KUNJUNGI WEBSITE KAMI YANG BARU, JURNAL POLITIK ONLINE DI JURNAL-POLITIK.CO.CC

Korupsi Itu Halal

Saturday, March 14, 2009

Oleh: Jerry Indrawan*

Lihatlah, setiap sholat Jumat para menteri, pejabat negara, pimpinan proyek berdatangan lebih awal, duduk paling depan, dan ketika sholat, sholatnya sangat khusyuk, tetapi korupsinya paling besar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi di Indonesia sudah sampai ke sumsum tulang belakang. Anggapan ini telah melibatkan banyak orang yang tersangkut kejahatan korupsi. Tetapi, yang terjadi adalah sangat sedikitnya kejahatan korupsi tersebut dapat diproses secara hukum. Dengan mudah pula bisa ditelusuri bahwa komitmen kerja pemerintah dan aparat penegak hukum telah gagal memberantas korupsi. Keroposnya komitmen ini pantas diberi “angka merah” dalam rapor kerja pemerintah dan aparat penegak hukum.

Di lingkungan birokrat maupun pengusaha, korupsi sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu buktinya adalah masyarakat harus membayar mahal atas pelayanan publik yang sangat buruk. Apabila ingin mendapat pelayanan yang baik, masyarakat harus menyediakan uang pelicin. Kondisi itu diperparah dengan adanya kecenderungan pegawai negeri sipil harus pandai mengumpulkan uang untuk kenaikan pangkat. Begitu pula tingkat pejabat tinggi, memperluas kroni guna mempertebal saku agar dapat mempertahankan loyalitas bawahan dan jabatannya.

Irama kerja birokrasi yang lamban, bertele-tele, dan tak becus semakin mengikis fungsinya untuk memberikan pelayanan bagi warga negara. Sebaliknya, watak birokrasi ini telah berkembang menjadi birokrasi yang justru harus dilayani. Pengadilan pun bukan lagi tempat orang untuk dilayani dalam meraih keadilan, melainkan telah diubah menjadi “sarang mafia peradilan”. Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung ditengarai sebagai pasar jual beli perkara.

Pemerintahan SBY-JK juga tidak lepas dari cacat “politik”. Penyelesaian kasus lumpur Sidoarjo yang tidak kelar-kelar menunjukkan bagaimana lambannya pemerintah merespons seruan rakyat yang menderita. Diperparah dengan sikap pemerintah yang terkesan melindungi PT. Lapindo Brantas sebagai “aktor utama” tragedi lumpur ini, karena faktor Bakrie yang dekat dengan kekuasaan. Bahkan, SBY-JK menempatkan Aburizal Bakrie sebagai Menko Kesra dalam Kabinet Indonesia Bersatu. SBY-JK dalam hal ini berpihak kepada orang-orang berduit dan melupakan rakyat yang untuk makan sehari-hari pun susah. SBY-JK terbukti lebih melindungi kejahatan korporasi yang dilakukan Lapindo daripada menyelesaikan kasus ini secara hukum.

Untuk memerangi korupsi di kalangan birokrat, memerlukan kampanye massal supaya rakyat sadar pada haknya untuk memperoleh pelayanan publik yang baik. Kemudian, warga yang selalu menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan publik harus mendapat ruang dalam sistem hukum, perlindungan hukum, dan menuntut koruptor ke pengadilan pidana atau perdata.

Pemerintah dengan dana pembangunan dan APBN di tangan, seyogianya dituangkan secara ketat dan terukur dalam program pemulihan ekonomi. Selain itu melalui sasaran yang tepat, dilakukan program peningkatan kesejahteraan rakyat yang terencana. Tetapi memang dengan perilaku DPR dan DPRD, maupun partai-partai politik, pengawasan atas jalannya program pemerintah acap kali gagal dikontrolnya. Korupsi, kebocoran-kebocoran dana pembangunan dan APBN, serta pungutan yang merajalela, telah menjadi penghalang bagi penciptaan iklim investasi yang kondusif. Harapan untuk meningkatkan daya saing ekspor perusahaan-perusahaan nasional, telah dihadang korupsi.

Celakanya, saat ini ada kecenderungan bahwa masyarakat semakin “menuhankan” materi. Mereka memberi tempat istimewa kepada pejabat negara yang korup, status sosial kaya raya, dan gaya hidup mewah. Padahal itu semua mustahil atau tidak mungkin bisa diperoleh dari pendapatan resmi. Pejabat yang royal berderma dianggap sebagai seseorang yang tinggi akhlaknya dan senantiasa didoakan masyarakat, tanpa pernah dipertanyakan dari mana sumber dananya.

Dengan kondisi tersebut, tidaklah mengherankan bila semua orang bermimpi jadi koruptor. Bahkan, jika seorang pejabat itu miskin, akan dianggap tolol dan bodoh. Kalaupun ada kebencian, paling hanya kecemburuan sosial. Pasalnya kalau mereka ada kesempatan, dapat dipastikan akan menirunya, bukan membasminya. Logika berpikir masyarakat pun berubah. Korupsi yang seharusnya diberantas dan dibasmi, malahan dilestarikan. Maka dari itu, tepatlah judul di atas bahwa korupsi itu memang halal!

Memberantas korupsi memang sangat sulit bila dilakukan setengah hati. Presiden Cina Hu Jintao dengan tegas mengatakan, “Sediakan 100 peti mati, 99 peti untuk koruptor, 1 peti untuk saya.” Saat ini belasan ribu orang telah digantung karena korupsi, dan Cina telah menjadi bangsa yang besar dan disegani secara ekonomi dan politik. Indonesia? Masih jauh di awang-awang. Untuk itu, sampai kapankah bangsa ini akan menangis? Hanya Tuhan yang tahu dengan hadiah kiriman bencana-bencana kepada sang Presiden.

* Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta

KLIK DI SINI untuk mendownload file asli dari artikel ini

0 Comments: