Friday, August 28, 2009
Oleh: Pradono Budi Saputro*
Seperti yang kita ketahui, tanggal 8 Juli lalu telah dilaksanakan pemilihan umum presiden (pilpres) secara langsung untuk kedua kalinya di negeri tercinta ini. Sebagai warga negara yang baik, tentu kita menggunakan hak pilih kita masing-masing saat pilpres tersebut. Walaupun ada pula sebagian dari kita yang bisa jadi tidak dapat menggunakan hak pilih akibat alasan tertentu. Memilih calon presiden dan calon wakil presiden tidak boleh asal pilih. Ibarat membeli buah di pasar, kita harus memilih dengan cermat. Boleh jadi dari luar sepintas tampak segar, tetapi di dalamnya buah itu mungkin sudah tidak segar alias busuk. Untuk itulah mengapa kita perlu mengenali calon-calon tersebut, baik dari luar maupun dari dalam.
Lalu calon-calon seperti apa yang paling tepat untuk negara ini? Pada era di mana kita mengalami krisis moral atau krisis akhlak seperti saat ini, kita membutuhkan para calon yang berakhlak mulia. Tidak hanya capres dan cawapres, dalam berbagai bidang kehidupan, kita juga memerlukan pemimpin-pemimpin yang berakhlak mulia.
Sebelum berbicara mengenai akhlak mulia, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan akhlak. Secara sederhana, kata “akhlak” dapat dipadankan dengan perilaku, adab, sikap, perbuatan, sopan santun, dan budi pekerti. Sedangkan menurut ajaran agama, akhlak bermakna perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa harus mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Kalau dalam diri seseorang sejak dini sudah ditanamkan nilai-nilai kebaikan, dengan sendirinya ia akan mudah tergerak untuk melakukan perbuatan baik tanpa memikirkan untung-ruginya. Atau dengan kata lain, ia akan melakukan perbuatan baik dengan ikhlas.
Pada asasnya banyak yang mengetahui apa itu akhlak mulia, tetapi pada amalannya bisa jadi tidak mereka laksanakan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran untuk melaksanakan perbuatan baik secara tulus. Akhlak mulia bukan sekedar pengetahuan mengenai perbuatan-perbuatan baik. Akhlak mulia bukan pula sekedar kemampuan untuk untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Akhlak mulia harus dimulai dengan dengan niat yang ikhlas bahwa kita harus mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik semata-mata karena Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa seorang pemimpin yang baik harus berakhlak mulia (akhlaqul karimah) dan harus dapat membuat orang-orang yang dipimpinnya berakhlak pula. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus terlebih dahulu menunjukkan akhlak yang mulia sebelum ia dapat menyempurnakan akhlak kaum yang dipimpinnya. Atau dengan kata lain, memberikan teladan kepada kaumnya melalui tindakan nyata.
Rasulullah telah memberikan teladan yang baik kepada kita. Beliau merupakan pemimpin sejati yang memiliki akhlak yang sangat mulia. Menurut tuntunan Rasulullah, untuk menjadi seorang pemimpin dibutuhkan sesuatu, yang dalam bahasa kerennya disebut STAF. Yang dimaksud STAF di sini bukan bawahan atau pegawai, melainkan singkatan dari sidiq, tabligh, amanah, dan fathonah. Ya, untuk menjadi seorang pemimpin dibutuhkan empat sifat tersebut.
Yang pertama, sidiq. Sidiq berarti benar. Seorang pemimpin harus senantiasa mengucapkan sesuatu yang sesuai dengan kebenaran. Seorang pemimpin juga harus memiliki pikiran, perasaan, dan perkataan yang selalu konsisten dengan perbuatan yang diyakini kebenarannya.
Kemudian, tabligh. Tabligh artinya menyampaikan. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menyampaikan segala sesuatu kepada orang-orang yang dipimpinnya dengan baik. Seorang pemimpin harus dapat memberikan contoh yang baik dan tak segan-segan mengakui apabila telah melakukan perbuatan yang keliru. Pesan yang disampaikan haruslah sesuatu yang yang berupa kebaikan, yang ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, bukan sesuatu yang dapat menimbulkan keresahan akibat saling tuding, saling fitnah, dan saling menjatuhkan antara yang satu dengan yang lain.
Selanjutnya, amanah. Amanah bermakna dapat dipercaya. Seorang pemimpin harus dapat menjaga kepercayaan orang-orang yang dipimpinnya dan harus dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh rasa tanggung jawab. Terlebih lagi pada era reformasi ini di mana pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Seorang pemimpin tentu tidak boleh mengecewakan orang-orang yang telah mempercayakan tampuk kepemimpinan di tangannya sebab menjadi seorang pemimpin itu sendiri merupakan suatu amanah. Dan seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban mengenai kepemimpinannya di akhirat kelak.
Yang terakhir adalah fathonah. Fathonah berarti cerdas atau pandai. Seorang pemimpin harus cerdas, memiliki banyak ilmu, dan berpengetahuan luas. Jika tidak, sang pemimpin hanya akan dijadikan “boneka”, atau dengan kata lain hanya akan dimanfaatkan oleh segelintir orang yang ada di sekitarnya untuk kepentingan pribadi ataupun golongan mereka.
Sifat-sifat kepemimpinan Rasulullah tersebut sudah sepatutnya menjadi acuan. Pemimpin kita yang paling baik adalah yang mampu meneladani dan mencontoh sifat-sifat yang ditunjukkan oleh Rasulullah. Rasulullah sebagai seorang pemimpin tidak pernah sombong, tidak pernah tergiur harta, tahta, maupun wanita, dan selalu dekat dengan rakyat.
Di samping sifat-sifat tersebut, seorang pemimpin harus pula memiliki rasa malu. Seorang pemimpin harus malu jika berbuat maksiat. Seorang pemimpin harus malu bila terlibat skandal. Seorang pemimpin harus malu jika melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dan seorang pemimpin harus malu apabila tidak mampu memenuhi janji-janjinya kepada rakyat. Rasa malu itu wajib dimiliki karena rasa malu merupakan sebagian dari iman. Rasa malu juga menjadi salah satu tiang penyangga akhlak mulia. Apabila seorang pemimpin hilang rasa malunya maka akan rusak pula akhlaknya.
Apa yang telah disampaikan tadi adalah karakter-karakter yang harus dimiliki pemimpin dari sudut pandang agama. Agama banyak mengajarkan kebaikan bagi umat manusia, tak terkecuali bangsa ini. Namun, untuk memimpin bangsa ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pula. Seorang pemimpin negeri ini harus memiliki perhatian utama pada pembangunan karakter dan jati diri bangsa dengan landasan moral keagamaan untuk mempertebal keyakinan atas kebesaran dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Seorang pemimpin negeri ini harus menanamkan benih kecintaan yang dalam terhadap tanah air untuk meningkatkan dan mempertebal nasionalisme. Seorang pemimpin negeri ini wajib menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan karakter-karakter tersebut diharapkan akan lahir pemimpin-pemimpin berakhlak mulia yang mampu membawa perubahan untuk Indonesia yang lebih baik.
Kembali ke masalah pilpres. Dari ketiga pasang capres dan cawapres yang bertarung dalam pilpres lalu, mungkin tidak ada yang benar-benar memenuhi kriteria tersebut. Mungkin tidak ada figur sempurna yang layak memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Sekali lagi penulis katakan mungkin, bukan berarti tidak ada sama sekali. Akan tetapi, penulis yakin, sebagai warga negara yang baik, kita tentu sudah menggunakan hak pilih secara bijak pada pilpres lalu untuk memilih capres dan cawapres yang menurut hati nurani kita masing-masing adalah yang terbaik, siapapun orangnya. Pastinya kita berharap bahwa kita tidak memilih dengan sia-sia. Dan pastinya kita berharap siapapun yang kita pilih adalah pemimpin yang baik, pemimpin yang berakhlak mulia. Meskipun calon yang kita pilih ternyata tidak berhasil meraih kemenangan, kita tentu bangga bisa menjadi bagian dari sejarah demokrasi di negeri tercinta ini dengan memilih pemimpin yang kita anggap memiliki akhlak mulia.
Perkara menang atau kalah, mungkin sudah suratan takdir. Mungkin sebagian dari kita sempat kecewa karena calon yang didukung tidak menang. Mungkin sebagian dari kita sempat kesal karena merasa calon yang didukungnya dicurangi. Namun, tak berarti calon yang terpilih itu buruk. Boleh jadi yang terpilih tidak lebih baik dari yang kita dukung, tetapi tidak berarti buruk pula. Semoga saja pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang setidaknya memiliki sebagian dari ciri-ciri pemimpin yang berakhlak mulia. Dan tentunya kita juga berharap dengan adanya pemimpin berakhlak mulia, negeri ini akan menjadi lebih baik.
Sebagai penutup, penulis menghimbau agar para pemimpin, terutama para calon yang telah bertarung di ajang pilpres lalu, siapapun orangnya, baik yang terpilih maupun yang tidak, dapat meneladani kepemimpinan Rasulullah dan menerapkan ciri-ciri pemimpin yang berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Minimal ada itikad untuk menerapkannya walaupun sedikit demi sedikit, mengutip istilah populer dari salah seorang da’i kondang, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal kecil, dan mulai dari sekarang. Terlebih di bulan suci Ramadhan ini. Apalagi di negara-negara Timur seperti Indonesia ada kecenderungan untuk meniru tingkah laku seorang yang dianggap sebagai pemimpin. Jika seorang pemimpin memiliki akhlak yang mulia, bukan tidak mungkin rakyatnya akan memiliki akhlak mulia juga.
* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
Seperti yang kita ketahui, tanggal 8 Juli lalu telah dilaksanakan pemilihan umum presiden (pilpres) secara langsung untuk kedua kalinya di negeri tercinta ini. Sebagai warga negara yang baik, tentu kita menggunakan hak pilih kita masing-masing saat pilpres tersebut. Walaupun ada pula sebagian dari kita yang bisa jadi tidak dapat menggunakan hak pilih akibat alasan tertentu. Memilih calon presiden dan calon wakil presiden tidak boleh asal pilih. Ibarat membeli buah di pasar, kita harus memilih dengan cermat. Boleh jadi dari luar sepintas tampak segar, tetapi di dalamnya buah itu mungkin sudah tidak segar alias busuk. Untuk itulah mengapa kita perlu mengenali calon-calon tersebut, baik dari luar maupun dari dalam.
Lalu calon-calon seperti apa yang paling tepat untuk negara ini? Pada era di mana kita mengalami krisis moral atau krisis akhlak seperti saat ini, kita membutuhkan para calon yang berakhlak mulia. Tidak hanya capres dan cawapres, dalam berbagai bidang kehidupan, kita juga memerlukan pemimpin-pemimpin yang berakhlak mulia.
Sebelum berbicara mengenai akhlak mulia, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan akhlak. Secara sederhana, kata “akhlak” dapat dipadankan dengan perilaku, adab, sikap, perbuatan, sopan santun, dan budi pekerti. Sedangkan menurut ajaran agama, akhlak bermakna perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa harus mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Kalau dalam diri seseorang sejak dini sudah ditanamkan nilai-nilai kebaikan, dengan sendirinya ia akan mudah tergerak untuk melakukan perbuatan baik tanpa memikirkan untung-ruginya. Atau dengan kata lain, ia akan melakukan perbuatan baik dengan ikhlas.
Pada asasnya banyak yang mengetahui apa itu akhlak mulia, tetapi pada amalannya bisa jadi tidak mereka laksanakan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran untuk melaksanakan perbuatan baik secara tulus. Akhlak mulia bukan sekedar pengetahuan mengenai perbuatan-perbuatan baik. Akhlak mulia bukan pula sekedar kemampuan untuk untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Akhlak mulia harus dimulai dengan dengan niat yang ikhlas bahwa kita harus mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik semata-mata karena Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa seorang pemimpin yang baik harus berakhlak mulia (akhlaqul karimah) dan harus dapat membuat orang-orang yang dipimpinnya berakhlak pula. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus terlebih dahulu menunjukkan akhlak yang mulia sebelum ia dapat menyempurnakan akhlak kaum yang dipimpinnya. Atau dengan kata lain, memberikan teladan kepada kaumnya melalui tindakan nyata.
Rasulullah telah memberikan teladan yang baik kepada kita. Beliau merupakan pemimpin sejati yang memiliki akhlak yang sangat mulia. Menurut tuntunan Rasulullah, untuk menjadi seorang pemimpin dibutuhkan sesuatu, yang dalam bahasa kerennya disebut STAF. Yang dimaksud STAF di sini bukan bawahan atau pegawai, melainkan singkatan dari sidiq, tabligh, amanah, dan fathonah. Ya, untuk menjadi seorang pemimpin dibutuhkan empat sifat tersebut.
Yang pertama, sidiq. Sidiq berarti benar. Seorang pemimpin harus senantiasa mengucapkan sesuatu yang sesuai dengan kebenaran. Seorang pemimpin juga harus memiliki pikiran, perasaan, dan perkataan yang selalu konsisten dengan perbuatan yang diyakini kebenarannya.
Kemudian, tabligh. Tabligh artinya menyampaikan. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menyampaikan segala sesuatu kepada orang-orang yang dipimpinnya dengan baik. Seorang pemimpin harus dapat memberikan contoh yang baik dan tak segan-segan mengakui apabila telah melakukan perbuatan yang keliru. Pesan yang disampaikan haruslah sesuatu yang yang berupa kebaikan, yang ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, bukan sesuatu yang dapat menimbulkan keresahan akibat saling tuding, saling fitnah, dan saling menjatuhkan antara yang satu dengan yang lain.
Selanjutnya, amanah. Amanah bermakna dapat dipercaya. Seorang pemimpin harus dapat menjaga kepercayaan orang-orang yang dipimpinnya dan harus dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh rasa tanggung jawab. Terlebih lagi pada era reformasi ini di mana pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Seorang pemimpin tentu tidak boleh mengecewakan orang-orang yang telah mempercayakan tampuk kepemimpinan di tangannya sebab menjadi seorang pemimpin itu sendiri merupakan suatu amanah. Dan seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban mengenai kepemimpinannya di akhirat kelak.
Yang terakhir adalah fathonah. Fathonah berarti cerdas atau pandai. Seorang pemimpin harus cerdas, memiliki banyak ilmu, dan berpengetahuan luas. Jika tidak, sang pemimpin hanya akan dijadikan “boneka”, atau dengan kata lain hanya akan dimanfaatkan oleh segelintir orang yang ada di sekitarnya untuk kepentingan pribadi ataupun golongan mereka.
Sifat-sifat kepemimpinan Rasulullah tersebut sudah sepatutnya menjadi acuan. Pemimpin kita yang paling baik adalah yang mampu meneladani dan mencontoh sifat-sifat yang ditunjukkan oleh Rasulullah. Rasulullah sebagai seorang pemimpin tidak pernah sombong, tidak pernah tergiur harta, tahta, maupun wanita, dan selalu dekat dengan rakyat.
Di samping sifat-sifat tersebut, seorang pemimpin harus pula memiliki rasa malu. Seorang pemimpin harus malu jika berbuat maksiat. Seorang pemimpin harus malu bila terlibat skandal. Seorang pemimpin harus malu jika melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dan seorang pemimpin harus malu apabila tidak mampu memenuhi janji-janjinya kepada rakyat. Rasa malu itu wajib dimiliki karena rasa malu merupakan sebagian dari iman. Rasa malu juga menjadi salah satu tiang penyangga akhlak mulia. Apabila seorang pemimpin hilang rasa malunya maka akan rusak pula akhlaknya.
Apa yang telah disampaikan tadi adalah karakter-karakter yang harus dimiliki pemimpin dari sudut pandang agama. Agama banyak mengajarkan kebaikan bagi umat manusia, tak terkecuali bangsa ini. Namun, untuk memimpin bangsa ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pula. Seorang pemimpin negeri ini harus memiliki perhatian utama pada pembangunan karakter dan jati diri bangsa dengan landasan moral keagamaan untuk mempertebal keyakinan atas kebesaran dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Seorang pemimpin negeri ini harus menanamkan benih kecintaan yang dalam terhadap tanah air untuk meningkatkan dan mempertebal nasionalisme. Seorang pemimpin negeri ini wajib menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan karakter-karakter tersebut diharapkan akan lahir pemimpin-pemimpin berakhlak mulia yang mampu membawa perubahan untuk Indonesia yang lebih baik.
Kembali ke masalah pilpres. Dari ketiga pasang capres dan cawapres yang bertarung dalam pilpres lalu, mungkin tidak ada yang benar-benar memenuhi kriteria tersebut. Mungkin tidak ada figur sempurna yang layak memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Sekali lagi penulis katakan mungkin, bukan berarti tidak ada sama sekali. Akan tetapi, penulis yakin, sebagai warga negara yang baik, kita tentu sudah menggunakan hak pilih secara bijak pada pilpres lalu untuk memilih capres dan cawapres yang menurut hati nurani kita masing-masing adalah yang terbaik, siapapun orangnya. Pastinya kita berharap bahwa kita tidak memilih dengan sia-sia. Dan pastinya kita berharap siapapun yang kita pilih adalah pemimpin yang baik, pemimpin yang berakhlak mulia. Meskipun calon yang kita pilih ternyata tidak berhasil meraih kemenangan, kita tentu bangga bisa menjadi bagian dari sejarah demokrasi di negeri tercinta ini dengan memilih pemimpin yang kita anggap memiliki akhlak mulia.
Perkara menang atau kalah, mungkin sudah suratan takdir. Mungkin sebagian dari kita sempat kecewa karena calon yang didukung tidak menang. Mungkin sebagian dari kita sempat kesal karena merasa calon yang didukungnya dicurangi. Namun, tak berarti calon yang terpilih itu buruk. Boleh jadi yang terpilih tidak lebih baik dari yang kita dukung, tetapi tidak berarti buruk pula. Semoga saja pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang setidaknya memiliki sebagian dari ciri-ciri pemimpin yang berakhlak mulia. Dan tentunya kita juga berharap dengan adanya pemimpin berakhlak mulia, negeri ini akan menjadi lebih baik.
Sebagai penutup, penulis menghimbau agar para pemimpin, terutama para calon yang telah bertarung di ajang pilpres lalu, siapapun orangnya, baik yang terpilih maupun yang tidak, dapat meneladani kepemimpinan Rasulullah dan menerapkan ciri-ciri pemimpin yang berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Minimal ada itikad untuk menerapkannya walaupun sedikit demi sedikit, mengutip istilah populer dari salah seorang da’i kondang, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal kecil, dan mulai dari sekarang. Terlebih di bulan suci Ramadhan ini. Apalagi di negara-negara Timur seperti Indonesia ada kecenderungan untuk meniru tingkah laku seorang yang dianggap sebagai pemimpin. Jika seorang pemimpin memiliki akhlak yang mulia, bukan tidak mungkin rakyatnya akan memiliki akhlak mulia juga.
* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
0 Comments:
Post a Comment