Friday, March 06, 2009
Oleh: Muhammad Iqbal*
Elit partai politik dewasa ini didominasi oleh kalangan pengusaha atau pebisnis. Bisa kita lihat para ketua dan petinggi partai sebagai tokoh pebisnis, bahkan partai-partai baru juga berisikan para kelompok bisnis. Memang untuk mensukseskan strategi partai untuk kemenangan dalam pemilu membutuhkan modal yang relatif besar. Untuk mendapatkan modal yang demikian besarnya partai politik membutuhkan pengusaha dalam urusan modal. Seperti contoh pada partai Golkar yang memiliki salah satu ketua DPP Aburizal Bakrie yang berkecimpung dalam dunia bisnis juga politik dan pemerintahan. Ical, sapaan akrab Aburizal Bakrie yang dipercaya menjadi menteri kordinator kesejahteraan rakyat (MENKOKESRA) periode 2004-2009, memiliki total kekayaan sebesar $5,4 miliar bedasarkan majalah Forbes Asia edisi Desember 2007. Aburizal Bakrie juga menjadi bos Bakrie Group dan perusahaannya juga menjadi rekanan kelompok usaha Cendana.
Tidak ada kejelasan mandat atau kader yang masuk ke tubuh partai dengan kontrol dari basis pendukungnya dan pengorganisasian politik yang tidak matang sehingga partai-partai alternatif yang dibangun belum memadai untuk berkompetisi dengan partai-partai dominan. Kelemahan upaya melembagakan demokrasi langsung adalah kecendrungan untuk menerima relasi yang sudah ada, proses deliberatif yang dilakukan belum memberikan bentuk demokratis yang jelas di dalam forum itu, dan perlunya memperjelas beberapa prinsip dasar mulai dari kejelasan orang yang dilibatkan, hak dan kewajiban anggota, mekanisme pertanggungjawaban wadah yang dibuat dan isu-isu kesetaraan yang diperjuangkan. Keadaan demikian membuat terjadinya kader-kader partai instan yang tidak mempunyai jiwa dan spirit yang kokoh, mentalitas kader lembek adalah hasil dari kaderisasi instan. Tersendatnya proses kaderisasi adalah buah hasil dari kerjasama elit partai dan kelompok pebisnis. Bisa kita lihat pendaftaran caleg pada Pemilu 2009 banyak juga dari kalangan pebisnis, ini menandakan romantisme politik dan bisnis. Yang menjadi persoalan adalah pebisnis menjadi politikus bukanlah faktor mencari uang (modal), melainkan untuk melancarkan usaha perusahaannya dengan menjadi bagian dari pada kekuasaan.
Prinsip atau filosofi para pebisnis adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dan rugi sekecil-kecilnya, hasil dari prinsip ini yang dibawa ke wilayah negara mengakibatkan jumlah penduduk miskin di indonesia meningkat dengan drastis jika dihitung dengan menggunakan kesepakatan MDGs. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (dengan pendapatan sebesar Rp.18,000 per hari) adalah sebanyak 110 juta orang atau hampir separuh dari rakyat indonesia berada di bawah garis kemiskinan.
Warisan Jaringan Kekuasaan (Patronase)
Untuk dapat memasuki top level politik Indonesia dibutuhkan jaringan sampai ke tingkat penguasa, begitu juga dalam kaitannya dengan bisnis dibutuhkan juga rekanan yang demikian. Pada era Soeharto munculnya para konglomerat besar di bawah patronase pemerintah Soeharto. Hal ini mengindikasikan bahwa kelompok bisnis untuk dapat mengamankan serta melebarkan usahanya haruslah mendapatkan ijin dari rezim penguasa, perbuatan seperti ini sangat mencolok terjadi pada era Presiden Soeharto karena pada saat itu Pemerintaha Soeharto memfokuskan pada sektor ekonomi dengan program Repelita. Soeharto juga sangat dekat dengan para pengusaha etnis Tionghoa, seperti Liem Sioe Liong (Sudono Salim) mengawali perjalanan bisnisnya dengan tertatih-tatih. Akhir era 30-an Liem memilih ke selatan untuk menghindari Perang Dunia II dan akhirnya sampai ke Indonesia. Pada saat Soeharto merengkuh kekuasaan, Liem dipercaya Soeharto untuk menjalankan bisnis kelompok Cendana. Kaum Tionghoa menjadi pengusaha besar Indonesia karena mempunyai prinsip “benalu” yang bisa hidup pada zamannya.
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
Elit partai politik dewasa ini didominasi oleh kalangan pengusaha atau pebisnis. Bisa kita lihat para ketua dan petinggi partai sebagai tokoh pebisnis, bahkan partai-partai baru juga berisikan para kelompok bisnis. Memang untuk mensukseskan strategi partai untuk kemenangan dalam pemilu membutuhkan modal yang relatif besar. Untuk mendapatkan modal yang demikian besarnya partai politik membutuhkan pengusaha dalam urusan modal. Seperti contoh pada partai Golkar yang memiliki salah satu ketua DPP Aburizal Bakrie yang berkecimpung dalam dunia bisnis juga politik dan pemerintahan. Ical, sapaan akrab Aburizal Bakrie yang dipercaya menjadi menteri kordinator kesejahteraan rakyat (MENKOKESRA) periode 2004-2009, memiliki total kekayaan sebesar $5,4 miliar bedasarkan majalah Forbes Asia edisi Desember 2007. Aburizal Bakrie juga menjadi bos Bakrie Group dan perusahaannya juga menjadi rekanan kelompok usaha Cendana.
Tidak ada kejelasan mandat atau kader yang masuk ke tubuh partai dengan kontrol dari basis pendukungnya dan pengorganisasian politik yang tidak matang sehingga partai-partai alternatif yang dibangun belum memadai untuk berkompetisi dengan partai-partai dominan. Kelemahan upaya melembagakan demokrasi langsung adalah kecendrungan untuk menerima relasi yang sudah ada, proses deliberatif yang dilakukan belum memberikan bentuk demokratis yang jelas di dalam forum itu, dan perlunya memperjelas beberapa prinsip dasar mulai dari kejelasan orang yang dilibatkan, hak dan kewajiban anggota, mekanisme pertanggungjawaban wadah yang dibuat dan isu-isu kesetaraan yang diperjuangkan. Keadaan demikian membuat terjadinya kader-kader partai instan yang tidak mempunyai jiwa dan spirit yang kokoh, mentalitas kader lembek adalah hasil dari kaderisasi instan. Tersendatnya proses kaderisasi adalah buah hasil dari kerjasama elit partai dan kelompok pebisnis. Bisa kita lihat pendaftaran caleg pada Pemilu 2009 banyak juga dari kalangan pebisnis, ini menandakan romantisme politik dan bisnis. Yang menjadi persoalan adalah pebisnis menjadi politikus bukanlah faktor mencari uang (modal), melainkan untuk melancarkan usaha perusahaannya dengan menjadi bagian dari pada kekuasaan.
Prinsip atau filosofi para pebisnis adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dan rugi sekecil-kecilnya, hasil dari prinsip ini yang dibawa ke wilayah negara mengakibatkan jumlah penduduk miskin di indonesia meningkat dengan drastis jika dihitung dengan menggunakan kesepakatan MDGs. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (dengan pendapatan sebesar Rp.18,000 per hari) adalah sebanyak 110 juta orang atau hampir separuh dari rakyat indonesia berada di bawah garis kemiskinan.
Warisan Jaringan Kekuasaan (Patronase)
Untuk dapat memasuki top level politik Indonesia dibutuhkan jaringan sampai ke tingkat penguasa, begitu juga dalam kaitannya dengan bisnis dibutuhkan juga rekanan yang demikian. Pada era Soeharto munculnya para konglomerat besar di bawah patronase pemerintah Soeharto. Hal ini mengindikasikan bahwa kelompok bisnis untuk dapat mengamankan serta melebarkan usahanya haruslah mendapatkan ijin dari rezim penguasa, perbuatan seperti ini sangat mencolok terjadi pada era Presiden Soeharto karena pada saat itu Pemerintaha Soeharto memfokuskan pada sektor ekonomi dengan program Repelita. Soeharto juga sangat dekat dengan para pengusaha etnis Tionghoa, seperti Liem Sioe Liong (Sudono Salim) mengawali perjalanan bisnisnya dengan tertatih-tatih. Akhir era 30-an Liem memilih ke selatan untuk menghindari Perang Dunia II dan akhirnya sampai ke Indonesia. Pada saat Soeharto merengkuh kekuasaan, Liem dipercaya Soeharto untuk menjalankan bisnis kelompok Cendana. Kaum Tionghoa menjadi pengusaha besar Indonesia karena mempunyai prinsip “benalu” yang bisa hidup pada zamannya.
* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini
0 Comments:
Post a Comment