KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Prasyarat Karakter Kepresidenan

Tuesday, June 09, 2009

Oleh: Yudi Latif*

Pada episentrum krisis kepemimpinan yang menimbulkan gempa krisis nasional bersemayam krisis karakter. Usaha kita keluar dari krisis tak bisa mengandalkan sekadar politics as usual, melainkan perlu menempatkan persoalan karakter sebagai pusat ukuran kepemimpinan.

Karakter mencerminkan kepribadian seseorang atau sekelompok orang yang terkait dengan basis moralitas, kekhasan kualitas, serta ketegaran dalam krisis. Ia merupakan jangkar jati diri karena merupakan aspek evaluatif yang menentukan sikap dasar manusia terhadap diri dan dunianya.

Meminjam ungkapan Franklin D Roosevelt, The presidency is preeminently a place of moral leadership. Keberhasilan seorang presiden ditentukan oleh modal moral serta kemampuannya berfungsi efektif dalam suatu budaya yang mencerminkan keragaman dan ketidakpastian moralitas.

Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik. Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, tetapi juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi perilaku rakyat.

Ketiga pasang calon presiden-calon wakil presiden Indonesia saat ini memperlihatkan basis moralitas yang berbeda. Pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto menonjol pada moralitas ”keadilan”, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada moralitas ”kebersihan”, dan pasangan Mohammad Jusuf Kalla-Wiranto pada moralitas ”pelayanan”.

Tindakan politik

Masalahnya, karena pemimpin politik dituntut menjadikan karakter moralitas perseorangan itu menjadi karakter moralitas rakyatnya, maka basis moralitas itu perlu diterjemahkan ke dalam ”tindakan politik”.

Hal ini menyangkut kinerja pemimpin dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya.

Karena ukuran-ukuran perilaku itu juga masih abstrak, moralitas juga memerlukan ”keteladanan”; menyangkut contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik.

Kemampuan menularkan keteladanan ini pada akhirnya ditentukan oleh kemampuan ”komunikasi politik” untuk menyosialisasikan gagasan dan nilai moralitasnya dalam bahasa persuasif efektif yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas rakyatnya.

Sungguh pun ketiga pasang, lewat berbagai iklan politik, mulai bisa diidentifikasi basis moralitasnya, publik politik masih meragukan kemampuan mereka menerjemahkannya ke dalam tindakan politik, keteladanan, dan komunikasi politik yang efektif.

Padahal, pada titik konsistensi inilah kesejatian seorang pemimpin diuji, yakni dalam kesatuan antara janji dan perbuatan.

Selain basis moralitas, karakter pemimpin juga ditentukan oleh kualitas khasnya yang membedakan dirinya dari orang lain. Kekhasan ini menjadi titik keunggulan atau membuat kelemahan menjadi kekuatan, yang pada gilirannya harus diterjemahkan ke dalam perbedaan dalam menentukan prioritas nasional.

Ahli kepresidenan, Stephen Hess, menjelaskan, ”Ketimbang sebagai chief manager, presiden adalah chief political officer dari sebuah republik.” Sebagai pejabat politik, tanggung jawab utama seorang presiden adalah membuat sejumlah kecil keputusan politik yang amat signifikan, seperti menentukan prioritas nasional, yang diterjemahkan ke dalam anggaran dan proposal legislasi.

Presiden juga dituntut bertindak sistematis untuk mendefinisikan mandat dan watak kepemimpinannya, selain harus menempatkan orang-orang yang loyal terhadap agendanya dalam posisi-posisi kunci.

Ideologi kerja

Dalam mendefinisikan mandat kepemimpinannya, pertama-tama seorang presiden harus memiliki landasan ideologi kerja berupa seperangkat prinsip dasar sebagai haluan kebijakan. Ideologi kerja ini sudah harus dinyatakan dalam kampanye yang bisa memberikan semacam jangkar nilai dan suar arah kepada publik pemilih. Dalam hal ini, ideologi presiden terkait dengan ideologi partai politik yang mendukungnya. Situasi Indonesia hari ini justru tak menunjukkan kejelasan dalam basis ideologi partai dan pembentukan koalisi. Ketidakjelasan basis nilai koalisi bisa membuat presiden terpilih pun tak punya prinsip dasar dan watak yang jelas pula.

Jika ada kejelasan ideologis, sebuah platform bisa diturunkan dengan prioritas yang jelas. Karena presiden tidak bisa mengurus dan menyelesaikan semua urusan pemerintahan, agenda pemerintahannya harus jelas dan terbatas dengan arahan jelas. Presiden harus menunjukkan fokus dalam mendefinisikan, dan keefektifan dalam mengejar, agenda substantifnya, demi memudahkan mobilisasi sumber daya serta menawarkan sense of direction bagi aparat pemerintahan, publik, dan media. Ambisi menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini.

Keberanian menentukan fokus terkait dengan karakter ketiga yang diperlukan seorang pemimpin, yakni ketegaran; kemampuan menghadapi kesulitan, ketidakenakan, dan kegawatan. Seorang pemimpin harus menjadi jangkar keyakinan dalam samudra ketidakpastian dan ketidakpercayaan.

Pemimpin pada masa krisis memerlukan kecepatan dan ketepatan untuk membidik jantung krisis. Untuk itu, perlu keberanian menentukan pilihan dan menghadapi pihak-pihak antiperubahan. Namun, ada risiko besar bagi presiden yang terlalu berhati-hati mencari jalan aman: peluang lewat, momentum lenyap, sinisme menguat.

Dengan prasyarat karakter yang diperlukan, publik bisa menilai pasangan mana yang mendekati tipe ideal yang diidamkan. Selanjutnya terserah Anda!

* Direktur Eksekutif Reform Institute

Diambil dari Kompas Selasa, 9 Juni 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Kompas Cetak

0 Comments: