Tuesday, June 23, 2009
Pendahuluan
Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Menurut Prof. Koentjoro Poerbapranoto, hak asasi adalah hak yang bersifat asasi. Artinya, hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya sehingga sifatnya suci. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, atau jenis kelamin, dan karena itu bersifat universal. Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.
Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari droits de l’homme (Perancis), human rights (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda). Di Indonesia hak asasi pada umumnya lebih dikenal dengan istilah “hak-hak asasi” sebagai terjemahan dari basic rights (Inggris) dan grondrechten (Belanda), atau bisa juga disebut hak-hak fundamental (civil rights). Istilah hak-hak asasi secara monomental lahir sejak keberhasilan Revolusi Perancis tahun 1789 dalam “Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen” (hak-hak asasi manusia dan warga negara Perancis), dengan semboyan Liberte, Egalite, Fraternite. Namun demikian, sebenarnya masalah hak-hak asasi manusia telah lama diperjuangkan manusia di permukaan bumi.
Latar belakang sejarah hak asasi pada hakekatnya muncul karena keinsyafan manusia terhadap harga diri, harkat, dan martabat kemanusiaannya sebagai akibat tindakan sewenang-wenang dari penguasa, penjajahan, perbudakan, ketidakadilan, dan tirani yang melanda seluruh umat manusia. Dalam proses ini telah lahir beberapa naskah yang secara berangsur-angsur menetapkan bahwa ada beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia dan karena itu bersifat universal. Naskah-naskah itu, beberapa di antaranya adalah Magna Charta (1215), Bill of Rights (1689), Declaration of Independence (1776), Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen (1789), Atlantic Charter (1941), dan Universal Declaration of Human Rights (1948). Bahkan beberapa pemikir Islam melihat bahwa Piagam Madinah dapat dikategorikan sebagai deklarasi hak asasi manusia pertama di dunia. Dalam piagam tersebut, setiap masyarakat Madinah diperbolehkan menganut agama masing-masing dan tidak mengganggu orang untuk beribadah. Karena itu para pemikir Islam banyak yang beranggapan bahwa piagam ini merupakan teks pengakuan hak asasi manusia. Walaupun teks ini dilanggar oleh kelompok non Muslim, namun sumbangsih Islam terhadap cetak biru hak asasi manusia di bumi ini haruslah diakui.
Seperti juga di negara-negara lain, Indonesia juga mencantumkan beberapa hak asasi di dalam UUD 1945. sebelum diamandemen, pasal-pasal yang memuat hal tentang hak asasi manusia ada dalam pasal 27-31. Setelah diamandemen, tepatnya pada perubahan kedua tahun 2000, dalam UUD terdapat pasal sendiri yang memuat tentang Hak Asasi Manusia, yaitu pasal 28A-J.
Masa Awal HAM di Indonesia
Pemikiran tentang hak asasi manusia mendapat landasan yang kuat seusai berakhirnya Perang Dunia II, setelah dunia mengalami salah satu bentuk kekuasaan yang paling mengerikan dalam sejarahnya, yakni fasisme. Pada saat bersamaan, di berbagai belahan tanah jajahan muncul negara-negara baru yang merdeka, termasuk Indonesia. Semangat yang hadir saat itu adalah keadilan, kebebasan, dan penolakan terhadap segala jenis penindasan.
Naskah Pembukaan UUD 1945 mencatat semangat tersebut dengan mengatakan “kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan karena itu penjajahan di muka bumi harus dihapuskan”. Semangat yang sama juga tercermin dalam perumusan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Seperti yang sudah disebutkan, dalam Batang Tubuh UUD 1945 (sebelum diamandemen) juga dapat ditemukan pasal-pasal tentang hak asasi manusia yaitu Pasal 27-31.
Dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia, perlindungan atas hak asasi manusia dirasa masih kurang. Pada Sidang Konstituante tahun 1950 perubahan pun dilakukan dengan mencantumkan 28 pasal khusus tentang hak asasi manusia. Dimasukkannya pasal-pasal baru yang mengatur tentang hak asasi manusia ini berlangsung dalam proses pembentukkan sistem kenegaraan yang lebih terbuka dan pastinya demokratis, serta menciptakan tatanan ekonomi, sosial, dan budaya yang adil.
Proses ini kemudian dipatahkan pada tahun 1965. Perubahan politik menyusul usaha kudeta yang gagal tersebut membuat terjadinya kekerasan yang tidak ada bandingnya dalam sejarah negeri ini. Di hampir seluruh wilayah Indonesia terjadi pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, penangkapan, dan penahanan sewenang-wenang, pengadilan tidak adil terhadap sebagian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta pendukung Soekarno.
Pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia dikesampingkan dengan alasan “menjaga keselamatan bangsa”, dan pembicaraan tentang hak asasi manusia sebagai ketentuan konstitusional pun terkubur. Dekrit Presiden tahun 1959 dipandang sebagai momentum terhentinya pembicaraan tentang hak asasi manusia, dengan dibubarkannya Konstituante dan kembali berlakunya UUD 1945.
Di bawah penguasa yang baru ketika itu, yaitu Jenderal Soeharto, pembicaraan tentang hak asasi manusia menjadi sangat terbatas dan bermuka dua. Di satu sisi ada euforia kemenangan terhadap pemerintahan Soekarno yang sewenang-wenang, tetapi di sisi lain segala kesewenangan “penguasa baru”, tidak banyak dibicarakan, bahkan dibenarkan dengan alasan “menjaga keselamatan bangsa”. Tidak sedikit pemikir dan aktivis yang menilai masa awal Orde Baru sebagai periode paling demokratis dalam sejarah Indonesia, tetapi menutup mata terhadap salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar yang terjadi pada saat yang bersamaan. Sangat ironis memang.
Dalam proses konsolidasi Orde Baru, paling tidak selama dua puluh tahun pertama, pembicaraan tentang hak asasi manusia sangatlah terbatas hanya dalam aspek legal formal, dan berkaitan langsung dengan kebutuhan pembelaan di pengadilan. Pembicaraan tentang hak asasi manusia baru meluas kembali seiring dengan tumbuhnya gerakan demokratisasi di tahun 1980-an, dengan dimasukkannya hak atas tanah, hak mendapat penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, perlindungan atas lingkungan hidup, hak perempuan dari perilaku-perilaku diskriminatif, dan isu-isu lainnya.
Di masa selanjutnya pembicaraan tentang hak asasi manusia ini terus berkembang dan mempertajam berbagai pengertian. Misalnya, hak atas lingkungan hidup berkembang bersama hak masyarakat adat menentukan kehidupan ekonomi dan budayanya sendiri, sementara hak atas tanah berkembang menjadi hak mengelola tanah pertanian secara mandiri. Hal terpenting adalah masyarakat secara langsung terlibat dalam merumuskan dan mendefinisikan pengertian hak asasi manusia tersebut.
Proses ini sempat membuat cemas penguasa Orde Baru yang kemudian menuduh ide penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai pikiran liberal yang bertentangan dengan budaya bangsa. Di tingkat praktis, penguasa kerap mengancam dan menyatakan perang terhadap pihak yang tidak kooperatif terhadap bangsa di forum-forum internasional. Sikap ini melemah ketika dunia internasional justru memberi dukungan terhadap kampanye dan advokasi hak asasi manusia in, dan penguasa pun menggunakan tameng partikularisme untuk melawan paham Barat yang universal. Sebaliknya dengan kebijakan ekonomi, penguasa Orde Baru mengikuti tuntutan liberalisasi yang jelas mewakili kepentingan Barat. Dengan demikian membantu menjadikan kapitalisme sebagai cara produksi yang berlaku universal.
Perkembangan wacana hak asasi manusia yang meluas ini ternyata tidak berjalan seiring dengan tumbuhnya pengertian baru tentang demokrasi. Konsep demokrasi yang terbatas pada pembenahan sistem politik dan aturan main (rule of the game) untuk mempertahankan sistem yang bersih dan berwibawa, tidak mampu menjawab persoalan-persoalan dasar, seperti perlindungan bagi perempuan, kesejahteraan rakyat, atau tindak kekerasan yang dilakukan aparat. Masalah-masalah seperti itu kerap dianggap berada di luar konteks pembicaraan politik dan hanya merupakan urusan ahli ekonomi atau sosial saja.
Potret HAM Pasca Orde Baru
Membaca hak asasi manusia di Indonesia pasca Orde Baru atau era Reformasi, memang begitu melelahkan. Sebab sebagaimana terlihat pada era ini, yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia adalah hampir semua unsur negara Indonesia. Jika pada Orde Baru, yang sering melakukan pelanggaran hak asasi manusia adalah aparat pemerintah, dalam hal ini TNI, maka pada era sekarang, hak asasi manusia dilanggar secara “bersama-sama”. Dalam konteks ini, pelanggaran hak asasi manusia merupakan hal yang biasa terjadi di tengah masyarakat atau oleh masyarakat sendiri.
Secara garis besar, pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama era reformasi dapat dipetakan menjadi tiga pelaku. Pertama, pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara atau difasilitasi oleh negara. Jenis pelanggaran hak asasi manusia ini hampir sama dengan yang terjadi pada Orde Baru dimana militerisme masih merupakan solusi dalam menyelesaikan isu-isu separatisme di berbagai daerah konflik di Indonesia. Demikian juga pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan melalui pemberlakuan Undang-Undang Anti Subversif seperti yang telah dilakukan pada masa mantan Presiden Soeharto.
Dua penerus Soeharto pertama, Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid, menggunakan pendekatan tanpa kontrol terhadap kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Keduanya menempuh langka nyata dalam menangani pelanggaran-pelanggaran masa lalu. Pada akhir kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid, sebagian besar tahanan politik (tapol) yang ditawan selama pemerintahan Soeharto telah dibebaskan. Fenomena ini memang merupakan keberhasilan dua presiden in, dimana kebijakan-kebijakan mereka tidak populer di kalangan pro status quo.
Karena itu, eskalasi pelanggaran hak asasi manusia meningkat sejak tahun 2002, saat Megawati menjadi presiden. Pada masa tersebut hingga sekarang, setiap ada aksi kebebasan mulai dianggap mencancam negara. Sejak kepemimpinan Megawati, tidak sedikit mereka yang dijebloskan ke penjara karena dianggap menghina negara atau simbol negara. Pembenahan kembali undang-undang kolonial dan praktek-praktek era Soeharto yang sistematik dapat ditelusuri ulang ke bulan Juli dan Agustus 2002, ketika sejumlah kejadian penangkapan para aktivis politik di Jakarta. Penangkapan ini menyusul kejengkelan Megawati ketika foto-fotonya diinjak oleh demonstran dan penolakan berbagai kebijakan pemerintah Megawati yang sama sekali tidak memihak kepada wong cilik.
Pada era Megawati, setidaknya ada beberapa aktivis yang ditangkap karena mengancam “stabilitas” negara. Mereka diantaranya, yaitu Nang Mamija dan Muzakkir (pengamen jalanan); Susyanti, An’am Jaya, Sahabudin, Ansar Suherman, Hariansyah, dan M. Akman (Front Pemerintah Rakyat Miskin); Ignas Mau dan Firman (mahasiswa); Raihana Dany (Organisasi Perempuan Aceh); dll.
Selain beberapa hal yang telah dijelaskan sebelumnya, gejala mandulnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan gaungnya pada era reformasi tidak memberikan implikasi yang signifikan terhadap perjalanan hak asasi manusia di Indonesia. Di era Orde Baru, mereka dipandang sebagai tempat terakhir mengadu setiap ada pelanggaran hak asasi manusia. Namun sampai saat ini setiap ada temuan, komisi yang diketuai Abdul Hakim Garuda Nusantara ini kurang efektif dalam penanganannya.
Kedua, masyarakat sipil yang bersenjata. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh masyarakat sipil bersenjata sangat kental dijumpai di daerah konflik seperti di Maluku, Ambon, dan Aceh. Dalam berbagai laporan kerusuhan, tampak bahwa sipil bersenjata merupakan hal yang tidak begitu mengejutkan pada era reformasi. Seperti di Maluku, tempat konflik antara kelompok Muslim dan Kristen ternyata seperti perang suku zaman belum beradab dulu. Masing-masing menggunakan senjata tajam ketika berhadapan dan hanya karena beda agama, mereka saling bacok dan bunuh.
Kendati sebab-musabab kerusuhan mudah sekali dicari, namun fenomena menggunakan senjata merupakan hal yang tidak lazim dalam sejarah kerusuhan di Indonesia. Ketika rakyat sipil menggunakan senjata untuk saling membunuh, maka hal itu menjadi sebuah hal yang harus dihilangkan. Dalam kasus Maluku, kehadiran laskar jihad yang menyerukan jihad di Maluku dengan menggunakan senjata, baik dirakit sendiri maupun dirampas dari aparat, memang membuat konflik kian parah. Hal ini tentu saja main hakim sendiri, kendati atas nama agama.
Fenomena di Aceh juga tidak kalah menarik untuk dipelajari mengenai bagaimana tindakan sipil bersenjata yang bernaung di bawah organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebelum mereka menandatangani perjanjian damai di Helsinki Agustus 2005 lalu tentunya. Kendati GAM hanya ingin berperang melawan TNI, namun jatuhnya korban di pihak sipil juga mengkhawatirkan. Tembak di tempat (shot on site) adalah sesuatu yang sangat lazim dilakukan pihak GAM. Hal ini dipicu oleh adanya senjata di pihak yang dimaksudkan untuk menakuti rakyat sipil. Namun uniknya, GAM sendiri mengaku bahwa senjata mereka juga berasal dari TNI melalui transaksi bisnis antara TNI dan GAM. Pada gilirannya, senjata tersebut digunakan untuk berperang dan menembak masyarakat sipil yang tidak mendukung perjuangan GAM. Alhasil, pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, selain dilakukan oleh TNI/POLRI, juga dilakukan pihak GAM sendiri.
Dari beberapa uraian di atas, tampak sebuah kesimpulan bahwa adanya senjata di pihak sipil, selain diperoleh melalui cara mereka sendiri, ternyata juga dipicu oleh lengahnya aparat keamanan dalam menjaga senjata mereka agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Karena itu, eskalasi pelanggaran hak asasi manusia seperti yang telah dibahas di atas, juga dipicu oleh pihak sipil.
Ketiga, masyarakat sipil yang tidak bersenjata. Fenomena pelanggaran hak asasi manusia oleh sipil yang minus senjata ini ternyata mengalami lonjakan yang signifikan pada era reformasi. Tampaknya ini menjadi agenda kita ketika melihat rakyat mengamuk dan tidak dapat dikendalikan oleh aparat keamanan. Sejak kerusuhan Mei 1998 lalu, fenomena kerusuhan sangat mudah ditemukan. Kejadian seperti itu memang bukan tanpa sebab, jika dipetakan, kerusuhan memang dipicu oleh persoalan sosial, politik, ekonomi, dan agama.
Peristiwa kerusuhan Mei 1998, terutama tanggal 13 Mei, juga menyimpan luka mendalam bagi korbannya. Dalam tragedi ini, rakyat yang tidak bersenjata menjadi begitu ganas dan menyeramkan. Kendati hasil yang dicapai adalah turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun, namun implikasi pelanggaran hak asasi manusia juga menjadi ekses lain yang harus segera diselesaikan. Dampak sosial politik dari peristiwa ini pun sangat serius, sebab setelah kejadian tersebut berbagai misteri pelanggaran hak asasi manusia mulai mencuat.
Peristiwa pelanggaran hak asasi manusia lain yang dilakukan oleh sipil tidak bersenjata adalah ketika proses pemakzulan Abdurrahman Wahid pada Mei 2001. Dalam situasi dimana pendukung Gus Dur ini tidak menerima perlakuan parlemen terhadap cucu pendiri Nahdhatul Ulama ini, maka mereka pun melalukan amuk massa di Situbondo, Gresik, Sidoarjo, Bondowoso, Pasuruan, dan beberapa kota lainnya di Jawa Timur sebagai basis kawasan pendukung Gus Dur. Tempat-tempat yang dirusak adalah aset pemerintah, Muhammadiyah, gereja, PDI-P, dan PAN. Kejadian ini tentu mencoreng wajah Indonesia yang tengah bertransisi menuju demokrasi. Mudahnya massa dimobilisasi untuk melakukan penjarahan dan pembakaran merupakan bukti bahwa bangsa kita memang memiliki kepribadian dan nalar yang tidak sehat serta cenderung destruktif.
Demikian juga rentetan kejadian peledakan bom bunuh diri di Indonesia sejak kejadian 9/11 di Amerika Serikat dan terorisme mulai menggejala di dunia. Kasus terorisme di Indonesia memang memberikan implikasi yang negatif terhadap dinamika hak asasi manusia di Indonesia. Kenyataan ini memperlihatkan bagaimana keterampilan sipil yang tidak bersenjata dalam merakit bom dan meledakkannya secara profesional. Harus diakui, hal ini membuat Indonesia dicap oleh dunia internasional sebagai sarang teroris. Karena itu hak asasi manusia sendiri masih merupakan diskursus yang sulit terselesaikan di Indonesia. Hal ini pada gilirannya merupakan agenda bagi pemerhati hak asasi manusia untuk terus menggali aspek-aspek yang selama ini “terabaikan” dalam realisasi hak asasi manusia di Indonesia.
Dari beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa penegakan hak asasi manusia pasca Orde Baru tidak memberikan peningkatan yang signifikan. Kita lihat contohnya, misalkan aparat negara, sipil yang bersenjata, yang tidak bersenjata begitu banyak yang melanggar hak asasi manusia. Semua kasus-kasus di atas tidak lepas dari kebijakan dan political will pemerintah untuk bagaimana benar-benar mengedepankan masalah-masalah hak asasi manusia ini.
Hubungan Antara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Dilema antara perluasan makna hak asasi manusia di satu sisi dan penyempitan pengertian demokrasi di sisi lain, berulang kali muncul sehingga menjadi sebuah diskursus tersendiri. Dalam proses ini hak asasi manusia dimengerti secara abstrak dan dirumuskan sebagai persamaan di depan hukum, jaminan perlindungan pribadi, dan kebebasan nurani. Dalam pengertian ini, demokrasi politik memberikan peluang besar terwujudnya kebebasan dasar dan persamaan, bahwa kebebasan dasar dan persamaan akan terwujud bila terdapat mekanisme efektif untuk terjadinya proses saling mengingatkan tentang apa yang benar dan yang menjadi kebaikan bersama.
Hubungan antara demokrasi politik dan hak asasi manusia berdiri di atas berbagai asumsi yang sesunguhnya rapuh, misalnya bahwa kebebasan berbicara memungkinkan membicarakan masalah-masalah yang merugikan rakyat. Asumsi lain hubungan demokrasi dan hak asasi manusia adalah dapat mewakili berbagai kepentingan dan dengan sendirinya menjadi alat kontrol bagi proses checks and balances dalam pemerintahan. Demokrasi politik yang terbatas itu kemudian dinilai sebagai cure yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan sekali mekanismenya terbentuk.
Yang dimaksud dengan demokrasi politik ini tidak lain adalah kehadiran partai politik yang bebas tapi bertanggung jawab, dan kehadiran pemimpin yang kuat untuk mempertahankan sistem tersebut. Hal ini sangat tampak dalam proses pemilihan umum di Indonesia. Banyak sekali kelompok dan kalangan yang tidak dapat memperjuangkan kepentingannya secara langsung di dalam sistem tersebut dan harus mempercayakan kepada partai-partai yang ada. Rakyat miskin di daerah tertentu tidak dapat memperjuangkan kepentingannya karena jika harus membentuk partai politik sekalipun, akan sulit untuk lolos dari seleksi yang ketat, apalagi mengikuti proses pemilu yang pasti sangat menelan biaya yang sangat besar.
Tidak adanya pelembagaan pengertian hak asasi manusia secara luas, maka masalah-masalah mendasar yang termasuk dalam perlindungan hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya kurang mendapat perhatian karena perlindungan lebih dikonsentrasikan pada perlindungan hak-hak sipil dan politik. Ada dua hal yang mendukung proses tersebut, yaitu politik represif penguasa Orde Baru dulu yang membuat pelanggaran hak-hak sipil dan politik sangat menonjol. Kedua adalah meningkatnya dukungan dunia internasional terhadap perlindungan hak-hak tersebut.
Pengertian hak asasi manusia seperti ini sesungguhnya merupakan kemunduran dari perjuangan hak asasi manusia yang berkembang di tingkat basis. Usaha-usaha untuk memperjuangkan hak-hak yang mendasar dalam bidang sosial, ekonomi, dan budaya kerap tertutup jika tidak ada unsur represif yang memberi ruang pada kampanye hak-hak sipil dan politik menentang represi Orde Baru ketika itu. Dalam konteks ini, pengutamaan hak-hak sipil dan politik tidak jadi prioritas bukan karena alasan strategis tetapi lebih karena asas kesempatan. Dapat pula dikatakan, pandangan semacam ini jauh terbelakang bila dibandingkan dengan pencapaian pengertian demokrasi oleh warga dunia dalam konferensi Hak Asasi Manusia di Wina, Austria tahun 1993.
Konferensi Wina secara resmi telah menetapkan prinsip ketidakterpisahan antara hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya sebagai dasar melakukan penegakan hak asasi manusia. Dengan demikian jika demokrasi berangkat dari prinsip penegakan hak asasi manusia, ia haruslah merupakan kehendak rakyat yang dinyatakan secara bebas dan harus menjadi satu pekerjaan total untuk mengubah sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Apabila praktek demokrasi di Indonesia saat ini dianggap sebagai pemenuhan hak asasi manusia maka persoalannya adalah dimana tempat hak anak, hak masyarakat adat, hak perempuan, dan masih banyak hak-hak lainnya yang belum terakomodir yang sesunguhnya dinyatakan dalam Deklarasi Wina sebagai hak yang bersifat universal.
Penutup
Dalam perkembangan gerakan hak asasi manusia di dunia, terlihat munculnya sejumlah pengertian baru tentang hak asasi yang sejalan dengan praktek demokrasi langsung yang dianut negara kita dan terbukti efektif membawa perubahan. Gerakan perempuan berhasil mendesak pengakuan pelanggaran hak-hak di wilayah domestik sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Pengaruhnya begitu besar, sehingga Amnesti Internasional (salah satu lembaga hak asasi manusia yang memperjuangkan penegakan hak sipil politik) memulai usaha untuk mengembangkan konsep-konsep pelanggaran hak sipil dan politik di wilayah domestik. Komisi HAM PBB juga membentuk lembaga pelapor khusus masalah kekerasan terhadap perempuan. Selain masalah perempuan, gerakan perjuangan masyarakat adat telah mempertajam pengertian hak suatu bangsa menentukan nasib sendiri, dalam konvensi internasional hak ekonomi sosial budaya menjadi hak komunitas mengelola sumber daya alam, masyarakat, dan budayanya.
Mengambil sedikit komparasi dengan perjuangan penegakan hak asasi manusia di Aljazair, mereka menghasilkan pengertian hak dasar yang lebih maju daripada deklarasi umum hak asasi manusia. Deklarasi Aljazair memperluas ruang lingkup hak asasi manusia dan hak individual sampai pada hak rakyat dan hak gerakan. Deklarasi ini juga menyatakan bahwa hak dapat dirumuskan atas inisiatif rakyat dan tidak tergantung pada tindakan pemerintah. Intinya, deklarasi ini memberikan tekanan yang besar pada struktur dominasi transnasional dan kolaborator domestiknya sebagai penjelasan bagi terciptanya pelanggaran hak-hak asasi manusia. Beberapa pemikiran hak asasi manusia lainnya telah memunculkan hak-hak baru yang dipandang fundamental dalam situasi saat ini seperti hak untuk bertahan hidup dalam dunia yang damai.
Berbagai pencapaian tersebut justru langsung memperlihatkan keterbatasan demokrasi formal yang sering dianggap sebagai satu-satunya jalan. Di Filipina, naiknya Corazon Aquino dianggap sebagai kemenangan demokrasi atas tirani. Tidak disadari bahwa pelanggaran hak asasi manusia justru meluas. Jumlah pembunuhan politik oleh militer jauh di atas pembunuhan yang terjadi semasa Marcos menetapkan keadaan darurat (martial law). Di masa Aquino ini juga terjadi proses eksploitasi luar biasa terhadap rakyat yang dipaksa mengikuti austerity program dari lembaga-lembaga dana internasional.
Di Indonesia kita belajar dari sejarah kemunculan Orde Baru yang juga dianggap sebagai kemenangan demokrasi, tetapi kenyataannya menghasilkan kesengsaraan luar biasa selama kurang lebih 32 tahun. Keyakinan besar terhadap proses yang “bebas tetapi bertanggung jawab” sering menutup pandangan yang tumbuh dari bawah dan bahkan menciptakan sikap konservatif untuk mempertahankan status quo, tanpa menyadari bahwa status itu bersifat semu dan dalam prakteknya justru bertentangan dengan hati nurani rakyat.
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini