Thursday, June 04, 2009
Oleh: Syamsul Hadi*
Dalam A Short History of Neoliberalism (2000), Susan George mengingatkan kita tentang sifat relatif paham neoliberal. Ia hanya konstruksi sebuah zaman saat korporasi dilihat sebagai sumber utama kemakmuran tiap bangsa dan negara dilihat sebagai ”ancaman” bagi efisiensi dan produktivitas pasar.
Secara struktural, gelombang neoliberalisme yang dimulai awal 1980-an merupakan ”arus atas” dari perubahan struktur produksi kapitalisme, dari produksi yang bersifat massal (fordism-taylorism) kepada suatu produksi yang mengandalkan teknologi informasi dan digital, dengan pergerakan kapital finansial yang enggan dibatasi oleh ruang (baca: kedaulatan negara) dan waktu.
Dalam Empire (2001), Michael Hardt dan Antonio Negri menyebutkan ini sebagai postmodernization dari sistem kapitalisme, yang diwarnai pergerakan dari sektor industri ke sektor tertier (jasa, finansial), dengan peran sentral pengetahuan, informasi, dan komunikasi yang bergerak cepat. ”Kebebasan pasar” menjadi kata kunci yang mengaitkan ekonomi antarnegara ke dalam suatu interdependensi global.
Gelombang perubahan
Periode ”hegemoni” paham neoliberal tercatat sebagai periode paling rentan bagi hadirnya krisis finansial, seperti terjadi di seluruh Amerika Latin (1980-an), Meksiko (1994), dan Asia Timur (1997-1998). Klimaksnya, krisis finansial global yang melanda dunia sejak dua tahun terakhir yang telah mengantarkan neoliberalisme pada titik nadirnya.
Seperti tecermin dalam diskusi di forum-forum mainstream semacam KTT G-20, kini tak seorang pun membantah, liberalisasi ekonomi yang kebablasan menjadi penyebab krisis global yang menyebabkan puluhan juta orang kehilangan kerja dan terperosok dalam kemiskinan.
”Ruang ekonomi bebas” ternyata dimanipulasi pelaku pasar finansial untuk tujuan-tujuan pengayaan diri secara instan dengan mengorbankan mayoritas anggota masyarakat. Pada saat kehancuran sektor finansial merembet pada sektor riil, peran negara untuk menyelamatkan ekonomi nasional lalu menjadi pilihan tak terhindarkan.
Dalam konteks IMF, yang dalam dua dekade terakhir identik dengan kejemawaan paham neoliberal, perubahan orientasi dan perspektif sesungguhnya telah dimulai saat Dominique Strauss-Kahn dilantik menjadi Managing Director IMF pada tahun 2007, saat dengan jelas dia menyatakan, tanpa adanya perubahan orientasi dalam kebijakan ekonomi, IMF akan kehilangan relevansinya. Strauss-Kahn juga tidak segan-segan mengkritik sikap ”fundamentalisme pasar” pendahulunya, seperti dilakukannya dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Januari 2008.
Jelas bahwa Strauss-Kahn telah belajar dari kegagalan Structural Adjustment Program IMF yang dipaksakan di Asia, Rusia, dan Amerika Latin pada era 1980-an dan 1990-an. Dukungan ”IMF baru” pada peningkatan peran negara dalam ekonomi tecermin dalam anjuran Strauss-Kahn atas negara-negara Eropa untuk memperbesar stimulus pemerintah atas perekonomian, selain kritiknya atas keraguan Pemerintah AS dalam menuntaskan persoalan aset-aset bermasalah di sektor perbankan.
Secara masif, gelombang ”pengingkaran global” atas neoliberalisme justru dimulai di AS, ”tanah kelahiran” neoliberalisme sendiri, saat krisis finansial memaksa pemerintah melakukan bail out triliunan dollar AS untuk menyangga sektor korporasi yang terancam runtuh.
Perbankan AS secara efektif telah dinasionalisasi pada Oktober 2008, hampir berbarengan dengan pemberian dana negara 25 miliar dollar AS kepada the big three di sektor otomotif (General Motors, Chrysler, dan Ford). Lebih mengejutkan lagi, pada Februari 2009 Kongres AS mengeluarkan regulasi ”Buy American” yang jelas mengingkari prinsip pasar bebas (salah satu substansi pokok neoliberalisme) karena mengharuskan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pekerjaan umum (public works) menggunakan produk baja dalam negeri.
Di bawah Obama, peran aktif pemerintah bukan hanya diarahkan untuk memulihkan kekuatan sektor korporasi, tetapi juga memulai rekayasa ekonomi berbasis lingkungan (green economy) serta memperluas komitmen negara bagi kesehatan dan jaminan-jaminan sosial lain.
Di bawah Obama, AS bukan hanya telah mengingkari prinsip pembatasan peran ekonomi negara dalam model Anglo-Saxon Capitalism, tetapi juga makin mendekat kepada model welfare state Eropa yang ditandai oleh peningkatan budget besar-besaran untuk kesejahteraan sosial. OECD memprediksi terjadinya kenaikan belanja Pemerintah AS ke angka 40 persen pada tahun 2010 setelah satu dekade sebelumnya hanya mencapai 34 persen (Newsweek, 16/2).
Kapitalisme negara?
Ian Bremmer (State Capitalism Comes of Age: the End of Free Market?, Foreign Affairs, Mei/Juni 2009) menyatakan, kehadiran krisis global dua tahun terakhir menyebabkan peningkatan intervensi negara/pemerintah bukan hanya di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara paling maju (developed countries).
Bremmer menyebutkan ini sebagai gelombang ”kapitalisme negara” (state capitalism) yang memfungsikan negara sebagai leading economic actor yang mengarahkan pasar untuk berbagai tujuan politik, ekonomi, dan sosial. Rule of the game akan bergeser dari keniscayaan neoliberal seperti liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi, kepada peningkatan efektivitas peran negara dalam pembangunan sosial-ekonomi.
Pandangan Bremmer jelas mewakili ”semangat zaman” terbaru setelah hadirnya krisis finansial global. Kemungkinan besar model ”kapitalisme negara” hanyalah konstruksi paradigmatis sementara yang muncul sebagai respons atas ”fundamentalisme pasar” (baca: neoliberalisme) yang telah memenjara masyarakat dunia dalam lingkaran krisis demi krisis.
Meminjam Anthony Giddens, ke depan kita butuh ”Jalan Ketiga” (Third Way) yang dapat menjamin keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, ketahanan ekologi, dan keadilan sosial. Bukankah ekstremitas dan fanatisme selalu membuahkan tragedi?
* Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
Diambil dari Kompas Rabu, 3 Juni 2009
Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak
Dalam A Short History of Neoliberalism (2000), Susan George mengingatkan kita tentang sifat relatif paham neoliberal. Ia hanya konstruksi sebuah zaman saat korporasi dilihat sebagai sumber utama kemakmuran tiap bangsa dan negara dilihat sebagai ”ancaman” bagi efisiensi dan produktivitas pasar.
Secara struktural, gelombang neoliberalisme yang dimulai awal 1980-an merupakan ”arus atas” dari perubahan struktur produksi kapitalisme, dari produksi yang bersifat massal (fordism-taylorism) kepada suatu produksi yang mengandalkan teknologi informasi dan digital, dengan pergerakan kapital finansial yang enggan dibatasi oleh ruang (baca: kedaulatan negara) dan waktu.
Dalam Empire (2001), Michael Hardt dan Antonio Negri menyebutkan ini sebagai postmodernization dari sistem kapitalisme, yang diwarnai pergerakan dari sektor industri ke sektor tertier (jasa, finansial), dengan peran sentral pengetahuan, informasi, dan komunikasi yang bergerak cepat. ”Kebebasan pasar” menjadi kata kunci yang mengaitkan ekonomi antarnegara ke dalam suatu interdependensi global.
Gelombang perubahan
Periode ”hegemoni” paham neoliberal tercatat sebagai periode paling rentan bagi hadirnya krisis finansial, seperti terjadi di seluruh Amerika Latin (1980-an), Meksiko (1994), dan Asia Timur (1997-1998). Klimaksnya, krisis finansial global yang melanda dunia sejak dua tahun terakhir yang telah mengantarkan neoliberalisme pada titik nadirnya.
Seperti tecermin dalam diskusi di forum-forum mainstream semacam KTT G-20, kini tak seorang pun membantah, liberalisasi ekonomi yang kebablasan menjadi penyebab krisis global yang menyebabkan puluhan juta orang kehilangan kerja dan terperosok dalam kemiskinan.
”Ruang ekonomi bebas” ternyata dimanipulasi pelaku pasar finansial untuk tujuan-tujuan pengayaan diri secara instan dengan mengorbankan mayoritas anggota masyarakat. Pada saat kehancuran sektor finansial merembet pada sektor riil, peran negara untuk menyelamatkan ekonomi nasional lalu menjadi pilihan tak terhindarkan.
Dalam konteks IMF, yang dalam dua dekade terakhir identik dengan kejemawaan paham neoliberal, perubahan orientasi dan perspektif sesungguhnya telah dimulai saat Dominique Strauss-Kahn dilantik menjadi Managing Director IMF pada tahun 2007, saat dengan jelas dia menyatakan, tanpa adanya perubahan orientasi dalam kebijakan ekonomi, IMF akan kehilangan relevansinya. Strauss-Kahn juga tidak segan-segan mengkritik sikap ”fundamentalisme pasar” pendahulunya, seperti dilakukannya dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Januari 2008.
Jelas bahwa Strauss-Kahn telah belajar dari kegagalan Structural Adjustment Program IMF yang dipaksakan di Asia, Rusia, dan Amerika Latin pada era 1980-an dan 1990-an. Dukungan ”IMF baru” pada peningkatan peran negara dalam ekonomi tecermin dalam anjuran Strauss-Kahn atas negara-negara Eropa untuk memperbesar stimulus pemerintah atas perekonomian, selain kritiknya atas keraguan Pemerintah AS dalam menuntaskan persoalan aset-aset bermasalah di sektor perbankan.
Secara masif, gelombang ”pengingkaran global” atas neoliberalisme justru dimulai di AS, ”tanah kelahiran” neoliberalisme sendiri, saat krisis finansial memaksa pemerintah melakukan bail out triliunan dollar AS untuk menyangga sektor korporasi yang terancam runtuh.
Perbankan AS secara efektif telah dinasionalisasi pada Oktober 2008, hampir berbarengan dengan pemberian dana negara 25 miliar dollar AS kepada the big three di sektor otomotif (General Motors, Chrysler, dan Ford). Lebih mengejutkan lagi, pada Februari 2009 Kongres AS mengeluarkan regulasi ”Buy American” yang jelas mengingkari prinsip pasar bebas (salah satu substansi pokok neoliberalisme) karena mengharuskan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pekerjaan umum (public works) menggunakan produk baja dalam negeri.
Di bawah Obama, peran aktif pemerintah bukan hanya diarahkan untuk memulihkan kekuatan sektor korporasi, tetapi juga memulai rekayasa ekonomi berbasis lingkungan (green economy) serta memperluas komitmen negara bagi kesehatan dan jaminan-jaminan sosial lain.
Di bawah Obama, AS bukan hanya telah mengingkari prinsip pembatasan peran ekonomi negara dalam model Anglo-Saxon Capitalism, tetapi juga makin mendekat kepada model welfare state Eropa yang ditandai oleh peningkatan budget besar-besaran untuk kesejahteraan sosial. OECD memprediksi terjadinya kenaikan belanja Pemerintah AS ke angka 40 persen pada tahun 2010 setelah satu dekade sebelumnya hanya mencapai 34 persen (Newsweek, 16/2).
Kapitalisme negara?
Ian Bremmer (State Capitalism Comes of Age: the End of Free Market?, Foreign Affairs, Mei/Juni 2009) menyatakan, kehadiran krisis global dua tahun terakhir menyebabkan peningkatan intervensi negara/pemerintah bukan hanya di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara paling maju (developed countries).
Bremmer menyebutkan ini sebagai gelombang ”kapitalisme negara” (state capitalism) yang memfungsikan negara sebagai leading economic actor yang mengarahkan pasar untuk berbagai tujuan politik, ekonomi, dan sosial. Rule of the game akan bergeser dari keniscayaan neoliberal seperti liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi, kepada peningkatan efektivitas peran negara dalam pembangunan sosial-ekonomi.
Pandangan Bremmer jelas mewakili ”semangat zaman” terbaru setelah hadirnya krisis finansial global. Kemungkinan besar model ”kapitalisme negara” hanyalah konstruksi paradigmatis sementara yang muncul sebagai respons atas ”fundamentalisme pasar” (baca: neoliberalisme) yang telah memenjara masyarakat dunia dalam lingkaran krisis demi krisis.
Meminjam Anthony Giddens, ke depan kita butuh ”Jalan Ketiga” (Third Way) yang dapat menjamin keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, ketahanan ekologi, dan keadilan sosial. Bukankah ekstremitas dan fanatisme selalu membuahkan tragedi?
* Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
Diambil dari Kompas Rabu, 3 Juni 2009
Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak
0 Comments:
Post a Comment