KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Komunikasi Politik Presiden SBY

Monday, March 23, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Pendahuluan

Secara umum komunikasi adalah sebuah proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui simbol-simbol. Sedangkan politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Menurut Michael Schudson, komunikasi politik adalah: “any transmission of messages that has, or is intended to have an effect on the distribution or use of power in society or an attitude toward the use of power.” Sedangkan Astrid S. Susanto berpendapat bahwa komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi “yang ditentukan bersama” oleh lembaga-lembaga politik. Dengan demikian, melalui kegiatan komunikasi politik terjadilah realisasi pengkaitan masyarakat sosial dengan lingkup negara komunikasi politik juga merupakan sarana untuk pendidikan politik atau kesadaran warga dalam hubungan kenegaraan.

Ilmuwan politik beranggapan bahwa komunikasi politik termasuk objek studi ilmu politik karena pesan-pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi itu mempunyai ciri-ciri politik yang berkaitan dengan kekuasaan politik, negara, pemerintahan, dan komunikator, serta komunikan yang terlibat di dalamnya bertindak sebagai pelaku kegiatan politik.

Sistem komunikasi politik kita secara vertikal terdiri dari elite politik, media massa dan masyarakat. Masing-masing merupakan subsistem yang berfungsi selaku sumber (komunikator), saluran, khalayak, penerima (komunikan), dan suatu proses yang dikenal sebagai umpan balik (feedback). Pada negara-negara demokratis proses komunikasi berlangsung secara vertikal dan horizontal. Pembicaraan-pembicaraan politik berlangsung secara timbal balik dan peranan setiap unsur sistem komunikasi politik senantiasa berubah berubah sesuai situasi. Misalnya, elite politik pada satu situasi merupakan komunikator pesan, tetapi pada situasi lain dapat berubah menjadi saluran atau media dan pada situasi tertentu juga dapat berubah sebagai khalayak penerima. Demikian juga dengan unsur-unsur yang lain seperti media dan masyarakat yang secara berkesinambungan berganti peran sesuai dengan kondisi.

Bicara lebih mengerucut, komunikasi politik seperti di sistem-sistem lain, juga dipraktekkan dalam kehidupan politik di Indonesia. Setiap hari tokoh-tokoh pemerintahan atau tokoh politik menyampaikan pernyataan-pernyataan (resmi atau tidak resmi), pendapat-pendapat dalam berbagai forum, dan komentar-komentar tentang masalah-masalah yang terjadi secara general. Ini adalah salah satu bentuk konkret dari kegiatan politik dimana elite politik bertindak selaku komunikator. Saluran komunikasi yang digunakan bisa berbentuk media massa, tapi juga bisa melalui tatap muka (face to face communication).

Pada tahun 1948, ilmuwan politik Harold Lasswell mengemukakan bahwa cara yang mudah untuk melukiskan suatu tindakan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
Siapa?
Mengatakan apa?
Dengan saluran apa?
Kepada siapa?
Dengan akibat apa?

Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini mengidentifikasi unsur-unsur yang biasa terdapat pada semua komunikasi, yaitu adanya sumber dan penerima, pesan, media komunikasi, dan tanggapan. Kelima dasar Lasswell ini menyajikan cara yang berguna untuk menganalisis komunikasi politik Kepresidenan.

Komunikator Politik Kepresidenan

Dalam pembahasan ini kita akan membahas pertanyaan, “Siapa komunikator politik kita?” Orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintahan harus berkomunikasi tentang politik. Kita menamakan calon atau pemegang jabatan ini politikus, tak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Dalam pembahasan kita kali ini sumber komunikator politik kepresidenan adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang dipilih secara langsung oleh rakyat pada pemilu 2004 lalu.

Pekerjaan mereka adalah aspek utama dari kegiatan ini, meskipun politikus melayani beraneka tujuan dengan berkomunikasi, ada dua yang menonjol. Daniel Katz menunjukkan bahwa pemimpin politik mengerahkan pengaruhnya ke dua arah: “mempengaruhi alokasi ganjaran dan mengubah struktur sosial yang ada atau mencegah perubahan demikian.” Dalam kewenangannya yang pertama politikus itu berkomunikasi sebagai wakil suatu kelompok atau langganan. Pesan-pesan politikus itu mengajukan dan atau melindungi tujuan kepentingan politik, artinya komunikator politik mewakili kepentingan kelompok. Komunikasi politik kepresidenan jelas mewakili kepentingan kelompok, yaitu pemerintahan itu sendiri.

Sebaliknya, politikus yang bertindak sebagai ideolog tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesak tuntutan seorang langganan. Ia lebih menyibukkan dirinya untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas, mengusahakan reformasi, dan bahkan mendukung perubahan revolusioner. Ideolog itu terutama berkomunikasi untuk membelokkan mereka kepada suatu tujuan, bukan mewakili kepentingan mereka dalam gelanggang tawar-menawar politik dan mencari kompromi. Sayangnya menurut saya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum mampu menjadi seorang komunikator politik yang bersifat ideolog karena masih dipengaruhi oleh pihak-pihak lain (intra maupun ekstra pemerintahan) yang mampu mempengaruhi kebijakan yang dibuatnya. Terlihat dari bagaimana reshuffle jilid I tahun 2005 dan jilid II tahun 2007 lalu, dimana demi menjaga dukungan politisnya di parlemen, Presiden melakukan komunikasi politik dengan partai-partai kuat di parlemen, seperti Golkar dan PKB, untuk memasukkan kader mereka di kabinet Indonesia Bersatu.

Hal ini dilakukan Presiden dengan tujuan memperkuat posisi politiknya di parlemen dengan cara melakukan deal-deal politik dengan partai pendukung di parlemen. Hasil dari komunikasi politik ini dilihat dari sudut pandang Presiden memang positif karena mampu membungkam (setidaknya sampai saat ini) beberapa fraksi di parlemen yang secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi meminta “jatah” di kabinet. Contohnya adalah pada reshuffle jilid I, Presiden memasukkan nama Erman Suparno dari PKB untuk menduduki posisi Menteri Tenaga Kerja menggantikan Fahmi Idris yang digeser ke posisi Menteri Perindustrian. Posisi Menteri Perindustrian yang semula ditempati Andung Nitimihardja ditempati Fahmi karena “janji” politik Presiden kepada PKB untuk menambah wakil mereka di kabinet. Pada partai Golkar pun Presiden melakukan hal yang sama. Masuknya Paskah Suzzetta menjadi Kepala Bappenas menggantikan Sri Mulyani yang digeser menjadi Menteri Keuangan membuat jatah Golkar di kabinet makin kuat.

Pada reshuffle jilid I ini gejolak politik di pemerintah belum terlalu besar karena figur menteri yang diganti pun tidak ada yang dari kalangan partai sehingga tidak membuat konstelasi politik negara kita goyah. Kalaupun ada figur dari partai hanya Alwi Shihab dari PKB, tetapi Alwi sendiri bermasalah dengan kepengurusan PKB karena membuat PKB tandingan yang tidak sejalan dengan Gus Dur. Apalagi menteri-menteri yang diganti pun mendapat posisi baru, seperti Jusuf Anwar, mantan Menkeu, yang menjadi Dubes RI untuk Jepang dan Alwi Shihab yang menjadi Utusan Khusus Pemerintah untuk Negara-Negara Timur Tengah.

Reshuffle jilid II lalu, posisi politik Presiden agak digoyang sedikit oleh Partai Bintang Bulan yang dua kadernya dicopot oleh Presiden. Dua kader PBB itu adalah Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Posisi mereka berdua digantikan kembali oleh wakil dari partai-partai yang memiliki dukungan kuat di parlemen, yaitu Golkar dan PKB. Masuknya Andi Mattalata dari Golkar dan Lukman Edi dari PKB memang kembali memperkuat posisi Presiden di parlemen. Pengamat memperkirakan Presiden sudah memulai start awal kampanye Presiden untuk 2009 dengan mulai mencari simpati partai-partai yang diharapkan mau berkoalisi untuk pemilu yang akan datang. Tetapi konsesi ini pun beresiko, seperti sudah dijelaskan bahwa PBB bermasalah dengan kejadian pencopotan dua kadernya ini. Mereka merasa “dizholimi” oleh SBY karena PBB adalah salah satu basis utama dan pertama, selain partai Demokrat, sebagai pendukung setia Presiden sejak kampanye pilpres sampai sekarang. Saya menilai Presiden tidak melakukan komunikasi politik yang baik dengan PBB sebelum memutuskan mencopot Yusril dan Arman.

Katz membedakan wakil partisan dan ideolog, tapi bila dipandang sebagai komunikator politik, perbedaan itu hanya dalam derajatnya, bukan dalam jenisnya. Kedua tipe politikus itu mempengaruhi orang lain, yakni mereka berindak dengan tujuan mempengaruhi opini orang lain. Wakil partisan mengejar perubahan atau mencegah perubahan opini dengan tawar-menawar agar keadaannya menguntungkan bagi semua pihak seperti kasus klasik politik dagang sapi.

Menurut saya hal inilah yang dilakukan Presiden dalam mempertahankan kekuasaannya. Melakukan deal-deal politik dengan partai-partai kuat di parlemen seperti Golkar dan PKB seperti yang saya jelaskan di atas dengan keinginan mempertahankan kekuasaan di pihak Presiden dan keinginan menambah jumlah wakil di kabinet adalah salah satu bentuk politik dagang sapi. Hal ini dilakukan semata-mata karena konsesi politik temporal demi kekuasaan, dan tidak dilakukan untuk kepentingan perbaikan fungsi aparatur pemerintahan seperti pada konferensi pers resmi yang dilakukan Presiden sesaat setelah mengumumkan reshuffle dimana Presiden mengemukakan alasan utama reshuffle adalah perbaikan kinerja menteri. Yang menarik dianalisa menyangkut komunikasi politik kepresidenan adalah bagaimana Presiden sendiri yang berbicara di depan media dengan seluruh rakyat Indonesia mendengarkan. Menilik perkataan juru bicara presiden Andi Mallarangeng yang mengatakan bahwa saat mengadakan konferensi pers atau sejenisnya, apabila materi yang akan disampaikan menyangkut hal-hal yang dasar atau fundamental dan hal-hal yang langsung berhubungan dengan rakyat, akan dilakukan oleh Presiden sendiri. Ini berarti Presiden menganggap persoalan reshuffle ini memang berhubungan langsung dengan konstituennya yaitu rakyat Indonesia, sehingga beliau sendiri yang menyampaikannya. Langkah Presiden dalam melakukan komunikasi politik dengan rakyatnya ini patut ditiru dalam rangka melakukan kampanye persuasif kebijakannya kepada rakyat dan mencegah opini publik negatif atau misintepretasi di kalangan masyarakat.

Sebagai komunikator politik, Presiden memang dibantu oleh dua orang juru bicara kepresidenan yaitu: Andi Alfian Mallarangeng sebagai jubir khusus masalah-masalah dalam negeri dan Dino Patti Djalal sebagai jubir khusus masalah-masalah luar negeri. Dalam melakukan komunikasinya dengan masyarakat Presiden memang sangat dibantu oleh kehadiran juru bicaranya, tetapi ini hanya dalam lingkup kepresidenan. Apabila menyangkut tataran dibawahnya, seperti Kementerian, setiap Departemen atau Lembaga Negara mempunyai juru bicaranya sendiri-sendiri. Menyangkut tugasnya dalam melakukan komunikasi tentang permasalahan-permasalahan negara dengan khalayak, juga tidak dilakukan oleh jubir semua sehingga ada pembagian tugas antara Presiden, jubir, dan pejabat-pejabat lain yang terkait.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Presiden secara pribadi bisa melakukan komunikasi langsung tanpa perantara apabila masalah-masalah yang akan diutarakan menyangkut hal-hal dasar atau fundamental dan masalah-masalah yang langsung terkait dengan rakyat. Sedangkan menyangkut masalah teknis, itu menyangkut kewenangan menteri untuk menjelaskannya. Kewenangan jubir menurut Andi Mallarangeng adalah untuk menjelaskan hal yang ditengah-tengah dari permasalahan-permasalahan tadi. Andi juga menambahkan, juru bicara harus menjadi seorang generalis, yaitu harus mengerti segala hal yang berhubungan dengan peran negara untuk mengaturnya.

Pembicaraan Politik: Pesan Politik Kepresidenan

Bagi seorang komunikator politik dalam pembicaraan tentang komunikasi politik pastilah berisi pembicaraan politik. Presiden pastilah mempunyai pesan-pesan atau hal-hal yang akan disampaikan kepada khalayak menyangkut kebijakan atau hal-hal yang berhubungan dengan peran negara secara umum dan perannya sebagai Presiden secara khusus. Di sini kita akan coba analisa pesan-pesan politik Presiden tersebut.

Dalam politik kita pasti menyinggung banyak pembicaraan, begitu banyak seolah-olah pembicaraan adalah politik. Menurut ilmuwan politik David V.J. Bell terdapat tiga jenis pembicaraan politik, yaitu pembicaraan kekuasaan, pembicaraan pengaruh, dan pembicaraan autoritas. Perhatikan misalnya, betapa pentingnya pembicaraan dalam kehidupan para politikus, baik pejabat maupun yang berusaha jadi pejabat. Kebanyakan di antara kita mengenal Presiden SBY karena pembicaraannya dalam konferensi pers, pidato, pernyataan tertulis, dll atau melalui apa yang dikatakan orang lain tentang beliau. Para jurnalis televisi, surat kabar, dan majalah menelaah setiap kata yang dikeluarkannya untuk mencari nuansa, sindiran, atau petunjuk tentang apa yang akan terjadi. Seorang Presiden yang pendiam dibicarakan karena tidak berbicara (misalnya mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang jarang berbicara di depan umum sehingga memiliki kesan “pendiam”) yang hampir sama banyaknya dengan yang dikatakannya andaikata ia berbicara.

Jadi, pembicaraan itu penting bagi politik, dan jika dipandang secara luas, politik adalah pembicaraan. Pembicaraan yang berkembang tentang kekuasaan, pengaruh, dan autoritas. Dengan menganggap politik sebagai pembicaraan, kita tidak berargumentasi bahwa segala pembicaraan adalah pembicaraan politik. Namun, pembicaraan politik adalah pembicaraan untuk memelihara dan membantu pembicaraan mengenai masalah lain. Secara khas, ia adalah pembicaraan yang melibatkan kekuasaan, pengaruh, dan autoritas dengan pembendaharaan kata yang terus-menerus berkembang.

Di Indonesia secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan politik masih didominasi elite politik. Mereka menggunakan sarana media massa yang sejak reformasi seperti “bebas sebebas-bebasnya” dalam membangun sebuah proses pencitraan (pastinya citra positif) tentang elite itu sendiri atau afiliasi politik yang diusungnya, termasuk pemerintahan. Contohnya dalam pemerintahan adalah banyaknya Departemen-departemen atau Kementerian-kementerian di pemerintahan yang memasang iklan-iklan, baik di media cetak maupun elektronik, tentang keberhasilan jajarannya menyangkut tugas yang diembannya. Satu sisi memang baik untuk mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang apa-apa saja yang sudah berhasil dicapai sebuah instansi pemerintahan dengan tujuan perbaikan kinerja di masa datang, tetapi jangan sampai media ini digunakan hanya untuk membangun image sedemikian rupa tentang instansi (bahkan pemerintahan) tersebut di mata masyarakat. Lebih parah lagi apabila persaingan antar instansi dalam hal “bikin iklan” di media massa menjadi sarana politis untuk mencegah menteri-menteri terkait diganti dan instansinya dikurangi anggarannya oleh Presiden.

Jadi, peran elite sebagai komunikator politik (dalam hal ini Presiden) sangat dominan terutama menyangkut propaganda politiknya. Pesan-pesan politik dibuat atau direkayasa sedemikian rupa untuk membentuk opini publik. Beberapa bentuk rekayasa opini publik yang dapat dijadikan contoh adalah masalah pemilu, demokrasi, rekrutmen politik, retorika politik, propaganda politik, dll. Dalam kasus dana nonbujeter Dinas Kelautan dan Perikanan masa dipimpin Rokhmin Dahuri, Presiden SBY yang disebut-sebut bersama tim suksesnya oleh mantan capres Amien Rais juga mendapat kucuran dana, seharusnya bertindak proporsional. Presiden seharusnya tidak “ikut-ikutan” Amien Rais membuat konferensi pers untuk menjelaskan kasus dana nonbujeter ini. Biarlah proses ini diselesaikan di ranah hukum, bukan politis, sehingga tidak membuat citra politik Presiden turun. Walaupun akhirnya Presiden menemui Amien Rais untuk membahas masalah ini dan melakukan komunikasi politik face to face yang seimbang dua arah, barulah masalah ini dapat clear. Yang mau kita garis bawahi di sini adalah tindakan Presiden dalam membuat “konferensi pers tandingan” setelah Amien juga melakukan hal yang sama sebelumnya, dengan tujuan menjelaskan kepada masyarakat (secara implisit) bahwa Presiden tidak pernah menerima dana tersebut. Tetapi yang terjadi adalah penggiringan opini publik yang biasanya dilakukan oleh media bahwa kasus ini melebar menjadi sebuah perseteruan dan rivalitas politis dengan Amien Rais. Di sini terlihat bahwa dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya, Presiden harus dapat melakukannya dengan elegan, menggunakan bahasa yang baik, tidak bermakna ganda, dan pastinya dengan media (channel) yang baik pula agar tidak terjadi multi-interpretation di masyarakat maupun kalangan media.

Masyarakat memang biasanya kurang paham atau kurang sadar akan permasalahan yang seperti ini (lack of awareness), bahwasanya informasi dan pesan-pesan politik yang diterimanya merupakan hasil rekayasa. Rekayasa ini biasa disebut rekayasa sosial politik (social politics engineering) yang dilakukan melalui medium media massa yang juga “berpartisipasi” membuat opini publik yang subjektif (second hand reality).

Media Politik Kepresidenan

Mengapa Presiden berbicara kepada pers? Salah satu alasannya adalah untuk mempromosikan tuntutan politik mereka sebelum bekerja sama dan bersaing dalam kepentingan. Presiden menggunakan pers untuk menyebarkan pesan di dalam pemerintahan dan juga di luar pemerintahan agar mempengaruhi hasil kebijakan dan membangkitkan atau meredakan kekhawatiran publik. Maka daripada itu, Presiden selalu berusaha menggunakan pers dalam memajukan kepentingan-kepentingan politik pemerintahannya.

Banyak pers yang ketika bertindak sebagai saluran berita juga berperan sebagai pembuat berita. Pemberitaan suatu media bukan lagi pemberitaan yang didasarkan atas realita melainkan konstruksi atas realita. Apa maksudnya? Pemberitaan oleh media-media jaman sekarang ini sudah tidak lagi didasarkan oleh sebuah fakta akan sebuah peristiwa tapi didasarkan pada kepentingan atau interest dari oknum tertentu yang ingin mengarahkan si subjek ke arah apapun yang ingin ia bawa. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, media telah memainkan peran sebagai second hand reality, realitas kedua yang biasanya memang bersifat sangat tendensius. Media juga telah menjadi guru dan menuntun kita untuk untuk mendefinisikan situasi sesuai dengan sajiannya.

Sebagian jurnalis terang-terangan membela gagasan, kebijakan, dan program tertentu karena mereka dibayar untuk mengambil sikap seperti itu. Mereka tidak berusaha untuk melaporkan atau menulis semua sisi cerita (penulisan berimbang atau netral) karena mereka biasanya percaya bahwa keseimbangan itu mustahil. Mereka harus menceritakan satu sisi saja, karena orang lain akan menceritakan sisi yang lain, dan mereka pun tahu bahwa semua kebenaran dan keseimbangan itu tidak relevan.

Sebuah hasil studi mengemukakan bahwa jurnalis lebih menyukai peran yang terletak kira-kira di antara netralis yang paling terbatas dan titik pandang membela dengan aktif. Para jurnalis merasa bahwa mereka harusnya menjadi reporter yang investigatif, bahkan kritikus dan lawan pemerintah. Namun, mayoritas sepakat bahwa wartawan harus menghindari berita yang isi faktualnya tidak dapat diuji. Dengan demikian, para jurnalis mendukung, menginterpretasi, menerangkan, merekam, menyelidiki, atau mengevaluasi bergantung pada keadaan.

Kita telah membahas bahwa Presiden dan pejabat pemerintahannya menggunakan pers untuk tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan politisnya sendiri. Selain itu, Presiden membaca, mendengarkan, dan menonton berita lokal maupun nasional dari media massa umum untuk memperoleh informasi tentang kejadian-kejadian yang tidak mengalir melalui saluran pemerintahan yang resmi, seperti contohnya situs resmi Kepresidenan www.presidensby.info yang menurut keterangan jubir presiden Andi Mallarangeng diakses oleh 50 ribu sampai 150 ribu surfer setiap harinya.

Salah satu kepentingan Presiden dalam memperhatikan media massa umum adalah untuk menaksir opini publik dari polling dan editorial yang diterbitkan. Berguna juga mendapatkan gambaran makro tentang reaksi publik tentang kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Karena Presiden menaruh perhatian pada pers, maka berita mempunyai dampak pada mereka. Presiden mendapat suatu ukuran tentang sebaik apa masyarakat menanggapi kebijakan yang dihasilkan melalui media massa yang diperhatikannya. Hal ini seharusnya dapat dijadikan sebagai sebuah pertimbangan bagi Presiden dalam membuat kebijakan-kebijakan yang lebih pro rakyat karena mengetahui persoalan-persoalan yang terjadi di negara ini.

Tetapi saya lihat hal itu belum terjadi. Masih ingat kasus kenaikan BBM yang terjadi dua kali di era Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan Maret dan Oktober 2005 lalu? Sebuah langkah visioner SBY yang keputusannya dipayungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang penyesuaian harga BBM (kenaikan kedua). Harga BBM ini relatif naik tinggi sekali, antara 80 sampai 185 persen, dibanding kenaikan BBM bulan Maret 2007 lalu. Dampak kenaikan ini sangat terasa, terutama pada tiga jenis BBM yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, yaitu: minyak tanah menjadi Rp 2.000; solar menjadi Rp 4.300; dan bensin premium menjadi Rp 4.500.

Ketika itu terjadi gelombang protes besar-besaran oleh semua kalangan, yang terjadi hampir di seluruh Indonesia. Presiden yang selalu memantau media massa seharusnya mengerti bahwa apabila harga BBM tetap dinaikkan di tengah situasi sosial seperti ini akan mengakibatkan berkuranya daya beli masyarakat dan biaya hidup rakyat miskin meningkat. Ketika itu pemerintah berpendapat bahwa menurut perhitungan ekonomi, kenaikan harga BBM tidak dapat dihindari lagi saat ini. Tidak dapat disangkal bahwa beban subsidi BBM tidak mungkin lagi ditanggung negara, terlebih dengan terus melonjaknya harga minyak dunia. Naiknya harga minyak dunia dipicu sejak wafatnya Raja Fahd dari Arab Saudi yang mempengaruhi situasi politik di negara-negara jazirah Arab dan juga sejak Amerika Serikat kehilangan banyak kilang minyaknya karena badai Katrina yang menyerang New Orleans dan beberapa negara bagian sekitarnya, sehingga pasokan minyak dunia relatif berkurang.

Untungnya ketika itu Presiden dan tim ekonominya sempat tampil secara khusus, sebelum kenaikan, di televisi-televisi nasional untuk menjelaskan rencana kenaikan ini secara detail sehingga harapannya rakyat bisa mengerti dan mendukung. Langkah-langkah komunikasi politik lainnya, seperti sosialisasi kebijakan, dialog, dan imbauan resmi oleh instansi pemerintah terkait (Pertamina, Departemen ESDM, Departemen-Departemen Ekonomi, dll) juga sudah dilakukan. Walaupun sepertinya rakyat tetap tidak bisa mengerti dan melakukan demonstrasi, tetapi setidaknya ditinjau dari sudut pandang komunikasi politik, hal ini sudah sepatutnya dilakukan seorang Presiden.

Bicara akses Presiden kepada pers itu sendiri, kita akan melakukan sebuah komparasi dengan melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat mempunyai akses yang sangat bebas, mudah, dan langsung kepada pers di negaranya. Hal ini memungkinkan Presiden Amerika Serikat tampil serempak pada radio dan televisi di jam-jam utama (prime time) dimana khalayak umum banyak yang mendengarkan dan menonton ketika itu. Penampilan Presiden ini memungkinkannya berbicara langsung kepada khalayak dan membuat media-media cetak membuat headline tentang tampilnya Presiden tersebut di halaman depan media mereka. Di Amerika, pidato kepresidenan pada radio atau televisi juga digunakan untuk memberi informasi kepada anggota pemerintahannya tentang sikap dan kebijakan yang dibuat sehingga mereka harus mematuhi dan mengikutinya dalam memberikan pernyataan-pernyataan kepada masyarakat atau media massa.

Untuk Presiden SBY, menurut jubirnya Andi Mallarangeng, juga melakukan hal yang serupa dalam melakukan proses komunikasi dengan rakyatnya. Biasanya Presiden juga mengetahui waktu-waktu mana yang sesuai untuknya berbicara dengan juga mengenal segmentasi masyarakatnya. Contohnya, ketika ingin mengkampanyekan masalah flu burung atau demam berdarah, sebaiknya dilakukan pada pagi hingga siang hari kepada ibu-ibu rumah tangga yang menonton televisi atau mendengar radio pada jam-jam tersebut. Sebaliknya apabila ingin mengkomunikasikan pesan yang berbau politis, maka sebaiknya dilakukan malam hari sekitar jam-jam 22.00 ke atas. Andi juga menambahkan bahwa malam hari adalah waktu-waktu potensial para pecandu politik (political junkies) menonton atau mendengarkan acara-acara politik.

Contoh lain menyangkut kebijakan Presiden SBY menyangkut masalah media adalah ketika terbitnya peraturan No11/P/M.Kominfo/7/2005 tentang pengurangan waktu siaran lembaga penyiaran di seluruh Indonesia oleh Depkominfo, yang ketika itu masih dipimpin oleh Sofyan Djalil. Pengurangan waktu siaran itu dilakukan dengan menutup siaran setiap hari mulai pukul 01.00 sampai 06.00 waktu setempat. Sedangkan selama bulan Ramadhan 2005 penutupan siaran dilakukan setiap hari mulai pukul 01.00 sampai 03.00 waktu setempat.

Yang disesalkan adalah mengapa Menkominfo mengeluarkan peraturan yang saya nilai membatasi akses publik untuk mendapatkan informasi melalui siaran televisi maupun radio. Bahkan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai peraturan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang merupakan bagian dari terciptanya sebuah masyarakat yang sejahtera demi mewujudkan taraf hidup manusia Indonesia yang lebih cerdas dan berakhlak serta bermoral tinggi. Menurut saya ini adalah salah bentuk komunikasi politik yang buruk oleh Presiden karena terbitnya Peraturan Menteri ini adalah dalam rangka Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi. Masalah kelangkaan BBM ketika itu memang membuat Presiden melakukan penghematan di segala sektor yang didasarkan pada implementasi Inpres tersebut.

Opini Publik

Opini publik dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan, dan usul yang diungkapkan oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas dicapainya ketertiban sosial dalam situasi yang mengandung konflik, perbantahan, dan perselisihan pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.

Pokok dasar pikiran kita tentang komunikasi politik ialah bahwa orang bertindak terhadap objek berdasarkan makna objek itu bagi dirinya. Akan tetapi makna sebuah objek, apakah objek itu manusia, tempat, peristiwa, gagasan atau kata, tidak tetap dan tidak statis. Orang terus menerus menyusun makna berbagai objek dengan menangani objek-objek itu. Singkatnya, orang berprilaku terhadap objek dengan memberikan makna kepadanya, makna yang pada gilirannya diturunkan dari perilakunya sebagai individu. Melalui kegiatan komunikasi memberi dan menerima di antara makna dan tindakan ini orang memperoleh kecenderungan tertentu.

Opini pribadi terdiri atas kegiatan verbal dan nonverbal yang menyajikan citra dan interpretasi individual tentang objek tertentu di dalam setting, biasanya dalam bentuk isu. Agar opini publik dapat tersusun, opini pribadi harus dimiliki bersama secara luas melalui kegiatan kolektif dengan lebih banyak orang ketimbang yang menjadi pihak pencetus perselihan atau masalah yang menyebabkan munculnya isu.

Tahap pertama pempublikasian konflik pribadi ialah munculnya pertikaian yang memiliki potensi menjadi isu. Kedua ialah munculnya kepemimpinan untuk melakukan publikasi. Kepemimpinan seperti itu bisa dilaksanakan oleh suatu pihak dari pertikaian yang semula, seseorang yang berkomunikasi melampaui orang-orang yang dikenalnya secara pribadi. Yang khas, kepemimpinan demikian berasal dari tipe komunikator yang secara tetap memanfaatkan makna mempublikasikan isu, baik untuk keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan yang lebih umum: politikus, komunikator profesional, dan aktivis. Jika kepemimpinan telah merangsang komunikasi tentang suatu isu melalui saluran massa, interpersonal, dan organisasi maka terbukalah jalan bagi tahap ketiga dari pembentukan opini, yakni munculnya interpretasi personal. Ringkasnya, interpretasi personal memberikan gambaran tentang opini yang ada, apa yang mungkin dilakukan oleh orang lain, dan apa yang dapat diterima oleh individu. Ini menuju tahap akhir pembentukan opini, tahap yang menyesuaikan opini pribadi setiap orang kepada persepsinya tentang opininya yang lebih luas, yakni opini publik. Noelle-Neumann membuat hipotesis bahwa kesediaan orang untuk menyingkapkan pandangan mereka di depan umum bergantung pada taksiran masing-masing tentang iklim dan kecenderungan opini di lingkungan masing-masing.

Jadi jika seseorang mempersepsikan bahwa pandangannya sejalan dengan iklim dan atau kecenderungan opini, orang itu cenderung bertindak dengan suatu cara di depan umum untuk mengungkapkan opini pribadinya. Ini membantu penyusunan opini publik secara kolektif. Singkatnya, orang yang mengikuti arus opini yang dipersepsi dapat mengungkapkan pandangannya dengan perasaan aman bahwa ia tidak memulai perjalanan yang membangkitkan kecemasan. Sebaliknya, melalui melalui pengungkapan opini itu ia menurunkan jenis jaminan, presisi yang menurut teori Sullivan adalah kebutuhan esensial manusia.

Inti dari pembentukan opini adalah proses empat tahap yang melibatkan kesalinglingkupan aspek personal, sosial, dan politik melalui munculnya: pertikaian yang mempunyai potensi menjadi isu, kepemimpinan politik, interpretasi personal dan pertimbangan sosial, dan kesediaan mengungkapkan opini pribadi depan umum.

Kita telah mempelajari karakteristik utama opini pribadi; opini mempunyai isi (opini adalah tentang sesuatu), arah (percaya-tidak percaya, dll), dan intensitas (kuat, sedang, atau lemah). Opini publik juga meiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, terdapat juga isi, arah, dan intensitas mengenai opini publik. Kedua, kontroversi menandai opini publik, yaitu sesuatu yang tidak disepakati seluruh rakyat. Ketiga, opini publik mempunyai volume berdasarkan kenyataan bahwa kontroversi itu menyentuh semua orang yang merasakan konsekuensi langsung dan tidak langsung daripadanya. Keempat, opini publik itu relatif tetap.

Kita pun mengenal tiga wajah opini publik. Pertama, ialah wajah opini massa, berasal dari perseorangan yang mencapai pilihan personal dan konsidensi pilihan ini melalui proses selektivitas konvergen, suatu alat untuk mencapai ketertiban sosial. Wajah kedua terdiri atas semua pengungkapan tentang persetujuan berbagai kelompok, yaitu wajah opini kelompok. Wajah ketiga dari opini publik ialah opini rakyat, yaitu penjumlahan opini perseorangan seperti yang diukur oleh survei politik, pemberian suara pada pemilu, dll.

Penting untuk mengingat dua hal yang menyangkut ciri pluralis opini publik. Pertama, opini publik tidak identik dengan yang mana pun dari ketiga wajah ini. Opini publik adalah pengungkapan kolektif dari kepercayaan, nilai, dan pengharapan personal yang tampil melalui saling pengaruh dari ketiga manifestasi. Kedua, ialah bahwa ketiga wajah opini publik itu bisa tidak konsisten terhadap satu sama lain. Artinya, opini massa yang oleh para pemimpin dilambangkan sebagai publik, posisi kelompok terorganisasi, dan opini rakyat yang diukur bisa saling berkontradiksi.

Ada beberapa implikasi sosial yang inheren dalam pandangan opini publik yang dibahas di sini. Satu diantaranya menunjuk pada peran yang dimainkan oleh media masa dalam proses opini. Salah satu artinya, ialah bahwa media membantu menciptakan opini publik yang tidak semata-mata dengan mengatakan kepada rakyat apa yang harus dipikirkan, fungsi agenda setting. Akan tetapi juga ada arti lain, yaitu bahwa media memang mengatakan apa yang harus dipikirkan. Sejauh orang masih mengandalkan media yang mana pun, bagi sampling personal mereka tentang apa yang dipikirkan oleh orang lain, media menyajikan gambaran tentang konsensus sosial.

Sifat timbal balik proses opini ini terus membentuk ciri kedua dari segi politiknya, yaitu sifat problematik dari hubungan antara opini publik dan kebijakan publik. Jika rakyat memainkan memainkan peran inisiatif-nasihat, maka pejabat kebijakan berkonsultasi untuk meminta nasehat mereka. Warga negara bahkan memprakarsai kebijakan yang akan dirumuskan. Fungsi veto-dukungan lebih khas ketimbang fungsi yang pertama. Di sini peran opini publik menerima kebijakan tanpa membantah. Penolakan yang disuarakan secara meluas, terutama dari kepentingan khusus yang berpengaruh, merupakan veto publik terhadap kebijakan itu.

Pemberi peluang lain bagi munculnya hubungan problematik di antara opini dan politik ialah sifat komunikasi politik di antara pejabat pemerintah dan warga negara secara pribadi. Dengan menumbuhkan ilusi bahwa kebijakan itu sesuai dengan mitos kehendak atau kepentingan publik, pejabat memobilisasi dukungan tertentu dan difusi yang meluas. Dibandingkan dengan apa yang dapat dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk menjual kebijakan, arus balik dari publik kepada pembuat kebijakan itu hanya merupakan tetesan kecil, yang hampir tidak menyajikan gambaran yang utuh tentang keanekaragaman pandangan yang benar-benar disuarakan. Alat untuk mengukur opini publik itu relatif kasar jika dibandingkan dengan kecanggihan teknik modern untuk pengelolaan opini. Hasilnya ialah banyak yang merefleksikan opini rakyat; kebanyakan menggambarkan memberi dan menerima dari opini kelompok.

Dalam kasus interpelasi Iran, kita melihat bahwa media membantu menciptakan opini publik bahwa Presiden harus hadir saat sidang interpelasi di DPR. Jubir Presiden Andi Mallarangeng mengatakan bahwa Presiden tidak perlu hadir memenuhi panggilan DPR dalam kasus interpelasi Iran. Dasar hukumya adalah Pasal 174 Butir d Tata Tertib DPR yang menyatakan bahwa Presiden dimungkinkan menugaskan menteri terkait mewakilinya menjawab pertanyaan DPR langsung. Menurut Andi, selama ini secara tradisional memang diwakilkan. Pada saat kasus busung lapar, tidak ada persoalan. Di era kepemimpinan Presiden Megawati juga begitu. Bahkan Megawati juga pernah mengutus Menko Polkam, yang ketika itu dijabat Susilo Bambang Yudhoyono, menghadiri sidang interpelasi di DPR.

Presiden sebagai komunikator politik memang harus mampu mengkomunikasikan pesan-pesan politik sedemikian rupa kepada masyarakat Indonesia yang sangat beragam agar opini publik yang terbentuk tidak malahan mendeskriditkan Presiden seperti contoh yang telah saya sebutkan pada pembahasan sebelumnya. Untuk itu, juru bicara presiden Andi Mallarangeng menyebutkan bahwa komunikasi politik yang dilakukan Presiden maupun jubir dan menterinya haruslah mampu menjangkau (reach out) semua segmentasi masyarakat.

Berbagai upaya harus ditempuh agar komunikasi politik Presiden punya nilai berita. Upaya-upaya tersebut antara lain adalah melalui gaya bahasa yang disesuaikan dengan khalayak penerimanya, marketing berita yang menarik, saluran-saluran (channel) media yang mudah diakses, dan yang paling penting adalah dengan tetap menyisihkan waktu untuk bertemu langsung dengan rakyatnya (face to face communication). Dan apabila ada salah berita atau mispersepsi berita, maka Presiden punya hak untuk mengadakan konferensi pers dan menggunakan hak jawab penuh atau bantahan tentang apapun yang dianggap mencemarkan dirinya atau pemerintahannya selama itu masih dalam proses demokrasi yang murni dan konsekuen. Intinya komunikasi dengan masyarakat harus dijaga oleh para pembuat keputusan politik. Sistem demokrasi menuntut adanya pengaruh yang besar dari masyarakat terhadap penguasa politik dalam proses pembuatan peraturan atau keputusan. Gabriel Almond menunjukkan dalam tulisannya bahwa sistem non demokratis pun masih mungkin memperhatikan suara rakyat. Namun, tentu saja dengan cara-cara atau struktur yang berbeda dari sistem politik demokratis.

Karena komunikasi adalah proses dua arah, maka Presiden pun seharusnya mendengarkan suara rakyatnya. Proses penyampaian aspirasi rakyat, baik berupa tuntutan maupun dukungan, kepada sistem politik (pemerintah) haruslah dipertimbangkan dalam proses pembuatan kebijakan nantinya. Pada era reformasi seperti sekarang ini dimana kekuasaan ada pada masyarakat dan pers pun bebas, civil society juga punya kapabilitas politik dan publik luas punya opini yang disebut opini publik. Saya rasa mereka perlu didengar dan diberi penjelasan. Mereka perlu dikondisikan agar setiap kebijakan pemerintah dapat dimengerti dan didukung. Jika publik mendukung, segala upaya politisasi oleh lawan politik (atau pemberitaan media yang sering tidak netral) akan mudah diantisipasi. Publik sendiri tidak akan termakan provokasi oposisi politik jika mereka merasa memahami dan diajak bicara.

Umpan Balik (Feedback)

Salah satu unsur dalam rangka proses komunikasi adalah umpan balik (feedback). Unsur ini sangat besar peranannya dalam setiap proses komunikasi karena memberikan komunikator suatu informasi tentang bagaimana komunikan mengintepretasikan pesan yang diterimanya. Arus umpan balik ini diharapkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan komunikasi. Dalam ilmu komunikasi, feedback yang diharapkan adalah yang menyenangkan. Artinya penyampaian pesan dari komunikator mendapat tanggapan yang menyenangkan dari komunikan, sehingga seterusnya menjalin hubungan yang favourable dalam berkomunikasi.

Dalam melakukan komunikasi politiknya, Presiden mendapatkan feedback yang tidak hanya positif tetapi juga negatif. Itu adalah resiko sebuah jabatan politis. David Easton juga menyebutkan dalam analisis sistem politiknya bahwa dalam proses pemberian input (masukan) kepada pemerintah oleh rakyat sebagai infrastruktur politik kepada lembaga konversi sebagai suprastruktur politik juga mengharapkan adanya feedback berupa kebijakan-kebijakan yang pro rakyat.

Menurut David Berlo feedback ada yang disebut external feedback, yaitu umpan balik yang datang dari komunikan kepada komunikator. Feedback seperti itu disebut umpan balik segera (immediate feedback). Sehubungan dengan adanya immediate feedback, maka dikemukakan juga adanya umpan balik tidak langsung (indirect atau delayed feedback). Indirect feedback ini adalah umpan balik yang tertunda, biasanya menyangkut pada medium massa, misalnya surat pembaca kepada redaksi surat kabar. Respon dari masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah juga dikategorikan indirect feedback karena prosesnya tidak langsung. Dalam ilmu politik salah satu cara masyarakat melakukan proses feedback kepada pemerintah adalah melakukan proses partisipasi politik.

Jenis-jenis feedback menurut Ralph Webb Jr. terbagi dalam beberapa jenis: yang pertama adalah zero feedback, yaitu feedback yang diterima komunikator dari komunikan, oleh komunikator tidak dapar dimengerti tentang apa yang dimaksud komunikan. Kedua adalah positive feedback yaitu, pesan yang dikembalikan komunikan kepada komunikator dapat dimengerti dan mencapai persetujuan, komunikan bersedia berpartisipasi memenuhi ajakan seperti yang termuat dalam pesan yang diterimanya. Ketiga adalah neutral feedback, yaitu feedback yang tidak memihak, artinya pesan yang dikembalikan komunikan kepada komunikator tidak relevan dengan masalah yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Dan yang terakhir adalah negative feedback, yaitu pesan yang dikembalikan oleh komunikan kepada komunikator tidak mendukung atau menentang sehingga terjadi kemarahan atau kritik.

Dalam proses komunikasi politik kepresidenan, banyak yang terjadi adalah negative feedback dimana kritik banyak sekali yang dialamatkan kepada pemerintah. Walaupun saya merasa memang kinerja pemerintah masih belum maksimal, terkadang kritikan-kritikan ini terjadi tidak pada tempatnya dan kurang solutif adanya. Secara pribadi saya salut kepada Presiden yang menyediakan media komunikasi bagi rakyatnya kepada dirinya melalui P.O. BOX, SMS, dan situs sehingga suara rakyat, mendukung atau menuntut, dapat ditampung dan dicari solusinya.

Penutup

Menurut pemikiran John Corner dan Dick Pels, era komunikasi politik sekarang memasuki era 3C. Pertama konsumerisme (consumerism), kedua selebriti (celebrity), dan ketiga sinisme (cynicism). Kandidat yang ingin menang pemilu atau pilkada harus dengan cara konsumerisme. “Menjual” kandidat hampir sama dengan menjual shampoo. Iklannya harus ada di mana-mana. Ini yang disebut politik pencitraan (political image).

Lalu selebriti. Mereka yang ingin maju, bahkan ketika sudah memerintah pun, harus tetap memelihara citranya. Dan ketiga, sinisme. Baik media maupun masyarakat akan sinis terhadap tokoh politik dan partai politik. Sinisme itu cocok jalannya dengan parodi. Parodi itu seperti ayunan. Kalau pemerintahannya kacau, parodinya naik. Kalau pemerintahannya bagus, parodi tenggelam. Celakanya, orang yang terlibat dengan parodi itu juga jadi selebritis. Dia lahir dalam konteks sinisme untuk memperbaiki pemerintahan, tetapi dia juga harus ikut dalam konsumerisme dan selebritisasi tadi.

Menutup makalah ini, kembali ke persoalan komunikasi politik kepresidenan, menurut saya sekarang sudah saatnya Presiden memiliki sebuah tim komunikasi politik. Sejauh pengamatan saya memang SBY belum memiliki tim komunikasi politik sendiri. Presiden hanya mempunyai dua orang jubir untuk mengkomunikasikan pesan-pesan politiknya.

Mengikuti lembaga kepresidenan di Amerika Serikat, tim komunikasi politik terebut dapat diletakkan di bawah kantor kepresidenan atau setneg. Tim itu bertugas untuk mencari tahu apa yang akan menjadi reaksi publik jika sebuah kebijakan diambil. Tim itu juga dapat mengusulkan untuk memodifikasi sebuah kebijakan untuk mengurangi resistensi publik.

Di negara-negara maju, tim komunikasi politik tersebut memiliki pollster dan marketing. Pollster bertugas melakukan jajak pendapat untuk mendapatkan gambaran makro reaksi publik. Sementara marketing bertugas mencari cara sosialisasi seefektif mungkin agar sebuah kebijakan mendapat dukungan seluas mungkin. Diharapkan dengan adanya tim ini, maka komunikasi politik yang dilakukan Presiden beserta segenap jajarannya dapat dimaksimalkan untuk kepentingan bersama.

Daftar Pustaka

Buku
• Almond, Gabriel A. and James Coleman. 1960. The Politics of the Developing Areas. New Jersey: Princeton University Press.
• Alfian. 1991. Komunikasi Politik dalam Sistem Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
• Apter, David E. 1985. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia.
• Budiarjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
• J.A., Denny. 2006. Jalan Panjang Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
• Meinanda, Teguh. 1981. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: CV. Armico.
• Meinanda, Teguh. 1981. Pengantar Ilmu Komunikasi dan Jurnalistik. Bandung: CV. Armico.
• Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik. Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
• Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik. Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
• Susanto, Astrid S. 1985. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung: Binacipta.
• Rauf, Maswardi dan Mappi Nasrun. 1993. Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Referensi Lainnya
• Kompas
• Media Indonesia
• Monitor Depok
• Republika
www.google.co.id
www.presidensby.info


* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

0 Comments: