Saturday, May 23, 2009
Oleh: Novri Susan*
Hiruk-pikuk kontestasi meraih kekuasaan tampaknya membawa khilaf humanistis para elite politik. Mereka menjadi lupa makna kekuasaan dalam demokrasi adalah amanah warga untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat.
Bukan proses meraih posisi kekuasaan an sich. Reaksi kekecewaan para elite parpol-parpol terhadap jatuhnya pilihan cawapres SBY kepada sosok Boediono yang nonparpol adalah gambaran jelas dari khilaf humanistis itu.
Walaupun reaksi politis tersebut tidak haram dalam sistem demokrasi yang terbuka bagi eskpresi kepentingan. Namun pola perilaku para elite politik tersebut memperlihatkan absennya paham politik humanistis dari kesadaran para elite politik.
Paham Politik
Pertemuan PAN, PPP, dan PKS yang sempat menghasilkan penundaan kontrak politik untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat memperlihatkan kegelisahan dari hasrat berkuasa yang terancam. Parpol-parpol tersebut selama ini cukup yakin akan mendapatkan jatah kekuasaan melalui cawapres yang diajukan sehingga keputusan SBY merupakan berita buruk terhadap hasrat berkuasa mereka.
Walaupun saat ini parpol-parpol tersebut telah kembali masuk dalam barisan koalisi Demokrat, perilaku para elite di atas bersubstansi pada hasrat kekuasaan semata. Paham politik humanistis akan berbeda dalam menanggapi keputusan politik SBY dan partainya.
Tanggapan itu bisa muncul melalui pertanyaan mengenai konsep humanistis, apakah yang dimiliki cawapres pilihan SBY dalam rangka mendampingi presiden menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa ini? Melalui pertanyaan-pertanyaan humanistis sebenarnya para elite parpol bisa mendapatkan legitimasi kritiknya terhadap SBY.
Kritik politik yang tidak hanya memuat hasrat berkuasa, tetapi juga hasrat humanistis. Lebih jauh lagi, kritik politik humanistis bisa menolong rakyat menemukan calon rezim yang bisa menjadi penolong bagi kesusahan mereka. Namun faktanya sampai detik ini, pertanyaan tersebut tidak muncul sebagai wacana dalam ruang kontestasi capres 2009.
Negara Humanistis
Negara yang mampu menciptakan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas sosial rakyatnya selalu berakar pada paham politik humanistis rezim berkuasa (Tilly, 2007). Hal ini merupakan logika politik sederhana dalam negara demokrasi. Karena politik humanistis menciptakan kebijakan-kebijakan yang berupaya menyelamatkan rakyat dari penderitaan.
Bukan kebijakan yang memarginalkan rakyat kecil seperti kebijakan penggusuran wong cilik tanpa pemecahan masalah, penetapan biaya pendidikan yang melangit, dan perundangan yang hanya menguntungkan pemilik modal besar daripada sektor riil yang bermodal kecil. Walaupun demikian, secara real politic demokrasi, menciptakan negara humanistis sebenarnya adalah proses kontestasi dari berbagai hasrat seperti antara hasrat berkuasa dan hasrat humanistis.
Hanya saja yang mengkhawatirkan, kontestasi menjadi rezim di negara ini hanya terjadi antara hasrat berkuasa dan hasrat berkuasa saja. Jika dilihat secara jujur dan kritis, pasangan SBY-Kalla yang menang dalam kontestasi pemilu 2004 pun merupakan hasil dari kontestasi di antara hasrat-hasrat kekuasaan.
Bertemunya SBY dan Kalla yang kader Golkar bukanlah refleksi koalisi politik humanistis, melainkan perselingkuhan Kalla di belakang Partai Golkar yang memiliki capres sendiri. Perselingkuhan memperlihatkan bahwa Kalla dan faksi-faksinya tidak bisa menahan hasrat berkuasanya.
Pada konteks kontestasi kekuasaan 2009 melalui pemilu presiden dan wakilnya, perilaku para elite politik kembali mempertontonkan kontestasi di antara hasrat-hasrat kekuasaan. Kalla merangkul Wiranto yang menjadi rival pada Pemilu 2004 sebagai sebagai cawapresnya di tahun ini.
Sebelum pemilu legislatif, Kalla memberi sindiran politik kepada Wiranto dan partainya sebagai penumpang gelap Partai Golkar. Namun, uniknya, mereka berpasangan sebagai capres dan cawapres pada 2009. Hal ini tampaknya tidak lepas dari keterpojokan JK yang sudah tidak bisa kembali sebagai cawapres SBY yang berarti ancaman terhadap posisi kekuasaan.
Refleksi dari hasrat berkuasa ini juga diperlihatkan Megawati yang menggandeng Prabowo. Megawati sudah tidak punya pilihan cawapres yang cukup populis untuk mendongkrak suara. Memang, keputusan tersebut harus mengorbankan ingatan kolektif PDI Perjuangan sendiri bahwa di antara Megawati dan Prabowo terdapat sejarah kekerasan yang menjadi tragedi.
Pada dasarnya kontestasi dari hasrat-hasrat kekuasaan elite politik mengaburkan konsep negara humanistis. Pada kondisi ini bagaimana mungkin menciptakan negara yang kebijakan-kebijakannya prorakyat?
Natur Demokrasi
Pada Pemilu Presiden 2009 ini rakyat tengah dihadapkan pada pilihan yang sangat sempit. Karena calon-calon rezim negara ini adalah pantulan kesadaran dari hasrat kekuasaan semata. Warga yang memiliki political question kritis (kecerdasan politik) bisa jadi memilih tidak memilih alias golput walaupun sebagian kalangan menilai golput merupakan pilihan yang kurang bijak dan putus asa.
Karena pilihan untuk tidak menjadi golput bukanlah merupakan cacat moral di tengah hasrat-hasrat kekuasaan yang berkontestasi. Namun ada konsekuensi lain dari pilihan menjadi tidak golput berkaitan upaya terbentuknya negara humanistis, yaitu kembali pada natur demokrasi dengan mengembalikan kekuasaan rakyat dalam politik negara. Rakyat perlu menyadari bahwa merekalah yang berkuasa.
Mekanisme penggunaan kekuasaan rakyat melalui mekanisme politik demokrasi modern harus diinternalisasi sesempurna mungkin. Rakyat perlu mengonsolidasi kapasitas negosiasi politik dalam arena yang disediakan mekanisme demokrasi, memperkuat gerakan tuntutan warga, dan membangun kerja sama lintas kelompok rakyat berbasis pada kepentingan kemanusiaan untuk memengaruhi kebijakan negara.
Melalui natur demokrasi, upaya menciptakan negara humanistis menjadi lebih mungkin daripada hanya menggantungkan harapan pada para elite yang rapuh paham politik humanistisnya.
* Dosen FISIP Unair Surabaya dan Direktur Program DCGI
Diambil dari Harian Seputar Indonesia Jumat, 22 Mei 2009
Tulisan ini juga dapat Anda baca di Okezone
Hiruk-pikuk kontestasi meraih kekuasaan tampaknya membawa khilaf humanistis para elite politik. Mereka menjadi lupa makna kekuasaan dalam demokrasi adalah amanah warga untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat.
Bukan proses meraih posisi kekuasaan an sich. Reaksi kekecewaan para elite parpol-parpol terhadap jatuhnya pilihan cawapres SBY kepada sosok Boediono yang nonparpol adalah gambaran jelas dari khilaf humanistis itu.
Walaupun reaksi politis tersebut tidak haram dalam sistem demokrasi yang terbuka bagi eskpresi kepentingan. Namun pola perilaku para elite politik tersebut memperlihatkan absennya paham politik humanistis dari kesadaran para elite politik.
Paham Politik
Pertemuan PAN, PPP, dan PKS yang sempat menghasilkan penundaan kontrak politik untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat memperlihatkan kegelisahan dari hasrat berkuasa yang terancam. Parpol-parpol tersebut selama ini cukup yakin akan mendapatkan jatah kekuasaan melalui cawapres yang diajukan sehingga keputusan SBY merupakan berita buruk terhadap hasrat berkuasa mereka.
Walaupun saat ini parpol-parpol tersebut telah kembali masuk dalam barisan koalisi Demokrat, perilaku para elite di atas bersubstansi pada hasrat kekuasaan semata. Paham politik humanistis akan berbeda dalam menanggapi keputusan politik SBY dan partainya.
Tanggapan itu bisa muncul melalui pertanyaan mengenai konsep humanistis, apakah yang dimiliki cawapres pilihan SBY dalam rangka mendampingi presiden menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa ini? Melalui pertanyaan-pertanyaan humanistis sebenarnya para elite parpol bisa mendapatkan legitimasi kritiknya terhadap SBY.
Kritik politik yang tidak hanya memuat hasrat berkuasa, tetapi juga hasrat humanistis. Lebih jauh lagi, kritik politik humanistis bisa menolong rakyat menemukan calon rezim yang bisa menjadi penolong bagi kesusahan mereka. Namun faktanya sampai detik ini, pertanyaan tersebut tidak muncul sebagai wacana dalam ruang kontestasi capres 2009.
Negara Humanistis
Negara yang mampu menciptakan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas sosial rakyatnya selalu berakar pada paham politik humanistis rezim berkuasa (Tilly, 2007). Hal ini merupakan logika politik sederhana dalam negara demokrasi. Karena politik humanistis menciptakan kebijakan-kebijakan yang berupaya menyelamatkan rakyat dari penderitaan.
Bukan kebijakan yang memarginalkan rakyat kecil seperti kebijakan penggusuran wong cilik tanpa pemecahan masalah, penetapan biaya pendidikan yang melangit, dan perundangan yang hanya menguntungkan pemilik modal besar daripada sektor riil yang bermodal kecil. Walaupun demikian, secara real politic demokrasi, menciptakan negara humanistis sebenarnya adalah proses kontestasi dari berbagai hasrat seperti antara hasrat berkuasa dan hasrat humanistis.
Hanya saja yang mengkhawatirkan, kontestasi menjadi rezim di negara ini hanya terjadi antara hasrat berkuasa dan hasrat berkuasa saja. Jika dilihat secara jujur dan kritis, pasangan SBY-Kalla yang menang dalam kontestasi pemilu 2004 pun merupakan hasil dari kontestasi di antara hasrat-hasrat kekuasaan.
Bertemunya SBY dan Kalla yang kader Golkar bukanlah refleksi koalisi politik humanistis, melainkan perselingkuhan Kalla di belakang Partai Golkar yang memiliki capres sendiri. Perselingkuhan memperlihatkan bahwa Kalla dan faksi-faksinya tidak bisa menahan hasrat berkuasanya.
Pada konteks kontestasi kekuasaan 2009 melalui pemilu presiden dan wakilnya, perilaku para elite politik kembali mempertontonkan kontestasi di antara hasrat-hasrat kekuasaan. Kalla merangkul Wiranto yang menjadi rival pada Pemilu 2004 sebagai sebagai cawapresnya di tahun ini.
Sebelum pemilu legislatif, Kalla memberi sindiran politik kepada Wiranto dan partainya sebagai penumpang gelap Partai Golkar. Namun, uniknya, mereka berpasangan sebagai capres dan cawapres pada 2009. Hal ini tampaknya tidak lepas dari keterpojokan JK yang sudah tidak bisa kembali sebagai cawapres SBY yang berarti ancaman terhadap posisi kekuasaan.
Refleksi dari hasrat berkuasa ini juga diperlihatkan Megawati yang menggandeng Prabowo. Megawati sudah tidak punya pilihan cawapres yang cukup populis untuk mendongkrak suara. Memang, keputusan tersebut harus mengorbankan ingatan kolektif PDI Perjuangan sendiri bahwa di antara Megawati dan Prabowo terdapat sejarah kekerasan yang menjadi tragedi.
Pada dasarnya kontestasi dari hasrat-hasrat kekuasaan elite politik mengaburkan konsep negara humanistis. Pada kondisi ini bagaimana mungkin menciptakan negara yang kebijakan-kebijakannya prorakyat?
Natur Demokrasi
Pada Pemilu Presiden 2009 ini rakyat tengah dihadapkan pada pilihan yang sangat sempit. Karena calon-calon rezim negara ini adalah pantulan kesadaran dari hasrat kekuasaan semata. Warga yang memiliki political question kritis (kecerdasan politik) bisa jadi memilih tidak memilih alias golput walaupun sebagian kalangan menilai golput merupakan pilihan yang kurang bijak dan putus asa.
Karena pilihan untuk tidak menjadi golput bukanlah merupakan cacat moral di tengah hasrat-hasrat kekuasaan yang berkontestasi. Namun ada konsekuensi lain dari pilihan menjadi tidak golput berkaitan upaya terbentuknya negara humanistis, yaitu kembali pada natur demokrasi dengan mengembalikan kekuasaan rakyat dalam politik negara. Rakyat perlu menyadari bahwa merekalah yang berkuasa.
Mekanisme penggunaan kekuasaan rakyat melalui mekanisme politik demokrasi modern harus diinternalisasi sesempurna mungkin. Rakyat perlu mengonsolidasi kapasitas negosiasi politik dalam arena yang disediakan mekanisme demokrasi, memperkuat gerakan tuntutan warga, dan membangun kerja sama lintas kelompok rakyat berbasis pada kepentingan kemanusiaan untuk memengaruhi kebijakan negara.
Melalui natur demokrasi, upaya menciptakan negara humanistis menjadi lebih mungkin daripada hanya menggantungkan harapan pada para elite yang rapuh paham politik humanistisnya.
* Dosen FISIP Unair Surabaya dan Direktur Program DCGI
Diambil dari Harian Seputar Indonesia Jumat, 22 Mei 2009
Tulisan ini juga dapat Anda baca di Okezone
0 Comments:
Post a Comment