KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Berpemilu dengan Damai

Saturday, June 13, 2009

Oleh: Margarito Kamis*

Hanya dalam damai, setiap orang berbudi akan memperoleh, menemukan, dan merasakan kesejatiannya sebagai warga bangsa. Karena esensinya begitu mengagumkan, hasrat berkehidupan dengan damai itu dibatinkan oleh orang-orang arif dalam pembukaan UUD 1945. Tidak salah kalau hasrat itu dimaknai luas oleh berbagai kalangan sebagai jiwa bangsa.

Berdasarkan esensinya yang agung itulah, maka setiap kali berembus suara-suara kedamaian, tak peduli dari mana asal usulnya, selalu terasa indah dan berkenan di hati setiap orang. Sebab suara damai, seabunawas apa pun suara itu, pasti tergerak, setidaknya bersentuhan dengan ketulusan para pemprakarsanya.

Elok

Keelokan dan keagungan “rasa damai” itu rasanya mulai terusik sedikit dalam beberapa hari kampanye ini. Perang udara dan perang darat yang telah bergema di hari-hari kampanye ini, dan mungkin akan terus berlanjut di hari-hari yang akan datang, tentu mencemaskan. Menariknya, perang ini tidak menggunakan senjata sungguhan, melainkan senjata kaum intelektual – argumen – dan senjata para politisi – siasat, jebakan, dan yang sebangsanya.

Betapapun amunisi utama perang politik pilpres yang ditabuh oleh para politisi dan serdadu-serdadunya, hanya bersenjatakan argumen dan siasat, tetap saja memerahkan dan memanaskan langit politik dan hukum kita. Sindir-menyindir dan bantah-membantah antarcapres kini semakin sering sampai ke telinga kita. Sering kali menjengkelkan, tetapi mau bilang apa.

Menang di udara, belum tentu menang di darat. Sementara menang di darat, pasti menjadi pemenang yang sesungguhnya. Karena itu, perang ini sungguh ketat, berisiko, dan melelahkan. Hanya mereka yang mengenal kelengahan dan kelemahan senti demi senti, menit demi menit, dan hari demi hari, yang dapat menatap sinar kemenangan. Karena itu, argumen dan pergerakan lawan pasti akan dianalisis secara cermat, cepat, dan tepat, agar lawan tidak memiliki kesempatan untuk menari-nari di medan perang, karena merasa telah memenangi perang, sekurang-kurangnya pertempuran.

Di titik itulah, keadaban berpemilu dipertaruhkan. Kesantunan, yang sejatinya merupakan pantulan dari kualitas suara moral yang bersemayam di hati, bukan di otak, dan yang kita perlukan, kini betul-betul berada dalam ujian berat. Semua orang tahu, capres dan cawapres dalam pilpres saat ini adalah orang-orang yang dulunya bersahabat satu dengan yang lainnya. Kini mereka, entah sungguh-sungguh ingin mengabdi kepada rakyat atau sepenuhnya demi harga diri mereka, atau karena empuknya kursi presiden, harus bersaing satu dengan yang lainnya, lalu sindir-menyindir dan bantah-membantah di panggung pemilu.

Bersahabat memang tidak mesti membutakan mata hati terhadap kesalahan sang sahabat. Sahabat sejati adalah sahabat yang mampu menunjukkan kesalahan sang sahabat. Bung Hatta, sosok yang terkenal kesahajaannya itu, dan begitu kokoh berpegang pada nilai-nilai moral, tidak membiarkan Bung Karno, sang sahabatnya, tergelincir dalam memimpin bangsa. Begitu lugas Bung Hatta mengkritik Bung Karno. Eloknya, Bung Hatta di sini terlihat mutu moralnya, tetap bertegur sapa dengan Bung Karno dengan suasana kekeluargaan yang hangat. Sungguh elok.

Menang dalam Damai

Meminta para capres dan cawapres untuk bertarung dengan kekuatan ketulusan khas orang-orang bermartabat, karena memiliki moralitas tinggi, pasti bukan sebuah dambaan konyol. Meminta mereka untuk mengontrol isu yang mesti digulirkan, baik oleh mereka sendiri maupun para penyokong utamanya, juga pasti bukan sebuah perkara yang sangat istimewa. Honesty, integrity, and trustworthiness, yang oleh George C Edwards dan Stephen J Wayne dilukiskan sebagai atribut-atribut esensial seorang presiden, pasti diketahui oleh para capres dan cawapres ini.

Tetapi konyol rasanya untuk berharap mereka tidak lagi mengatur penampilan di panggung pemilu ini. Mereka, mungkin baru berhenti ketika hukum melarang mereka untuk berhenti mendandani kata demi kata dan isu demi isu yang akan mereka lemparkan ke dalam panggung pemilu selama masa kampanye ini. Mereka tidak akan berhenti untuk terus membangun presidential image, selagi hukum memungkinkannya. Konyol juga untuk meminta mereka tidak lagi bepergian menemui pemilik republik ini, selagi hukum belum berkata apa-apa tentang apa saja yang memungkinkan mereka menang atau mengakibatkan mereka kalah.

Mereka – para capres dan cawapres ini pasti mengetahui kalau Theodore Roosevelt berpidato sebanyak 673 kali, mengunjungi kota di negara-negara bagian sebanyak 567 kali, yang kalau diletakkan dalam hitungan miles setara dengan 21.209 miles. Semuanya dilakukan oleh Roosevelt ketika berkampanye menantang William Jening Bryan yang hanya menempuh jarak perjalanan kampanye sejauh 18.000 miles.

Mengajarkan kepada para capres dan cawapres untuk selalu damai dalam berkampanye, pasti akan menjadi sebuah hal yang sangat konyol, karena mereka adalah arsitek-arsitek perdamaian. Tetapi, terlalu naif untuk tidak mengingatkan mereka, betapapun mereka adalah orang-orang, yang mungkin, berkemauan sama dengan kita. Soal kemauan ini, menarik memperhatikan moto Jimmy Carter ketika berkampanye. Katanya, “I want what you want.”

Berpemilu dalam damai menjadi begitu penting buat Indonesia, bukan karena damai disyaratkan oleh para pemilik modal asing dan dalam negeri sebagai sebuah unsur penting dalam membangun tata lingkungan investasi, tetapi lebih dari itu. Berpemilu damai, merupakan sisi lain kecintaan kita terhadap élan konstitusi – élan bangsa Indonesia – yang dengan begitu sadar ditorehkan oleh para founding fathers dalam pembukaan UUD 1945, puluhan tahun yang lalu.

Deklarasi kampanye damai, karena spiritnya, mesti direnungi, diresapi, dan diaktualisasikan oleh, bukan hanya para pemilih, melainkan, terutama oleh para capres dan cawapres dengan segenap penyokong utamanya. Menanglah dalam damai, dan damailah dalam menggapai kemenangan. Menang dan kalah adalah hukum pasti dalam sebuah pertandingan. Semuanya memiliki rahasia tersendiri, dan hanya orang-orang besar yang sesungguhnya, yang mampu mengenali rahasianya. Tetapi menang dan kalah dalam damai akan mengantarkan jiwa ke dalam kedamaian sejati. Semoga.

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

Diambil dari Koran Jakarta Jumat, 12 Juni 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di website Koran Jakarta

0 Comments: