Sunday, August 23, 2009
Oleh: Jerry Indrawan*
Sudah hampir lima tahun lebih Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandatangani. Indonesia yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin sebagai ketua tim perunding dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka yang diwakili oleh ketua tim perunding mereka yaitu Malik Mahmud serta mantan Presiden Finlandia Maarti Ahtisaari sebagai fasilitator sekaligus penengah telah membuat draft Undang-undang Pemerintahan Aceh pasca konflik berdarah yang sudah terjadi selama puluhan tahun ini.
Sejak itu pula kalangan DPR berusaha untuk membuat undang-undang atau legal drafting yang formal sebagai usaha mengimplementasikan Memorandum of Understanding (MoU) Pemerintahan Aceh tersebut. DPR bahkan membentuk sebuah Panitia Khusus (Pansus) yang diketuai oleh Ferry Mursyidan Baldan dari Fraksi Partai Golkar untuk membahas implementasi dari MoU Pemerintahan Aceh tersebut. Panitia Khusus itu pun tentunya dibantu oleh Departemen Dalam Negeri, Pemerintahan Propinsi Aceh, dan sebuah lembaga baru hasil MoU juga, yaitu Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan pihak internasional sebagai pengawas perdamaian yang diketuai oleh Peter Feith.
Berbicara masalah bagaimana sebaiknya pemerintahan di Aceh seharusnya dibentuk, menurut saya semuanya seharusnya sudah jelas. Mengapa? Karena sejak menjadi sebuah daerah otonomi khusus, Aceh diperkenankan melaksanakan sistem syariat Islam secara murni dan konsekuen. Syariat sendiri dalam Islam adalah berarti peraturan yang berguna untuk mengatur kehidupan umat Islam baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari atau dalam menjalankan proses berbangsa dan bernegara. Dalam hal apa yang terbaik bagi pemerintahan di Aceh di masa datang, bagi saya haruslah sebuah sistem pemerintahan di mana konsep syariat Islam dapat diimplementasikan secara murni dan konsekuen sehingga rakyat Aceh yang mayoritas Muslim dapat dipersatukan oleh sebuah sistem di mana sistem tersebut adalah sebuah sistem yang sudah dapat dipahami bersama.
Lalu, mengapa masalah Undang-undang Pemerintahan Aceh sampai sekarang masih menjadi perdebatan sengit di kalangan anggota DPR? Bahkan sampai ada kasus uang rapat sebesar 5 juta per anggota DPR yang tergabung dalam Pansus, sehingga mengundang kontroversi oleh banyak pihak. Saya pikir ini hanyalah masalah politik kepentingan saja antara mereka-mereka yang masih ingin “bermain” di Aceh. Apalagi sejak kasus bencana tsunami, Aceh seperti kebanjiran proyek. Bahkan proyek pengadaan buku rencana rekonstruksi Aceh saja diduga dikorup, apalagi proyek-proyek rekonstruksi yang sifatnya besar dan tentunya berdana besar. Ditambah lagi para anggota dewan kita itu kan banyak yang “nyambi” juga jadi pengusaha, seperti lazimnya para pejabat-pejabat kita dewasa ini, sehingga tentunya tidak ingin kehilangan order atau kalah tender.
Terakhir, apapun yang dihasilkan oleh Pansus DPR tersebut kita sebagai warga negara Indonesia yang baik sudah selayaknya mendukung keputusan apapun yang nantinya akan dihasilkan. Sistem pemerintahan seperti apapun itu marilah kita berharap agar itulah yang terbaik yang dapat dihasilkan untuk rakyat Aceh. Toh, pastinya kita pun sudah harus bersyukur bahwa kedamaian di Aceh sudah terealisasikan dengan baik dan pihak-pihak yang bertikai sudah dapat menciptakan suasana perdamaian yang kondusif sehingga konsep NKRI harus terus dapat dipertahankan.
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Volunteer Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
Sudah hampir lima tahun lebih Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandatangani. Indonesia yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin sebagai ketua tim perunding dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka yang diwakili oleh ketua tim perunding mereka yaitu Malik Mahmud serta mantan Presiden Finlandia Maarti Ahtisaari sebagai fasilitator sekaligus penengah telah membuat draft Undang-undang Pemerintahan Aceh pasca konflik berdarah yang sudah terjadi selama puluhan tahun ini.
Sejak itu pula kalangan DPR berusaha untuk membuat undang-undang atau legal drafting yang formal sebagai usaha mengimplementasikan Memorandum of Understanding (MoU) Pemerintahan Aceh tersebut. DPR bahkan membentuk sebuah Panitia Khusus (Pansus) yang diketuai oleh Ferry Mursyidan Baldan dari Fraksi Partai Golkar untuk membahas implementasi dari MoU Pemerintahan Aceh tersebut. Panitia Khusus itu pun tentunya dibantu oleh Departemen Dalam Negeri, Pemerintahan Propinsi Aceh, dan sebuah lembaga baru hasil MoU juga, yaitu Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan pihak internasional sebagai pengawas perdamaian yang diketuai oleh Peter Feith.
Berbicara masalah bagaimana sebaiknya pemerintahan di Aceh seharusnya dibentuk, menurut saya semuanya seharusnya sudah jelas. Mengapa? Karena sejak menjadi sebuah daerah otonomi khusus, Aceh diperkenankan melaksanakan sistem syariat Islam secara murni dan konsekuen. Syariat sendiri dalam Islam adalah berarti peraturan yang berguna untuk mengatur kehidupan umat Islam baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari atau dalam menjalankan proses berbangsa dan bernegara. Dalam hal apa yang terbaik bagi pemerintahan di Aceh di masa datang, bagi saya haruslah sebuah sistem pemerintahan di mana konsep syariat Islam dapat diimplementasikan secara murni dan konsekuen sehingga rakyat Aceh yang mayoritas Muslim dapat dipersatukan oleh sebuah sistem di mana sistem tersebut adalah sebuah sistem yang sudah dapat dipahami bersama.
Lalu, mengapa masalah Undang-undang Pemerintahan Aceh sampai sekarang masih menjadi perdebatan sengit di kalangan anggota DPR? Bahkan sampai ada kasus uang rapat sebesar 5 juta per anggota DPR yang tergabung dalam Pansus, sehingga mengundang kontroversi oleh banyak pihak. Saya pikir ini hanyalah masalah politik kepentingan saja antara mereka-mereka yang masih ingin “bermain” di Aceh. Apalagi sejak kasus bencana tsunami, Aceh seperti kebanjiran proyek. Bahkan proyek pengadaan buku rencana rekonstruksi Aceh saja diduga dikorup, apalagi proyek-proyek rekonstruksi yang sifatnya besar dan tentunya berdana besar. Ditambah lagi para anggota dewan kita itu kan banyak yang “nyambi” juga jadi pengusaha, seperti lazimnya para pejabat-pejabat kita dewasa ini, sehingga tentunya tidak ingin kehilangan order atau kalah tender.
Terakhir, apapun yang dihasilkan oleh Pansus DPR tersebut kita sebagai warga negara Indonesia yang baik sudah selayaknya mendukung keputusan apapun yang nantinya akan dihasilkan. Sistem pemerintahan seperti apapun itu marilah kita berharap agar itulah yang terbaik yang dapat dihasilkan untuk rakyat Aceh. Toh, pastinya kita pun sudah harus bersyukur bahwa kedamaian di Aceh sudah terealisasikan dengan baik dan pihak-pihak yang bertikai sudah dapat menciptakan suasana perdamaian yang kondusif sehingga konsep NKRI harus terus dapat dipertahankan.
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Volunteer Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
0 Comments:
Post a Comment