KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Fenomena Fundamentalisme Agama

Wednesday, March 11, 2009

Oleh: Pradono Budi Saputro*

Masih segar di ingatan kita kejadian setahun yang lalu di mana segerombolan massa berpakaian putih-putih yang membawa atribut suatu agama tertentu menyerang orang-orang yang hadir dalam Peringatan Hari Kelahiran Pancasila di Monas, Jakarta. Segerombolan massa itu bahkan tak segan-segan menyerang dan melukai siapapun yang hadir pada acara tersebut, termasuk wanita dan anak-anak. Mereka beralasan bahwa mereka harus melakukan penyerangan demi menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka menganggap acara yang diselenggarakan tersebut ditunggangi oleh suatu kelompok aliran sesat yang memang sudah wajib hukumnya untuk ditumpas. Mereka menganggap tindakan yang mereka lakukan benar, merasa diri sebagai yang paling benar dan kelompok yang berseberangan paham dengan mereka itu tidak benar.

Kembali ke beberapa tahun sebelumnya. Peristiwa serupa di mana sekelompok orang dengan label agama tertentu melakukan tindakan yang merugikan orang banyak, bahkan mengakibatkan korban jiwa terjadi, yaitu peristiwa World Trade Center pada tanggal 11 September 2001 di Amerika Serikat, Bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Bom Bali, Bom Bali II, dan seterusnya. Motifnya serupa, menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya dengan dilandasi fanatisme agama yang berlebihan. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbuatan mereka sudah menjurus ke radikalisme. Tindakan seperti ini mungkin tidak akan berhenti sampai ini saja. Suatu saat, boleh jadi tindakan yang lebih keji dan brutal akan mereka lakukan.

Lalu mengapa hal-hal demikian dapat terjadi? Di Indonesia, era reformasi seolah-olah menjadi “keran kebebasan” yang siap mengalirkan “air perubahan”. Sudah bukan hal yang aneh lagi bahwa sejak era reformasi, berbagai paham dan ideologi banyak bermunculan, bahkan paham-paham ataupun ideologi-ideologi yang dilarang pada era Orde Baru (Orba). Munculnya gerakan garis keras berbasis agama itu pun tidak bisa dilepaskan dari jatuhnya rezim Orba yang cenderung represif terhadap gerakan agama (baca: Islam) pada masa itu. “Angin segar” bernama reformasi memberikan kebebasan bagi seluruh masyarakat untuk berserikat dan berasosiasi sesuai asas yang mereka anut masing-masing. Hal ini pun dimanfaatkan oleh kelompok agama garis keras tersebut untuk mengekspresikan keyakinannya di ruang publik. Sesuatu yang selama rezim Orba ditekan sedemikian rupa. Kemudian, mengapa mereka dapat mengekspresikan keyakinannya sedemikian keras tentunya tak lepas dari kekecewaan masyarakat dengan kegagalan pemerintah dalam mengatasi berbagai problem di negeri ini.

Fenomena yang disebut sebagai fundamentalisme agama tersebut memang tak dapat dilepaskan dari situasi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat kita. Kegagalan pemerintah mengatasi kemiskinan dan masalah-masalah ekonomi selalu membuat masyarakat tergoda untuk melakukan kekerasan dalam menyalurkan aspirasinya. Di samping itu, ketidaktegasan aparat juga turut memberi andil bagi kelangsungan hidup organisasi yang identik dengan kekerasan dalam mengemukakan pendapatnya, termasuk gerakan garis keras berbasis agama tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa selama tidak ada perubahan dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat dan selama aparat tidak tegas dalam menindak kejadian-kejadian seperti itu, hal-hal itu tetap akan terus berlangsung.

* Alumnus Program Studi Jepang FIB UI

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

0 Comments: