KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Hantu Sosial dan Imajinasi

Friday, March 06, 2009

Oleh: Ari Wibowo*

Fundamentalisme Agama itu ibarat “hantu sosial”. “Fundamentalisme agama,” demikian St. Sunardi, “tidak jauh berbeda dengan ‘hantu’ pada malam hari bagi anak-anak kecil.” Saya takut dan kita semua dibuat resah olehnya. Kita menjadi saksi atas gelaran sweeping yang berujung pada kekerasan, ketika sekelompok orang mengacungkan senjata, berkopiah, dan dengan seruan takbirnya menyerang secara membabibuta orang-orang yang dianggap “di luar lingkaran keselamatan”. Di situ korban-korban seperti sekawanan hamba-hamba berdosa yang menanti hukuman. Hukuman yang berasal dari manusia yang membenarkan dirinya atas dasar-dasar agama.

Menebar ketakutan dengan praktek kekerasan yang dilakukan oleh para anggotanya merupakan strategi kaum fundamentalis. Tubuh dapat meniru mesin. Sadar atau tidak, para anggota kelompok tersebut bekerja menurut komando-komando di luar dirinya. Pelaku bom bunuh diri merupakan contoh ekstrem mesin organik rancangan sang pemimpin. Sistem mekanis ini merupakan akar segala kekerasan massa ketika tubuh meniru mesin yang digerakkan oleh naluri-naluri hewani, dan kehilangan hati nuraninya. Mesin natural ini dapat berkembang menjadi mesin raksasa yang menggilas manusia-manusia yang dianggap sebagai musuh atas dasar komando sang pemimpin. Individu-individu seperti kita ini tinggal menunggu, apakah memilih patuh atau membangkang seiring mesin raksasa mulai terbentuk. Kepatuhan menentukan survivalnya, sementara membangkang sama dengan mati.

Sebenarnya apa itu fundamentalisme dan siapa saja yang bisa disebut fundamentalisme masih problematis karena tidak ada satu pun kelompok yang menyebut dirinya fundamentalis. Kita pun bisa menelan watak fundamentalis apabila enggan menerima kritik, dan tidak mau membuka diri terhadap ide-ide dan nilai-nilai baru. Bisa jadi ungkapan fundamentalisme Islam merupakan propaganda Barat dan orang-orang Muslim yang dekat dengan Barat sebagai isu hangat yang membanjiri arena intelektual. Kita hanya tahu bahwa mereka berusaha setia pada dasar-dasar (fundamen) alkitabiah, entah itu fundamentalisme Islam atau fundamentalisme Kristen. Istilah fundamentalisme disematkan pada kelompok yang bereaksi terhadap ide-ide modernitas yang berkembang di masyarakat. Pada satu sisi, fundamentalisme dianggap “mengganggu”—seperti hantu—kemapanan masyarakat dengan sendi-sendi kebudayaan modern yang bersumber pada Barat. Di sisi lain, kelompok fundamentalis menganggap Barat dan “antek-antek Barat” yang menggagas pembaharuan atas tujuan modernisasi, sebagai sumber kebobrokan moral dan struktur sosial yang memarjinalisasikan mereka.

Ada catatan menarik lainnya: fundamentalisme agama merupakan reaksi atas ketidakberdayaan kelompok tertentu atas proses transformasi sosial dan budaya. Bukan kebetulan maraknya gerakan-gerakan fundamentalis di Aljazair, Mesir, dan Yordania merupakan reaksi atas situasi sosial politik yang tidak adil. Maka, perbaikan sosial, ekonomi, dan politik yang didengungkan Barat dengan mengadopsi gagasan-gagasan Barat, dianggap dapat mengantisipasi gerakan serupa. Bukan perkara mudah tentu saja. Di sana fundamentalisme Muslim berperan sebagai kritik sosial sebagai upaya menanggapi masalah-masalah kemanusiaan di sekitarnya yang disebabkan oleh pola pembangunan yang terlalu berorientasi pada Barat. Para pemikir Muslim di kalangan fundamentalis pun memungkinkan jembatan komunikasi antara ideologi Barat dan Islam.

Mari kita berkaca di negeri sendiri. Dewasa ini di Indonesia khususnya, praktek kekerasan yang dilakukan para anggota kelompoknya merupakan salah satu karakter fundamentalisme agama. Identitas agama menjadi sarana memperoleh dukungan masyarakat. Mengidentifikasi musuh menjadi kedok meraih simpati kawan. Selain itu, fundamentalisme agama cenderung memutlakkan ajaran agama versi mereka, sampai-sampai tidak mau mendengar, bekerjasama dan memahami pihak lain. Dengan kata lain, kelompok ini bersikap tertutup, dan cenderung mengekslusikan diri di tengah dinamika sosial dan kebhinnekaan.

Gejolak-gejolak sosial-keagamaan yang dikatakan sebagai fundamentalisme Islam, berangkat dari imajinasi sosial bahwa kita bisa membangun negeri yang lebih baik. Bukan dengan mengunci pintu rapat-rapat, melainkan dengan membuka diri dalam keberagaman. Pintu terus diketuk, dan orang-orang dari kalangan bangsamu ini, yang sama-sama peduli terhadap nasib bangsa, masih menunggu untuk diberi kesempatan bicara.***

* Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

0 Comments: