Wednesday, August 12, 2009
Oleh: Pradono Budi Saputro*
Beberapa tahun terakhir ini, Indonesia seperti tak henti-hentinya ditimpa musibah. Bencana alam silih berganti mendatangi negeri ini. Hampir sebulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 17 Juli 2009, kita ditimpa musibah lain. Saat itu terjadi ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton yang berlokasi di kawasan sentra bisnis Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Ledakan bom yang diduga kuat terkait dengan aksi terorisme itu tak pelak membuat image negeri ini kembali terpuruk, di samping batalnya klub sepak bola ternama Inggris Manchester United bertandang ke Indonesia.
Belum habis pemberitaan mengenai teror bom, bangsa ini kembali dikejutkan dengan meninggalnya dua orang seniman kenamaan, Mbah Surip dan WS Rendra, yang hanya berselang dua hari. Mbah Surip adalah seorang seniman fenomenal yang “tumbuh besar” dari perjalanan hidupnya sebagai seorang penyanyi jalanan. Pria yang dilahirkan dengan nama Urip Achmad Rijanto di Mojokerto, Jawa Timur pada tanggal 6 Mei 1949 (ada pula yang mengatakan 1957) ini merupakan sosok yang sangat sederhana dan bersahaja. Perjalanan kariernya tidak dibangun secara instant melalui ajang-ajang pencari bakat yang diselenggarakan oleh berbagai stasiun televisi. Ia menjalani kehidupan yang keras selama puluhan tahun sebagai seorang penyanyi jalanan. Melalui berbagai komunitas seniman jalanan, nama Mbah Surip mulai dikenal. Walaupun kita tidak dapat pula menafikan peran televisi dalam melambungkan namanya beberapa bulan terakhir ini.
Membuat album rekaman bukan merupakan hal baru bagi Mbah Surip. Pria yang namanya melambung berkat lagu hits-nya yang berjudul “Tak Gendong” ini sebenarnya sudah pernah menelurkan lima album. Namun, baru beberapa bulan ini ia naik daun dengan sangat pesat akibat lagu “Tak Gendong” tersebut. Konon, dari penjualan ringback tone (RBT) lagu tersebut, ia mampu meraup keuntungan milyaran rupiah. Meskipun disebut-sebut sebagai “orang kaya mendadak”, ia tetap rendah diri dan tak sungkan-sungkan bergaul dengan orang-orang dari kalangan manapun. Lagu “Tak Gendong” sendiri, yang kabarnya ia ciptakan saat sedang berada di luar negeri, menggambarkan bahwa kita, sebagai makhluk sosial, harus saling bahu-membahu. Dengan saling bahu-membahu, apapun akan menjadi lebih mudah dibanding bila kita bekerja sendiri.
Karena sosoknya yang unik dan nyentrik tetapi juga sangat supel dan humoris itulah, banyak orang menyukainya. Sampai-sampai ketika ia wafat pada tanggal 4 Agustus lalu, berbagai media meliput secara eksklusif. Presiden SBY pun sampai-sampai merasa harus membuat pidato kenegaraan tak resmi berkaitan dengan meninggalnya seniman yang berambut gimbal ala Bob Marley tersebut.
Hanya berselang dua hari setelah meninggalnya Mbah Surip, seorang sastrawan dan budayawan besar yang kerap dijuluki “Si Burung Merak”, WS Rendra wafat. Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah 74 tahun yang lalu itu dikenang banyak orang sebagai seorang seniman yang sangat kritis. Rendra acapkali mengungkap permasalahan bangsa melalui karya-karya. Karya-karyanya memang bukan karya-karya kacangan melainkan karya-karya yang selalu berpihak pada kepentingan rakyat. Baik sajak, cerpen, drama, maupun karya-karya lainnya selalu dibuat berdasarkan keprihatinannya pada penderitaan rakyat. Maka tidak mengherankan apabila aktor senior Deddy Mizwar menyebut Rendra bukan sekedar seniman atau budayawan, melainkan juga seorang negarawan sebab cara berpikirnya memang sudah seperti seorang negarawan. Di saat sebagian elite negeri ini memilih untuk menjual aset negara, Rendra dengan tegas menolak neoliberalisme.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga sampai ke luar negeri. Banyak hasil karyanya yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, Bahasa Jerman, Bahasa Jepang, dan Bahasa Hindi. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri dan tak jarang memperoleh penghargaan di negeri orang. Meskipun kehidupan pribadinya tak lepas dari kontroversi, seperti soal pindah agama dan poligami, banyak yang mencintai sosoknya. Oleh sebab itu, banyak yang berduka cita atas kepergiannya.
Ia meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus lalu dan dimakamkan keesokan harinya selepas Shalat Jumat di kompleks pemakaman Bengkel Teater yang berada di Citayam, Depok. Pusaranya hanya berjarak beberapa meter dari pusara almarhum Mbah Surip. Sama seperti Mbah Surip, prosesi pemakamannya pun mendapat liputan luas dari berbagai media di tanah air.
Sosok Mbah Surip yang sangat bersahaja, supel, dan mencintai semua apa adanya dengan tulus serta WS Rendra yang sampai akhir hayatnya terus memikirkan persoalan bangsa ini semestinya bisa menjadi acuan bagi para pemimpin negeri ini. Tidak banyak pemimpin negeri ini yang memiliki sifat-sifat seperti itu. Saat ini, para pemimpin kita masih terjebak pada upaya meraih kekuasaan semata dan hanya “berusaha dekat” dengan rakyat menjelang pemilihan berlangsung. Para pemimpin itu pun kerap tergoda dengan gelimang harta, tahta, dan wanita. Tak jarang mereka bermuka dua. Di satu sisi mereka seolah-olah peduli pada penderitaan rakyat, tetapi di sisi lain mereka juga berusaha memperoleh keuntungan bagi diri mereka pribadi ataupun golongannya. Maka tak heran jika praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme masih berlangsung hingga saat ini.
Oleh karena itu, tidak salah apabila kepergian Mbah Surip dan Rendra turut dianggap sebagai musibah bagi bangsa ini. Kita kehilangan dua sosok yang mampu memberikan teladan, terlepas dari kekurangan-kekurangan mereka. Selamat jalan Mbah Surip! Selamat jalan Rendra!
* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
Beberapa tahun terakhir ini, Indonesia seperti tak henti-hentinya ditimpa musibah. Bencana alam silih berganti mendatangi negeri ini. Hampir sebulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 17 Juli 2009, kita ditimpa musibah lain. Saat itu terjadi ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton yang berlokasi di kawasan sentra bisnis Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Ledakan bom yang diduga kuat terkait dengan aksi terorisme itu tak pelak membuat image negeri ini kembali terpuruk, di samping batalnya klub sepak bola ternama Inggris Manchester United bertandang ke Indonesia.
Belum habis pemberitaan mengenai teror bom, bangsa ini kembali dikejutkan dengan meninggalnya dua orang seniman kenamaan, Mbah Surip dan WS Rendra, yang hanya berselang dua hari. Mbah Surip adalah seorang seniman fenomenal yang “tumbuh besar” dari perjalanan hidupnya sebagai seorang penyanyi jalanan. Pria yang dilahirkan dengan nama Urip Achmad Rijanto di Mojokerto, Jawa Timur pada tanggal 6 Mei 1949 (ada pula yang mengatakan 1957) ini merupakan sosok yang sangat sederhana dan bersahaja. Perjalanan kariernya tidak dibangun secara instant melalui ajang-ajang pencari bakat yang diselenggarakan oleh berbagai stasiun televisi. Ia menjalani kehidupan yang keras selama puluhan tahun sebagai seorang penyanyi jalanan. Melalui berbagai komunitas seniman jalanan, nama Mbah Surip mulai dikenal. Walaupun kita tidak dapat pula menafikan peran televisi dalam melambungkan namanya beberapa bulan terakhir ini.
Membuat album rekaman bukan merupakan hal baru bagi Mbah Surip. Pria yang namanya melambung berkat lagu hits-nya yang berjudul “Tak Gendong” ini sebenarnya sudah pernah menelurkan lima album. Namun, baru beberapa bulan ini ia naik daun dengan sangat pesat akibat lagu “Tak Gendong” tersebut. Konon, dari penjualan ringback tone (RBT) lagu tersebut, ia mampu meraup keuntungan milyaran rupiah. Meskipun disebut-sebut sebagai “orang kaya mendadak”, ia tetap rendah diri dan tak sungkan-sungkan bergaul dengan orang-orang dari kalangan manapun. Lagu “Tak Gendong” sendiri, yang kabarnya ia ciptakan saat sedang berada di luar negeri, menggambarkan bahwa kita, sebagai makhluk sosial, harus saling bahu-membahu. Dengan saling bahu-membahu, apapun akan menjadi lebih mudah dibanding bila kita bekerja sendiri.
Karena sosoknya yang unik dan nyentrik tetapi juga sangat supel dan humoris itulah, banyak orang menyukainya. Sampai-sampai ketika ia wafat pada tanggal 4 Agustus lalu, berbagai media meliput secara eksklusif. Presiden SBY pun sampai-sampai merasa harus membuat pidato kenegaraan tak resmi berkaitan dengan meninggalnya seniman yang berambut gimbal ala Bob Marley tersebut.
Hanya berselang dua hari setelah meninggalnya Mbah Surip, seorang sastrawan dan budayawan besar yang kerap dijuluki “Si Burung Merak”, WS Rendra wafat. Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah 74 tahun yang lalu itu dikenang banyak orang sebagai seorang seniman yang sangat kritis. Rendra acapkali mengungkap permasalahan bangsa melalui karya-karya. Karya-karyanya memang bukan karya-karya kacangan melainkan karya-karya yang selalu berpihak pada kepentingan rakyat. Baik sajak, cerpen, drama, maupun karya-karya lainnya selalu dibuat berdasarkan keprihatinannya pada penderitaan rakyat. Maka tidak mengherankan apabila aktor senior Deddy Mizwar menyebut Rendra bukan sekedar seniman atau budayawan, melainkan juga seorang negarawan sebab cara berpikirnya memang sudah seperti seorang negarawan. Di saat sebagian elite negeri ini memilih untuk menjual aset negara, Rendra dengan tegas menolak neoliberalisme.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga sampai ke luar negeri. Banyak hasil karyanya yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, Bahasa Jerman, Bahasa Jepang, dan Bahasa Hindi. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri dan tak jarang memperoleh penghargaan di negeri orang. Meskipun kehidupan pribadinya tak lepas dari kontroversi, seperti soal pindah agama dan poligami, banyak yang mencintai sosoknya. Oleh sebab itu, banyak yang berduka cita atas kepergiannya.
Ia meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus lalu dan dimakamkan keesokan harinya selepas Shalat Jumat di kompleks pemakaman Bengkel Teater yang berada di Citayam, Depok. Pusaranya hanya berjarak beberapa meter dari pusara almarhum Mbah Surip. Sama seperti Mbah Surip, prosesi pemakamannya pun mendapat liputan luas dari berbagai media di tanah air.
Sosok Mbah Surip yang sangat bersahaja, supel, dan mencintai semua apa adanya dengan tulus serta WS Rendra yang sampai akhir hayatnya terus memikirkan persoalan bangsa ini semestinya bisa menjadi acuan bagi para pemimpin negeri ini. Tidak banyak pemimpin negeri ini yang memiliki sifat-sifat seperti itu. Saat ini, para pemimpin kita masih terjebak pada upaya meraih kekuasaan semata dan hanya “berusaha dekat” dengan rakyat menjelang pemilihan berlangsung. Para pemimpin itu pun kerap tergoda dengan gelimang harta, tahta, dan wanita. Tak jarang mereka bermuka dua. Di satu sisi mereka seolah-olah peduli pada penderitaan rakyat, tetapi di sisi lain mereka juga berusaha memperoleh keuntungan bagi diri mereka pribadi ataupun golongannya. Maka tak heran jika praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme masih berlangsung hingga saat ini.
Oleh karena itu, tidak salah apabila kepergian Mbah Surip dan Rendra turut dianggap sebagai musibah bagi bangsa ini. Kita kehilangan dua sosok yang mampu memberikan teladan, terlepas dari kekurangan-kekurangan mereka. Selamat jalan Mbah Surip! Selamat jalan Rendra!
* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
0 Comments:
Post a Comment