KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Pertarungan Koki Politik

Saturday, June 06, 2009

Oleh: Moch Nurhasim*

Pertarungan isu-isu politik menjelang pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden 8 Juli 2009 mendatang semakin sengit. Isu politik sebagai suatu agenda politik yang memengaruhi citra politik tiap calon dikemas oleh para koki politik.

Tiap calon telah memilih para koki politik masing-masing. Kehadiran koki politik dalam perebutan kursi RI-1 dan RI-2 ini bukanlah hal yang baru. Sejak munculnya pemilihan presiden-wakil presiden dan kepala daerah secara langsung, lahir beberapa kelompok yang dapat disebut sebagai koki politik. Koki politik ini memiliki tugas untuk mengemas gagasan, visi-misi, dan program kerja para calon presiden-wakil presiden lima tahun mendatang.

Kemasan yang mereka hasilkan dapat berubah iklan, spanduk, bahan pidato, dan mobilisasi isu serta gagasan. Peran mereka ini cukup penting dalam dua hal. Pertama, memengaruhi calon presiden-wakil presiden dalam menetapkan prioritas isu politik, jargon hingga simbol-simbol body language untuk memengaruhi pemilih.

Kedua, mereka juga bertugas meracik "makanan" yang khas untuk calonnya dan yang memiliki cita rasa sesuai dengan lidah rakyat Indonesia. Sejauh mana cita rasa dan kemasan para koki politik ini akan dicerna oleh masyarakat pemilih di Indonesia?

Dari Isu Keluarga hingga SARA

Politik isu, agenda politik, dan setting politik merupakan instrumen yang dipergunakan untuk memengaruhi pemilih. Dalam ranah pertarungan politik untuk memperebutkan kekuasaan dikenal istilah black campaign (kampanye hitam) yang isinya adalah caci maki dan saling memojokkan.

Kampanye hitam bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara demokrasi. Perdebatan biasanya mencakup apa yang harus diketahui dari seorang calon? Apakah seorang calon harus "dikuliti" mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki? Artinya, tidak ada lagi ranah pribadi karena semua diri calon adalah menjadi ranah publik.

Semua bisa dikomentari, semua bisa dipergunjingkan, mulai dari gaya bicara, gaya berpakaian, anak-istri, gaya memimpin, gaya berpolitik hingga perilaku politik seorang calon. Dengan alasan tidak ada lagi ranah pribadi, demokrasi dalam suatu sistem pemilihan presiden dan wakil presiden sepantasnya memberikan ruang kritis bagi pemilih untuk menimbang dan memahami siapa calon pemimpinnya.

Jika demokrasi meletakkan landasan tidak ada ranah pribadi bagi seorang calon presiden-wakil presiden, itu berarti semua dapat diperbincangkan dan semua dapat dipertanyakan. Masalahnya, ruang semacam itu sulit untuk ditemukan. Alasannya, masyarakat sudah terbelah-belah oleh politik dukungan dan mobilisasi.

Para koki politik pasangan JK-Wiranto misalnya mengemas jargon mereka sebagai yang paling cepat dan berani bertanggung jawab atau berani mengambil risiko. Kelompok kedua adalah pasangan Mega-Pro yang berjargon sebagai calon presiden wong cilik dengan ekonomi kerakyatan.

Sisanya, kubu incumbent, SBY-Boediono juga mengemas citra politik sebagai calon presiden yang baik, mulai dari keluarga hingga dalam gaya kepemimpinan. Untuk menggodok citra politik itu, para koki politik mulai memunculkan sentilan-sentilan politik "citra". Ketika Boediono diusung, muncullah isu neoliberal yang menghantam kubu SBY-Boediono.

Iklan politik pun akhirnya menjelaskan makna dari neoliberal itu dan apa dampaknya bagi Indonesia. SBY bahkan kemudian memerintahkan agar menyiapkan 12 isu untuk menangkis isu-isu politik yang berkembang mulai dari isu neoliberal versus kerakyatan, isu kebangsaan-pluralisme hingga soal utang luar negeri. Demikian pula ketika pasangan Mega-Pro memilih deklarasi secara sederhana dan tidak mewah di Tempat Pembuangan Sampah Bantar Gebang.

Ada pesan yang diramu oleh para koki politik untuk menampilkan citra dan kedekatan kelompok ini kepada rakyat kecil (wong cilik). Pertarungan gagasan itulah yang digodok oleh para koki politik. Para koki politik ini memiliki peran yang cukup signifikan semisal menyiapkan iklan dan simbol-simbol pertarungan. Bahkan para koki politik SBY, Fox Indonesia, misalnya mengubah iklan Indomie dengan lagu SBY presidenku.

Sementara itu, Prabowo tetap konsisten dengan gaya politik kerakyatan yang terus mengingatkan bangsa ini agar kekayaannya tidak diambil oleh negara asing. Inti dari pertarungan gagasan itu tentu bertujuan memengaruhi rakyat Indonesia.

Dalam konteks perang gagasan, ada kecenderungan bahwa para koki politik ini mengemas citra yang bagus-bagus, sementara itu koki politik di luarnya mencoba untuk merasakan kemasan itu dan timbullah respons. Respons para koki biasanya justru respons yang negatif, bahkan respons yang tidak cerdas dan emosional.

Menutupi Kelemahan

Dari pertarungan isu-isu politik yang sedang dipamerkan di televisi hingga media cetak, ada kecenderungan bahwa para koki politik menampilkan politik poles wajah. Tujuannya adalah melakukan kemasan yang menarik dari diri seorang calon presiden.

Sosok mereka selalu ditampilkan dengan gaya dan polesan yang baik-baik. Nyaris informasi yang jelas tidak diperoleh oleh publik untuk mengetahui kelemahan tiap calon. Usaha rakyat untuk mencari apa yang orisinal dari calon itu kadang menemui hambatan dan kendala.

Selain disebut sebagai black campaign, juga dapat dianggap melakukan pencemaran nama baik dan tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan dapat dipenjarakan. Dengan kondisi demikian, informasi ke publik relatif tidak sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya.

Rakyat sebenarnya disuguhi informasi-informasi yang sudah direkayasa sedemikian rupa yang menampilkan para calon itu ibarat dewa yang tidak punya kelemahan. Ini semua dampak dari distorsi pencitraan sebagai "satu-satunya" cara agar calon mereka dipilih oleh rakyat.

Masalahnya, apakah pencitraan politik yang berlebihan ini tidak dapat dianggap sebagai kebohongan publik? Suatu upaya untuk menutupi informasi yang sebenarnya, hanya menampilkan yang baik-baik saja, sedangkan yang buruk ditaruh di bawah bantal, tidak boleh dimunculkan ke permukaan.

Hingga saat ini, kita pun sulit untuk mencari bukti ilmiah apa yang berhasil dan gagal dari pemerintahan yang sedang berjalan? Jika kita mengikuti alur kampanye incumbent, seakan-akan tidak ada masalah bagi Indonesia, semuanya baik-baik saja. Semua ini sebagai dampak dari tidak adanya ukuran dan tanggung jawab presiden terpilih untuk merealisasi visi, misi, dan programnya jika mereka terpilih kelak.

Selain itu, visi, misi, dan program para calon terkesan abstrak sehingga ketika mereka terpilih sulit untuk dimintai pertanggungjawaban dari daftar menu yang ditawarkan, berapa persen yang sudah direalisasi untuk rakyat Indonesia? Jika kita mengulang cara-cara yang sama pada Pilpres 2004 lalu, tentu rakyat Indonesia akan disuguhi janji-janji yang sama sebagai angin surga. Padahal, kebanyakan angin akan mengakibatkan rakyat Indonesia menjadi kembung.

* Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta

Diambil dari Harian Seputar Indonesia Jumat, 5 Juni 2009

Tulisan ini juga dapat Anda baca di Okezone

0 Comments: