberalisme hampir dilihat sebagai musuh. Neoliberalisme dipandang sebagai sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Karena itu, dalam setiap pemilu di negara yang rakyatnya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, neoliberalisme merupakan kartu mati. Calon yang dalam dirinya tertempel citra neolib sulit untuk mendapat simpati publik.
Meski demikian, karena sistem neoliberal merupakan sistem yang paling menguntungkan dan memudahkan bagi pemerintah, siapa pun yang memenangi pilpres nanti hampir dapat dipastikan akan menerapkan sistem propasar bebas tersebut. Apalagi jika SBY-Boediono (yang berdasarkan analisis di atas telah menerapkan sistem neoliberal saat ini) yang memenangi persaingan, dapat dipastikan neoliberalisme akan semakin terkonsolidasi di negeri ini.
* Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
Diambil dari Koran Jakarta Jumat, 22 Mei 2009
Tulisan ini juga dapat Anda baca di website Koran Jakarta
0 Comments:
Post a Comment