KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Kebudayaan dalam Industri

Thursday, March 19, 2009

Oleh: Ari Wibowo*

Industri kebudayaan (culture industry) mereduksi subjek pelaku (human agency) dan produk-produk kebudayaan sebagai komoditas pasar semata. Semakin suatu produk kebudayaan (kata benda) dinilai mendatangkan daya tarik kerumunan yang juga berarti sumber keuntungan maka kebudayaan itu akan tetap lestari dengan sistem kapitalisme yang menopang proses produksi dan distribusi produk entertainment. Para pelaku seni sendiri menyerahkan dirinya pada kepentingan bisnis dan kehilangan idealisme dalam berkesenian. Di lain pihak, produk kebudayaan yang dianggap tidak mengalirkan profit akan lapuk dimakan zaman, beserta anak-cucu yang tenggelam dalam hegemoni dan hingar-bingar kebudayaan asing yang berekspansi sesuai tuntutan zaman.

Jikalau demikian determinisme ekonomi yang merongrong sendi-sendi kebudayaan ini bertolak pada pengertian “budaya massa”. Artinya, produk kebudayaan terus menerus direproduksi dan dikonsumsi secara massal, sehingga industri budaya ini hanya mengutamakan keuntungan besar. Sementara itu, periklanan dan media massa turut membentuk nilai tukar komoditas yang dipertontonkan atau diperdagangkan untuk membangkitkan selera — yang terkadang palsu — atas apa yang sedang marak diminati masyarakat. Apa yang disamarkan di sini adalah “otentisitas” dan “orisinalitas” kebudayaan itu sendiri sebagai ruang bagi kebebasan berekspresi dan perealisasian diri. Dengan kata lain, para pekerja kebudayaan mau tidak mau menyimpang dari disiplin kesenian yang diampunya dan nilai-nilai di dalamnya, demi alasan profit.

Sebagai contoh, Malaysia boleh saja mengklaim kesenian reog sebagai miliknya. Dengan asumsi bahwa reog bisa menjadi primadona pariwisata dalam kampanyenya, “Visit Malaysia”. Di sinilah letak permasalahannya. Jika sekelompok orang memperagakan barongsai, otomatis orang-orang mengidentikkannya dengan kebudayaan Cina. Di situ, identitas yang melekat pada tarian barongsai mengakar kuat. Akan tetapi, jika kita mencermati reog Ponorogo, seolah dianaktirikan oleh pemerintah, atau bahkan oleh subjek pelaku kebudayaan itu sendiri, sehingga potensi dan daya pemikat di dalamnya redup di tengah maraknya trend kebudayaan lain. Lebih jauh lagi, apabila reog Ponorogo benar-benar difasilitasi dan dibiayai oleh pemerintah atau pemilik modal sehingga reog bisa dinikmati kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja, maka “aura mistis” dan “asal-usul” yang diproyeksikan melalui gerak, semangat, dan jiwa kesenian pada dirinya dihilangkan. Dapat disimpulkan bahwa industri kebudayaan dan esensi kebudayaan itu pada akhirnya menyimpan paradoks.

Ketika kebudayaan dipahami sebagai komoditas pasar, maka citra kebudayaan tidak lebih seperti petarung-petarung kapitalis yang berebut keuntungan dengan dalih-dalih pelestarian kebudayaan. Kebudayaan itu, kesenian-kesenian daerah pada khususnya, berebut simpati orang banyak, yang dianggap menentukan “hidup-mati” kesenian rakyat tersebut. Hal ini mungkin konsekuensi yang tak terhindarkan dalam proses produksi berkesenian. Namun, jika ditelusuri kebudayaan memuat intensi dasar dan unsur edukasi, kritik sosial, spiritual, adat istiadat atau — secara umum — jati diri dan kepribadian bangsa, bukan melulu perhitungan laba. Apa jadinya jika identitas bangsa itu terombang-ambing tak tentu arah mengikuti apa yang sedang trend di pasar?

Dihadapkan pada situasi terhimpit demikian, beberapa pekerja seni meretas kemungkinan adjustment kesenian tradisional dengan publik hari ini karena kebudayaan (kata kerja) itu juga bisa berarti bagaimana seseorang memaknai hidupnya ketika berhadapan dengan realitas di sekitarnya saat ini. Jadi, ada proses di dalamnya, yang membuat kebudayaan itu terus berkarya dalam semangat keterbukaan apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini sehingga bisa dimengerti, dikomunikasikan, dan menggugah kesadaran banyak orang. Suatu bentuk seni kontemporer yang mengadopsi nilai-nilai yang beragam tanpa meninggalkan tradisi-tradisi tradisional bisa menjadi alternatif menyelamatkan identitas bangsanya. Dengan demikian, suatu kontruksi kebudayaan juga harus memperhatikan akar-akar kebudayaan yang diwariskan pendahulu kita. Ignas Kleden menyebut kebudayaan sebagai warisan tanpa surat wasiat. Jika kebudayaan itu tercerabut sampai akar-akarnya, maka kebudayaan itu pada akhirnya akan mati dan kehilangan arah, seiring dengan tuntasnya pagelaran dalam sebuah panggung kapitalisme.

Di samping itu, suatu bentuk kebudayaan yang bukan diberlangsungkan demi tujuan industri pun, membutuhkan sense dan kesadaran kritis para pelaku kebudayaan itu sendiri. Buktinya, ketika ramai-ramai orang mencicipi gemerlap dan bisingnya kebudayaan asing, masih ada bule-bule yang datang ke Indonesia untuk mempelajari kesenian yang dianggap “uzur” oleh generasi penerusnya. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari pemerintah? Ada dua hal yang menurut saya perlu dicermati. Pertama, pemberdayaan dan pembiayaan demi langgengnya kebudayaan daerah yang menjadi tonggak kebudayaan nasional. Ironis memang ketika kebudayaan dengan maksud pendidikan kadang harus dengan merogoh kocek pelaku kebudayaan itu sendiri. Kedua, jaminan kebebasan berekspresi dan berkesenian karena aktivitas kebudayaan mencerminkan realitas yang terjadi dalam masyarakat dengan semangat keterbukaan.

* Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

0 Comments: